• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang

A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an

3. Berbagai Corak Penafsiran

Menafsirkan al-Qur‟an berarti berusaha menangkap ide, gagasan atau kandungan yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Tafsir merupakan karya manusia, oleh karena itu hasil dari suatu penafsiran tidak diragui lagi dipengaruhi oleh pemikiran mufassīr. Komentar dan ulasan mengenai suatu ayat merupakan manifestasi dari pemikiran

mufassīr. Bahkan lebih dari itu, bahwa penafsiran suatu ayat

dipengaruhi oleh mazhab atau aliran yang dianut mufassīr.92

Corak penafsiran yang dimaksud adalah kecenderungan sorang

mufassīr yang tergambar dalam karya tafsir. Keahlian dan kelimuan

yang dimiliki seorang mufasir turut mempengaruhi penafsiran. Seseorang yang mempunyai keahlian di bidang sejarah, maka penafsirannya cenderung menonjolkan aspek sejarah, sementara seorang mufassīr yang ahli di bidang bahasa lebih menonjolkan aspek bahasa dan demikian selanjutnya.93 Di antara corak yang terdapat dalam penafsiran adalah :

a. Tafsir Fiqh

Di antara isi kandungan al-Qur‟an berisi persoalan yang berkaitan dengan masalah hukum. Sebagian mufassīr mempunyai kecenderungan menafsirkan ayat-ayat hukum dibandingkan ayat-ayat lainnya. Tafsīr al-fiqh merupakan tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada aspek hukum. Tafsīr fiqh selain lebih banyak menjelaskan masalah hukum, namun juga kadang-kadang diwarnai oleh ideologi atau mazhab yang dianut mufassīr, sehingga corak yang dianut tidak hanya fiqh tetapi juga mazhabi. Penafsiran seperti ini antara lain terdapat pada tafsir Ahkām al-Qur‟ān karya Ibn Arabi. Tafsir ini mengisyaratkan pembelaan Ibn Arabi terhdap mazhab Maliki yang dianutnya. Contoh yang dapat diungkap adalah penjelasan Ibn Arabi yang berkaitan dengan masalah Basmallah, apakah bagian dari surah al-Fātiḥah atau bukan, dan hukum

91

Al-Qaṭān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 358.

92Kadar M Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 157.

93Alimin Mesra, dkk., Ulūm al-Qur‟ān, (Jakarta: Pusat Studi Wanita

membacanya dalam shalat. Dengan demikian, kitab-kitab tafsir fiqh dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqh Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali.94

b. Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi adalah penafsiran al-Qur‟an berdasarkan kepada pendekatan logika. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan ahli filsafat. Penafsiran filsafat relatif banyak dijumpai di sejumlah kitab tafsir yang membahas ayat-ayat tertentu yang memerlukan pendekatan filsafat. Kitab-kitab tafsir yang secara spesifik melakukan pendekatan penafsiran secara keseluruhan semua ayat al-Qur‟an tidak begitu banyak.95

Pengaruh filsafat masuk ke dalam Islam ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakan pada masa khilafah Abbasiyah.

Sebagian umat Islam menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan filosof, karena dipahami ada di antara buku-buku tersebut bertentangan dengan aqidah dan agama. Sebagian ulama justru mengapresiasi positif filsafat. Ulama menerima dan menekuni filsafat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan berusaha untuk memadukan antara agama dan filsafat serta mnghapus pertentangan antara keduanya. Golongan ini berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan teori-teori filsafat semata, akan tetapi tidak berhasil. Hal ini disebabkan nash al-Qur‟an tidak mungkin mengandung teori-teori filsafat.

c. Tafsir Ilmi

Model penafsiran bercorak ilmi96 membuka kesempatan yang luas bagi mufassīr untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan. Benih metode tafsir ilmi pada awalnya muncul pada masa Dinasti Abbasiyah, khsusnya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun

94

Yusuf, Studi al-Qur‟an…, h. 161.

95Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir…, h. 201.

96Tafsir ilmi merupakan penafsiran yang bercorak ilmu pengetahuan

(w.853 M). Metode ini muncul akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Selain itu banyak terdapat ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur‟an. Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī (w.911 H) berpendapat bahwa al-Qur‟an mencakup segala cabang ilmu pengetahuan.97

Al-Ghazali agaknya orang yang mempopulerkan al-Qur'an dan Sunnah mengandung sejumlah substansi besar kebenaran ilmiah yang ditemukan hanya di zaman modern, berabad-abad setelah wahyu Al-Qur'an. Al-Qur'an dalam mewujudkan kebenaran ilmiah adalah sebagai bukti kemukjizatan al-Qur'an.

Al-Qur'an secara substansial mengandung fakta-fakta dasar tentang penciptaan alam semesta,sebagai contoh adalah teori big bang. Hal ini disebutkan untuk membuktikan bahwa al-Qur'an mewujudkan pengetahuan Allah yang tak terbatas dibandingkan dengan pengetahuan manusia yang terbatas. Dalam pandangan di atas, beberapa cendikiawan Muslim mengklaim bahwa al-Qur'an tidak hanya sebagai sumber pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga berisi tentang prinsip-prinsip perilaku manusia dan sumber pengetahuan ilmiah.98

Fenomena penafsiran ilmiah al-Qur'an, dimulai sebagai wacana yang bertujuan untuk mendorong umat Islam mempelajari ilmu alam. Dikatakan bahwa Muslim diwajibkan untuk melakukannya karena, dari sudut pandang Islam tidak ada halangan untuk melakukannya.

97

Al-Suyuṭī, al-Itqān fī Ulūm al-Qur‟ān…,h. 33. Senada dengan pendapat Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 520 H ) menjelaskan bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui dan yang belum diketahui semua bersumber dari al-Qur‟an. Lihat Muhammad Hadi Ma‟rifat, al-Tamhīd fī „

Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp., Muassasah al-Nashr al-Islami, 1417 H), jilid 6, h.

18-19.

98Zafar Ishaq Ansari, “Scientific Exegesis of the Qur'an”, Journal of

Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 1, (2001), pp. 91-104,

http://www.jstor.org/stable/25728019 .Accessed: 08/01/2015 2. Sayyid

Ahmad Khan bergumul begitu lama dengan masalah yang melibatkan konflik antara agama dan science dan bersusah payah untuk merancang seperangkat aturan yang akan membawa harmoni antara keduanya. Sir Sayyid menafsirkan sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an dengan acuan kerangka naturalis dan ia menjelaskan ayat-ayat yang mengandung mukjizat. Namun Sir Sayyid Ahmad mengakui bahwa untuk sampai pada fakta-fakta ilmiah, harus mengikuti metode ilmiah dari pada melihat ke dalam kitab suci.

Salah satu yang paling penting adalah bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengandung isyarat ilmiah yangdapat dibuktikan dan ditemukan di zaman modern, berabad-abad setelah wahyu al-Qur'an.

Berkaitan dengan penafsiran ilmiah al-Qur‟an, Rahman menolak model penafsiran yang parsial dan atomistik karena dinilai tidak objektif dan telah menyebabkan terjadinya pemaksaan gagasan terhadap al-Qur‟an. Berbeda dengan Rahman, Syahrur cenderung ingin membuktikan kebenaran teori ilmiah dengan al-Qur‟an karena bagi Syahrur tidak ada pertentangan antara al-Qur‟an dengan rasio dan realitas ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, terkadang melakukan pemaknaan terhadap terminologi-terminologi al-Qur‟an menurut perspektif ilmu pengetahuan.99

Terdapat batasan-batasan tertentu dalam melakukan tafsir ilmi. Dengan menjadikan semua penafsiran al-Qur‟an menjadi rasional positivistik dalam versi Barat juga mempunyai implikasi teoritis yang cukup serius, yaitu bahwa penafsiran yang tidak rasional akan dianggap keliru. Lebih fatal lagi, jika al-Qur‟an dianggap keliru karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu. Padahal ada wilayah-wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh dimensi rasionalitas akal manusia, bukan karena al-Qur‟an tidak rasional, tetapi karena al-Qur‟an bersifat meta-rasional.100

d. Tafsir Sufi

Apabila yang dimaksud dengan tasawuf adalah prilaku ritual yang dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari kemegahan duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka yang demikian merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak dikatakan sangat disukai. Akan tetapi dewasa ini “tasawuf” telah menjadi filsafat teoritis khusus yang tidak ada hubungannya dengan

wara‟, takwa dan kesederhanaan, serta filsafatnyapun telah

mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan Islam dan akidah, yang mempunyai pengaruh terhadap tafsir al-Qur‟an.

Gerakan tasawuf berjalan secara gradual. Tasawuf pertama kali muncul dari sikap zuhud secara total yang berusaha untuk melepaskan diri dari kehidupan duniawi dan berjalan melalui

99Mustaqim, Epistimologi Tafsir...,h. 157. Lihat pula Fazlur Rahman,

Islam and Modernity…,h. 3. 100

pemikiran-pemikiran emanasi ketuhanan yang sangat populer dalam aliran Neo Platonisme yang juga merupakan suatu pengetahuan bagi para sufi.101

Ibn „Arabi dipandang sebagai tokoh besar tasawuf falsafi teoritis. Ibn „Arabi menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawufnya, baik di dalam kitab tafsirnya yang populer maupun di dalam kitab-kitab lain yang dinisbahkan kepadanya, seperti kitab al-Fusūs. Ibn „Arabi adalah seorang penganut paham wihdat al-wujud.

Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah berkenan dengan Idris As. Terjemahan ayat: “Dan kami telah mengangkatnya ke tempat paling tinggi.” (Maryam [19]: 57), ia berkata, “Tempat paling tinggi adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu orbit matahari. Di situlah maqam (tempat tinggal) rohani Idris…” Kemudian ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah untuk kita, umat Muhammad, sebagaimana telah dijelaskan-Nya: Kalian adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (Muhammad [47]:35). Oleh sebab itu ketinggian yang dimaksudkan (berkenan dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan.”102

Penafsiran seperti ini, dan yang serupa berusaha untuk membawa nash-nash ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti lahirnya, dan tenggelam dalam ta‟wīl-ta‟wīl batil yang jauh serta menyeret kepada kesesatan seperti ilhād (ateisme) dan

penyimpangan.

101

Ignaz Goldziher, Madhāhib al-Tafsīr al-Islamī, Penerjemah M. Alaika Salamullah dkk, (Beirut: Dār Iqra‟, 1983 ), h. 217.

102Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān..., h. 357. Dalam

menafsirkan firman Allah yang artinya “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri…” (al-Nisā‟ [4]:1), ia mengatakan, maksud “bertakwalah kepada Tuhanmu” ialah: jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu dan jadikanlah pula apa yang tidak nampak dari kamu, yaitu Tuhanmu, sebagai penjagaan bagi dirimu. Ini mengingat persoalan itu hanya (terdiri atas) celaan dan pujian. Karena itu, jadilah kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah Ia sebagai penjagamu dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang paling beradab diseluruh alam.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik tafsir dalam penafsiran al-Qur‟an dapat ditinjau dari beberapa aspek yaitu sumber penafsiran, metode penafsiran dan corak penafsiran.