• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian dan perekonomian Sulawesi Selatan

BAB IV KEUNGGULAN KOMPARATIF BERAS SULSEL

A. Gambaran Umum Pertanian dan Per berasan Sulawesi Selatan

1. Pertanian dan perekonomian Sulawesi Selatan

Dalam sejarah perjalanan panjang proses pembangunan pertanian Sulawesi Selatan, kinerja pertumbuhan sektor pertanian daerah ini, sesungguhnya mencatat kinerja yang tidak terlalu buruk. Sektor pertanian turn bun sekitar 4,52 persen ratarata per tahun selama tiga dekade takhir (1976-2004), subsektor perkebunan tercatat memiliki pertumbuhan paling tinggi yakni sekitar 8,64 persen ratarata per tahun.

Pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan (TBM) memang lebih lambat, namun hingga tahun 2004, subsektor ini masih memberi kontribusi dominan dalam struktur pertanian di Sulawesi Selatan yakni sekitar 45,48 persen, kemudian disusul subsektor perkebunan dengan kontribusi 28,51 persen. dinamika pertumbuhan subsektor tanaman pangan, yang komoditas utamanya beras, mengalami pasang surut dalam tiga dekade terakhir.

Dinamika ini, dikaitkan dengan empat periode penting yakni (a) Periode pertumbuhan tinggi (19761985), periode ini terkait dengan kuatnya "political will' pemerintah provinsi membangun pertanian tanaman pangan, (b) Periode sebelum krisi ekonomi (19861997), periode ini terkait dengan "kebijakan industrialisasi" yang di awaii pada pertengahan tahun 1980an dengan sejumlah instrumen insentif bagi sektor industri di Indonesia, (c) periode krisis ekonomi (1998-2000), dan (d) periode pascakrisis ekonomi (2001-2004). Bagaimana gambaran kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada masingmasing periode ini, akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:

Tabel 4.1 Rata-rata Pertumbuhan Nilai Tambah Sektor dan Subsektor Pertanian Menurut Periode Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan, Tahun 1976-2004.

Periode pertumbuhan tinggi (masa keemasan TBM) tahun 1976-1985

Periode 19761985 adalah masa keemasan bagi pembangunan Pertanian di Sulawesi Selatan. Dalam sejarah pembangunan pertanian Sulawesi Selatan, tiga dekade terakhir, periode ini merupakan periode pertumbuhan tertinggi yakni sekitar 5,92 persen pertahun. Subsektor tanaman panganjuga mencapai pertumbuhan tertingginya pada periode ini, yakni ratarata tumbuh sekitar 5,81 persen per tahun.

Sebagai salah lumbung pangan secara nasional, pertanian tanaman pangan Sulawesi Selatan pada fase ini turut memberi kontribusi penting dengan berbagai kisah sukses yang spektakuler bagi pertanian di Indonesia dan puncak kesuksesannya adalah dicapainya "swasembada beras" pada tahun 1984. Pertumbuhan tanaman pangan yang tinggi pada periode ini terkait dengan keinginan kuat dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi untuk membangun pertanian tanaman pangan pada masa itu. Menurut Gany (2002: 87), dalam sebuah tulisannya yang berjudul "Tiga Setengah Dekade Pembangunan Pertanian di Sulawesi Selatan (1965-1999) mengungkapkan bahwa Sulawesi Selatan secara historis berdasarkan karakteristik potensi agroklimatologi yang dimilikinya, sejak dahulu telah dikenal sebagai daerah pertanian berbudaya padi/persawahan.

Oleh karena itu, pada awal tahun 1960an ketika pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan pertama kali menyusun dan mencanangkan strategi pembangunan lima tahunnya, maka sektor pertanian panganlahyang pertama kali menjadiprimadona pembangunan daerah ini. Pada waktu itu (1962) pembangunan prasarana perhubungan dan irigasi menjadi tulang punggung sasaran pembangunan daerah.

Sasaran pokok pembangunan pada waktu itu adalah modernisasi pertanian pangan, dengan tujuan meningkatkan produksi dan produktivitas. Sulawesi Selatan adalah daerah atau provinsi pertama di luar jawa yang melaksanakan gerakan peningkatan produksi padi melalui Demonstrasi Massal Swa Sembada Bahan Makanan (Dema SSBM) melalui kerjasama yang sangat erat antara Pemerintah Daerah c.q Dinas Pertanian Rakyat, Fakultas Pertanian, Petani, dan Lembaga Penelitian pertanian, yang kemudian diakui sebagai awal kebangkitan pembangunan pertanian di Sulawesi Selatan pada tahun 1964/1965.

a. Periode sebelum krisis (fase industrialisasi) tahun 1986-1997

Periode ini merupakan fase diterapkannya strategi industrialisasi di Indonesia dengan berbagai komponen proteksi untuk sektor industri sehingga sektor industri dan manufaktur di Sulawesi Selatan tumbuh di atas dua digit. Fase ini juga sekaligus merupakan fase yang sektor pertanian mengalami kemerosotan setelah tercapai

prestasi gemilangnya "swasembada beras" pada tahun 1984. Secara nasional, fase 1986-1997, Arifin (2004, p.8) disebutkannya sebagai fase "dekonstruksi pertanian", karena sektor pertanian mengalami fase pengacuhan (ignorance) oleh nara nerumus kebiiakan dan bahkan oleh para ekonom sendiri.

Pada periode, subsektor tanaman pangan tumbuh lebih lambat dari periode sebelumnya yakni sekitar 4,69 persen pertahun, sementara subsektor perkebunan mengalami loncatan pertumbuhan yang tinggi yakni berkisar 13,53 persen. Struktur nilai tambah pertanian dalam periode ini (khususnya 1990-1997) ditandai oleh terjadinya transformasi internal sektor pertanian Sulawesi Selatan, karena subsektor tradisional (tanaman pangan dan peternakan) mengalami kemerosotan, sementara subsektor modern (khususnya sub sektor perkebunan).

Terjadinya pelambatan pertumbuhan pertanian tanaman pangan yang disertai pertumbuhan tinggi sektor modern pertanian (perkebunan) dalam periode ini, diduga memiliki keterkaitan erat dengan format pembangunan pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, seperti yang diungkapkan oleh Gany (2002: 91) bahwa memasuki era industrialisasi yang dicanangkan secara nasional yang diawali pada pertengahan tahun 1980-an.

Sejak itu Sulawesi Selatan mulai menyadari bahwa visi pembangunan pertanian harusiah diarahkan pada upaya peralihan sasaran dari pemanfaatan keunggulan komparatif menuju pembangunan berkelanjutan yakni berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat kini tetapi tetap berorientasi pada kebutuhan generasi masa depan. Pada era itulah diletakkan strategi dasar pembangunan Sulawesi Selatan, yang kemudian dikenal sebagai Tri Konsepsi Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan yakni suatu strategi dasar yang berbasis pada;Perubahan Pola Pikir, Perwilayahan Komoditias, dan Penerapan Petik OlahJual.

Format pembangunan pertanian ini, menyebabkan pemerintah Sulawesi Selatan tidak hanya berfokus pada pembangunan pertanian tanaman pangan, tetapi juga berorientasi membangun pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi, terutama komoditas perkebunan. Sebagai wujud dari strategi dasar pembangunan pertanian Sulawesi Selatan pada periode ini, maka beberapa perwilayahan komoditas yang dibangun adalah BOSOWASIPILU untuk wilayah pengembangan komoditas padi, MADUTORA untuk pengembangan komoditas kopi, MANDALU untuk pembangunan komoditas kakao.

b. Periode Krisis : Tahun 1998-2000

Periode krisis ekonomi (1998-2000), dipicu oleh merosotnya nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing sehingga berbagai sektor produksi yang menggunakan komponen impor cukup besar mengalami guncangan hebat. Sebaliknya sektor produksi yang berorientasi ekspor dengan penggunaan bahan baku komponen impor sangat kecil , justru mengalami peningkatan daya saing yang cukup pesat. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang komponen impornya sangat kecil, namun dalam periode ini kontraksi pertumbuhan sektor pertanian masih terjadi yakni hanya tumbuh sekitar 0,88 persen pertahun. Bahkan subsektor tanaman pangan mengalami pertumbuhan negatif dalam periode ini yakni 1,08 persen pertahun.

Kemerosotan pertumbuhan subsektor tanaman pangan dalam periode terkait banyak faktor di antaranya: (1) adanya badai Elnino dan Lanina yang menimpa berbagai daerah produksi padi di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan sehingga berbagai sentra produksi padi di daerah ini mengalami penurunan produktivitas lahan secara tajam, (2) kebijakan pemerintah untuk pengurangan subsidi pupuk, terutama pupuk Urea, KCL, dan TSP, adalah jenis pupuk yang sudah merupakan kebutuhan dasar dalam proses produksi pertanian padi, dan (3) kebijakan untuk membuka kran impor yang besar juga terjadi pada periode ini. Kebijakan ini tampaknya juga memberi pukulan terhadap kondisi perberasan Sulawesi Selatan, karena daya saingnya yang rendah sehingga terjadi penyempitan pasar pada berbagai pasar tradisional di pasar

antarpulau.

Secara umum, terjadinya kontraksi pertumbuhan subsektortanaman pangan di Sulawesi Selatan dalam periode ini, tidak hanya oleh adanya badai alam, tetapi juga terkait dengan kebijakan pemerintah yang sangat tidak berpihak pada sektor ini. Tekanan lain yang dialami oleh subsektor tanaman pangan pada periode ini adalah adanya limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan yang besar yang terserap di subsektor ini sehingga pada periode tidak hanya menurunkan produktivitas lahan, tetapi juga menurunkan produktivitas tenaga kerja yang lebih tajam lagi.

c. Periode pasca krisis (Fase Destoda) Tahun 2001 sekarang

Periode pascakrisis (20012004) dapat diterjemahkan sebagai fase diberikannya ruang yang lebih besar bagi pemerintah daerah otonom untuk melakukan kombinasi strategi pemanfaatan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif yang dimiliki suatu daerah, atau sebagai fase peningkatan basis kemandirian daerah dalam mengeiola aktivitas pembangunannya termasuk membangun pertanian.

Pada periode ini, pertumbuhan sektor pertanian secara keseluruhan masih mengalami kontraksi dengan ratarata pertumbuhan sekitar 1,39 persen per tahun. Bahkan subsektor tanaman pangan masih mengalami pertumbuhan negatif yakni 0,22 persen per tahun. Kemerosotan diduga masih terkait dengan melambungnya biaya sarana produksi terutama pupuk sebagai dampak pencabutan subsidi pupuk, serta disebabkan oleh terjadinya kelangkaan pupuk setiap tahun sejak tahun 2002, karena buruknya sistem distribusi pupuk.

Kemerosotan ini juga diduga terkait dengan banyaknya bangunan irigasi yang rusak bahkan ada yang tidak dapat berfungsi, sejak diserahkannya pengelola irigasi ke kelompok P3A. Demikian pula pembinaan kelembagaan kelompok tani mengalami kemunduran, bersamaan menurunnya aktivitas penyuluhan pertanian dalam mentransfer teknologi ke petani. Gambaran ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam periode destoda sekalipun, sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan masih mengalami fase ignorance dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah.