AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang
A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an
4. Diskursus tentang Perbedaan Tafsir
Sudah menjadi ketentuan Allah Swt. adanya perbedaan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Antara satu dengan yang lain boleh jadi mempunyai sudut pandang dan hasil pemikiran yang berbeda dalam memberikan suatu kesimpulan terhadap satu persoalan yang sama. Hal ini juga terjadi dalam upaya menggali maksud dan kandungan al-Qu‟ran. Realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dulu telah terjadi ikhtilāf atau perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an.
Munculnya perbedaan dapat disebabkan oleh adanya pengulangan (repetition), namun bukan pengulangan hal yang sama, melainkan pengulangan yang memunculkan sesuatu yang baru. Ulama salaf ketika membandingkan teks-teks yang diulang-ulang dan melihat adanya perbedaan (difference) di antara teks-teks tersebut, erusaha menjelaskan bahwa perbedaan tersebut tidak menyebabkan
ambiguitas atau kontradiksi makna teks.103 Tepatnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan tersebut menunjukkan ke-i‟jaz-an, dalam arti bahwa teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa terjerumus ke dalam pengulangan secara literal.104
Ikhtilāf dalam penafsiran al-Qur‟an merupakan suatu ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafaz al-Qur‟an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah dari ayat itu, di mana
103Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik Terhadap
Ulūm al-Qur‟ān. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1993),
h. 229.
104Sebagai contoh dapat dilihat pada Nabi Musa dalam al-Qur‟an yang
muncul berulang-ulang dalam berbagai surat, tetapi pengulangan tersebut senantiasa memberikan sesuatu yang baru. Kisah Nabi Musa dan keluarganya muncul dalam beberapa surat dengan pola yang berbeda-beda. Kisah Nabi Musa di antaranya terdapat pada QS. Naml [27] : 7, Ṭaha [20] : 10, al-Qaṣas [28] : 29.
sang mufassīr kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassīr lainnya.105
Pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa sekecil apapun perbedaan dalam menafsirkan al-Qur‟an, dapat dikategorikan sebagai sebuah ikhtilāf. Ikhtilāf dalam tafsir dapat diklafikasikan menjadi dua macam :
1. Ikhtilāf tanawu‟yaitu yang bersifat variatif.
2. Ikhtilāf taḍād adalah perbedaan yang bersifat kontradiktif.106
Ikhtilāf tanawu‟ dan ikhtilāf taḍād telah terjadi pada ulama
salaf, namun perbedaan yang bersifat kontradiktif sangat sedikit sekali terjadi.
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawu‟ adalah : pertama ; sebuah kondisi di mana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang sahihatau kedua ; makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda atau ketiga ; terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang sahih.107
Ikhtilāf taḍād yaitu ketika makna-makna itu saling menafikan
satu sama lain dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu di antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.108
Adapun yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah :
1. Ikhtilāf berdasarkan pada sandaran nash.
2. Ikhtilāf berdasarkan oleh selain nash-dalam hal ini adalah ra‟yu.109
Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilāf berbeda-beda bila ditinjau dari sisi tafsīr bi al-ma‟thūr dan tafsir bi al-ra‟yī.
105Muhammad „Afīf al-Dīn Dimyaṭī, Ilm al-Tafsīr Uṣūluhu wa
Manāhijuhu, (Sidoarjo, Lisan Arabi, 2017), h.2.
106Musa‟id ibn Sulaiman al-Thayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr,
(Dammam : Dār Ibn al Jauzy K.S.A, h. 1420 H/1999 M) Cet. Ke.3, h. 55.
107Ahmad ibn Abd Halim ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ Ṣirāṭ
al-Mustaqīm li Mukhalafah Aṣhab al-Jahīm, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
1404 H), Cet. 1, Jilid 1, h. 129-130.
108Ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm..., Jilid 1, h. 129-130.
109Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah,
Dalam perkembangannya tafsīr bi al-ma‟thūr terdapat silang pendapat pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat. Pendapat ini sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan generasi sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicakupnya:
1. Perbedaan antara satu mufasir dengan mufasir lain dalam menguraikan maksud suatu lafaz al-Qur‟an dengan redaksi berbeda dan menunjukan makna yang tidak sama, namun mempunyai maksud yang sama. Penafsiran kata ṣirāṭ
al-mustaqīm. Sebagian menjelaskan dengan al-Qur‟an, yaitu
berpedoman kepada al-Qur‟an, mufassīr lain menguraikan dengan Islam. Kedua penjelasan ini sama, karena Islam hakekatnya mengikuti al-Qur‟an. Hanya saja masing-masing penafsiran tersebut memakaikan sifat yang tidak digunakan oleh orang lain. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa penafsiran ulama ṣirāṭ mustaqīm berarti (mengikuti) al-Sunnah dan al-Jama‟ah. Termasuk penafsiran yang menyebutkan bahwa al-ṣirāṭ bermakna jalan penghambaan, ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Semua itu mengindikasikan pada makna yang sama, hanya saja masing-masing mengungkapkannya dengan salah satu sifat yang dipunyai oleh al-ṣirāṭ al-mustaqīm.110
Contoh lain yaitu kata hari kiamat (yaum al-qiyāmah). Hakikatnya satu, tetapi kadang-kadang dikemukakan dengan makna yang lain, namun semuanya tercakup dalam kata yaum al-qiyāmah. Kata yaum al-dīn (hari pembalasan),
yaum al-hasyr (hari pengumpulan) dan yaum
al-taghabūn (hari saling menuntut).111 Masing-masing lafaz mempunyai perbedaan makna, pada lafaz yaum al-qiyāmah tercakup semua tersebut. Lafaz yang bersifat umum
110
Ibn Taimiyah, Muqadimah fī Uṣūl al-Tafsīr, (T.tp: Dār al-Qur‟ān al-Karīm, 1971), h. 42-43.
111Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,
dijelaskan oleh setiap mufassīr dengan uraian sebagian makna dari bermacam makna yang ada.112
2. Masing-masing mufassīr menafsirkan kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran firman Allah :
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (ẓalim) terhadap diri sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtaṣid) dan ada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan.”(QS. Fāṭir [35]: 32).113
Bagi orang yang melaksanakan shalat di awal waktu disebut sābiq. Muqtaṣid ditujukan kepada orang yang menunaikan shalat di tengah waktu. Orang yang mengerjakan diakhir waktu, seperti mengerjakan shalat Ashar ketika langit berwarna kekuning-kuningan disebut ẓalim. Sementara mufassīr lain ada yang menyebutkan sabiq berarti melakukan perbuatan baik tidak hanya membayar zakat, tetapi juga bersedekah. Orang yang hanya membayarkan zakat wajib saja disebut muqtaṣid. Ẓalim ditujukan kepada seseorang yang tidak mau membayar zakat.114 Penafsiran lain terhadap lafaz ẓalim yaitu membaca al-Qur‟an namun tidak melaksanakannya, pertengahan bermakna membaca al-Qur‟an diiringi dengan melaksanakannya sementara berkompetisi dalam kebaikan maksudnya bukan saja
112Fahullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,
https://media.tafsir.net/ar/books//2236/7224.pdf.
113
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 438.
114Manna Khalīl al-Qaṭān, Mabahith fī Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp:
membaca, tetapi juga memahami dan mengamalkannya.115 Bila merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing kategori ini, sekilas akan ditemukan perbedaan.
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan bahwa sudah dimaklumi yang ẓalim pada dirinya itu mencakup orang yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua larangan, yang pertengahan adalah orang yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan larangan dan yang berkompetisi mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain di samping yang wajib. Lalu kemudian setiap mufassīr menyebutkan salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Setiap pendapat yang menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.116
Contoh lain disebabkan adanya beberapa asbāb al-nuzūl dalam satu ayat. Hal ini mengakibatkan mufassīr menafsirkan
ayat berdasarkan salah satu asbāb al-nuzūlnya, sementara mufassīr lain menjelaskannya berdasarkan asbāb al-nuzūl yang lain. Seperti ayat li‟an dalam surah al-Nūr ayat 6:
Hadis yang diriwayatkan Bukhari menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus Hilal ibn Umayyah ketika menuduh isterinya berzina. Sedangkan pada hadis sahih lainnya dijelaskankan bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-„Ajlunī.117
Walaupun sepintas terdapat perbedaan, namun sesungguhnya tidak ada pertentangan, karena mungkin saja ayat yang sama turun untuk beberapa peristiwa yang sama. Boleh jadi seorang mufassīr menyebutkan yang ini, sementara yang lain mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang sahih. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika ini telah dipahami, maka perkataan salah seorang mufassīr bahwa ayat ini turun dalam peristiwa
115Abu „Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī, al-Jami‟ li
Ahkām al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1413 H), Cet. Ke. 3,
Jilid 14, h. 302-303.
116Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, dikumpulkan oleh: „Abdurrahman
ibn Muhammad ibn Qasim, (T.tp. Tp.n, t.t.), Jilid 13, h. 180-182.
117Al-Zarqanī, Muhammad Abd al-Aẓīm, Manāhil al-Irfān fī „Ulūm
ini, sama sekali tidak menafikan perkataan yang lain yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu, selama lafaz (ayat) memang mencakup keduanya.118
Berdasarkan uraian di atas, kategori kedua ini pun tidak termasuk jenis ikhtilaf tadhadh (kontradiktif). Perbedaan ini termasuk jenis ikhtilāf tanawwu‟ (variatif), tidak bertentangan dan dapat dikompromikan.
Hal-hal yang berhubungan dengan pemahaman terhadap lafaz, yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam menafsirkannya, maka terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam tafsir, yaitu :
1. Lafaz yang mempunyai lebih dari satu makna. Seperti yang terdapat dalam surah al-Muddathir ayat 51:
Lafaz qaswarah ditafsirkan dengan singa, pemanah atau pemburu. Ketiga makna itu memungkinkan untuk kata qaswarah, maka setiap mufassīr pun menafsirkannya dengan mengambil satu dari makna-makna tersebut. Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting bahwa lafaz semacam ini berulang dalam al-Qur‟an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat, sementara makna yang lain tepat pada tempat lain. Jenis inipun dapat dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu‟.119
2. Beberapa lafaz memiliki makna yang mendekati makna lafaz qur‟ani.
Kondisi ini kemudian membuat para mufassīr berusaha menguraikan dengan salah satu dari beberapa lafaz itu. Meskipun lafaz tersebut tidak benar-benar tepat menggambarkan makna lafaz qur‟ani dimaksud, tapi para mufassīr berusaha untuk mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisā‟ ayat 163:
118Ahmad ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawā, (Beirut : Dār Kutub
al-„Ilmiyah, 2000), Jilid 7, h. 5.
119
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad)sebgaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan kitab Zabur kepada Daud.”120
Kata auḥainā (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan pemberitahuan
i‟lān), adapula yang menafsirkannya dengan menurunkan (al-inzāl). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah
sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri – menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara cepat dan tersembunyi.121
Jika dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ikhtilāf tanawwu‟.
3. Perbedaan qira‟at.
Ketika satu ayat memiliki qira‟at yang berbeda, maka perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab setiap mufasir memberikan tafsir sesuai dengan qira‟at yang ia gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr ayat 15:
“Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir.”122
120
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 104.
121Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawā…, Jilid 7, h. 10.
122Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Kata sukkirat selain dibaca tashdīd, juga dibaca biasa tanpa
tashdīd: sukirat. Bila dibaca tashdīd, maka maknanya menjadi
terhalangi dan tertutupi, jika dibaca tanpa tashdīd, maknanya menjadi tersihir. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab keduanya memiliki hubungan. Dampak orang yang tersihir akan tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Jenis inipun dapat dikatakan sebagai ikhtilāf tanawwu‟.
Ikhtilāf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang
mendekati ikhtilāf tanawwu‟-untuk tidak mengatakan semuanya. Perbedaan di kalangan ulama salaf dalam tafsir sedikit terjadi. Perbedaan dalam masalah hukum jauh lebih banyak dari pada perbedaaan dalam tafsir. Mayoritas perbedaan tersebut diriwayatkan secara sahih, termasuk dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ dan bukan
ikhtilāf taḍād.123
Sebagai contoh terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 115.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”124
Maksud
بِرۡغَمۡلٱَو ُقِرۡشَمۡل َِِّلِلَو
adalah Allah berkuasa mutlak terhadap kepemilikan dan pengaturan keduanya. Kategori ini dapat dimasukkan dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ yang tidak saling kontradiktif dan bukan ikhtilāf taḍhād. Turun ayat ini merupakan keringanan dari Allah tentang bolehnya menghadap ke arah manapun ketika shalat sunnat, baik waktu dalam perjalanan, waktu perang, ketika ketakutan, begitu juga ketika mengalami kesulitan dalam shalat wajib. Ini merupakan pemberitahuan kepada Nabi bahwa ke mana saja menghadap, maka di situ ada Allah.125
123Musa‟id ibn Sulaimān al-Ṭayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr..., h. 57.
124
Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
125
Perbedaan penafsiran antara seorang mufassīr dengan mufassīr lainnya merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur‟an, kesimpulan yang diambil seorang mufassīr terhadap suatu ayat berbeda dengan kesimpulan oleh mufassīr lainnya. Di kalangan ulama salaf hanya sedikit terjadi perbedaan dalam penafsiran. Perbedaan yang terjadi adalah perbedaan yang sifatnya variatif bukan kontradiktif. Hal ini disebabkan sahabat sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menafsirkan al-Qur‟an, di antaranya cara berfikir, lingkungan, bacaan dan situasi yang melatar belakangi. Oleh sebab itu penafsiran akan selalu mengalami perkembangan. Melakukan penafsiran pada saat ini hendaklah menggunakan kamus-kamus yang terbit sekarang. Boleh jadi terjemahan yang dibaca sekarang tidak cocok dengan makna sebenarnya dari al-Qur‟an.
Al-Qur‟an diyakini dapat berdialog dengan seluruh manusia sepanjang masa. Pemahaman manusia terhadap al-Qur‟an banyak dipengaruhi oleh budaya dan faktor masyarakatnya. Bahkan lebih jauh dari itu dalam al-Qur‟an sendiri terdapat perbedaan-perbedaan disebabkan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari adanya al-sab‟ah al-ahruf, yang sementara ulama dipahami sebagai adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah. Kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) dalam membaca al-Qur‟an tidak hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja, tetapi juga karena perbedaan qira‟at yang dikenal luas.126
Adapun ikhtilāf dalam tafsīr bi al-ra‟yī menunjukan kuantitas jauh lebih banyak dari tafsīr bil-ma‟thūr. Landasan dan pijakan jenis tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbaṭ yang kualitasnya berbeda-beda pada setiap mufassīr. Pada umumnya, kesalahan ijtihad yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh :
1. Meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur‟an, lalu kemudian membawa lafaz-lafaz Qur‟ani kepada makna yang telah diyakini sebelumnya. Orang yang sebelumnya tertawan oleh keyakinan atau ide tertentu, kemudian berusaha mencari
126M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran
pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maka usaha tersebut nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan. Kesimpulan yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam teks-teks al-Qur‟an, tetapi kesimpulan yang dipaksakan untuk masuk kedalamnya.127 Sebagai contoh adalah penafsiran kelompok Baṭiniyah terhadap surah Yusuf ayat 4.
Kelompok Baṭiniyah mengatakan, yang dimaksud dengan Yusuf tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn Alī ibn Abī Ṭalib, di mana Husain mengatakan kepada ayahnya bahwa dia telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan bersujud. Maksud matahari adalah Faṭimah, bulan adalah Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam.128 Penafsiran ini berbeda dengan makna zahir ayat dan memaksakan pandangan golongan.
2. Menafsirkan al-Qur‟an hanya berdasarkan asumsi bahwa penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa mempertimbangkan bahwa al-Qur‟an adalah Kalamullah, yang diturunkan kepada Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada jin dan manusia.129 Dengan kata lain, para penempuh metode
ini hanya memperlakukan al-Qur‟an sebagai sebuah teks Arab, sehingga dalam menafsirkan al-Qur‟an tidak merasa perlu merujuk pada hhal lain yang mengitarinya; seperti asbāb
al-nuzūl dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur‟an bi al-lughah tidaklah sepenuhnya keliru, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini mutlak dibutuhkan dan harus didukung dengan keilmuan lainnay. Para ulama tafsir menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya adalah menjadikan asbāb al-nuzūl sebagai panduan dalam memahami teks al-Qur‟an. Seperti saat memahami QS.al-Taubah [9] : 37.
127Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa…, Jilid 7, h. 9-10.
128Wasim Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr…, h.13-14.
129
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu, adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”130
Kata nasīu bila ditinjau dari sudut bahasa adalah
al-ta‟khir atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat di atas
dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal ini yang menyebabkan Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama sezamannya, seperti: al-Ashma‟ī, Abu Hatim al-Sijistanī, al-Farra‟ dan Ṭhabarī. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-Qur‟an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa mempertimbangkan asbāb al-nuzūl dan hal-hal lain yang mengitarinya.
Metode ini telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Contohnya ketika turun firman Allah QS. al-An‟am [6]: 82.
130Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”131
Para sahabat merasa gelisah “Siapakah di antara kita yang tidak pernah berbuat ẓalim?” tanya sahabat. Ini berarti ketika ayat turun, sahabat memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa kezaliman dalam ayat ini tidak seperti yang dipahami sahabat, karena yang dimaksud adalah kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13. Dalam buku Fushūl fī „Ushūl al-Tafsīr, Al-Ṭayyar mengkritisi pendapat yang menyatakan bahwa Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-Mutsannā, al-Farra‟ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan tabi‟in juga telah menempuh metode ini jauh sebelumnya. Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-Qur‟an turun dalam bahasa Arab, bagaimana mungkin orang Arab tidak disebut sebagai imam dalam bahasa?.Oleh sebab itu, merupakan sebuah kesalahan jika tafsīr lughawī para sahabat dan tabi‟in itu dikategorikan sebagai tafsīr bi al-ma‟thūr.132
Kisah ini setidaknya menunjukkan dua hal penting:
1. Bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsīr bi
lughah adalah metode yang sah-sah saja dalam menafsirkan
al-Qur‟an.
2. Ketika bertemu antara penafsiran secara lughawī dengan penafsiran secara naqlī (al-Qur‟an dan al-Sunnah), maka penafsiran secara naqlī-lah yang kemudian menjadi pegangan dalam memahami teks al-Qur‟an.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada umumnya ikhtilāf yang terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra‟yī termasuk dalam kategori ikhtilāf taḍād. Adanya berkembang berbagai firqah dalam