• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja perdagangan beras

BAB IV KEUNGGULAN KOMPARATIF BERAS SULSEL

B. Analisa Prefektif Perdagangan Beras Antarpulau

2. Kinerja perdagangan beras

a. Fluktuasi perdagangan beras antarpulau

Data bulanan volume pengiriman beras Sulawesi Selatan ke berbagai daerah tujuan antar pulau selama periode 1991-2004 memperlihatkan trend yang tidak berpola (ibaratnya sebuah jaring labalaba). Tidak berpolanya kegiatan perdagangan beras antarpulau Sulawesi Selatan menunjukkan kondisi pasar beras domestik maupun kondisi pasar beras pada berbagai daerah tujuan bersifat dinamis. Kondisi pasar beras yang dinamis sudah barang tentu disebabkan oleh kondisi "supply demand" beras pada masingmasing pasar. Akan tetapi, mengingat beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk maka permintaannya bersifat "inelastis" sehingga kondisi pasar yang dinamis tersebut cenderung dipengaruhi oleh sisi suplainya. Dengan kata lain fluktuasi produksi beras di Sulawesi Selatan dan fluktuasi produksi beras di daerah tujuan serta daerahdaerah penghasil beras yang menjadi kompetitor beras Sulawesi Selatan, termasuk suplai beras impor sangat menentukan kedinamisan perdagangan beras Sulawesi Selatan ke berbagai pasar beras di daerah tujuan antarpulau.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa keunggulan komparatif beras Sulawesi Selatan dan atau kemampuannya dalam menghasilkan surplus beras yang cukup besar tidak serta merta menjamin aktivitas beras antarpulau. Untuk menjamin kegiatan perdagangan beras antarpulau yang berkesinambungan pada beberapa pasar tujuan, maka kemampuan berkompetisi (harga dan kualitas) juga merupakan syarat Penentu, di samping ketersediaan infrastruktur Pemasaran yang efisien dan kebijakan yang mendukung.

Grafik4.5. Perkembangan Pengiriman Beras Setiap Bulan di Sulawesi Selatan, Tahun 1991-2004

Aspek lain yang tergambar dalam grafik tersebut bahwa volume pengiriman beras antarpulau yang lebih tinggi dari ratarata terjadi dalam periode 1991-1997, sedangkan periode lainnya berada di bawah garis ratarata. Dengan demikian, kebijakan perberasan yang membuka kran impor beras pada tahun 1998 berpengaruh signifikan terhadap menyempitnya pasar beras Sulawesi Selatan pada beberapa daerah tujuan. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa beras Sulawesi Selatan kurang mampu berkompetisi (dari segi harga dan kualitas) dalam kondisi pasar yang lebih terbuka.

Kebijakan lain yang juga turut mempengaruhi menurunnya kegiatan perdagangan beras antarpulau, di Sulawesi Selatan adalah adanya perubahan mekanisme pengadaan dalam Dolog yaitu dari sistem pengadaan dalam bentuk beras ke sistem pengadaan dalam bentuk gabah yang selanjutnya dikontrakkan ke pengusaha penggilingan untuk dijadikan beras. Mengingat pedagang beras antarpulau di Sulawesi Selatan umumnya juga memiliki penggilingan padi, maka dengan kebijakan tersebut mereka cenderung memenuhi kontrak Bulok dibandingkan mencari peluang pasar untuk antarpulau. Karena menurut mereka meskipun marginnya lebih kecil tapi tingkat kepastian memperoleh keuntungan lebih tinggi dibandingkan aktivitas perdagangan beras antarpulau.

b. Wilayah pemasaran beras antarpulau dan pangsa pasar beras Sulawesi Selatan

Arus pergerakan dalam perdagangan beras Sulawesi Selatan untuk tujuan antarpulau, bagi peneliti sungguh sangat sulit untuk diungkap secara komprehensip, mengingat aliran beras antarpulau ini dapat melalui berbagai sarana transportasi baik darat maupun laut. Untuk pengiriman melalui laut, aktivitas perdagangan beras antarpulau ini terutama melalui pelabuhan parepare, Makassar, dan Bajoe, mengingat pelabuhanpelabuhan ini merupakan pelabuhan yang paling ramai serta memiliki fasilitas yang lebih lengkap dan jumlah armada yang lebih banyak. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pelabuhanpelabuhan kecil dan pelabuhan rakyat lainnya juga berperan penting dalam penyaluran beras ke berbagai daerah tujuan.

Berdasarkan data, bongkar muat PELINDO tahun 2004, tergambar bahwa volume pengiriman beras ke berbagai pelabuhan/daerah tujuan yang berasal dari pelabuhan Makassar dan pelabuhan parepare berjumlah sekitar 195.257 ton. Jika dibandingkan total pengiriman beras antarpulau Sulawesi Selatan versi BPS yang berjumlah 374.499 ton, yang berarti bahwa lebih dari separuh (52,14%) aktivitas perdagangan beras antarpulau di Sulawesi Selatan menggunakan jasa pelabuhan ParePare dan Makassar. Dengan demikian data pengiriman beras di kedua pelabuhan tersebut dianggap representarif untuk menggambarkan aktivitas perdagangan beras antar pulau ini. Berdasarkan data dari ke dua pelabuhan tersebut diperoleh gambaran bahwa daerah/pelabuhan tujuan pemasaran beras antar pulau selama periode tahun 20032004 berjumlah 46 pelabuhan, yang umumnya berada di Pulau Kalimantan, Papua, Maluku, Sulawesi dan daerah KTI lainnya.

Wilayah pemasaran beras Sulawesi Selatan dalam perdagangan beras antarpulau, walaupun masih didominasi oleh berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia, namun sudah mampu menembus pasar beras pulau Jawa dan Sumatra. Masih dominannya aktivitas perdagangan beras Sulawesi Selatan ke daerah-daerah di KTI dibandingkan ke kawasan lainnya tentu berkaitan seperti kedekatan jarak dan kedekatan budaya, margin perdagangan yang menguntungkan, banyak daerah di KTI memiliki ketersediaan beras kurang dari kebutuhan penduduknya (minus beras), serta sejumlah faktor determinan lainnya.

Tabel 4.8. Volume Pengiriman Beras Antarpulau Menurut Daerah/ Pelabuhan Tujuan, Tahun 2003-2004

Dalam kurun waktu 2003-2004, beras Sulawesi Selatan yang diantarpulaukan melalui pelabuhan Parepare dan Makassar terserap pada 15 propinsi. Empat provinsi yang secara konsisten menjadi Dasar terbesar beras antarpulau Sulawesi Selatan adalah Provinsi Kalimantan Timur, Papua, Maluku (termasuk Maluku Utara), dan Sulawesi Tenggara. Volume beras Sulawesi Selatan yang diserap keempat provinsi tersebut mencapai 71,14 Persen tahun 2003 dan 71,87 persen tahun 2004 dari total pengiriman beras yang melalui pelabuhan Parepare dan Makassar.

Selanjutnya, dengan merinci pengiriman beras berdasarkan pelabuhan asal, tampaknya bahwa pelabuhan Parepare mendominasi volume pengiriman beras di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data yang ada volume pengiriman beras yang melalui pelabuhan Parepare mencapai 157.260 ton (87,97 persen) pada tahun 2003. Bahkan pada tahun 2004 volume pengiriman yang melalui pelabuhan ini mencapai 173.741 ton tahun 2004 atau 88,98 dari total volume pengiriman dengan 33 pelabuhan dekat tujuan atau sekitar 73,33 persen dari total pelabuhan tujuan.

Grafik 4.6. Volume Pengiriman Beras dari Pelabuhan Parepare dan Makassar Menurut Daerah Tujuan (2003-2004)

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pelabuhan Parepare merupakan jalan utama aktivitas perdagangan beras Sulsel antarpulau. Besarnya aktivitas perdagangan beras yang melalui pelabuhan Parepare

disebabkan oleh beberapa hal (1) secara historis aktivitas perdagangan pelabuhan Parepare sudah berkembang sejak abad XVI dan ramai dikunjungi bangsa melayu, (2) fasilitas di pelabuhan ini cukup lengkap dengan jumlah armada kapal yang banyak, (3) jarak dari daerah pemasaran utama beras antarpulau (Kalimantan Timur) lebih dekat dibandingkan pelabuhan Makassar, (4) posisi pelabuhan Parepare juga berdekatan dengan daerahdaerah utama penghasil beras (Bosowasipilu).

Market share beras Sulawesi Selatan pada beberapa daerah tujuan antarpulau, seperti di wilayah Balikpapan, Bitung, Samarinda, Jayapura dan Pentoloan, lebih tinggi dibandingkan market share daerah pemasok beras lainnya di daerah tujuan tersebut, Market share beras Sulawesi Selatan untuk masingmasing daerah tujuan berkisar antara 25,77 persen hingga 94,75 persen, sedangkan daerah pemasok lainnya berkisar 0 -61,86 persen untuk pasar tujuan yang sama. Gambaran ini menunjukkan bahwa beras Sulawesi Selatan dapat diterima oleh konsumen setempat sesuai preferensi konsumen).

Akan tetapi jika dibandingkan pada analisis sebelumnya, yang menunjukkan bahwa pengiriman antarpulau beras Sulawesi Selatan tidak memiliki pola waktu yang tetap dari tahunketahun, maka market share yang tinggi pada tahun 2004, tidak mencerminkan tingginya daya saing beras Sulawesi Selatan di daerah tujuan. Bisa jadi kinerja ini disebabkan oleh daerah pemasok lainnya mengalami kelangkaan ketersediaan surplus beras, atau karena harga di pasar domestiknya cukup tinggi.

Tabel 4.9. Pangsa Pasar MasingMasing Daerah Pengirim pada Beberapa Daerah Tujuan Perdagangan Beras Antarpulau di Indonesia, 2004

Dilihat dari kelembagaan tata niaga pengiriman beras antarpulau, secara umum terdapat dua jenis lembaga tataniaga yang melakukan aktivitas pengirman beras antardaerah/pulau, yakni lembaga swasta seperti pedagang beras antarpulau dan atau pengusaha penggiiingan yang sekaligus merangkap sebagai pedagang beras antarpulau. Jenis lembaga swasta yang pertama umumnya berlokasi di sekitar pelabuhanpelabuhan utama di Sulawesi Selatan, seperti di sekitar pelabuhan Makassar, Parepare, Bone dan Siwa. Lembaga swasta yang melakukan fungsi ganda (integrasi vertikal) antara kegiatan penggiiingan dan perdagangan antarpulau, umumnya ditemukan di sentra produksi seperti Kabupaten Sidrap dan Pinrang, (Hasil Survey, 2006).

Lembaga tataniaga lainnya yangjuga memiliki peranan besardalam aktivitas pengiriman beras antarpulau adalah kelembagaan Dolog. Lembaga ini, sering dimaknai sebagai lembaga nonswasta (lembaga pemerintah), meskipun sebenarnya lembaga ini bukanlah lembaga non profit, terutama sejak berubahnya status Bulogdari Lembaga Pemerintah nonDepartemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum)

yang berlaku efektif sejak Januari 2003.

Meskipun kemampuan Dolog dalam pengadaan beras di Indonesia hanya sekitar 8-9 persen dari produksi Nasional (Arifin, 2004). Namun, peranan lembaga ini dalam peta distribusi beras di Indonesia cukup penting, mengingat terbatasnya kemampuan lembaga swasta untuk menjangkau seluruh pelosoktanah air. Pola pengiriman beras antarpulau oleh lembaga swasta umumnya ditentukan oleh pola permintaan beras pedagang di daerah tujuan yang merupakan mitra dagang pedagang antarpulau atau pengusaha penggiiingan di Sulawesi Selatan, serta adanya selisih harga yang layak bagi pengusaha.

Sementara pola pengiriman beras oleh Dolog, ditentukan secara sentralistik oleh Dolog pusat. Peta distribusi beras Dolog Sulawesi Selatan serta keseluruhan Dolog secara nasional berdasarkan daerah tujuan diperlihatkan pada:

Tabel 4.10 Pola Distribusi Beras Dolog di Indonesia dan Beras Dolog Sulwesi Selatan Berdasarkan Daerah Tujuan di Indonesia, 2003-2004

Pada tabel di atas terlihat bahwa, total distribusi beras di Indonesia melalui mekanisme Dolog mencapai sekitar 373.267 ton tahun 2000 dan meningkat menjadi 628.786 ton tahun 2004. Khusus Dolog Sulawesi Selatan berkontribusi dalam distribusi beras nasional ratarata sekitar 100 ribu ton pertahun, karena volume pengiriman beras terbesar terjadi pada tahun 2001 yakni mencapai sekitar 255,639 ton. Daerah yang menjadi sasaran yang berada di Kawasan Timur Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ratarata 53,60 persen, volume pengiriman beras Dolog di arahkan ke wilayah KTI. Khusus untuk Dolog Sulawesi Selatan, ratarata 77,17 persen pengiriman

berasnya diarahkan ke wilayah ini.

Provinsi-provinsi yang menjadi tujuan utama beras Dolog Sulawesi Selatan di wilayah KTI adalah seperti provinsi Irja, Kalimantan Selatan, Maluku, Sultra, Sulut, dan Kaltim, sedangkan di wilayah KBI, daerah tujuan utamanya adalah Provinsi DKI Jakarta, Riau, dan Jawa Tengah. Secara keseluruhan, total provinsi tujuan, yang menjadi daerah pengiriman beras Dolog Sulawesi Selatan mencapai 18 provinsi.

Tampaknya pengiriman beras Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Dolog ini lebih luas dibandingkan daya jangkau pedagang swasta yang ada di daerah ini. Survei terhadap pedagang swasta yang melakukan kegiatan pengiriman beras antarpulau yang berlokasi di Parepare, Pinrang, Sidrap, Siwa, dan Bone, menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005, pedagang swasta umumnya mengirim beras ke Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara, dan hanya sebahagian kecil saja yang melakukan pengiriman ke Maluku, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara. Permintaan beras ke daerah ini pun biasanya tidak kontinu.

Pengiriman beras antarpulau oleh lembaga swasta ini, bervariasi antarwaktu dan pola pengiriman yang sangat ditentukan oleh pola permintaan beras di daerah tujuan yang direfleksikan oleh pola pesanan pedagang mitra yang ada di daerah tujuan. Pada Tabel 4.9, tampak bahwa ratarata volume pengiriman beras pedagang yang ada di Parepare, Pinrang, dan Sidrap (pantai barat) lebih tinggi dibandingkan dengan volume pengiriman beras pedagang di Siwa dan Bone (pantai timur). Perbedaan ini selain disebabkan oleh faktor pola permintaan di daerah tujuan, pedagang di pantai timur juga memiliki jangkauan pasar yang relatif sempit (umumnya pedagang hanya menjangkau satu kabupaten di daerah tujuan), juga disebabkan oleh fasilitas armada kapal yang ada memiliki kapasitas terbatas (khususnya di Siwa). Ratarata volume pengiriman beras pedagang antarpulau yang melalui pantai barat dapat mencapai 70,63 ton per bulan dengan frekuensi pengiriman 34 kali perbulan, bahkan beberapa pedagang di lokasi ini dapat mengirim 2 kali atau lebih per minggu, sedangkan pedagang yang berlokasi di pantai timur ratarata mengirim beras 5,75 ton per bulan per pedagang.

Tabel 4.11. Pola Pengiriman Beras Antarpulau oleh Lembaga Swasta di Sulawesi Selatan, Tahun 2005

Fluktuasi perdagangan beras antarpulau juga memiliki pola yang berbeda antara pedagang pantai barat dan pedagang pantai timur. Untuk pedagang di pantai barat dengan daerah tujuan utama Kalimantan Timur, permintaan tinggi terjadi pada bulan Agustus hingga Januari (awal tahun berikutnya) dan permintaan beras yang sepi terjadi dari bulan Februari hingga Juli. Permintaan beras yang sepi disebabkan oleh bersamaan dengan masa panen di daerah tujuan, dan wilayah Jawa. Pulau Jawa merupakan daerah kompetitor utama Sulawesi Selatan dalam menghasilkan beras dengan arus perdagangan yang cukup deras dengan kualitas yang lebih baik sehingga selama periode ini, jenis beras Sulawesi Selatan yang dapat diantarpulaukan ke Kalimantan Timur hanya beras yang berkualitas (beras kepala).

Berbeda halnya dengan periode permintaan tinggi (bulan Agustus hingga Januari), jenis beras kelas medium pun memiliki pangsa pasar yang cukup besar di daerah tujuan ini, karena pada periode ini, daerah sentra produksi yang menjadi kompetitor tidak dalam masa panen. Sementara di Sulawesi Selatan masa panen terjadi hampir sepanjang tahun, karena adanya perbedaan iklim pantai timur, pantai barat dan daerah peralihan. Menurut keterangan pedagang antarpulau yang memiliki penggilingan bahwa kegiatan usahanya dapat berjalan sepanjang tahun, karena adanya pola panen yang berbeda setiap daerah di Sulawesi Selatan, Hampir semua penggilingan besar di Sidrap dan Pinrang mendatangkan bahan bakunya dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, seperti kabupaten Luwu utara, Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Barru, bahkan ada dari Bulukumba.

Selanjutnya, pedagang beras antarpulau yang berlokasi di Siwa dan Bone, umumnya mengirim berasnya ke Sulawesi Tenggara, terutama kota Kendari dan Kolaka. Ratarata volume pengiriman per bulan hanya sekitar 5,75 ton per bulan, dengan frekuensi pengiriman umumnya satu kali per minggu. Pada periode permintaan tinggi, yakni pada bulan Juli hingga September, volume pengiriman ratarata mencapai 7,38 ton per bulan, sedangkan pada bulan lainnya volume pengiriman hanya sekitar 4,94 ton per bulan.

Tingginya volume pengiriman beras pada bulan Juli hingga September disebabkan oleh beberapa hal : a) pada periode ini, bertepatan dengan masa panen raya kakao di Sultra sehingga banyak aliran tenaga kerja masuk ke daerah ini untuk menjadi buruh panen coklat dan banyaknya tenaga kerja yang masuk ke daerah tujuan pada periode ini menyebabkan permintaan akan beras juga meningkat, b) umumnya kegiatan pesta di daerah tujuan ini, seperti pesta perkawinan dan pesta lainnya banyak dilaksanakan sehabis panen kakao sehingga hal ini sedikt banyaknya juga mempengaruhi permintaan beras yang tinggi, dan c) kegiatan intra trade antara biji kakao dari Sulawesi Tenggara dengan beras di Sulawesi Selatan.

c. Indeks konsentrasi pasar beras Sulawesi Selatan

Analisis indeks konsentrasi pasar dimaksudkan untuk melihat tingkat konsentrasi perdagangan beras Sulawesi Selatan terkonsentrasi pada satu pasar daerah tertentu saja atau memiliki pasar yang tersebar. Pasar yang terkonsentrasi, mencerminkan tingginya ketergantungan kegiatan perdagangan beras pada satu atau beberapa pasar saja, tingkat konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan ketidakstabilan kegiatan perdagangan beras antarpulau apabila terjadi goncangan pasar beras di daerah tujuan. Dengan demikian, pasar yang terkonsentrasi tidak dapat menjamin keberlanjutan aktivitas perdagangan, dan hal ini tentu memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan jika pasarnya tersebar.

Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks konsentrasi pasar beras Sulawesi Selatan dalam perdagangan antarpulau memiliki indeks yang cukup besar yang pada tahun 2003 mencapai angka 0,5006 yang berarti bahwa sebagian besar volume beras Sulawesi Selatan yang diperdagangkan untuk tujuan antarpulau hanya terkonsentrasi pada pasar tertentu saja. Selanjutnya pada tahun 2004, indeks konsentrasi pasar beras Sulawesi Selatan sedikit lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yakni sekitar

0,4220. Namun angka tersebut sesungguhnya masih cukup besar atau dengan kata lain aktivitas perdagangan beras Sulawesi Selatan ini masih sangat tergantung pada pasar tertentu saja yakni pasar Kalimantan Timur sebagai pasar utama. Kecenderungan perdagangan yang terkonsentrasi di Kalimantan Timur disebabkan oleh daerah tujuan ini relatif dekat sehingga mudah diakses oleh pedagang antarpulau, khususnya melalui pelabuhan Parepare. Selain itu, harga di daerah tujuan ini juga cukup tinggi, serta jaringan bisnis pedagang beras sudah terbentuk sejak lama.

Hal ini perlu diwaspadai mengingat kondisi pasar beras di tanah air termasuk pasar beras di Kalimantan Timur sangat dinamis. Meningkatnya pasokan beras dari daerah- daerah kompetitor seperti pasokan dari pulau jawa, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, beras impor, dan daerah lainnya dapat mengancam terjadinya penyempitan pasar beras Sulawesi Selatan di Kalimantan Timur.

Tabel 4.12. Indeks Konsentrasi Pasar (Antarpulau) Beras Sulawesi Selatan 2003-2004

Untuk mengantisipasi terjadinya penyempitan pasar beras Sulawesi Selatan dalam pasar antarpulau, perlu upaya terus menerus untuk memperluas pasar potensil lainnya, terutama pasar beras yang ada di KTI. Untuk mewujudkan upaya tersebut, maka berbagai kondisi yang perlu diciptakan di antaranya: (1) perlunya peningkatan kemampuan kompetisi beras Sulawesi Selatan melalui perbaikan kualitas beras dan (2) perlunya menekan seminimal mungkin biayabiaya transaksi (transaction cost) yang membebani perdagangan beras antarpulau, seperti retribusi yang tinggi serta pungutan- pungutan liar dalam mata rantai perdagangan beras.

C. Efisiensi pemasaran

Efisiensi pemasaran beras baik dalam pasar domestik maupun dalam pasar beras antarpulau diukur dengan menggunakan dua model analisis yakni model

integrasi pasar dan model Kawagoe model Integrasi pasar pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu integrasi spatial dan integrasi vertikal. Integrasi spatial didefinisikan sebagai suatu perubahan harga dalam suatu pasar yang direfleksikan kedalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara geografis untuk produk yang sama. Adapun integrasi vertikal merupakan perubahan harga di satu pasar produk yang direfleksikan ke dalam perubahan harga pasar yang berbeda secara vertikal dalam mata rantai pemasaran untuk produk yang sama (Trotter, 1992).

Dalam analisis efisiensi pemasaran ini model integrasi pasar yang digunakan dibedakan dalam pasar beras di sulsel dan dalam pasar beras antarpulau. Dalam pasar beras di sulsel integrasi pasar yang digunakan adalah integrasi pasar vertikal yang bertujuan menganalisis apakah perubahan harga di tingkat konsumen dapat ditransmisikan secara sempurna ke tingkat produsen dalam pasar di sulsel. Selanjutnya dalam pasar beras antarpulau integrasi pasar yang digunakan adalah integrasi pasar spatial. Pasar yang terintegrasi akan mentransmisikan informasi harga ke pasar pengikutnya sehingga harga pada dua pasar yang berintegrasi tersebut berubah secara proporsinal. Karena itu, transmisi harga dari pasar induk ke pasar pengikutnya mencirikan adanya sistem pemasaran yang efisien.

Analisis integrasi pasar (spatial dan vertikal) hanya dapat mendeteksi ketidak efisienan sistem pemasaran apabila harga di pasar induk tidak dapat ditransmisikan ke pasar pengikutnya secara sempurna. Akan tetapi tidak dapat mendeteksi apakah ketidak efisienan tersebut disebabkan oleh struktur pasar yang oligopolis atau bukan. Pada dasarnya tidak efisiennya sistem pemasaran atau tidak sempurnanya transmisi harga dari pasar induk ke pasar pengikut disebabkan oleh adanya kekuatan di luar pasar (ekstra market) yang bekerja, sehingga harga tidak dapat menjadi sinyal yang baik dalam mendistribusikan barang (marketshare). Dua hal pokok yang menyebabkan terjadi market filure yakni adanya pelaku-pelaku pasar yang bersifat oligopolis atau adanya intervensi dari pemerintah dalam pasar.

Karena itu dalam analisis efisiensi pemasaran ini, selain digunakan model integrasi pasar, juga dipadukan analisis model Kawagoe yang secara spesifik bertujuan mendeteksi ada tidaknya bukti struktur pasar yang oligopolis dalam sistem pemasaran beras domestik maupun dalam pemasaran beras antarpulau. Model Kawagoe ini mengasumsikan bahwa apabila terjadi kenaikan harga di pasar induk (konsumen) diikuti oleh peningkatan margin pemasaran secara signifikan, maka berarti ada indikasi bahwa perilaku pedagang selalu menunda kenaikan harga pembeliannya di tingkat produsen ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen. Dengan kata lain, pedagang memiliki kemampuan untuk mengontrol margin perdagangan dan hal ini hanya dapat dilakukan ketika pedagang tersebut bersifat monopolis/oligopolis dalam sistem pemasaran.

Analisis efisiensi pemasaran dilakukan dalam dua tahap yakni efisiensi pemasaran