• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Awal Islam di Minangkabau

AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang

A. Sejarah Awal Islam di Minangkabau

Tidak dapat dipungkiri masuknya Islam di Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari proses sejarah Islamisasi yang terjadi di pesisir Utara Sumatera kira-kira abad ke XVI-XVII. Daerah Aceh dan sekitarnya tidak hanya sebagai sentra intelektual dan banyak melahirkan ulama yang berpengaruh dalam menyebarkan Islam di Nusantara, tetapi juga merupakan pusat pemerintahan Islam Nusantara pada masa lalu.

Kota pesisir Ulakan (tempat di mana Syekh Burhanuddin (w.1692),1 salah satu pendakwah Muslim pertama menyebarkan Islam di Minangkabau), menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu Islam,

1

Mengenai wafat Syekh Burhanuddin ada yang menyebut tahun 1691. Burhanuddin lahir di Guguak Sikaladi, termasuk Nagari Pariangan Padang Panjang pada tahun 11 Safar 1026 H. Lihat Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi

Intelektual Islam Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tanah Awal Abad XX, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan

Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 59. Syekh Burhanudin meninggal di Ulakan pada bulan Safar (1111 H/1691 M). Murid-murid Syekh Burhanuddin yang datang menuntut ilmu dari berbagai nagari Minangkabau di antaranya ialah Tuanku Mansingan Nan Tuo (di Koto Lawas dekat Padang Panjang). Dijelaskan bahwa Syekh Burhanuddin bukanlah yang mula-mula menyebarkan Islam di Minangkabau, namun beliau adalah seorang ulama yang berperan dalam kemajuan Islam di Minangkabau, karena diketahui sudah ada raja Islam pertama di Pagarruyung yang bernama Raja Alam Alif kira-kira pada tahun 1600 M, satu abad sebelum Burhanuddin. Lihat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul

Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:

khususnya pada awal abad ke-17. Ulakan adalah tempat di mana guru-guru agama pertama di daerah memperoleh pendidikan. Dalam sejarah perkembangan berikutnya, mantan-mantan siswa madrasah di Ulakan juga mendirikan sekolah-sekolah dan menjadikannya pusat-pusat pengkajian agama. Setelah itu, Ulakan lebih banyak memusatkan diri pada ajaran-ajaran mistik, sedangkan dua tempat lain, yaitu Padang Ganting dan Lubuak Agam menjadi tempat penting untuk pengkajian fiqh (yurisprudensi Islam) dan tafsir (interpretasi al-Qur‟an).2

Syekh Burhanuddin pernah belajar beberapa tahun kepada al-Sinkili dan setelah kembali dari Makkah Syekh Burhanuddin mendirikan surau di daerah Ulakan. Wilayah Minangkabau pada masa Syekh Burhanuddin belum seutuhnya menerima Islam sebagai pegangan hidup sehari-hari. Bahkan masih banyak dijumpai masyarakat yang menganut kepercayaan lokal.3 Meski bukan satu-satunya, tarekat Syattariyah yang mengusung neo-sufisme yang dibawa Syekh Burhanuddin jelas masih dalam rangka mengajarkan dasar-dasar keimanan kepada masyarakat, terutama ajaran tauhid.

Sebagaimana dimaklumi, walaupun berada pada garis terdepan paham neo-sufisme di wilayah Minangkabau, Burhanuddin dan tarekat Syattariah-nya tidak bisa melepaskan anggapan yang umum ini. Hal ini dikarenakan tidak adanya penolakan-penolakan yang tegas terhadap paham ini dalam beberapa kitab yang ditulis pendahulu Burhanuddin. Abdarrauf bin Ali al-Jawi misalnya demikian Fathurahman, hanya memberi penafsiran ulang terhadap doktrin wujudiyah sehingga lebih mudah diterima. Agaknya guru-guru Syattariyah di Minangkabau memahami dinamika intelektual masyarakat Minang dalam proses yang disebut oleh Taufik Abdullah sebagai akulturasi. Bagaimanapun, keutuhan dan kemurnian ajaran tetap harus digapai, meskipun pada saat yang sama aspek-aspek tradisi lokal juga dipertimbangkan untuk diakomodasi sepanjang tidak

2Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century,

Penerjemah Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002), h. 52.

3Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, di sekeliling Sumatera

Tengah terdapat beberapa bekas pengaruh Hindu dan Budha, sampai ke Padang Lawas dan di sekeliling Pagarruyung masih dijumpai batu bersurat. Meskipun rajanya memeluk agama Hindu atau Budha, namun orang Minangkabau telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Lihat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah...,h. 3.

melanggar esensi dari agama. Ini hanya proses yang terus berlanjut dalam dinamika Islamisasi, dimana dalam proses ini pencarian bentuk-bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan agama yang sesungguhnya pada satu sisi dan pada sisi lain dapat diterima secara luas menjadi keharusan.4

Oleh sebab itu, meski menyerap ragam tradisi lokal, namun wajah tarekat yang diperkenalkan mesti jelas secara hitam putih. Sasarannya adalah untuk menemukan variasi dan corak yang sesuai. Dalam konteks tarekat Syattariyah di Minangkabau, mereka berusaha mendekatkan masyarakat yang sudah mengidentifikasi diri mereka sebagai penganut Islam kepada ajaran utuh yang abadi, yakni kearah ortodoksi yang sesungguhnya, dalam hal ini ajaran Ahl al-Sunnah wa

al-Jama‟ah. Mau tidak mau seluruh ajaran wujudiyah mesti

ditanggalkan dalam praktek pengembangan keagamaan di lembaga-lembaga yang mereka bina.

Sebagaimana yang disebut oleh Oman Fathurahman bahwa doktrin wujudiyah di kalangan penganut tarekat Syattariyah Minangkabau telah dilucuti dari keseluruhan ajaran-ajaran tarekat ini. Agaknya ini merupakan prasyaratan agar aktifitas dakwah mereka diterima dengan baik. Tulisan-tulisan sarjana Belanda mengenal tarekat di Nusantara dan wilayah-wilayah Islam pada kurun abad ke-17 dan ke-18 mengisyaratkan betapa seriusnya upaya-upaya para ulama dalam menjernihkan masalah ini.5

Penyelesaian juga menyangkut dengan kebiasaan-kebiasaan masa lalu. Hamka melihat bahwa tasawuf yang dikembangkan cenderung dijadikan sebagai “penyesuaian diri” antara tradisi lokal, ritual-ritual yang telah berlangsung sebelum kedatangan Islam, seperti memuja kuburan, memuja wali dan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan suasana lokal, termasuk dalam hal ini suasana politik, di mana tasawuf menjalankan fungsinya sebagai saluran untuk menyuarakan ketidakpuasan di bidang politik agar dapat menjamin kepentingan-kepentingan mereka melalui jaringan komunikasi yang

4Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Dunia

Melayu-Indonesia: Kajian atas Dinamika Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatera Barat, (Universitas Indonesia: Progran Studi Pascasarjana,

2001), h. 231.

5Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau..., h.

luas. Metode yang digunakan, jika boleh dianggap sebagai model dalam rangka mengajari umat untuk memeluk agama Islam adalah dengan mendekatkan tasawuf dengan praktek-praktek sebagaimana pengenalan tahap awal Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan. Tetapi sejauh ini tidak diperoleh sumber-sumber akurat yang berkenaan dengan ajaran-ajaran lokal seperti apa yang dicoba diserap dalam ajaran-ajaran tasawuf. Sebuah penegasan penting, meskipun masih terlalu umum, mungkin sedikit bisa menjelaskan apa yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin.6

Dengan demikian boleh dikatakan bahwa, keilmuan tasawuf yang berkembang dalam tradisi tarekat Syattariyah di Minangkabau telah banyak mengalami penyesuaian, terutama dalam hal konsep wujudiyah tersebut. Menjernihkan, kata ini yang paling sesuai untuk menggambarkan dinamika yang terjadi unsur-unsur wujudiyah pastinya berdampak pada khazanah pendidikan yang dikembangkan oleh surau-surau berbasis Syattariyah. Pada tahap selanjutnya, beberapa fase gelombang perubahan baik pemurnian maupun pembaharuan yang terjadi di Minangkabau hingga awal abad XX, tidak hanya melucuti paham wujudiyah, malah kian membentuk harmonisasi antara syariat dan tasawuf. Pengetahuan tasawuf tetap diajarkan pada surau-surau berdampingan dengan materi-materi pengetahuan lain. Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang lebih berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan kutub yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang syariat menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-murid bisa berpindah dari satu tarekat kepada tarekat lain dengan sedikit dislokasi intelektual.

Dalam mengajarkan syariat secara lebih khusus fiqh, surau tampaknya hampir sama. Kebanyakan Tuanku Syekh mempunyai pemahaman yang jelas mengenai kemampuan spiritual dan intelektual mayoritas murid-muridnya dan rahasia cara tarekat yang umumnya

6

Cara Syekh Burhanuddin memasukkan agama Islam kepada penduduk dengan lunak lembut serta ramah tamah dengan jalan berangsur-angsur. Sedikit demi sedikit dengan tidak disadari dan diketahui oleh rakyat akhlak dan perasaan mereka telah menjadi akhlak Islami dan perasaan Islam telah mendalam di hati rakyat dan dengan tidak dirasakan, mereka telah menjadi pemeluk Islam yang taat.

diperuntukkan bagi hanya sedikit murid yang terpilih (al-khawas); sedangkan mayoritas murid diajarkan pertama kali dasar-dasar Islam dan kemudian dibimbing kepada tingkah laku yang benar melaluii pengajaran syariat.

Antara tahun 1850-1900 kondisi sosial keagamaan di Minangkabau atau Sumatera Barat berada pada posisi menurun. Sementara kendali politik sepenuhnya telah beralih di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Melemahnya dinamika kehidupan beragama -dalam hal ini aspek pembaharuan- di daerah ini disebabkan oleh perang Paderi yang dimenangkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Walaupun secara fisik Belanda berhasil mematahkan perlawanan Paderi dan gerakannya telah terhenti, namun pengaruh ajaran Paderi tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh Belanda. Paling tidak, kekuatan batin tetap dapat dirasakan di mana-mana yang disebabkan oleh teguhnya pegangan kepada ideologi politik.7

Sebelum pertengahan tahun 1910-an, pergerakan kemajuan yang berorientasi adat harus menghadapi perlawanan yang meningkat dari modernis Islam. Syekh Achmad Khatib mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan pembaharuan pemikiran di Sumatera Barat. Walaupun tidak terlibat langsung dalam pertentangan tersebut, namun murid-murid Syekh Achmad Khatib yang belajar dengan beliau di Makkah mempropagandakan idenya pembaruan ortodok di Sumatera Barat. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Syekh M. Djamil Djambek di Bukit Tinggi, Haji Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang, Haji Rasul (juga dikenal sebagai Syekh Abdul Karim Amrullah) di Maninjau, Padang Panjang dan Umar Thaib Umar di Batu Sangkar.8

7Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1985), h. 15.

8Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement

in West Sumatera, (1927-1923)…, h. 15. Mereka menyerang tarekat, orang

yang murtad dan menentang inovasi yang tidak sah dalam praktek agama. Pergerakan pembersihan mereka sangat dipengaruhi oleh pembaharuan Mesir abad 19, Sekh Muhammad Abduh. Sebelum dekade kedua abad 20, golongan pembaharu ini, juga disebut sebagai Kaum Muda, telah mulai mencela ahli agama tradisional karena menilai agama hanya berdasarkan naqli. Para pembaharu menyatakan bahwa kepercayaan (iman) jika berdasarkan taqlid (penerimaan yang tidak kritis terhadap otoritas tekstual) semata adalah salah.

Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang lebih berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan kutub yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang syariat menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-murid bisa berpindah dari satu tarekat kepada yang lain dengan sedikit dislokasi intelektual. Dalam mengajarkan syariat atau secara lebih khusus fiqh, surau tampaknya hampir sama.

Semua buku fiqh terkenal sangat serupa. Buku-buku fiqh berbicara tentang rukun Islam yang lima; syahadat, salat, puasa, haji dan zakat yang berada di dalam bidang ibadah, atau akhlak yang mengatur tingkah laku manusia terhadap Tuhan. Murid-murid yang sudah lebih maju dapat mempelajari aspek-aspek hukum Islam lain, yang mengatur hubungan manusia (mu‟amalat), seperti hukum warisan, hukum perkawinan dan lain-lain. Pelajaran syariat ini tidak semata-mata merupakan kajian teoritis, tetapi dianggap lebih sebagai aspek praktis dari ajaran agama dan sosial yang diajarkan Nabi Muhammad, yang secara natural berasal dari al-Qur‟an di mana Tuhan memerintahkan dan melarang, memberi ganjaran dan hukuman. Di seluruh Minangkabau, buku pegangan yang terkenal untuk pengajaran syariat adalah sama; yaitu Minhaj al-Thālibīn, di mana orang Minangkabau menyebutnya dengan kitab fikh. Semua surau terkemuka Minangkabau mencoba mencapai reputasi dalam pengajaran syariat, yang sekarang menjadi pengajaran Islam yang paling utama.

Cabang penting lain pengajaran Islam adalah tafsir dan uṣūl

al-dīn. Untuk pengajaran tafsir, surau biasanya menggunakan dua kitab

tafsir terkenal; Tafsīr Jalālain dan Fath al-Qarīb. Tafsir pertama ditulis Jalāl al-Dīn al-Mahallī (w. 864/1460) dan Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi (w.1512). Kitab standar untuk pengajaran Ushūl al-Dīn adalah Umm

al-Barahum, yang juga disebut Aqidat al-Sanusi. Kitab ini ditulis Abu

„Abd Allah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (w.895/1490). Kemudian, dua mufassīr, „Abd Allah Muhammad al-Telemsani dan Ibrahim Muhammad al-Bajuri (w.1260/1840) menulis dua syarh (penjelasan) yang terpisah mengenai Umm al-Barahūm. Kedua syarh

Sumber hukum agama adalah al-Qur‟an dan Hadis. Ilmuan harus kembali ke sumber orisinil. Menurut ulama Kaum Muda berjuang mencapai kebenarana dengan menggunakan akal adalah suatu ijtihad.

tersebut sangat mungkin juga digunakan di surau. Cara mutlak memahami semua buku teks yang telah disebutkan itu, tentu saja menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplinnya, yang tercakup dalam ilmu alat. Kitab bahasa Arab standar di surau adalah

Muqaddamat al-Ajrumiyyah karya Abu „Abdullah al-Ajurrum (w.

723/1323) dan Al-Awāmil al-Mi‟at karya „Abd al-Qahīr al-Jurjani. Kedua kitab membahas semua aspek tata bahasa Arab, seperti tafsīr,

maṣdar, ejaan, tata kalimat dan sebagainya.9