• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber dalam Menafsirkan al-Qur’an

AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang

A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an

2. Sumber dalam Menafsirkan al-Qur’an

Keberadaan sumber58 dapat menentukan kategori suatu tafsir disebut tradisional atau rasional.59 Dua sumber utama dalam memahami Qur‟an yaitu ayat-ayat Qur‟an itu sendiri (tafsīr

Qur‟ān bi Qur‟ān) dan sunnah Rasul (tafsīr Qur‟ān bi al-Hadīth).60

Di samping itu keterangan para sahabat dan tabi‟in mengenai makna suatu ayat juga dapat dijadikan sumber dalam menafsirkan Qur‟an. Penafsiran ini disebut dengan tafsīr bi

al-riwāyah, yaitu tafsir didasarkan atas riwayat. Riwayat bukan

satu-satunya sumber tafsir. Kedua, Saleh berpendapat dalam pengantar

57Penafsiran ayat dengan ayat merupakan cara yang terbaik dalam

menafsirkan al-Qur‟an sebgaimana yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah dalam kitab Muqadimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Dār al-Qur‟ān al-Karīm, 1971), h. 93.

58Al-Dhahabī menambahkan sumber yang harus digunakan oleh

mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah 1). Merujuk kepada al-Qur‟an,

menghimpun ayat-ayat yang satu topik lalu membandingkannya dengan ayat lain. 2). Riwayat dari Rasulullah Saw. dengan menghindari yang ḍa‟if. 3). Mengambil riwayat yang ṣahih dari sahabat. 4). Mengambil bahasa secara mutlak, karena al-Qur‟an turun dalam bahasa Arab. Harus dihindari membawa makna ayat dari makna lahiriah (jelas dan populer) kepada makna-makna lain dan asing yang hanya ada dalam sya‟ir dan sejenisnya. 5). Menafsirkan dengan apa yang dituntut oleh makna ucapan dan kekuatan syari‟at yang dimiliki. Lihat Muhammad Hussein Dzahabi, Tafsīr

al-Mufasirūn…, Jilid 1, h. 152.

59Yusuf, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap Sumber, Metode dan

Ittijah…, h. 52. 60

Abd al-Rahman Muhammad Khalifah menjelaskan bahwa sumber

tafsīr bi al-ma‟thūr adalah; al-Qur‟an, Sunnah, perkataan sahabat, perkataan

tabi‟in. Lihat Abd Rahmān Muhammad Khalifah, Dirasat fī Manāhij

bahwa kategori tradisional tafsīr bi-al-ma'thūr (tradisi-based) dan

tafsīr bi ra'yī (berbasis-pendapat). Sebagian besar tafsīr bi al-ma‟thūr pada kenyataanya merupakan tafsīr bi al-ra'yī.61

Tafsir dapat bersumberkan kepada pendapat mufassīr itu sendiri berdasarkan kepada pemahaman kebahasaan dan ilmu pengetahuan lainnya (tafsīr

bi al-dirāyah).62

Uraian lebih rinci sumber dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah : a. Tafsīr bi al-Ma‟thūr terdiri dari:

1). Menafsirkan ayat dengan ayat

Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang diwahyukan di berbagai waktu, namun mengacu pada pokok yang sama. Maksudnya ada satu ayat disusul oleh satu ayat lain yang releven dengan yang diturunkan dua tahun kemudian, ayat ke dua mengandung pokok yang sama tetapi dalam situasi-situasi baru. Ayat-ayat yang berupa kelanjutan itu merefleksikan kondisi-kondisi yang lebih baru, sambil melengkapi pengertian yang dikandung dalam ayat-ayat yang mendahuluinya.63 Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat pada suatu ayat, kadang-kadang dijelaskan oleh ayat lain. Penjelasan tersebut boleh jadi dijelaskan oleh ayat sesudahnya secara berurutan maupun ayat lain yang terdapat pada surah yang sama atau surat yang

61Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035), International Journal

of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4, (Nov., 2005), pp. 617-619:

http://www.jstor.org/stable/3879650.Accessed: 29/01/2015 02:3.

62Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 134.

Kelemahan tafsīr bi al-ma‟thūr, al-Ghazali, Ihya..., Jilid 3, h. 142, jika penafsiran hanya diperbolehkan dari hadis Nabi, maka pendapat dari ucapan dari Ibn Abbas dan Ibn Mas‟ud harus ditolak, 2. Ucapan sahabat terkadang bertentangan, ini menunjukan tidak mungkin seluruhnya berasal dari Nabi, 3. Ibn Abbas pernah dido‟akan Nabi supaya menjadi orang yang ahli dalam agama dan tafsir, jika pemikiran tidak boleh dipakai dalam penafsiran, tentu do‟a tersebut tidak berlaku, 4. Dalam al-Qur‟an pemikiran (istinbaṭ) dipuji (QS: 4: 83), terkadang pemikiran berlawanan dengan hadis . Ini menunjukan sebagian hadis tidak benar. Lihat Salman Harun, Jurnal Ilmu dan

Kebudayaan Ulum al Qur‟an, No. 4, Vol. IV, thn 1993, 63.

63Ibn Qayyim Jauziyah, ed. Sukardi K.D, Belajar Mudah Ulūm

berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 2. Ayat ini ditutup dengan lafaẓ al-muttaqīn, namun tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan muttaqīn. Penjelasan muttaqīn dapat dilihat pada ayat sesudahnya yaitu ayat 3-5 dari surat al-Baqarah tersebut. Selain itu, pengertian muttaqīn juga dijelaskan dalam surat Ali Imrān (3) ayat 134-135.64

Contoh lain penafsiran ayat dengan ayat dapat dilihat pada penfsiran kata ṭāriq pada ayat pertama dari surat ṭāriq dengan

al-najm al-tsabiq (bintang yang cahayanya menembus (kegelapan).

Demikian juga penafsiran QS. al-Fātihah [1]: 7, terjemahannya: “Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka“. Ditafsirkan dengan firman-Nya QS. al-Nisā‟ [4]: 69, terjemahannya: “Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yakni para nabi, para pecinta kebenaran dan orang-orang saleh.65

Penafsiran ayat dengan ayat merupakan penafsiran terbaik, apabila penafsiran tersebut diduga keras bahwa ayat tersebut yang menafsirkan ayat yang lain berdasarkan indikator yang kuat.66„Aisyah bint al-Shati secara eksplisit menggunakan metode ini dalam menafsirkan al-Qur‟an. Metode ini, menurut pengakuannya sendiri, diambil dari suaminya, Amin al-Khuli. Salah satu prinsip umum dalam menafsirkan al Qur'an adalah menafsirkan Qur‟an dengan al-Qur‟an (al-Qur'ān yufassir ba'duh ba'd).67

Metode ini memungkinkan

64Contoh lain penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an adalah ketika

menafsirkan “kalimat dalam firman Allah Swt yang artinya: “Lalu Adam menerima kalimat dari Tuhannya, lalu Dia menerima taubatnya “ (QS. al-Baqarah [2] : 73). Kata tersebut ditafsirkan dengan firman Allah, artinya : Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi. (QS. al-A‟rāf [7] : 23). Penafsiran ini merupaka pendapat sebagian ulama. Lihat Yunus Hasan Abidu, Dirāsat wa Mabāhith fī Tarīkh al-Tafsīr

wa Manāhij al-Mufasirīn, terj., Tafsir al-Qur‟an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h. 5.

65M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan

Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an, (Tangerang:

Lentera Hati, 2013), h. 350.

66M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir..., h. 351.

67Kafrawi, “Methods of Interpreting the Qur‟an: A Comparison of

ayat-ayat berbicara dengan al-Qur‟an itu sendiri, dalam arti bahwa satu ayat menafsirkan ayat lain, sehingga memungkinkan al-Qur'an untuk menyampaikan pesan tertentu dalam al-Qur‟an.

2). Menafsirkan ayat dengan Hadis

Hadis sebagaimana didefinisikan oleh umumnya ulama- seperti definisi al-Sunnah- sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. baik ucapan, perbuatan dan taqrīr (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Ulama Uṣūl Fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum, sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrīr beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal itu disebut dengan al-Sunnah.

Pengertian hadis yang dikemukakan ulama uṣūl, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah Swt. yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu al-Qur‟an.68 Mufassīr Sayid Quthb misalnya, mengambil hadis tidak hanya untuk mendapatkan makna teks al-Qur‟an, tetapi karena hadis merupakan salah satu sumber dalam interpretasi al-Qur'an. Sunnah diperlukan dalam menafsirkan al-Qur‟an karena fungsi nabi sebagai penjelas al-Qur‟an.69 Hal ini didukung dengan penjelasan makna al-Qur‟an tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan yang mendalam tentang tradisi-tradisi Nabi.70

Senada dengan Sayyid Quthb, Abdul Karim Amrullah berpandangan bahwa Sunnah adalah sumber independen ajaran Islam

1998), pp. 3-17, http://www.jstor.org/stable/20836975 .Accessed:

08/01/2015.

68M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān..., h. 121. Lihat M.

Ajjad Khatib, Uṣul Hadith Ulūmuhu wa Musṭolahuhu, (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), h. 27.

69

QS. al-Nahl [16]: 44. Artinya: “ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

70Ṭāhir ibn ʿĀshūr, “The Career and Thought of a Modern Reformist ,

with Special Referenceto His Work of tafsr”, Journal of Qur'anic Studies,

Volume. 7, No. ,1 (2005), pp. 1-32,

setelah al-Qur‟an. Posisi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an, menjelaskan persoalan-persoalan yang tidak ditemukan atau tidak diuraikan secara rinci di dalam al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam dapat memahami ajaran Islam secara mendetail.71

Di kalangan tertentu, baik di dalam maupun di luar kalangan Muslim, ada yang mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari Nabi, padahal tidak berasal dari Nabi. Abdul Karim Amrullah mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam membedakan hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw. dan hadis yang tidak berasal dari Nabi Muhammad Saw. Upaya-upaya cermat dalam menilai hadis dapat menyelamatkan kaum Muslimin dari kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan. Untuk mengetahui hadis yang benar dan palsu, Inyiak Rasul berpendapat bahwa kaum Muslimin mempelajari Musṭalah al-Hadith (Ilmu Hadis).72

Tafsir pada masa Rasulullah Saw. menunjukan seolah-olah Rasulullah Saw. menjadi satu-satunnya pemegang otoritas kebenaran tafsir, sehingga segala bentuk penafsiran yang sumbernya tidak berasal dari Nabi Muhammad Saw. atau tokoh-tokoh sahabat yang mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad Saw. dipandang sebagai bukan tafsir. Situasi ini, pada saat yang sama dapat menekan budaya kritisme.73

Tidak rasional jika dikatakan bahwa al-Qur‟an diajarkan tanpa memperhatikan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. di bidang politik, sosial kemasyarakatan dan pengambilan keputusan. Al-Qur‟an tidak dapat dipahami secara tersendiri karena ayat-ayatnya bersifat situasional. Sunnah Nabi memiliki posisi yang penting. Tidak ada yang dapat memberikan pertalian logis bagi pengajaran al-Qur‟an kecuali pengetahuan mengenai kehidupan Nabi dan zamannya. Sunnah Nabi seharusnya dipahami sebagai living sunnah yang dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan dengan konteks kekinian. Konsep sunnah lebih

71Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century.

Penerjemah.Theresia Slamet, (Jakarta : INIS, 2002), h. 34.

72Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah...,h. 34.

73Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:

merupakan konsep pengayoman daripada sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak.74

Seorang mufassīr harus memahami peranan Nabi pada masanya. Nabi terkadang melakukan pembatasan hukum (taqyīd) atau menghapus kembali putusannya sebagai bentuk ijtihad yang sarat dengan situasi sosio-geografis tertentu. Pemahaman bahwa ijtihad nabi bersifat nisbi dan relatif, menjadi sangat penting agar umat Islam dapat keluar dari kukungan wacana Islam yang bersifat kearaban dari sisi lokalitasnya dan wacana Islam abad VII M dari sisi waktunya, menuju wacana Islam yang lebih universal.75 Penafsiran Nabi Saw.76 bermacam-macam bentuk, sifat dan hukum yang ditarik darinya serta motivasi penyampaiannya.

3). Menafsirkan al-Qur‟an dengan perkataan sahabat.

Penjelasan Nabi Saw. terhadap al-Qur‟an tidak meliputi keseluruhan makna ayat-ayat al-Qur‟an. Para sahabat setelah Rasulullah wafat berusaha melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan kaidah-kaidah ushūl al-tafsīr.77 Rujukan sahabat dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah:

a). Al-Qur‟an al-Karim. b). Hadis Nabi Saw.

c). Pengetahuan sahabat tentang bahasa Arab.

d). Pengetahuan sahabat mengenai adat kebiasaan orang Arab. e). Pengetahuan sahabat tentang keadaan orang-orang Yahudi

dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya al-Qur‟an. f). Kemampuan pemahaman sahabat yang cukup luas.

74

Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 155. Lihat Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 12-27.

75Fazlur Rahman, Islam…, h. 156. Lihat Muhammad Syahrur, Nahwah

Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islamī…, h. 193. 76

Sebagai contoh penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dengan perkataan sahabat adalah ketika Rasulullah menafsirkan kata “kekuatan” dengan kata “memanah” yang terdapat dalam surat al-Anfāl ayat 60. Artinya “Dan siapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggup”. Beliau bersabda: “Ingatlah kekuatan itu adalah memanah.” Yunus Hasan Abidu, h. 6.

77Dasar-dasar penafsiran yang harus dimiliki oleh seorang mufassīr

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Lihat Abd Rahmān al-A‟k, Ushūl al-Tafsīr wa

g). Pemahaman dan ijtihad. Jika para sahabat tidak menjumpai penafsiran

dalam al-Qur‟an dan tidak mendapatkan penjelasan dari Rasulullah, maka sahabat melakukan ijtihad dengan mengerahkan kemampuan nalar.78

Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw. Secara musyāfahat (dari mulut ke mulut). Di antara sahabat yang populer menafsirkan al-Qur‟an adalah : khalifah yang empat, Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zayd binThabit, Abū Musa al-Ays‟arī dan Abd Allah bin Zubair.79

Penafsiran sahabat wajib diikuti. Hal ini karena sahabat menyaksikan turunnya ayat dan melihat sendiri penafsiran al-Qur‟an.

Sahabat tidak memerlukan keterangan yang lebih rinci dalam memahami suatu ayat, melainkan cukup dengan suatu syarat dan penjelasan global. Oleh karena itu, Nabi tidak perlu memberikan penjelasan rinci ketika sahabat bertanya mengenai maksud suatu ayat atau kata dalam al-Qur‟an80 karena sahabat mengetahui dan menyaksikan langsung al-Qur‟an diturunkan.

b. Tafsīr bi al-Ra‟yī

Berbagai mazhab dan aliran muncul di kalangan umat Islam setelah berakhir masa salaf serta peradaban Islam semakin maju dan berkembang. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka.81 Dalam perkembangan tafsir, ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr bi

al-ra‟yī. Pendapat pertama tidak membolehkan atau tidak menerima tafsīr bi al-ra‟yī, jika penafsiran dilakukan berdasarkan ra‟yu

(pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang terdapat dalam menafsirkan al-Qur‟an.82 Sebaliknya penafsiran

bi al-ra‟yī dibolehkan jika menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah

Rasul serta kaedah-kaedah yang mu‟tabarah (mensah secara bersama).83 Persyaratan ini diharuskan dalam menafsirkan al-Qur‟an

78Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 335.

79Al-Shaleh, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 336 .

80

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 62.

81

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 57.

82Ibn Taimiyah, Muqaddimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Beirut: Dār Ibn

Hazmin, 1418 H/1997 M), h. 96.

83

adalah untuk meminimalisir terjadinya spekulasi dalam penafsiran. Pemakaian riwayat dalam tafsīr bi al-ra‟yī hanya sekedar legitimasi tidak menjadi subjek penafsiran. Pada hakekatnya tafsīr bi al-ma‟thūr tidak terlepas dari tafsīr bi al-ra‟yī.84

Tafsīr bi al-ra‟yī merupakan tafsir yang penjelasan maknanya

hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan berdasarkan ra‟yu semata.85 Penafsiran bi al-ra‟yī bila didasarkan pada akal semata, maka penafsiran tersebut adalah batil. Ibn Ashur,

mufassīr kontemporer, menerima ra‟yu sebagai sarana dalam

menafsirkan al-Qur‟an, tetapi Ibn Ashur juga menyatakan sejumlah keberatan tentang penggunaan ra‟yu.

Tafsīr bil-ra‟yī tidak harus bersandarkan pada akal semata,

tetapi harus didukung oleh pemahaman bahasa Arab dan ilmu-ilmu lain yang terkait. Harus melibatkan pertimbangan terhadap kontekstual dan tekstual ayat ; seharusnya tidak menjadi alat untuk membenarkan ide yang terbentuk sebelumnya atau doktrin ideologis; dan harus selalu sadar bahwa teks al-Qur‟an dapat dipahami dalam berbagai cara.86

c.Tafsīr bi al-Isharī

Allah Swt. memberi bermacam-macam potensi kepada setiap manusia sebagai rahmat-Nya. Antara lain, potensi akal dan zauq (hal-hal yang bathini). Kedua (hal-hal tersebut perlu dilatih supaya berdaya guna dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh kecenderungan seseorang dalam melatihnya, maka akal manusia akan lebih tajam dan berkembang. Begitu pula sebaliknya, apabila zauq yang lebih diutamakan melatihnya, maka akan lebih menonjol dan tinggi rasa zauq dalam menilai sesuatu, termasuk memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk.

84Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition: The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035),” International Journal

of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4 (Nov., 2005), pp. 617-619,

http://www.jstor.org/stable/3879650. Accessed: 29/01/2015 02:39.

85

Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 488.

86Ṭāhir ibn ʿĀshūr: The Career and Thought of a Modern Reformist

lim, with Special Referenceto His Work of tafsr, Author(s): Basheer M.

Nafi.“Journal of Qur'anic Studies, Vol. 7, No. 1 (2005), pp.

Potensi akal dan zauq dapat menalar dan memahami makna al-Qur‟an sebagai hudān dalam semua aspek kehidupan. Mengungkap petunjuk al-Qur‟an yang sesuai dalam segala zaman, memberi indikasi akan keterbukaannya untuk diinterpretasikan melalui berbagai metode dan pendekatan. Hal ini sejalan dengan perkembangan intelektualitas dan pengalaman rohani atau aspek internal. Di antara kelompok sufi ada yang mendakwahkan bahwa riyāḍah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi akan menyampaikannya ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat suci yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dan akan tercurah pula ke dalam hatinya, dari limpahan gaib.

Setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna zahir ialah apa yang mudah dipahami akal pikiran, sedangkan makna batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak bagi ahli suluk. Tafsīr isharī, jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbaṭ yang baik dan sesuai dengan maksud zahir bahasa Arab serta didukung oleh bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka tafsīr isharī dapat diterima.87

87Contoh tafsir ishārī ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang artinya: ia berkata Umar memasukkan aku bergabung dengan tokoh-tokoh tua veteran perang Badar. Nampaknya sebagian mereka tidak suka dengan kehadiranku dan berkata, “Mengapa anda memasukan anak kecil ini bergabung bersama kami padahal kamu pun mempunyai anak-anak sepadan dengannya?” Umar menjawab, “Ia memang seperti yang kamu ketahui.”Pada suatu hari Umar memanggilku dan memasukan ke dalam kelompok mereka. Aku yakin bahwa Umar memanggilku semata-mata hanya untuk “memamerkan” aku kepada mereka. Lalu ia berkata, “Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah yang artinya : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan…” (al-Nāṣ [110]:1)?” Di antara mereka ada yang menjawab, “Kami diperintah agar memuji Allah dan memohon ampunan kepada-Nya ketika kita memperoleh pertolongan dan kemenangan.” Sedang sebagian yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Umar kemudian bertanya kepadaku, “Begitukah pendapatmu, wahai Ibn Abbas?” “Bukan”, jawabku, “Lalu bagaimanakah pendapatmu?” tanyanya lebih lanjut. Aku menjawab: “ayat itu menunjukkan tentangt ajal Rasulullah yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman: Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda datangnya ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha

Tafsīr isharī88

selama ini banyak dihasilkan oleh pengamal tasawuf yang memiliki kebersihan hati dan ketulusan. Oleh karena itu tafsir ini dinamai juga dengan tafsir sufi. Tafsir sufi secara luas diterima sebagai genre sastra ilmiah.Para sufi selalu menanamkan arti esoterik yang terdapat dalam al-Qur‟an.89

Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa penafsiran (yang dilakukan) orang berkisar pada tiga hal pokok; tafsir mengenai lafaz ditempuh oleh golongan muta‟akhirīn, tafsir tentang makna dikemukakan oleh kaum salaf dan tafsir tentang isyarat oleh mayoritas ahli sufi dan lain-lain. Tafsir isharī tidak dilarang asalkan memenuhi empat syarat :90

1.Tidak bertentangan dengan makna (zahir) ayat. 2.Maknanya itu sendiri sahih.

3.Pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna

isharī) tersebut.

4.Antara makna isharī dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.

Penerima taubat.” Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan itu.” Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm

al-Qur‟ān…, h. 357.

88Tafsīr isharī merupakan makna-makna yang ditarik ayat-ayat

al-Qur‟an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan hati dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafaznya. Lihat Shihab,

Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat al-Qur‟an…, h. 369. Al-Zarqanī mengatakan tafsīr isyarī adalah menakwilkan al-Qur‟an dengan makna yang bukan maka

lahirnya karena terdapat isyarat samar yang dapat diketahui olehorang yang menempuh jalan tasawuf dan mempunyai kemampuan untuk memadukan