• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi pemasaran beras di Sulawesi Selatan

BAB IV KEUNGGULAN KOMPARATIF BERAS SULSEL

B. Analisa Prefektif Perdagangan Beras Antarpulau

1. Efisiensi pemasaran beras di Sulawesi Selatan

Pemasaran beras dalam pasar domestik adalah sistem transaksi dalam mata rantai perdagangan beras mulai pada tingkat produsen hingga tingkat konsumen di Sulawesi Selatan. Seperti yang diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa untuk mengkaji apakah pemasaran beras dalam pasar domestik efisien atau tidak, digunakan dua pendekatan analisis, yakni pendekatan integrasi pasar vertikal atau yang disebut elastisitas transmisi harga, yang dipadukan dengan pendekatan model Kawagoe. Analisis elastisitas transmisi harga dimaksudkan untuk mengukur besarnya respons harga produsen akibat adanya perubahan harga konsumen.

Analisis ini mengasumsikan bahwa apabila perubahan harga di tingkat konsumen dapat diteruskan (ditransmisikan) secara proporsional hingga ke tingkat petani, maka dipandang sistem pemasarannya bekerja secara sempurna. Elastisitas transmisi harga diukur dengan menurunkan fungsi regresi linar antara harga konsumen dengan harga produsen yang diduga dengan metode OLS dengan formula sebagai berikut:

P =α+ βP + e E = ∂P ∂P x P P mana

Pf = Harga gabah di tingkat petani (Rp/Kg) Pk = Harga beras di tingkat konsumen (Rp/Kg) Et = Elastisitas transmisi harga

Berdasarkan hasil analisis regresi antara variabel harga produsen dan harga konsumen serta nilai elastisitas transmisi, harganya menunjukkan bahwa semua jenis varietas beras yang dipasarkan secara domestik memiliki koefisien regresi positif yang berarti bahwa kenaikan harga beras pada tingkat konsumen akan diikuti oleh kenaikan harga gabah di tingkat petani, demikian pula sebaliknya. Selanjutnya berdasarkan harga ratarata tertimbang pengaruh harga konsumen terhadap harga produsen tidak signifikan hingga taraf nyata 90%. Akan tetapi berdasarkan harga konsumen menurut jenis varietas beras menunjukkan bahwa hanya jenis beras kepala spesial yang tidak signifikan hingga tarap nyata 90%, bahkan jenis beras jenis beras seperti IR 1, insiyur, Beras Kepala Biasa signifikan hingga tarap nyata 95%.

Secara umum respons harga produsen terhadap perubahan harga konsumen bersifat inlelastis. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitas transmisi harga kurang dari 1.

Dengan demikian perubahan harga di tingkat konsumen tidak dapat ditransmisikan secara sempurna hingga ke tingkat produsen. Dari semua jenis beras yang dianalisis, tampaknya beras kepala spesial yang memiliki elastisitas transmisi harga paling kecil yakni Et = 0,4874 yang berarti bahwa perubahan harga konsumen hanya dapat ditransmisikan sebesar 48,78% ke tingkat produsen.

Gambaran ini menunjukkan bahwa beras kepala spesial memiliki sistem pemasaran yang paling kurang efisien dibandingkan dengan jenis varietas beras lainnya dalam pasar beras domestik di Sulawesi Selatan. Selanjutnya jenis beras IR 1 memiliki nilai elastisitas transmisi harga paling besar yakni Et = 0,51619 yang berarti bahwa 56,19% perubahan harga konsumen dapat ditransmisikan ke tingkat produsen. Jenis beras ini merupakan jenis beras yang umum dihasilkan oleh kebanyakan penggilingan beras di Sulawesi Selatan sehingga diduga memiliki sistem pemasaran yang lebih kompetitif paling tidak jika dibandingkan dengan Beras Spesial.

Tabel 4.13. Elastisitas Transmisi Harga Beras Menurut Jenis Varietas Beras dalam Pasar Beras di Sulawesi Selatan

Berdasarkan hasil analisis elastisitas transmisi harga untuk berbagai jenis beras yang dipasarkan di Sulawesi Selatan, secara umum menunjukkan bahwa perubahan harga konsumen tidak dapat ditransmisikan secara sempurna ke produsen (elastisitas transmisi harga kurang dari 1) sehingga hal ini mengindikasikan terjadinya kegagalan pasar (market filure) dalam pasar beras domestik di Sulawesi Selatan.

Meskipun analisis elastisitas transmisi harga seperti yang telah diuraikan di atas dapat menunjukkan terjadinya kegagalan pasar dalam pasar beras di Sulawesi Selatan, namun analisis tersebut belum dapat menunjukkan faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Secara umum, terjadinya kegagalan pasar disebabkan oleh adanya kekuatan di luar pasar (extra market) yang bekerja sehingga mekanisme tidak dapat bekerja secara sempurna. Extra market dapat berwujud oleh adanya kekuatan monopolis/oligopolis dari pelaku pasar, dan atau intervensi pemerintah terhadap pasar.

Untuk mengidentifikasi ada tidaknya kekuatan monopolis/oligopolis dalam pasar beras, maka dapat dilihat dari kemampuan pedagang dalam mengontrol margin pemasaran. Apabila pedagang memiliki kemampuan memperbesar marginnya ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen dengan menunda kenaikan harga pembeliannya di produsen, maka dikatakan pedagang memiliki kemampuan untuk mengontrol margin

pemasaran. Karena itu, model Kawagoe dapat digunakan untuk mendeteksi apakah pedagang beras dalam pasar beras di Sulawesi Selatan memiliki kemampuan mengontrol margin perdagangan. Adapun formula model Kawagoe adalah sebagai

berikut:

= + + ∆ + ∆ + ………(10)

Dimana:

M = Margin tataniaga, yaitu harga di tingkat pasar konsumen dikurangi harga yang diterima petani (Harga di tingkat produsen)

Pk = Harga eceran ratarata per bulan di pasar konsumen

= Tingkat perubahan harga ratarata bulanan di pasar konsumen pada

saat harga sedang naik (perubahan positif), nilai menjadi nol pada saat tidak terjadi kenaikan.

= Tingkat perubahan harga ratarata bulanan di pasar konsumen pada saat

harga sedang turun (perubahan negatif), nilainya menjadi nol pada saat tidak terjadi penurunan

β0 = Konstanta

β1 = Koefisien harga konsumen

β2 = Koefisien harga konsumen pada saat terjadi kenaikan harga β3 = Koefisien harga konsumen pada saat terjadi penurunan harga

e = Error

Hasil analisis berdasarkan model Kawagoe menunjukkan bahwa, jenis beras dalam pasar domestik Sulawesi Selatan memiliki koefisien kenaikan harga konsumen (P2) berkorelasi positif dengan margin pemasaran, yang berarti bahwa setiap terjadi kenaikan harga ada kecenderungan margin pemasaran juga ikut meningkat. Dengan kata lain, pedagang cenderung menunda kenaikan harga di tingkat produsen setiap terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen.

Namun secara statistilk kecenderungan tersebut hanya jenis Beras Kepala Spesial dan Beras kepala Biasa yang signifikan hingga tarap nyata 95%, sedangkan jenis beras lainnya tidak signifikan hingga tarap nyata 90%. Dengan demikian indikator struktur pasar yang oligopolis hanya ditemukan pada sistem pemasaran Beras Kepala Spesial dan Beras Kepala Biasa. Hal ini diduga terkait dengan masih terbatasnya penggilingan padi yang mampu menghasiikan jenis beras ini sehingga pelaku pemasaran lebih leluasa mengontrol margin pemasaran beras yang berkualitas.

Tabel 4.14. Efisiensi Pemasaran Beras Berdasarkan Model Kawagoe dalam Pemasaran Beras di Sulawesi Selatan.

Selanjutnya koefisien regresi untuk penurunan harga (03) umumnya berkorelasi negatif dengan margin pemasaran yang berarti bahwa penurunan harga pada tingkat konsumen menyebabkan peningkatan margin pemasaran. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa setiap terjadi penurunan harga di tingkat konsumen diikuti oleh penurunan harga yang lebih besar dari pada tingkat produsen. Satusatunya jenis beras yang memiliki koefisien regresi penurunan harga (B3) berkorelasi positif dengan margin pemasaran adalah beras varietas IR 1.

Korelasi positif ini menjelaskan bahwa semakin besar penurunan harga, maka semakin kecil margin pemasaran. Tentu hal ini hanya dapat terjadi jika penurunan harga di tingkat konsumen lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan harga ditingkat produsen. Penurunan harga konsumen yang lebih besar untuk jenis beras IR 1 ini merupakan gejala penurunan harga bagi barang inferior.

Dimana ketika terjadi penurunan harga beras secara umum banyak konsumen beras IR 1 (beras murah) beralih ke jenis beras lainnya (beras yang kualitasnya lebih baik) sehingga permintaan beras IR semakin berkurang. Penurunan permintaan beras ini sekaligus memperparah kemerosotan hamanva di pasar konsumen. Dengan demikian sifat inferior bagi beras IR 1 menyebabkan penurunan harga di pasar konsumen lebih besar dibandingkan penurunan harga di tingkat petani.

2. Efisiensi Pemasaran Beras Antarpulau