• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majdah Muhyiddin Zain, Keunggulan Komparatif Beras Sulsel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Majdah Muhyiddin Zain, Keunggulan Komparatif Beras Sulsel"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

Keunggulan Komparatif

BERAS SULSEL

(2)

Keunggulan Komparatif

(3)

Undang-undang Rcpublik Indonesia Nomor 19 Tahun 3002 tenlang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemengan Hak Cipta untuk mengumumkan atau mempcrbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomaus setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengumngi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:

1. Barangsiapa dengan segaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayal (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) di pidana drngan pidana pemjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahum dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah)

(4)

Majdah Muhyiddin Zain

Keunggulan Komparatif

BERAS SULSEL

(5)

Keunggulan Komparatif Beras SulSel

Penulis:

Majdah Muhyiddin Zain

Kata Pengantar:

Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, M.Si, MH

Editor:

Muhammad Yahya Musdalifah Mahmud

Desain Cover: Dian Qamajaya

Layout: Hilman Yusuf

Foto Sampul: Internet/Online

Penerbit:

FAHMIS PUSTAKA

(Lembaga Penerbitan, Pendidikan, Penelitian dan Distribusi Buku) Jl.Tamangapa Raya 5/N0.32 Kassi Tarnangapa Makassar 90245 Hp. 08124218024

Hak Cipta Dilindungi Undang Undang All Right Reserved

(6)

PENGANTAR PENULIS

Sulawesi Selatan sejak dari dulu dikenal sebagai lumbung pangan terutama untuk Kawasan Indonesia Timur. Masyarakat yang menjadikan beras sebagai makanan pokok di kawasan tersebut, menempatkan Sulsel sebagai wilayah pemasok utama. Potensi yang dimiliki Sulsel serta letak stategis selaku pintu gerbang ke KTI menjadikan wilayah ini tumpuan harapan banyak orang guna memenuhi kebutuhan bahan pangan terutama beras.

Surplus beras menjadikan Sulsel selaku pemasok di wilayah sekitarnya yang minus produksi. Kondisi dan posisi demikian telah dijalani dalam kurun waktu yang teramat panjang. Catatan sejarah juga menunjukkan migrasi orang-orang Bugis yang merupakan mayoritas penduduk asli orang Sulsel, sering dilatari para pedagang beras antar daerah dan antar pulau.

Para pedagang beras tersebut secara tradisional pula menjadi imigran yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Komoditas beras yang diperdagangkan termasuk bahan kebutuhan pokok, sehingga kontinuitas pasokan hams stabil setiap saat.

Beras menjadi produksi utama masyarakat di beberapa wilayah di Sulsel, kemudian para pengusaha memperdagangkan antar daerah atau antar pulau. Komoditas ini menjadi mata dagangan sepanjang masa dibutuhkan masyarakat. Permintaan pasar akan komoditas itu setiap saat dibutuhkan, karena merupakan makanan pokok dan utama bagi sebagian besar masyarakat.

Permintaan pasar yang terus meningkat menjadikan bisnis pedagang beras juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat. Pedagang beras asal Sulsel pernah mengalami masa-masa kejayaan ketika pasar di KTI dikuasai.

Zaman berganti, perdagangan beras di Sulsel mengalami masa-masa pasang dan surut. Beberapa variebel menjadi faktor surutnya pedagang beras di antaranya; campur tangan pemerintah melakukan tata kelola komoditas beras lewat Bulog. Sisi lainnya adalah kompetitor dari Jawa dan beras impor yang setiap saat masuk ke pasar di KTI. Daya saing komoditas dari kompetitor tersebut, memiliki kualitas jauh lebih baik, dengan harga yang relatif murah menjadikan pasar di KTI lebih dominan memilih beras yang datang dari luar Sulsel. Kurun waktu demikian menjadikan perdagangan beras Sulsel mengalami masa-masa yang surut.

(7)

'"Perspektif Perdagangan Beras Antarpulau (Analisis Daya Saing Beras Sulawesi Selatan dalam Perdagangan Antarpulau)".

Hasil kajian disertasi berupaya mengungkap berbagai hal berkenaan dengan kajian daya saing komoditas beras Sulawesi Selatan, yang secara khusus diarahkan untuk menganalisis keunggulan komparatif komoditas beras Sulsel, kinerja perdagangan beras antarpulau, efisiensi pemasaran, dan faktor pendorong serta penarik perdagangan beras antarpulau.

Sejumlah faktor penting teridentifikasi dalam kajian ini seperti ketersediaan, surplus, dan harga beras, serta pendapatan masyarakat di daerah tujuan merupakan daya tarik yang signifikan dalam perdagangan beras antarpulau. Faktorfaktor ini pada daerah asal tidak menjadi faktor yang signifikan. Selanjutnya, faktor biaya transpor juga berpengaruh signifikan terhadap volume perdagangan beras antarpulau dari Sulawesi Selatan.

Peningkatan produksi beras di Sulawesi Selatan tetap penting, namun sistem agribisnis padi/beras ini tampaknya perlu diarahkan untuk perbaikan kualitas dan sistem pemasaran beras menuju pemasaran beras menjadi lebih efisien.

Pengembangan sistem pemasaran beras yang lebih bebas dari praktekpraktek pasar monopolls dan ollgopolls yang ditunjang oleh pengembangan infrastruktur perdagangan dan penghapusan berbagai pungutan yang membebai biaya perdagangan perlu dipertimbangkan lebih seksama untuk mewujudkan sistem pemasaran beras, khususnya perdagangan antar pulau yang lebih efisien.

Setelah melakukan beberapa penyesuaian maka disertasi penulis dapat hadir di hadapan pembaca dalam bentuk buku. Lewat kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak sehingga disertasi ini dapat menjadi buku.

Disertasi ini dapat dirampungkan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku , berkat kontribusi berbagai pihak. Karena itu dengan tulus penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Radi A.Gany, sebagai promotor dan Prof. Dr. Ir. Hj. Farida Nurland, M.S, dan Dr. Ir. H. Rahim Darma M.Sc, sebagai copromotor yang telah mencurahkan waktu dan pikirannya untuk memberi arahan dan bimbingannya hingga penyelesaian disertasi ini

2. Bapak Dr. Ir. Masnama Tadjo, MS, Prof. Dr. Ir. H. Syawal, M.Sc, Prof. Dr. Ir. H.M. Saleh S Ali, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc, Dr. Ir. Yunus Musa, M.Sc, dan Dr. Ir. Aksan, MS. Sebagai penguji, terima kasih atas segala masukannya sehingga di sertasi ini dapat lebih disempurnakan

(8)

Syam, M.Si., yang telah memberi bantuan moril dan materil selama proses penyelesaian studi

5. Koordinator Kopertis Wiayah IX Sulawesi Prof. Dr. Aminuddin Salleh, SH., MH., dan mantan Koordinator Kopertis Wilayah IX, Dr. Ir. H. Abd Rauf Patong, yang telah mengarahkan dan memberi izin studi kepada penulis pada Program Doktor Pascasarjana (PPsUNHAS)

6. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi AIGazali Makassar Drs. H. M. Jusuf Kalla yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor PPS UNHAS

7. Kuasa Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi AlGazali H. M. Aksa Mahmud dan segenap jajaran pengurusnyayangtelah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian studi pada program Doktor PPSUNHAS.

8. Ibunda tercinta Hj. A. Uqdah atas dukungan dan doa restunya yang senantiasa menyertai penulis

9. Suami tercinta Ir. H. Agus Ashari Arifin Nu'mang, M.S., dan anakanakku tersayang A.Qanisah Amaliah, Ahmad Rizadi, Ahmad Fausan dan A. Amanda Amaliah, A.Ahmad Syahrul atas motivasi dan pengertian disertai doa yang tulus ikhlas sehingga penulis dapat melewati masamasa sulit dalam penyelesaian studi.

10. Saudara Dr. Ir. Adri Said, M.Sc, Ir. Mahyuddin, M.Si, Mustakim, SP, M.Si dan Ir.Hj.Fatmawati Mahmud, M.P., serta rekanrekan di Fakultas Pertanian UNHAS dan di Universitas Islam Makassar yang telah banyak membantu hingga penyelesaian buku ini, serta rekan-rekan seorganisasi di IKA DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Tim Penggerak PKK SulSel, DPP HWK SulSel, YABI SulSel, BKKKS SulSel, FKKMT SulSel dan Yayasan Jantung SulSel, serta rekanrekan lainnya yang tidak dapat di sebut satu persatu dengan tulus penulis menghaturkan terima kasih atas motivasi dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sungguh masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan keritikan dan saran konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan saat ini maupun di masa datang dan bermanfaat bagi pembangunan daerah dan kemajuan ummat manusia pada umumnya. Amin

Makassar, April 2015

(9)

Meningkatkan Daya Saing Petani

Kata Pengantar Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

Dr. H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH

Basis ekonomi masyarakat Sulawesi Selatan secara alamiah tetap bertumpu pada sektor pertanian. Secara turun temurun, mayoritas penduduk wilayah ini menggantungkan hidupnya dari usaha di bidang pertanian.

Pekerjaan sebagai petani masih tetap dominan menjadi pilihan penduduk Sulsel, terutama mereka yang menetap di wilayah pedesaan, yang selama ini dikenal sebagai sentra pengembangan tanaman pangan, khususnya betas. Di Sulsel, produksi beras cukup melimpah sehingga dikenal sebagai penghasil beras dan menjadi pemasok utama beras untuk Kawasan Indonesia Timur. Hingga kini Sulsel menjadi salah satu lumbung pangan nasional.

Posisi sebagai pemasok beras dan lumbung pangan nasional telah menempatkan Sulsel sebagai daerah yang memiliki daya saing dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi negara. Hal itu menempatkan Sulsel menjadi daerah yang sangat diperhitungkan sebagai daerah pengangga pangan nasional.

(10)

Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang dan Luwu, atau yang dikenal dengan "Bosowasipilu".

Peningkatan produksi beras, di sisi lain, akan meningkatkan kualitas hidup petani yang menjadi pekerjaan utama masyarakat Sulsel. Oleh karena itu, arah kebijakan Pemerintah Sulsel tidak lepas dari upaya meningkatkan daya saing petani dengan merealisasikan sejumlah program pertanian yang memihak kepada petani. Salah satunya adalah membatasi peredaran beras impor di pasar beras Sulsel. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memproteksi beras lokal agar dapat bersaing dan menjadi pilihan konsumsi bagi masyarakat Sulsel dan sekitarnya.

Untuk menahan laju beras impor, maka peningkatan produksi dan perbaikan kualitas produksi menjadi fokus dalam proses pengembangan perberasan di Sulsel. Salah satu strategi peningkatan produksi beras telah ditempuh Pemerintah Sulsel dengan melaksanakan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), dengan mengolah lahanseluas 295 ribu hektar dan bantuan benih padi, jagung dan kedeiai. Program SLPTT diharapkan dapat mendorong percepatan produksi pangan agar dapat menjaga stabilitas surplus produksi beras di Sulsel.

Program peningkatan produksi pangan yang telah ditempuh Pemerintah Sulsel selama ini, dibarengi dengan kebijakan daya dukung lahan, mengingat luas lahan pertanian yang semakin menyempit dari tahun ke tahun. Konversi lahan dari lahan pertanian menjadi kawasan industri dan pemukiman mengalami peningkatan, disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan perluasan wilayah perkotaan.

Mengantisipasi penyempitan lahan tersebut, Pemerintah Sulsel berupaya melaksanakan program mekanlsasi lahan pertanian, untuk memberi kemudahan kepada petani dalam mengolah lahan dan meningkatkan produksi setiap hektar lahan.

Ada banyaktantangan dalam mempertahankan posisi Sulsel sebagai lumbung pangan nasional, baik yang dihadapi oleh petani dan juga Pemerintah. Karena itu, buku ini yang berjudul "Keunggulan Komparatif Beras Sulsel" dapat menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan daya saing beras Sulsel secara nasional. Buku yang ditulis oleh Dr. Ir. Hj. Majdah Muhyiddin Zain, M.Si., ini memberikan gambaran yang akurat dan mendalam tentang perdagangan beras Sulsel secara antarpulau. Data dan fakta yang dipaparkan dalam buku ini memudahkan pemahaman tentang bagaimana alur perdagangan beras asal Sulsel ke Kawasan Timur Indonesia, dan menunjukkan bahwa daya saing beras Sulsel sungguh sangattinggi.

(11)

Makassar, April 2015

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

(12)

Catatan Penerbit

Beras termasuk komoditas strategis dan menentukan hajat hidup orang banyak. Peran strategis yang diemban tersebut menjadikan hampir semua pihak memiliki kepentingan pada komoditas itu. Pemerintah setiap saat memiliki kepentingan, terutama dalam politik pangan menjamin stok dan distribusi yang stabil dan merata sepanjang waktu.

Permintaan pasar akan beras setiap waktu karena merupakan kebutuhan utama. Komoditas ini menjadi salah satu mata dagangan yang banyak dilirik oleh pengusaha. Perdagangan beras secara lokal dan antarpulau semakin ramai dijalani oleh para pedagang. Sulawesi Selatan dikenal selaku sentra produksi beras di KTI. Sentra pengembangan tanaman pangan terutama padi menyebar pada beberapa kabupaten dan kota di Sulsel. Produksi beras yang melimpah dan surplus setiap tahun sehingga menjadi peluang bagi para pedagang untuk mensuplai ke wilayah di KTI yang membutuhkan beras sebagai makanan pokok.

Perdagangan beras Sulsel dalam catatan sejarah juga mengalami masa jatuh dan bangun. Pernah suatu waktu harga anjlok membuat para pedagang mengalami kerugian. Pada tingkat petani juga sering mengalami kegagalan panen karena serangan hama atau tanaman siap panen direndam banjir

Buku dengan judul, Keunggulan Komparatif Beras Sulsel ditulis oleh Rektor Universitas Islam Makassar, Dr.lr. Hj. Majdah Muhyiddin Zain, M.Si menjelaskan faktor penting teridentifikasi dalam kajian ini seperti ketersediaan, surplus daj harga beras, serta pendapatan masyarakat di daerah tujuan merupakan daya tarik yang signifikan dalam perdagangan beras antarpulau.

Faktor-faktor ini pada daerah asal tidak menjadi faktor yang signifikan. Selanjutnya, faktor biaya transpor juga berpengaruh signifikan terhadap

volume perdagangan beras antarpulau dari Sulawesi selatan. Hasil kajian penulis dalam disertasi yang ditulis sepanjang tahun 2006 masih tetap aktual dan facktual guna mengamati dan mengikuti perkembangan perdagangan antar pulau terutama daya saing beras Sulsel dan pasar domestik serta pasar antarpulau.

Buku ini cocok menjadi bahan referensi bagi pihak yang ingin melakukan studi penelitian soal perdagangan beras serta beberapa kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Informasi yang diberikan cukup luas dengan data dari tahun ke tahun yang cukup akurat.

(13)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS- v

KATA PENGANTAR GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN~ ix

CATATAN PENERBIT~ xii DAFTAR TABEL ~ xvi DAFTAR GAMBAR-xix BAB1

Keunggulan Komparatif Beras Sulsel Sebuah Pengantar Awal A. Perberasan daiam Perekonomian Nasional ~ 1

B. Perkembangan Perdagangan Beras Sulsel ~ 5

C. Mencari Jawab Keunggulan Komparatif Beras Sulsel ~ 7

BAB II

Tinjauan Teori Keunggulan Komparatif Beras Sulsel A. Perdagagan Antardaerah dan Faktor Determinan ~ 16 B. Keunggulan Komparatif ~ 21

C. Kinerja Perdagangan Ukuran Daya Saing - 27 D. Integrasi Pasar ~ 29

E. Efesiensi Pemasaran ~ 32 F. Studi Terdahulu ~ 34 G. Kerangka Konseptual ~ 43 H. Hipotesis ~ 45

BAB III

Perspektif Metode Keunggulan Komparatif Beras Sulsel A. Waktu dan Lokasi ~ 47

B. Jenis dan Pengumpulan Data ~ 47 C. Metode Analisis ~ 48

1. Menganalisis Keunggulan Komparatif ~ 49 2. Kinerja Perdagangan Beras ~ 50

3. Efesiensi Perdagangan Beras ~ 52

(14)

5. Faktor Pendorong dan Penarik Perdagangan Beras Antar Pulau ~ 55 6. Keterbatasan Studi ~ 55

BABIV

Keunggulan Komparatif Beras Sulsel

A. Gambaran Umum Perberasan di Sulsel ~ 57 1. Pertanian dan Perekonomian Sulsel ~ 57 2. Potensi Produksi Beras ~ 62

3. Beras dalam Kehidupan Sosial Budaya ~ 65 4. Marketable Surplus Perdagangan Beras ~ 67

B. Analisa Perspektif Perdagangan Beras Antar Pulau ~ 71 1. Keunggulan Beras Sulsel ~ 73

2. Kinerja Perdagangan Beras * 82 C. Efesiensi Pemasaran ~ 95

1. Efesiensi Pemasaran Beras Sulsel ~ 99

2. Efesiensi Pemasaran Beras Antarpulau ~ 104

3. Faktor Pedorong dan Penarik Perdagangan Antarpulau ~ 123

BAB V

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kontribusi Sektor Utama (Leading Sectors) pada Provinsi Sulawesi Selatan, 1993-2002 - 6

Tabel 2. Perkembangan Pengiriman Beras Antarpulau Provinsi Sulawesi Selatan Perode 1990-2001 - 10

Tabel 3. Hasil Integrasi Pasar Komuditas Beras dengan Pasar Acuan Pasar Induk Cipinang Data Tahun 1999 ~ 39

Tabel 4.1. Pertumbuhan Nilai Tambah Sektor dan Subsektor Pertanian Menurut Periode Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan, Tahun 1976-2004 ~ 58 Tabel 4.2. Luas Panen, Produksi dan Tingkat Produktivitas Padi Sulawesi Selatan

Tahun 2003 ~ 64

Tabel 4.3. Surplus Minus Beras di Provinsi Sulawesi Selatan Oirinci Menurut Kabupaten Tahun 2003 ~ 69

Tabel 4.4. Hasil Analisis LQ (Location Quation) Subsektor Tanaman Bahan Makanan Terhadap Total Perekonomian Daerah Dirinci Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 1993-2003 ~

Tabel 4.5. Hasil Analisis LQ (Location Quation) Komoditi Padi dan Palawija Sulawesi Selatan terhadap Total Padi dan Palawija Indonesia Dirinci Menurut Komoditi Tahun 1993-2003 ~ 77

Tabel 4.6. Hasil Analisis LQ (Location Quation) Komoditi Padi dan Palawija Provinsi-provinsi di Indonesia terhadap Total Padi dan Palawija Indonesia Tahun 1993-2003 ~ 78

Tabel 4.7. Jumlah Penduduk, Kebutuhan Komsumsi Beras dan Surplus Minus Beras Provinsi-provinsi di Indonesia Tahun 2003 – 81

Tabel 4.8. Volume Pengiriman Beras Antarpulau Menurut DaerahPelabuhan Tujuan, Tahun 2003-2004 ~ 85

Tabel 4.9. Pangsa Pasar Masing-masing Daerah Pengiriman pada Beberapa Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia 2004 ~ 87 Tabel 4.10. Pola Distribusi Beras Dolog di Indonesia dan Beras Dolog Sulawesi

Selatan Berdasarkan daerah Tujuan di Indonesia Tahun 2000-2004 ~ 89 Tabel 4.11. Pengiriman Beras Antarpulau oleh Lembaga Swasta di Sulawesi Selatan,

Tahun 2005 ~ 91

Tabel 4.12. Indeks Konsentrasi Pasar (Antarpulau) Beras Sulawesi Selatan Tahun 2003-2004 - 94

(16)

Tabel 4.14. Efisiensi Pemasaran Beras Berdasarkan Model Kawagoe dalam Pemasaran Beras Domestik di Sulawesi Selatan ~ 103

Tabel 4.15. Integrasi Pasar Beras Sulawesi Selatan Menurut Harga Rata-Rata Tertimbang dengan Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 105

Tabel 4.16. Integrasi Beras Varietas IR. I Sulawesi Selatan dengan Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 107 Tabel 4.17. Integrasi Pasar Beras Kepala Spatial Sulawesi Selatan dengan

Berbagai Pasar daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 109

Tabel 4.18. Integrasi Pasar Beras Varietas Insinyur Sulawesi Selatan dengan Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 110 Tabel 4.19. Integrasi Pasar Beras Kepala Biasa Sulawesi Selatan dengan

Berbagai Pasar Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 111

Tabel 4.20. Integrasi Pasar Beras Varietas Mandi Sulawesi Selatan dengan Berbagai Pasar daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 112 Tabel 4.21. Efisiensi Pemasaran Beras Antarpulau dengan Menggunakan

Model Kawagoe, Menurut Berbagai Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia ~ 114

Tabel 4.22. Pengaruh Intervensi Dolog Terhadap Ragam harga di Daerah Tujuan Beras Antarpulau ~ 117

Tabel 4.23. Struktur Biaya Perdagangan Beras Antarpulau Menurut Kategori Pedagang Beras Antarpulau, 2006 ~ 120

Tabel 4.24. Margin Pemasaran dan Keuntungan Lembaga Pedagang Beras Antarpulau di Sulawesi Selatan Menurut Kategori Pedagang, 2006 ~122 Tabel 4.25. Faktor Pendorong dan Faktor Penarik Perdagangan Beras Antarpulau ~

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Saluran Distribusi Beras di Sulawesi Selatan 12

Gambar 2. Fenomena Perdagangan Antar daerah Analisis Partial Equilibrium ~ 17 Gambar 3. Gains Fron Trade (General Equilibrium) ~ 19 Gambar 4. Kerangka Pikir

Perpektif Perdagangan Beras Antarpulau ~ 45

Gambar 4.1. Rata-Rata Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Menurut Kabupaten di Sulawesi Selatan Kurun Waktu 1993-2003 ~ 63

Gambar 4.2. Fluktuasi Produktivitas Padi di Kawasan BOSOWASIPILLI dan Daerah Lainnya di Sulawesi Selatan Tahun 1994-2003 ~65

Gambar 4.3. Perkembangan Surplus Beras dan Pengiriman Beras Antarpulau Sulawesi Selatan tahun 1995-2003 ~ 71

Gambar 4.4. Indeks LQ dan Tingkat Produksi dan Pertumbuhan Produksi Padi MasingMasing Provinsi di Indonesia Tahun 2003 ~ 79

Gambar 4.5. Perkembangan Pengiriman Beras setiap Bulan di Sulawesi Selatan Tahun 1991-2004 ~ 83

Gambar 4.6. Volume Pengiriman Beras Dari Pelabuhan Parepare Dan Makassar Menurut Daerah Tahun 2003-2004 ~ 86

Gambar 4.7. Perkembangan Rata-Rata Bulanan Harga Beras Konsumen di Berbagai Daerah di Indonesia, Tahun 2003-2004 ~ 97

Gambar 4.8. Perkembangan Rata-Rata Bulanan Harga Beras Konsumen Menurut Jenis Varietas Beras di Sulawesi Selatan 2002-2004 - 98

Gambar 4.9. Perkembangan Pengiriman Bulanan Beras Dolog Menurut Daerah Tujuan Tahun 2002-2004 – 116

(18)
(19)

BABI

KENGGULAN KOMPARATIF BERAS

SULSEL SEBUAH PENGANTAR AWAL

A. Perberasan dalam Perekonomian Nasional

Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang strategis dalam kerangka pembangunan nasional, karena memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yakni sebesar 15,94 persen, dan sebagai penyerap tenaga kerja terbesar dari total lapangan kerja nasional sebesar 44,34 persen (BPS Indonesia, 2002). Bahkan banyak kalangan, sektor ini dinilai mencatat beberapa keberhasilan di antaranya, turut memberikan kontribusi besar dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I yakni sekitar ratarata 7,2 persen per tahun.

Dalam subsektor tanaman pangan kebijakan harga dan distribusi beras yang terkendali juga dipandang turut memberikan kontribusi yang signifikan dalam menekan laju inflasi, sementara dari aspek produksi, melaiui gerakan "revolusi hijau" dengan paket intensifikasi subsektor tanaman pangan mampu menciptakan peningkatan produksi dan produktivitas beras nasional.

Data menunjukkan laju pertumbuhan produksi beras nasional yang tinggi terutama terjadi pada periode 19791983 yakni ratarata 7,73 persen dan laju pertumbuhan produktivitas mencapai 6,61 persen per tahun (Simatupang,1999), sehingga pada periode ini, sub sektor pertanian tanaman pangan diakui secara luas mencatat keberhasilan gemilang dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, dan keberhasilan ini mengantar Presiden Rl, Soeharto menerima penghargaan FAO pada konferensi pangan tingkat tinggi di Roma, Italia. (Arifin, 2004:7).

(20)

Belajar dari perjalanan panjang proses pembangunan nasional, tampaknya keberhasilan sektor pertanian yang pernah dicapai, belum bermuara pada peningkatan kesejahteraan, sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Hal ini terlihat dari rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yakni secara nasional hanya Rp. 1,69 juta per TK/thn, sedangkan produktivitas TK sektor lainnya ratarata Rp. 4,66 juta per TK/thn (BPS, 2003). Bahkan berdasarkan data Susenas tahun 1999, tercatat bahwa sektor pertanian menampung 55,26 persen dari total poverty insidence di Indonesia, dan dari jumlah tersebut proporsi terbesar (75,29 persen) merupakan petani tanaman pangan.

(21)

kesuburan sumberdaya lahan pertanian sehingga mengancam sustainability sumberdaya pertanian (Soepardi, 2000).

Dengan demikian pembangunan pertanian tanaman subsektor pangan, khususnya tanaman padi menghadapi tantangan yang cukup besar. Tantangan tersebut bukan saja bersumber dari sisi suplai, tetapi juga dari sisi permintaan, baik kecenderungan domestik maupun kecenderungan global, Dari sisi demand tantangan ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, sehingga memberikan konsekuensi logis dibutuhkannya jumlah produksi yang lebih banyak dan kualitas produksi yang lebih baik.

Tantangan lain dari sisi ini adatan ciri permintaan yang bersifat inelastis1 (sebagai konsekuensi dari beras sebagai pangan pokok 90 persen penduduk) sehingga harga dapat melambung tinggi pada masamasa sulit memperoleh beras. Namun peningkatan harga konsumen seperti ini biasanya tidak diikuti oleh harga di tingkat produsen, dengan kata lain, elastisitas transmisi harga dari konsumen ke produsen sangat kecil, (Arifin,2004: 94). Penyebabnya adalah tidak saja berkaitan ciri suplai respons yang lamban, tetapi juga sistem pemasaran dengan mata rantai yang panjang serta struktur pasar yang belum kompetitif.

Dari sisi lain suplai beras dalam negeri bersifat musiman, tidak merata sepanjang tahun. Fluktuasi produksi ini akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga yang menyebabkan petani cenderung menerima harga yang tidak wajar. Walaupun sesungguhnya pemerintah telah menerapkan kebijakan harga, yang bertujuan melindungi petani, namun sejak pertengahan 80 an harga dasar gabah tidak dapat dinikmati secara efektif oleh petani (Supriyati et.al., 1998).

Sementara di lain pihak harga berbagai faktor produksi yang terus meningkat menyebabkan nilai tukar petani (term oftrade) yang semakin mengecil. Selain itu terbatasnya infrastruktur, buruknya sistem distribusi, lemahnya kelembagaan petani, serta absorpsi teknologi yang rendah menyebabkan nilai tambah serta efisiensi produksi dan pemasaran

belum mampu diciptakan, sehingga petani tetap diposisikan sebagai pihak yang lemah dalam tawar menawar.

(22)

produksi tetapi juga tentang kualitas produksi, yang mampu berkompetisi.

Dari uraian di atas tergambar bahwa pembangunan pertanian tanaman pangan khususnya beras yang diharapkan bermuarah pada peningkatan kesejahteraan petani, serta menjadi landasan perekonomian Regional dan Nasional yang kuat. Hal seperti itu memerlukan kebijakan yang tepat tidak hanya dalam bidang produksi dan pemasaran, tetapi juga tidak kalah pentingnya dalam upaya meningkatkan kualitas produksi dengan biaya produksi yang rendah sehingga memiliki daya saing dalam rangka mengantisipasi pasar global dan tuntutan pasar domestik.

(23)

B. Perkembangan Perdagangan Beras Sulsel

Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional, dan secara historis masyarakat Sulawesi Selatan sejak abad XVI sudah melakukan aktivitas perdagangan antarpulau termasuk perdagangan beras, melalui pelabuhan Makassar dan Parepare (Padindang, 1989). Dalam aktivitas perdagangan antar pulau, daerah ini telah mensuplai kebutuhan beras ke berbagai wilayah, khususnya di KTI seperti Kalimantan, NTT, NTB, Sultra, Ambon, Papua, dan lain-lain baik melalui mekanisme distribusi Dolog (mekanisme Movenas), maupun melalui aktivitas perdagangan antarpulau yang diperankan oleh swasta.

Bahkan saat ini dapat menembus pasar beras Pulau Jawa yang selama ini menyandang predikat sebagai daerah yang memiliki produktivitas tertinggi penghasilan beras. Tercatat pada tahun 2000 jumlah beras yang diperdagangkan antarpulau mencapai 291.679 ton dan pada tahun 2003 berjumlah sekitar 350.000 ton, sedangkan distribusi oleh Dolog melalui mekanisme Movenas sebanyak 100.000 ton pada tahun 2001.

Aktivitas perdagangan antarpulau beras dari Sulawesi Selatan yang sudah berkembang sejak abad XVI, secara sepintas memang sangat memungkinkan, karena daerah ini ditunjang oleh faktor endowment berupa tersedianya sumberdaya lañan pertanian yang cukup besar dan subur sehingga mampu menghasilkan surpuls beras sekitar 1,1 juta ton per tahun (BPS Sulsel, 2001). Juga ditunjang oleh posisinya yang strategis sebagai pintu gerbang perdagangan di KTI yang dilengkapi infrastruktur perdagangan yang cukup memadai.

Selain itu karakter masyarakatnya dikenal sejak lama memiliki jiwa saudagar, bahkan sejarah mencatatnya bahwa aktivitasnya pernah mencapai hingga ke Madagaskar. Dari semua faktor tersebut telah banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam mendorong intensitas perdagangan antarpulau.

Perdagangan beras antarpulau ini tentunya, turut memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan, mengingat perekonomian daerah ini memang masih bertumpu pada nilai tambah

sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Selatan sebesar 38,15 persen, dan dari total sumbangan sektor pertanian tersebut sekitar 63,69 persen disumbangkan subsektor tanaman pangan.

(24)

Tabel 1 Kontribusi Sektor Utama (Leading Sectors) pada PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, 1993-2002 Perd.Htl, Rest 16,19 14,76 16,8 16,81 18,19 Jasa-jasa lain 12,18 11,48 11,46 12,63 12,05 Ind. Peng. 11,63 11,43 12,61 12,94 12,54

Angk.& kom 5,76 6,00 7,75 7,94 8,57

Sulsel 83,91 82,25 85,13 85,16 84,89

Sumber: BPS Sulawesi Selatan.

Perubahan yang terjadi dalam struktur perekonomian Sulawesi Selatan menunjukkan semakin pentingnya peran sektor perdagangan. Peran sektor perdagangan ini menjadi sangat penting tidak hanya dalam mendorong mobilitas sumberdaya antardaerah tetapi juga menciptakan nilai tambah komoditas yang diperdagangkan serta menciptakan lapangan kerja.

Data statistik menunjukkan bahwa selama tahun 1995-1999, sektor perdagangan merupakan penyerap tenaga kerja terbesar kedua setelah sektor pertanian yakni berkisar 14,0116,31 persen dari total tenaga kerja yang diserap pasar. Dengan demikian tergambar jelas bahwa aktivitas produksi pertanian (terutama produksi padi) serta aktivitas perdagangan termasuk, perdagangan berassecara domestik dan antarpulau memberikan

C. Mencari Jawab Keunggulan Komparatif Beras Sulsel

Sektor pertanian dan sektor perdagangan, sesungguhnya memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, namun kinerja kedua sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lamban dibandingkan dengan sektor lainnya dalam perekonomian Sulawesi Selatan. Selama periode 1993-2002 sektor pertanian tumbuh ratarata 2,98 persen per tahun, dan sektor perdagangan tumbuh ratarata 6,59 persen per tahun sedangkan pertumbuhan PDRB Sulawesi Selatan tumbuh ratarata 4,77 persen per tahun.

Bahkan dalam periode 1997-2003 yang dikenal sebagai periode krisis ekonomi yang diawali dari krisis moneter berupa anjloknya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (exchange rate). Periode ini sesungguhnya menguntungkan sektor pertanian dan dapat menggairahkan kegiatan perdagangan ekspor, karena daya saing komoditas pertanian secara relatif justru meningkat. Namun kenyataannya pertumbuhan kedua sektor tersebut justru lebih kecil dari pada pertumbuhan periode sebelumnya.

(25)

di sektor ini serta mengentaskan penduduk miskin khususnya yang berada di subsektor tanaman pangan.

Ketidakmampuan sektor pertanian menjadi motor penggerak perekonomian Sulawesi Selatan, tentu salan satu penyebabnya adalah pola dan struktur keterkaitannya yang lemán dan tidak berimbang baik keterkaitan sektoral, maupun keterkaitan spatial/regional. Akibatnya sektor pertanian tidak mampu menciptakan spread effect2secara

sektoral maupun secara spatial, justru yang terjadi adalah terciptanya backwash effece sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin kecil dan semakin banyak penduduk miskin terutama di subsektor tanaman pangan serta semakin terjadinya degradasi berbagai sumberdaya pertanian.

Menurut Arifin (2004: 2) bahwa indikasi fase buruk sektor pertanian sebenarnya telah muncul sejak 1990an ketika kebijakan teknokrasi pembangunan ekonomi mengarah pada strategi industrialisasi footloose3 secara besarbesaran. Berbagai proteksi untuk sektor industri memang mendorong pertumbuhan pesat sektor ¡ni, namun merapuhkan basis pertanian di tingkat paiing dasar (petani di pedesaan). Menurutnya dampak paiing buruk proses industrialisasi adalah tidak meratanya pembangunan antara pedesaan dan perkotaan, bahkan antara Jawa dan luar Jawa secara umum. Gambaran ini menunjukkan bahwa, bagaimana kebijakan makro ekonomi selama fase dekonstruksi pertanian, karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan (ignorance) dalam periode 1986-1997 (Arifin,2004 p 8). Sektor pertanian yang berbasis di pedesaan diacuhkan, bahkan mungkin "terkuras" demi mewujudkan proses industrialisasi di perkotaan. Guna menghindari proses backwash effect yang berlarutlarut, maka sektor pertanianpedesaan harus mampu memiliki keterkaitan yang bersifat simetris (kuat dan berimbang) membentulk hubungan mutualisme yang saling menguntungkan sehingga hargaharga (term of trade) antar komoditas dan antarwilayah menjadi lebih berimbang.

Membangun sektor pertanian yang memiliki keterkaitan kuat dan berimbang secara sektoral maupun secara regional bukanlah hal yang mudah, karena hal tersebut berkaitan dengan kemampuan membangun daya saing tidak hanya dalam pasar domestik, tetapi juga dalam pasar antarpulau dan pasar global. Membangun pertanian, khususnya komoditas beras yang berdaya saing (murah, kualitas, dan aksesibilitas) tentulah menghadapi banyak tantangan karena terkait banyak faktor dan multidimensional.

(26)

tercapai. Hal ini tentu akan berdampak pula terhadap rendahnya daya saing produksi beras dari segi harga dan kualitas.

Efisiensi pemasaran juga tampaknya belum mampu diwujudkan oleh lembaga-lembaga pemasaran, baik karena terkait struktur pasar yang tidak kompetitif, juga terkait dengan faktor lainnya seperti infrastruktur pemasaran yang belum memadai, hambatan tarlf dan non tarif di berbagai daerah yang menyebabkan munculnya biayabiaya transaksi yang tidak seharusnya sehingga mengarah terciptanya pemasaran biaya tinggi [hight cost). Kondisi ini menyebabkan harga komoditas beras menjadi lebih tinggi sehingga tidak kompetitif dalam perdagangan antarpulau.

Daya saing komoditas beras dalam perdagangan antarpulau juga terkait dengan kondisi pasar global. Terbukanya peluang beras impor masuk dalam pasar domestik menyebabkan beras impor yang murah membanjiri pasar domestik sehingga wilayah pemasaran komoditas andalan Sulawesi Selatan ini menjadi menyempit. Akibat penyempitan pasar tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap turunnya aktivitas perdagangan beras antarpulau, tetapi juga berdampak pada iklim usaha perberasan yang kurang sehat di Sulawesi Selatan baik di tingkat petani, pedagang pengumpul, penggilingan maupun di pedagang besar, dan pedagang antarpulau.

Pada tahun 1995 perdagangan beras antarpulau, mendekati 1 juta ton (Fajar. 1 November 2003), akan tetapi sejak di bukanya kran impor pada tahun 1999 menyebabkan volume perdagangan beras antarpulau turun secara tajam. Pada tahun 2000 volume perdagangan beras antarpuiau hanya sebesar 291.679 ton dan pada tahun 2003 sekitar 350.000 ton, baik melalui mekanisme Dolog (movenas) maupun melalui sektor swasta. Statistik pengiriman beras antar pulau dari Provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan pengiriman beras selama periode 1990-2001 mengalami pertumbuhan negatif sebesar (32,46 persen)

Tabel 2. Perkembangan Pengiriman Beras Antarpuiau Provinsi Sulawesi Selatan Periode 1990-2001

(27)

Sumber; Dinas Pertanian Proplnsi Sulawesi Selatan, 2002

Berdasarkan gambaran kinerja perdagangan beras antarpuiau Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa dalam kondísi pasar beras antarpuiau yang terbuka (kompetitif), maka pasar beras Sulawesi Selatan ke berbagai pasar tradisionalnya dengan tujuan antar pulau menyempit. Penyempitan pasar ¡ni, mengindikasikan lemahnya daya saing beras Sulawesi Selatan dalam kondísi pasar yang kompetitif. Dengan demikian, maka benang merah permasalahan sektor perberasan di Sulawesi Selatan adalah rendahnya daya saing komoditas beras (tidak kompetitif dari segí harga dan kualitas) dalam pasar domestik maupun dalam pasar antarpuiau sehingga komoditas iní belum mampu memberi nilai tambah (manfaat) yang signifikan terhadap perekonomian Sulawesi Selatan.

Untuk mengatasi hal tersebut, tentu perlu pengkajian secara mendalam dan komprehensif mengenai aspek daya saing komoditas beras dalam pasar antarpuiau. Daya saing yang tinggi apabila memilikl kemampuan mendayagunakan keunggulan komparatifnya serta menghasílkan produk yang sesuai dengan preferensi konsumen (Saragih, 2001: 85), serta tidak adanya hambatanhambatan dalam pemasarannya (Salvatore, 1997:27).

Keunggulan komparatif yang dimaksud adalah mampu mendayagunakan potensinya untuk menjamin ketersediaan beras secara tepat jumlah dan tepat waktu. Kesesuaian preferensi konsumen yang dimaksud adalah kemampuan menghasílkan beras yang memiliki kualitas dan harga yang sesuai selera konsumen, tidak adanya hambatan pemasaran dimaksudkan untuk menjamin lancarnya aktivitas perdagangan ke berbagai daerah tujuan (aksesibilitas tinggi) serta mampu menjamin stabilitas harga.

(28)

Gambar 1. Saluran Distribusi Beras di Sulawesi Selatan dan Indonesia

Setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam mata rantai perdagangan beras di Sulawesi Selatan ini, termasuk petani, tentulah turut berkontribusi untuk menentukan daya saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar beras antarpulau. Dukungan agroekologi serta kemajuan teknologi di tingkat petani mendorong peningkatan efisiensi produksinya sehingga beras dapat diproduksi dengan "harga pokok" yang rendah (keunggulan komparatif), infrastruktur pengolahan beras juga merupakan oosisi kunci dalam menghasilkan "kualitas beras" yang sesuai dengan preferensi konsumen.

Demikian pula pedagang perantara lainnya dengan manajemen pemasaran yang baik serta dengan jaringan bisnis dan informasi yang luas sangat mendukung daya saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar beras antarpulau. Demikian rendahnya pungutan-pungutan yang tidak perlu (transaction cost) sehingga "efisiensi pemasaran" dapat diwujudkan untuk meningkatkan daya saing beras dalam perdagangan beras antarpulau.

Kajian daya saing beras Sulawesi Selatan dalam pasar antarpulau

(29)

kemampuan komoditas. Hal ini untuk memenuhi preferensi konsumen yang tercermin dari kemampuan memperluas pasarnya, serta kajian secara seksama berbagai hal yang dapat menghambat dan menyebabkanterjadinya marketfailure sehingga proses pemasarannya menjadi tidak efisien.

Aspek pemasaran ini tidak hanya berkaitan struktur pasar, tetapi juga berkaitan dengan pe rila ku pedagang yang terlibat dalam mata rantai

pemasaran, serta aspekaspek lainya yang dapat meningkatkan biaya-biaya transaksi (transaction cost) sehingga pemasaran menjadi tidak efisien dan dapat menurunkan daya saing komoditi beras dalam perdagangan antarpulau. Berdasarkan uraian panjang tersebut, maka permasalahan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut.

Sulawesi Selatan sebagai penghasil surplus beras yang besar di KTI, berpotensi untuk memberi kontribusi besar dalam perekonomian daerah, melalui aktivitas perdagangan beras antar pulau. Akan tetapi volume perdagangan beras antarpulau mengalami kemerosotan. kemerosotan ini terutama terjadi karena adanya penyempitan pasar beras Sulawesi Selatan di berbagai pasar antar pulau sejak terbukanya kran Impor beras di tahun 1988.

Penyempitan pasar tersebut sekaligus menunjukkan rendahnya daya saing beras Sulawesi Selatan di berbagai pasar beras antarpulau dalam kondisi pasar yang kompetitif. Ketidak mampuan beras Sulawesi Selatan untuk berkompetisi ini, disebabkan beberapa faktor yakni (1) Keunggulan komparatif Sulawesi Selatan dalam menghasilkan beras tidak dapat dimanfatkan secara optimal sehingga efisiensi produksi belum mampu diwujudkan, yang kemudian berdampak pada harga pokok beras yang kurang kompetitif. (2) Kualitas beras Sulawesi Selatan belum mampu memenuhi tuntutan konsumen dan (3) efisiensi pemasaran belum mampu diwujudkan.

Ketidak efisienan pemasaran ini, tidak hanya berkaitan besamya margin pemasaran, sehingga harga beras Sulawesi Selatan kurang kompetitif, tetapi juga berkaitan struktur pasar yang oligopolis sehingga petani pun diposisikan sebagai pihak yang lemah dalam mata rantai pada pendapatan petani yang tetap rendah, tetapi juga berdampak pada kurang bergairahnya ekonomi pedesaan sehingga mempengaruhi perekonomian Sulawesi Selatan secara keseluruhan.

Dengan menganalisis secara tajam pada aspekaspek tersebut diharapkan dapat menjawab tingkat daya saing komoditas beras dalam perdagangan antarpulau sekaligus memberi indikator arahan (strategi pengembangan daya saing) agar usaha perberasan di Sulawesi Selatan sebagai salah satu komoditas andalan dapat memberikan kontribusi yang bermakna bagi perekonomian Sulawesi Selatan.

Mengetahui permasalahan di atas perlu dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(30)

keunggulan komparatif dalam perdagangan beras antarpulau?

- Pertanyaan khusus (a) Apakah beras memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di Sulawesi Selatan dibandingkan komoditas tanaman pangan lainnya?

- Pertanyaan khusus (b) Apakah Sulawesi Selatan memiliki keunggulan komparatif menghasilkan komoditas beras dibandingkan provinsiprovinsi lainnya di Indonesia?

Pertanyaan umum 2: Bagaimana kinerja perdagangan komoditi beras Sulawesi Selatan di pasar daerah tujuan antarpulau?.

- Pertanyaan khusus (a) Bagaimana pangsa beras Sulawesi Selatan pada setiap pasar daerah tujuan antarpulau dibandingkan pangsa beras yang di perdagangkan provlnsiprovpinsi lainnya

- Pertanyaan khusus (b) Apakah komoditas beras Sulawesi Selatan memiliki penyebaran pasar antarpulau atau hanya terkonsentrasi pada satu atau beberapa pasar saja?

Pertanyaan umum 3: Apakah tataniaga beras Sulawesi Selatan secara domestik dan antarpulau sudah efisien?

- Pertanyaan khusus (a) Seberapa besar perubahan haiga di tingkat konsumen dapat ditransmisikan ke harga tingkat produsen?

- Pertanyaan khusus (b) Apakah harga konsumen beras pada masingmasing daerah tujuan perdagangan beras antar pulau dapat ditransmisikan secara sempurna ke pasar beras Sulawesi Selatan?

- Pertanyaan khusus (c) Apakah struktur pasar dalam perdagangan beras mengindikasikan adanya kekuatan oligopsonis sehingga pemasaran beras tidak efisien?

(31)

BAB II

TINJAUAN TEORI PERDAGANGAN

BERAS ANTARULAU DAN

KEUNGGULAN KOMPARATIF

A. Perdagangan Antardaerah dan Faktor Determinannya

Teori ekonomi klasik menjelaskan bahwa pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Bekerjanya mekanisme pasar didorong oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran pada setiap wilayah (Sobri, 2001:23). Perbedaan kuantitas permintaan (berdasarkan tingkat kualitas tertentu suatu barang) disebabkan oleh sejumlah faktor determinan seperti jumlah penduduk, pendapatan, kesukaan dan sebagainya. Perbedaan penawaran disebabkan oleh ketidaksamaan faktorfaktor produksi, kondisi geografis, dan budaya masyarakat.

Perbedaan tingkat permintaan dan penawaran suatu komoditasyang menyebabkan terjadinya perdagangan antardaerah berkisar pada tiga faktor utama yaitu: (1) perbedaan tingkat kelangkaan barang (scarcity), (2) perbedaan faktor produksi perbedaan faktorfaktor produksi yang menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas di tiap daerah dan. (3) perbedaan harga komparatif barang (Sobri, 2001: 6).

Perbedaan ketiga faktor tersebut pada setiap- wilayah, sekaligus mencerminkan adanya perbedaan keunggulan komparatif (comparative adventages) pada masingmasing wilayah dalam menghasilkan barang tertentu. Keunggulan komparatif ditentukan oleh adanya perbedaan limpahan faktorfaktor seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi sehingga setiap daerah masing-masing dapat menghasilkan barang tertentu secara leblh produktif dibandingkan daerah lainnya. Perbedaan kelangkaan faktorfaktor tersebut sekaligus mempengaruhi perbedaan harga faktor dan harga barang pada masingmasing daerah yang mendorong terjadinya perdagangan antar daerah secara menguntungkan (Meier, 1995).

Menurut Kasliwal, (1995: 205) bahwa teori perdagangan yang didasarkan pada doktrin keunggulan komparatif, memiliki implikasi bahwa Selama terjadi perbedaan karakteristik permintaan dan penawaran yang tercermin dari perbedaan harga sebelum autarchy sebelum perdagangan maka arus perdagangangan akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan harga untuk semua daerah (equilibrum) dari masingmasing daerah memperoleh keuntungan dari kegiatan perdagangan tersebut (gains from trade).

(32)

Kasliwal, Kasliwal (1995: 206) dengan menggunakan análisis keseimbangan partial (partial equfflbrium),seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Fenomena Perdagangan Antardaerah: Analisis Partial Equilibrium

Dalam konteks perdagangan beras antardaerah, gambar 2.1 menjelaskan bahwa perdagangan beras antardaerah didorong oleh adanya perbedaan harga relatif antara dua daerah (Adán B), yaitu beras yang mengalir dari daerah surplus (A) memiliki harga

lebih rendah (PA). Sebelum perdagangan autarchy ke daerah defisit (B) yang memiliki

bargaautarchy yang lebih tinggi (PB). Arus perdagangan ini akan terus berlanjut hingga terjadi kesamaan barga pada tingkat P, Posisi keseimbangan pada masingmasing daerah berubah dari keseimbangan autarchy c¡¡ posisi Z ke posisi perdagangan di T, yang menghasilkan kesejahteraan sosial (social welfare) yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam triangulas! (ZTW), yaitu surplus produsen dan surplus konsumen

meningkat dibandingkan dengan posisi original pada masingmasing harga autarchy PA

dan PB.

Berdasarkan uraían tersebut, maka dilihat dari sudut pandang teori terjadinya perdagangan beras Sulawesi Selatan ke berbagai daerah tujuan secara umum ditentukan oleh adanya perbedaan permintaan dan penawaran beras yang tercermin dari adanya perbedaan harga di pasar beras Sulawesi Selatan dengan pasar di daerah tujuan, khususnya di Wilayah KTI seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Maluku, Papua dan lainnya. Bila dilihat sudut permintaan perdagangan beras itu di ditentukan oleh besarnya kelangkaan beras di daerah tujuan, daya beli konsumen, harga beras di daerah tujuan, serta selera konsumen.

Selanjutnya, bila dilihat dari sudut penawaran ditentukan oleh dukungan penggunaan faktor produksi terutama lahan dan tenaga kerja, modal dan teknologi sehingga menghasilkan surplus produksi, ketersediaan infrastruktur perdagangan, dan kelembagaan pemasaran. Selain itu kebijakan pemerintah dalam distribusi turut mempengaruhi perdagangan beras antarpulau. Dengan adanya perbedaan karakteristik

permintaan dan penawaran beras tersebut, yang mendorong terjadinya arus

(33)

surplus konsumen sebagai pencerminan adanya manfaat perdagangan (gainsfrom trade).

Kegiatan perdagangan antardaerah memiliki peran yang sangat penting dalam menggerakkan perekonomian suatu daerah. Perdagangan antardaerah memungkinkan barang yang diproduksi di suatu daerah dapat bergerak ke daerah lain yang membutuhkannya, sekaiigus menghindarkan terjadinya surplus suatu barang di suatu daerah

perdagangan antardaerah tidak hanya dilihat dari sisi bagaimana arus barang dan jasa diperdagangkan. Namun juga dapat dilihat dari permanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada di suatu daerah serta bergeraknya sistem perekonomian pada semua lapisan wilayah di daerah tersebut, (Ubaidillah, 2002).

Perdagangan hasil bumi atau hasil industri dari sentra produksinya, akan membuka kesempatan kerja [employment creation) dan peningkatan pendapatan (income generating) bukan hanya bagi petani/ produsen dan pedagang pengumpul, namun juga membuka kesempatan kerja dan pendapatan bagi pedagang antardaerah, antarpulau dan pengecer di daerah tujuan.

Dengan demikian kegiatan perdagangan yang di dasarkan pada keunggulan komparatif wilayah, akan meningkatkan kesejahteraan (social welfare) pada masingmasing daerah. Setiap daerah dapat menkonsumsi barang lebih besar dari kemampuan originalnya dalam memproduksi barang tersebut, serta masingmasing daerah dapat mencapai skala produksi yang efisien sesuai dengan keunggulan komparatif yang dlmilíkinya (Kasliwal, 1995; Krugmen dan Obstfeld, 2002). Dengan

menggunakan análisis keseimbangan umum {general equilibrium), Kasliwal, (1995:

205) menunjukkan keuntungan perdagangan(gains from trade) seperti pada gambar 22

(34)

Dalam konteks perdagangan beras antarpulau, dengan asumsi bahwa Sulawesi Selatan dikaruniai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melimpah sehingga dapat menghasilkan barang X (beras) yang relatif lebih murah dibandingkan menghasilkan barang Y (padat modal). Sebelum kegiatan perdagangan (autarchy), maka harga relatif dalam menghasilkan kedua barang di Sulawesi Selatan, ditunjukkan oleh term of trade (TOT 5), sehingga kombinasi óptima I untuk kedua barang terjadi di titik A pada Kurva Kemungkinan Produksi (KKP). Tetapi dengan terbukanya pintu pedagangan beras antar daerah, maka harga beras yang lebih tinggi di daerah lain

ditransmisikan ke daerah Sulawesi Selatan sehingga term oftrade berubah seperti

(TOT2) yang berdampak meningkatnya skala usaha (economic of scale) untuk

menghasilkan barang X (beras) di titik B dan keseimbangan konsumsi meningkat di titik C dengan social welfare yang lebih tinggi (IC2) dibanding keseimbanganautarchydi ICL

Dengan asumsi bahwa pasar bekerja secara sempurna, maka keseimbangan produksi dan konsumsi setelah perdagangan mengisyaratkan bahwa Sulawesi Selatan akan mengekspor beras sebesar BD dan mengimpor barang Y sebesar CD.

Berdasarkan análisis keseimbangan umum, maka manfaat perdagangan tersebut hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua asumsi utama yakni: (1) Kegiatan perdagangan didasarkan pada keunggulan komparatif masingmasing daerah dan (2) Pasar berkerja secara sempurna, sehingga harga dapat ditransmisikan secara sempurna pula. Kedua asumsi tersebut, sekaligus menjadi syarat suatu komoditas memiliki daya saing(competitiveness)dalam kondisi pasar yang bersaing (Gonarsyah, 2004 ).

Syarat pada poin kedua tersebut menekankan tidakterjadinya distorsi pasar dalam perdagangan beras, yakni harga di pasar beras Sulawesi Selatan merupakan transmisi harga dari pasar daerah tujuan perdagangan beras sehingga harga pada kedua pasar tersebut berintegrasi. Transmisi harga dan integrasi pasar, menandai terjadinya struktur pasar yang kompetitif, informasi pasar yang sempurna, serta tidak adanya biaya-biaya transaksi yang mendistorsi harga pasar (Goletti, at.al, 1995).

Dengan demikian hambatan-hambatan perdagangan yang mendistorsi salah satu

faktor penentu daya saing (competitiveness) suatu komoditas dalam perdagangan

antardaerah (Salvatore, 1997; Ubaidillah, 2002). Lebih lanjut diuraikan bahwa

peningkatan biaya transaksi (transaction cost) akan mengurangi pendapatan yang

diperoleh pelaku usaha, menyebabkan efisiensi dan menurunkan daya saing

(competitiveness)produk yang diperdagangkan.

Biaya transaksi dalam perdagangan dapat bersumber dari : (1) buruknya kondisi infrastruktur jalan, sarana pelabuhan, dan alat transfortasi), (2) pihak swasta

(35)

B. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif merupakan teori yang dikembangkan untuk menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan. Prinsip teori ini menyatakan bahwa apabila sumberdaya dapat berpindah antarnegara, maka penduduk pada suatu wiiayah akan mengkhususkan diri pada komoditas-komoditas yang dapat mereka olah secara relatif lebih efisien.

Efisiensi relatif ditentukan oleh opportunity cost, yaitu hilangnya sejumlah unit komoditas atau jasa karena berkonsentrasi pada komoditas tertentu. Setiap negara tidak mungkin memiliki opportunity cost yang sama. Bila sebuah negara menghasilkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kemudian memperdagangkannya dengan komoditas lain dari negara luar, maka spesialisasi dan perdagangan tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak (Blair, 1991).

Teori perdagangan yang didasarkan doktrin keunggulan komparatif berimplikasi bahwa perdagangan akan selalu menguntungkan bahkan ketika sebuah negara dapat memproduksi semua komoditas secara lebih murah dibandingkan semua negara lain (Kasliwal, 1995, p205). Lebih lanjut di uraikan bahwa pada dasarnya teori perdagangan yang menjelaskan

1. Teori Perdagangan Ricardian (Paradigma Ekonomi Klasik): Teori¡ni di dasarkan pada teori nilai tenaga kerja (labor theory of valué), David Ricardo mengasumsikan bahwa perbedaan limpahan sumberdaya alam sebagai sumber perbedaan keunggulan komparatif antarwilayah dan hanya tenaga kerja yang merupakan faktor utama dalam proses oroduksi. Produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam

(endowment)menentukan kombinasi maksimum dari barang yang dapat diproduksi suatu daerah (Kasliwal, 1995:207).

David Ricardo berpendapat bahwa di dunia ini pada satu pihak terdapat negara yang faktorfaktor produksinya, seperti tenaga kerja dan alam lebih menguntungkan, dan di lain pihak ada negara yang faktorfaktor produksinya kurang menguntungkan dibandingkan negara pertama sehingga dalam menghasilkan beberapa barang negara pertama lebih unggul dan lebih produktif dibandingkan negara kedua, bahkan negara kedua itu tertinggal dalam menghasilkan beberapa barang tertentu. Dengan demikian menurut konsep perbedaan biaya mutlak (Adam Smith), kedua negara itu tidak dapat mengadakan pertukaran atau perdagangan. Akan tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia dapat juga ikut serta dalam perdagangan internasional asalkan setiap negara yang berdagang itu dapat

mengkhususkan dirinya dalam memproduksi sejenis barang yang paling

menguntungkan (Sobri, 2001).

(36)

melainkan dengan adanya perbedaan biaya komparatif (yang menimbulkan keuntungan komparatif), akan memberikan keuntungan pada masingmasing daerah yang melakukan kegiatan perdagangan.

Teori ini dikeritik dari asumsinya bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam comparatíve advantage itu karena adanya perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama dengan Oleh karena, itu syarat timbulnya perdagangan antarnegara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun teori ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Tenaga kerja bukanlah satusatunya faktor produksi dan tenaga kerja tidak digunakan dalam pangsa yang tetap dan sama untuk semua jenis barang (Nopirin, 1997). Walaupun demikian David Ricardo dikenal sebagai penemu teori perdagangan internasional modern (Helawani, 1993).

2. Teori Perdagangan Neoklasik oleh Heckscher dan Ohlin (1930an)

Teori ini juga dikenalteori proporsifa ktor yang menyoroti perbedaan kelangkaan (scarcity) relatif dari produtivitas faktor K (capital) dan L (labor) yang mempengaruhi perbedaan harga faktor P /PL yang berlaku dan mempengaruhi biaya produksi, serta

berpengaruh pada harga produk (Kasliwal, 1995:211). Heckscher dan Ohlin beranggapan bahwa perdagangan antardaerah itu sesungguhnya adalah masalah harga. Harga suatu barang itu terjadi karena ada permintaan dan penawaran. I'orbedaan harga inilah yang menjadi dasar terjadinya perdagangan iintardaerah yang disebabkan perbedaan komposisi dan proporsi i.iktorfaktor produksi yang dimiliki oleh negaranegara di dunia ¡ni (Sobri, 2001: 6).

Implikasi pentingdari teori ini adalah bahwa setiap negara hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barangbarang sesuai dengan kollmpahan karunia sumberdaya yang dimiliki. Negara yang memiliki kellmpahan faktor tenaga kerja hendaknya melakukan spesialisasi dan mengekspor barangbarang yang produksinya

bersifat padat karya (labor Intensive), sedangkan negaranegara yang memiliki

kelimpahan faktor modal hendaknya memproduksi dan mengekspor barangbarang yang produksinya bersifat padat modal(capital Intensive).

Teori HeckscherOhlin juga memperkenalkan/octorpr/ce equalization Ihrorem, yang

menyatakan bahwa perdagangan yang bebas antara dua negara cenderung akan menyamakan bukan hanya harga barangbarang y«ng diperdagangkan saja, melainkan juga harga faktor produksi yang homogen pada kedua negara tersebut.

3. Teori Perdagangan Modern : Dynamic Comparative Adventage oleh Paul R.

(37)

produksi sebagai sumber keunggulan komparatif. Negara memiliki keunggulan komparatif dalam industri sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang pasti atas pengaruh teknologi (Meier, 1995; Kasliwal, 1995:211).

Akan tetapi menurutnya, teknologi mengalami perubahan dan penyebaran yang cepat sehingga inovasi baru (produk) yang didasarkan pada teknologi baru yang pada awalnya mampu memiliki posisi monopoli dan kemudahan mengakses pasar luar, namun lambat laun gap teknologi akan semakin lipis antarperusahaan (daerah) sehingga produk cepat mencapai tahap kejenuhan [mature stage) dalam tahap siklus produk (product Ufe cycle).

Implikasi dari teori ini mengungkapkan bahwa keunggulan komparatif tidak statis, tetapi bersifat dinamis dan dapat diciptakan atau dikembangkan. Secara umum, perubahan keunggulan komparatif terjadi ketika faktor endowment yang dimiliki suatu daerah berubah. Jenjang perubahan keunggulan komparatif suatu daerah, diawalidari mengekspor komodítas yang dihasilkan dengan menggunakan faktor-faktor dasar (basic factors), seperti sumberdaya alam dan tenaga kerja yang kurang atau tidak

terampil (unskilled or semiskilled labor) kemudian meningkat menjadi mengekspor

komoditas yang dihasilkan dengan menggunakan faktorfaktor spesial dan maju, seperti infrastruktur komunikasi data digital modern, tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi, dan aktivitas riset dan pengembangan (R&O) (Meier, 1995).

(38)

physical capital) dalam rangka untuk keunggulan komparatif yang diciptakan ("created" comparative adventage)

Implikasi penting dari pengertian keunggulan komparatif adalah suatu negara hanya dapat mengekspor produknya ke negara lain karena mampu menghasilkan produk secara lebih murah atau lebih efisien dibandingkan daerah lain (Kasliwal, 1995, p216)

Dengan demikian konsep keunggulan komparatif pada prinsipnya inenekankan pada produksi komoditas perdagangan tertentu yang didasarkan pada limpahan faktorfaktor endowment (Sumberdaya alam, tenaga kerja, modal, dan atau teknologi) yang dimiliki wilayah sehingga dapat lebih produktif atau lebih efisien dalam menggunakan sumberdayanya dibandingkan wilayah lain. Dengan kata lain keunggulan komoditas tertentu pada suatu wilayah memungkinkan komoditas Irrsebut dapat diproduksi relatif lebih murah dibandingkan jika produksi di wilayah lain, yang berarti pula komoditas tersebut memiliki prospek untuk dapat diperdagangan ke wilayah lain yang memiliki harga relatif lebih tinggi. Semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif yang dimiliki oleh wilayah, maka semakin tinggi pula daya saing (competitiveness) komoditas yang dihasilkannya dalam perdagangan antardaerah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka tingkat keunggulan komparatif beras yang dihasilkan Sulawesi Selatan dapat menunjukkan apakah penggunaan faktorfaktor sumberdaya (empowerment) untuk menghasilkan beras digunakan relatif lebih efisien dibandingkan daerah lain. Apabila Sulawesi Selatan lebih produktif (lebih efisien) dibadingkan diierah lain, berarti beras Sulawesi Selatan memiliki prospek dan berdaya saing dalam perdagangan beras antardaerah. Sebaliknya jika kurang efisien, berarti merupakan pemborosan sumberdaya wilayah dan pemborosan ini merupakan biaya yang harus ditanggung masyarakat Sulawesi Selatan.

Model yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keunggulan komparatif beras adalah dengan menggunakan model Location Quotion (I.Q). Pada dasarnya model ini menunjukkan efisiensi relatif wilayah, karena merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor

tertentu pada suatu daerah dengan kemampuan sektor tersebut pada wilayah yang lebih lúas (Rustiadi, 2005:VI11-20).

(39)

= /

/ ………. (1)

Dimana:

Xij = Nilai produksi (tingkat produksi/penggunaan sumberdaya, misalnya

lúas lahan) komoditas ke-j di wilayah ke-i

Xi = Total Nilai produksi (tingkat produksi/penggunaan sumberdaya) di wilayah

ke-i

Xj = Total Nilai produksi (tingkat produksi/penggunaan sumberdaya) komoditas

ke-j di semua wilayah

X = Total Nilai produksi (tingkat produksi/penggunaan sumberdaya) seluruh komoditi untuk total wilayah

i = Subwilayah = 1,2,….. ………N

j = Komoditi pertanian tanaman pangan : 1, 2 . m

(40)

Menurut Winoto (1998, p34) bahwa halhal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keunggulan komparatif suatu wilayah untuk suatu komoditas tertentu adalah dengan cara mengubah atau memperbaiki komponenkomponen atau faktorfaktor yang secara langsung atau pun tidak langsung mempengaruhi keunggulan komparatif suatu wilayah.

Komponenkomponen yang mempengaruhi atau menentukan keunggulan komparatif suatu wilayah adalah : (1) sumberdaya alam dan lingkungan (2) kombinasi inputinput produksi; (3) sumberdaya manusia; (4) teknologi; (5) kelembagaan, termasuk struktur pasar dan mekanisme pembentukan harga pasar; (6) biaya transportase dan (7) kombinasi dari komponen tersebut.

C. Kinerja Perdagangan Sebagai Ukuran Daya Saing

Daya saing atau keunggulan kompetitif (competitive advantage) adalah bertujuan menganalisis kemampuan suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau di pasar global. Keunggulan kompetitif tidak lagi membandingkan potensi komoditas yang sama pada suatu daerah dengan daerah lainnya (seperti pada keunggulan komparatif), tetapi membandingkan potensi komoditas dari suatu daerah mengakses pasar global dibandingkan potensi komoditas yang sama dari semua daerah pesaingnya dalam pasar global.

Kemampuan memasarkan barang di pasar global sangat terkait dengan tingkat harga yang berlaku karena harga tersebut selalu hcrfluktuasi, sedangkan keunggulan komparatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar global tersebut. Walau demikian keunggulan komparatif dapat dijadikan peí tanda awal bahwa komoditas itu punya prospek juga memiliki keunggulan kompetitif (Tarigan, 2004).

Michael Porter, 1985; dalam Saragih (2001) mengungkapkan bahwa konsep keunggulan daya saing adalah kemampuan suatu daerah/ porusahaan untuk

mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar Hará menguntungkan dan

berkelanjutan melalui pemanfaatan ki-unggulan komparatifnya. Bahkan Cook atall (1991) memberikan Mngertian yang lebih operasional dari keunggulan daya saing yakni kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan benuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari pada yang dipasarkan pesaing dengan memperoleh keuntungan palingtidak sebesar biaya oportunitas, (opportunity cost) sumberdaya yang digunakan.

(41)

ini dapat dilihat dari beberapa pendekatan antara lain RevealedComparative advantage (RCA, dan Indeks Konsentrasi Pasar (IKP).

Pendekatan IKP dimaksudkan untuk mengetahui apakah komoditas tertentu yang dihasilkan oleh suatu daerah memiliki pasar yang terkonsentrasi pada satu pasar tertentu saja atau memiliki jangkauan pasar yang lebih lúas. Apabila pasar suatu komoditas memiliki indeks penyebaran yang tinggi berarti mencerminkan komoditas tidak terkonsentrasi pada pasar tertentu, tetapi memiliki Jangkauan pasar yang lebih lúas. IKP dirumuskan sebagai berikut

= ∑( ⁄ ) ……… (3)

mana:

IKP = Indeks Konsentrasi Pasar

Xij = Nilai ekspor komoditas i ke negara j

Xi = Nilai ekspor total komoditas i negara yang bersangkutan.

(42)

D. Integrasi Pasar

Struktur pasar yang tidak kompetitif serta hambatanhambatan perdagangan lainnya yang menimbulkan biaya transaksi (transaction cost) merupakan salah satu faktor penentu daya saing (competitiveness) suatu komoditas dalam perdagangan antardaerah (Salvatore, 1997; Ubaidillah, 2002).

Asumsi bekerjanya mekanisme pasar juga merupakan bagian dari asumsiasumsi penting teoriteori perdagangan yang dikembangkan baik konsep ekonomi klasik David Ricardo, maupun konsep Neoklasikeckscher dan Ohlin serta konsep perdagangan modern oleh Paul R. Krugman dan Michael E. Porter. Dengan asumsi ini memungkinkan sinyal harga di suatu pasar dapat ditransmisikan secara sempurna ke pasar lain yang saling berinteraksi, sehingga gains from trade dapat diwujudkan (Kasliwal, 1995, p207).

S¡matupang(1999), mengungkapkan bahwa jikadistribusi beras secara geoarafis akan

sepenuhnya diatur oleh kekuatan pasar, maka pedagang perantara akan selalu menyalurkan beras ke daerah pemasaran yang memberikan keuntungan yang lebih besar bagi pedagang. Harga beras di pasar cabang regional akan ditentukan oleh harga di pasar induk ditambah ongkos tataniaga. Secara tidak langsung pandangan ini mengungkapkan bahwa jika struktur pasar yang kompetitif dalam perdagangan beras antarpulau dapat diwujudkan, maka harga pasar regional hanyalah merupakan translasi (translation) dari harga pasar induk ditambah ongkos tataniaga. Semua harga pada kedua pasar tersebut akan bergerak secara bersamasama atau terjadi suatu integrasi pasar.

Integrasi pasar yang dapat mentrasmisikan harga secara sempurna, menandai terjadinya struktur pasar yang kompetitif, informasi pasar yang sempurna, serta tidak adanya biayabiaya transaksi yang mendistorsi harga pasar (Goletti, at.al, 1995). Karena itu integrasi pasar dapat menunjukkan tingkat efisiensi pemasaran suatu komoditas yang diperdagangkan. Integrasi pasar pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: Integrasi spatial dan integrasi vertikal.

Integrasi spatial didefinisikan sebagai suatu perubahan harga dalam suatu pasar yang direfleksikan ke dalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara grafis untuk produk yang sama, sedangkan integrasi vertikal merupakan perubahan harga pada satu pasar produk yang direfleksikan dalam perubahan harga pasar yang berbeda secara vertikal dalam mata rantai pemasaran untuk produk yang sama (Trotter, 1992).

Integrasi pasar spatial menunjukkan pergerakan harga (covement of price) dan secara umum merupakan signal dari transmisi harga dan informasi di antara pasar yang terpisah secara spatial (Goletti, al, 1995). Pasar yang tidak terintegrasi bisa membawa informasi harga yang tidak akurat yang dapat mendistorsi keputusan pasar produsen dan :kontribusi pergerakan produk menjadi tidak efisien (Suparmin, 2003).

(43)

pasarpasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus produk sehingga harga dan jumlah produk yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain.

Karena ¡tu untuk mengonsepsikan integrasi pasar spatial, model evallion dapat digunakan. Model ini dimulai dengan membangun distribusi lag autoregresi

(Autoregressive Distributed Lag) antara harga di pasar/dan harga di pasar j (pasar acuan). Distribusi lag autoregresi dirumuskan sebagai berikut:

(Pit-Pit-1) =1(Pit-Pit-1) +2(Pit-Pit-1) +3Pit-1+1Xt + µit………. (4)

Dimana:

Pit = Harga beras di tingkat pasar kei pada waktu t

Pit-1 = Lag harga di pasar kei pada waktu t

Pjt = Harga di tingkat pasar acuan kej pada waktu t

Pjt-1 = Lag harga di pasar acuan kej pada waktu t

Xt = Variabel eksogen seperti dummy faktor musiman dan peubah lain yang

relevan di pasar ¡ pada waktu t

1 = parmeter estimasl (0i = 1,2,3 )

µit = Random error

Persamaan (4) menyatakan bahwa perubahan harga pada suatu tempat adalah fungsi dari perubahan dalam selisih harga dengan pasar acuan waktu sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu yang sama dan ciriciri pasar setempat. Persamaan (4) selanjutnya dapat disederhanakan lagi berdasarkan metode Ordinary Least Square (OLS) seperti:

Pit= (1+1) Pit-1+2(Pit-Pit-1) +3Pit-1+1Xt + µit………. (5)

Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar kei dan pasar kej tersebut mempunyai pola musim yang sama sehingga tidak perlu memasukkan peubah boneka (dummy) untuk musim setempat. Untuk memudahkan interpretasi hasil, maka persamaan di atas disederhanakan menjadi (Heyetens, 1986):

Pit= b1 Pit-1+2(Pit-Pit-1) +3Pit-1+ et ………. (6)

Di mana:

(44)

2 = b2 3-1 = b3

Secara umum persamaan di atas menunjukkan bagaimana harga pada suatu pasar mempengaruhi pembentukan harga di pasar lain (pasar kei), dengan mempertimbangkan pengaruh harga yang lalu dengan harga saat ¡ni. Penetapan harga lalu dalam rentang waktu tertentu bertujuan melihatfluktuasi harga.

Koefisien b2 pada persamaan (6) bertujuan untuk mengukur bagai mana perubahan

di tingkat pasar acuan kej diteruskan kepada harga di pasar kei. Keseimbangan jangka pendek dicapai jika koefisien b2 = 1 yang berarti perubahan harga pada kedua pasar tersebut secara proporsional. Dengan kata lain, harga di pasar kei merupakan translasi harga di pasar kej, sodangkan keseimbangan jangka panjang di pasar acuan terjadi jika P -P. , * 0, yang berarti koefisien b, dikeluarkan dari persamaan.

Selanjutnya koefisien bt dan b3 menunjukkan kontribusi relatif lag harga pasar

Gambar

Tabel 1 Kontribusi Sektor Utama (Leading Sectors) pada PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, 1993-2002
Gambar 1. Saluran Distribusi Beras di Sulawesi Selatan dan Indonesia
Gambar 4. Kerangka Pikir Perspektif Perdagangan Beras Antarpulau
Tabel 4.2.Luas Panen, Produksi dan Tingkat Produktivitas Padi di Sulawesi Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rendahnya daya saing perguruan tinggi nasional tidak terlepas dari masih rendahnya mutu pelayanan dan manajemen tata kelola di perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan

Karena analisis perubahan tutupan lahan ini membutuhkan pengambilan data yang repetitif, citra pengideraan jauh yang berasal dari Enhanced Thematic Mapper/Thematic Mapper

4) Prinsip utama safeguard adalah untuk menjamin program investasi infrastruktur tidak mengakibatkan dampak negatif yang serius. Bila terjadi dampak negatif maka

Dari semua hasil pertumbuhan yang meliputi jumlah daun (helai), lebar daun, panjang daun, tinggi tanaman dan panjang akar yang tertinggi pada perlakuan P6 (50 ml AB mix) dan P1

23 Kalender menjadi system yang membagi tahun dalam beberapa bagian dan memberi manfaat bagi manusia, baik kelompok maupun individu, yang membutuhkan. Kalendea adalah

Jumlah planet dalam Tata Surya berkurang menjadi 8 benda besar yang berhasil “membersihkan lingkungannya” (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus),

Kelembagaan di Kabupaten Batu Bara perlu dioptimalisasi dan dikoordinasikan serta disinkrosnisasi uraian jabaran dari fungsi-fungsi sesuai dengan kedudukan dan tugas masingmasing

One of the games that is able to be used is board game because it can create a fun teaching and learning process to attract the learners in learning simple past tense.. The board