AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang
A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an
1. Diskursus tentang Metode Tafsir
Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam.8 Munculnya berbagai macam metode tafsir lebih banyak disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan sahabat misalnya, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur‟an turun.
4Yusuf, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Abad ke
Duapuluh”, Jurnal Ulūm al-Qur‟ān..., h. 50-51.
5Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 29.
6
Abd al-Qadīr Muhammad Shalah, Tafsīr wa al-Mufasirūn fi al-Ashri
al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Ma‟rifat: 2003), h. 109.
7Muh. Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, (Kairo: t.p,
1976), Cet. 2, jilid 1, h. 147.
8
Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur‟an secara benar dan akurat.9
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam kajian ilmu Tafsir untuk menunjukan metode dalam tafsir yaitu al-manhāj, al-ṭāriqah dan al-uslūb. Para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menyebut istilah metode tafsir dalam satu istilah yang sama. Untuk menunjuk metode dalam tafsir, ketiga istilah itu sering digunakan secara bergantian. Sedangkan untuk menunjuk metode khusus dalam tafsir yang sering digunakan para pakar tafsir adalah manhāj atau
al-uslūb. Hanya saja manhāj lebih difokuskan untuk melihat metode
yang digunakan seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an.10 Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud Allah di dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.11
Di antara pandangan-pandangan di atas, populer di kalangan pengkaji al-Qur‟an terdapat empat metode penafsiran. Keempat metode tafsir tersebut, sebagaimana yang dikemukakan al-Farmāwī, yaitu: ijmālī, tahlīlī, mauḍu‟ī dan muqārān.12
a. Metode Tafsīr Ijmālī
Nabi dan para sahabat menafsirkan al-Qur‟an secara ijmālī, tidak memberikan penjelasan yang terperinci. Menilik kepada metode tafsir ijmālī, sementara pakar banyak beranggapan, bahwa metode tafsir ijmālī merupakan metode tafsir yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir.13 Hal ini diperkuat dengan kondisi bangsa Arab pada masa Nabi dan para sahabat bahwa persoalan bahasa tidak menjadi penghambat dalam mempelajari dan
9Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 62.
10
Badruzzaman M. Yunus, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap
Sumber, Metode dan Ittijah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 113.
11
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 2.
12Abd Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī, (Kairo:
al-Hadarah al-„Arabiyah, 1977), h. 43-44.
13
memahami al-Qur‟an.14 Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak menyaksikan wahyu diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl).
Mufassīr yang menggunakan metode ini menjelaskan arti ayat
dengan kalimat yang ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga pembaca dengan mudah memahami isi kandungan al-Qur‟an. Terkadang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an menggunakan lafaz al-Qur‟an, sehingga pembaca merasa uraian yang disampaikan tidak jauh berbeda dengan konteks al-Qur‟an. Al-Qur‟an dijelaskan dengan penyampaian yang mudah dan indah. Kadangkala penjelasan ayat juga disertai dengan peristiwa yang menyebabkan latar belakang turunnya suatu ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat dan mengemukakan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang sahih, serta pendapat ulama salaf, sehingga pembaca tidak merasa jauh dari apa yang telah diketahui.15
Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak menyaksikan wahyu diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl). Sahabat mengiringi dakwah Rasulullah Saw. dan kualitas keilmuwan dari segi bahasa yang tidak diragukan lagi, menjadikan para sahabat tidak membutuhkan penjelasan terperinci dari Rasulullah Saw. mengenai ayat-ayat al-Qur‟an. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan metode ijmālī cukup signifikan pada masa Rasulullah Saw.16 walaupun pada masa itu belum diberi nama dengan metode ijmālī.
Adapun ciri-ciri tafsir metode ijmālī di antaranya adalah: 1). Mufassīr menjelaskan makna-makna ayat-ayat al-Qur‟an secara
garis besarnya saja yang diambil dari al-Qur‟an itu sendiri dengan menambahkan kalimat atau kata-kata penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.
14Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer
dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h.
47.
15Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Penerjemah
Ahmad Arkom, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 73.
16
2).Terlihat seolah-olah al-Qur‟an itu sendiri yang berbicara, hal ini terlihat karena mufassīr menggunakan lafal-lafal bahasa yang mirip bahkan sama dengan al-Qur‟an.
3). Sistematika penulisan dan penyajiannya mengikuti urutan surah-surah al-Qur‟an, sehingga makna-maknanya saling berhubungan.17
4). Berkaitan dengan asbāb al-nuzūl dan peristiwa yang melatar belakangi ayat ditulis dengan ringkas yang sebelumnya telah di teliti dan dikaji terlebih dahulu.
Keunggulan metode tafsir ijmālī adalah; pertama. praktis dan mudah dipahami, kedua. bebas dari penafsiran israiliyāt. Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, tafsīr ijmalī relatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyāt. Juga metode ini dapat membendung pemikiran-pemikiran yang kadang terlalu jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif dikembangkan oleh seorang teolog, sufi, ahli bahasa dan lain-lain, ketiga. Akrab dengan bahasa al-Qur‟an.
Uraian yang dimuat dalam tafsīr ijmalī terasa amat singkat dan padat, sehingga pembaca tidak merasa bahwa dia telah membaca kitab tafsir. Hal ini disebabkan karena tafsir dengan metode global ini menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci itu sendiri.
Kekurangan metode ijmālī ini adalah menjadikan petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.18 Metode tafsir ijmālī paling mudah dipahami dan dengan metode ini semua orang yang membaca tafsir dapat langsung mengetahui maksud yang terkandung dari suatu ayat.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Suyūtī (w. 911)19 dan
17Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 13.
18Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27.
19Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi merupakan sosok ulama produktif yang
banyak menghasilkan karya-karya yang besar, utuh dan terhimpun. Tahun 904 sebelum 7 tahun wafatnya tercatat 538 karya. Di bidang ilmu tafsir terdapat 73 kitab, dalam hadis 205 kitab, di bidang Musṭolah al-Hadīth sejumlah 32, Fiqh 71, Uṣul al-Fiqh Uṣul al-Dīn dan Tasawuf sejumlah 20,
Lughah, Nahwu dan Tasrīf sejumlah 66, al-Ma‟āni, Bayān dan Badī‟
sejumlah 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu sejumlah 80,
Jalāl al-Dīn al-Maḥalī (w. 864 H). Pada era modern kecenderungan menerapkan metode ijmālī dapat dilihat dari karya Muhammad Farīd Wajdī20
( 1875-1940 ) menulis kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm,
Safwat al-Bayān li Ma‟āni al-Qur‟ān karya Syekh Husain Muhammad
Makhlūt. Tafsīr Qur‟ān karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abadī. Āl-Tafsīr al-Wasīṭ yang dipublikasikan oleh Tim Majma‟ al-Buḥuth al-Islamiyah. Āl-Tafsīr al-Muyasar karya Syekh Abd al-Jalīl Isa dan al-Tafsīr al-Mukhtasar produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam.21
Metode ini mempunyai keunggulan dibanding metode-metode tafsir lain yaitu terletak pada karakternya yang simplisitis dan mudah dipahami, tidak terdapat di dalamnya penafsiran yang berbau
isra‟iliyāt dan lebih dekat dengan bahasa al-Qur‟an. Sebaliknya,
kekurangan yang terdapat pada metode ijmālī adalah menjadikan petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial dan tidak terdapat ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.22 Metode ini tidak cukup mengantarkan pembaca kepada untuk mendialogkan al-Qur‟an dengan persoalan sosial maupun problema keilmuan yang aktual dan problematis.23 Oleh karena demikian, mendorong para pengkaji al-Qur‟an untuk memunculkan metode baru yang dapat lebih baik dari metode ijmālī.
b. Metode Tahlīlī
Pada periode berikutnya umat Islam semakin majemuk karena banyaknya bangsa non Arab masuk agama Islam terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab.
Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdinor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 128.
20Farid Wajdi lahir di kota Iskandaria, adalah seorang profesor agung
dengan nama lengkap Muhammad Farid Ibn Musṭafā Wujdī. Farid Wajdi hidup selama 75 tahun lebih, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk meneliti dan menulis. Selain menulis kitab tafsir, karyanya yang lain adalah :
Dār al-Ma‟ārif al-Qur‟ān, terdiri dari 12 Jilid, al-Islam Dīn „Am Khalīd.
Lihat Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…, h. 398.
21
Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 74.
22Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27. Lihat juga
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer...,h. 49.
23
Kondisi ini membawa konsekwensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam. Berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibat dari semua itu kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, para pakar tafsir ikut berpartisipasi mengantisipasi dengan memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.
Kondisi seperti ini menjadi salah satu penyebab latar belakang munculnya penafsiran dengan menggunakan metode analitis (tahlīlī). Metode tahlīlī merupakan metode yang paling cocok pada waktu itu, karena sesuai dengan tuntutan kondisi masyarakat yang membutuhkan penjelasan lebih luas terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an. Dengan demikian umat merasa lebih dibimbing oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an. Selanjutnya metode tahlīlī diikuti oleh ulama tafsir yang datang setelah itu.24
Langkah yang ditempuh dalam metode tahlīlī adalah menjelaskan asbāb al-nuzūl, munāsabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Semua itu dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah terdahulu, ucapan-ucapan ahli hikmah yang arif , teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa atau berdasarkan pemahamannya dan hal-hal lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an.25 Metode ini mengharuskan penjelasan al-Qur‟an yang panjang dan mendetil karena problem masyarakat semakin kompleks sehingga mereka membutuhkan penjelasan-penjelasan rinci dari setiap ayat al-Qur‟an. Kompleksitas problem masyarakat bermula dari perluasan daerah kekuasaan Islam yang dilakukan Nabi dan sahabatnya yang mencakup wilayah di luar Mekkah dan Medinah sehingga masyarakat semakin sulit memahami al-Qur‟an.26
24
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 65.
25
Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 41.
26Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh
Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
Metode tafsir tahlīlī menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Para mufasir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Di samping itu metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.27 Pembaca merasa tidak akrab dengan objek bacaannya, karena informasi yang diberikan dingin, tidak efektif dan ketinggalan zaman.
Kelemahan lain yang terdapat pada metode tafsir tahlīlī pembahasan mungkin disebabkan oleh penafsirannya bersifat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang dialami masyarakat, sehingga uraian yang bersifat umum tersebut mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur‟an untuk setiap waktu dan tempat.28
Walaupun mempunyai sisi kekurangan dari metode tahlīlī, namun banyak mufasir menulis kitab tafsir dengan menggunakan metode tahlīli, di antaranya : Jamī‟ al-Bayān al- Ta‟wīl karya Ibn Jarīr Ṭabarī (w. 310H/922M), Tafsīr Qur‟ān „Aẓīm karya Imam al-Dīn Abī al-Fida‟ Ismaīl bin Kathīr al-Quraisyī al-Simasyqī (w. 774 H/1343 M ), Bahr al-„Ulūm karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad Abū Dūrr Mantsūr fī Tafsīr bi Ma‟thūr karya Jalāl Dīn Suyūṭī ( 849-911 H/1445-1505 M ), Aḍwa Bayān fī Iḍah
Qur‟ān bi Qur‟ān karya Muhammad Amīn bin Muhammad
Mukhtār Jakanī Sanqiṭi, Kashfu wa Bayān „an Tafsīr
al-Qur‟ān karangan Abī Ishāq, al-Tafsīr al-al-Qur‟ān li al-al-Qur‟ān karya
Abd Karīm Khatīb, Mizān fī Tafsīr Qur‟ān karya al-„Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-Ṭabaṭaba‟ī (1321-1402 H/ 1892-1981 M ) dan Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya Abū „Alī al-Faḍl bin al-Hasan al-Ṭabarsi, salah seorang ulama besar Syi‟ah al-Imamiyah abad enam hijrah.
27M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,
2004), h. 87.
28
c. Metode Muqāran (Perbandingan)
Dengan munculnya berbagai kitab tafsir mendorong para ulama untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh karena demikian muncullah metode perbandingan dalam tafsir (muqāran).29
Dalam mengaplikasikan metode tafsir muqāran, mufasir dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh pemikirannya, kemudian menjelaskan kepada pembaca alasan sikap yang diambil, sehingga pembaca merasa puas.30 Sasaran kajian metode muqāran adalah perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadis dan perbandingan penafsiran seorang mufassīr dengan mufassīr lain.
Penggunaan metode tafsir muqāran juga dapat dilaksanakan antara mufassīr dengan mufasir lainnya dan antara aliran suatu tafsir dengan tafsir lainnya. Perbedaan metode penafsiran juga dapat dilakukan dalam tafsir muqāran. Dengan demikian penggunaan metode muqāran mempunya objek kajian yang sangat luas.31
Penggunaan metode muqāran mempunyai keunggulan di antaranya: 1) Metode ini bisa memberikan penafsiran yang lebih luas kepada pembaca. 2). Dapat meminimalisir perbedaan pandangan sehingga mampu mengantisipasi sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu. 3).
29Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 66. Tafsīr muqarān juga
berarti menafsirkan al-Qur‟an dengan cara membandingkan pendapat dari kalangan ahli tafsir mengenai sejumlah ayat al-Qur‟an. Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 192.
30Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 76.
31Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), h.
106. Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir yang berhubungan dengan ayat al-Qur‟an beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1. Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup; 2). Kecenderungan dan latar belakang pendidikan mufassīr; 3). Pendapat yang dikemukakannya, apakah pendapat pribadi ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga pengulangannya; 4). Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut, baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufassīr yang diperbandingkannya.
Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. 4). Memberi motivasi kepada mufasir untuk menelaah berbagai ayat, hadis dan pendapat mufasir yang lain. Adapun kekurangan dari metode ini adalah : 1). Metode ini kurang tepat dilakukan oleh para pemula karena memuat materi bahasan cukup luas. 2). Metode ini kurang dapat diharapkan untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. 3). Pembahasan penafsiran ulama klasik terkesan dominandibandingkan penafsiran baru.32
Secara global ruang lingkup pembahasan tafsir muqāran dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1). Perbandingan ayat dengan ayat
Dalam ruang lingkup perbandingan ayat dengan ayat dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Pertama, perbandingan suatu ayat dengan ayat lain yang membahas kasus yang berbeda tetapi dengan redaksi yang mirip. Sebagai contohnya adalah perbandingan surat Ali Imrān ayat 126 dengan al-Anfāl ayat 10. Pada surat Ali Imrān redaksi yang dipergunakan adalah:
“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Ali Imrān [3]: 126).33
Sedangkan dalam surat al-Anfāl redaksi yang dipergunakan adalah :
32
Shaleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer..., h. 53. Lihat Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 142-144.
33Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
“Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tentram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfāl [8] : 10).34
Kedua ayat di atas sekilas redaksinya mirip, namun di balik kemiripan itu terdapat beberapa perbedaan dari segi susunan kalimatnya. Ada tiga hal yang membedakan redaksi pertama dengan redaksi kedua :
(1).Pada ayat pertama terdapat lafaz مكل sesudah lafaz يرشب ِ sementara pada ayat kedua tidak terdapat lafaz لمك .
(2).Pada ayat pertama kalimat هب ditempatkan sesudah lafaz ِىلق مكب sedangkan ayat kedua tidak memakai lafaz tersebut. (3).Pada ayat pertama kalimat هب ditempatkan sesudah lafaz ِىلق
مكب dan pada ayat kedua tempatnya sebelum lafaz هئمطتلو Setelah ditinjau secara historis sebab turun (asbāb al-nuzūl) kedua ayat itu memang terdapat perbedaan konteksnya karena ayat pertama surat Ali Imrān ayat 126 diturunkan berkaitan dengan peristiwa perang Uhud, sedangkan ayat kedua surat al-Anfāl ayat 10 diturunkan berkaitan dengan peristiwa perang Badar.35
Pada surat al-Anfāl kata هب didahulukan dari kata
ِ ۡمُكُبىُلُق
bertujuan untuk memberikan ketentraman kepada kaum muslimin terhadap berita turunnya malaikat untuk memberikan bala bantuan dalam melawan kafir Qurasy. Juga, agar kaum Muslimin tidak gentar dan takut melihat kekuatan dan jumlah musuh yang banyak. Dengan adanya berita gembira tersebut menjadikan kaum muslimin mempunyai keyakinan yang kuat memperoleh kemenangan sesuai dengan janji Allah. Berbeda dengan surat Ali Imrān ayat 126, berita itu kemudian,ِِهِبِ مُكُبىُلُقِ َهِئ م ۡط تِل و,
karena tidak diperlukan lagi penekanan.36 Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kemenangan hanya datang dari Allah Swt. Jika kaum muslimin benar-benar berbuat34
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 178.
35Abū al-Hasan „Alī Ibn Ahmad al-Wahidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur‟ān,
(T.tp. : Dār al-Qiblah, 1994), Cet ke 3, h. 115.
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Volume 2, h. 196. Lihat
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf UII, 1995), Jilid 4, h. 39.
sesuai dengan petunjuk Allah dan berkeyakinan akan memperoleh kemenangan, niscaya Allah akan memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Kedua, perbandingan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki kasus atau masalah yang sama atau diduga sama dengan redaksi yang berbeda. Sebagai contoh bentuk kedua ini adalah ayat yang membicarakan tentang larangann membunuh anak karena takut kemiskinan. Dalam surat al-An‟ām redaksi yang dipergunakan adalah:
…
…
“…Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka…” 37
(QS. al-An‟ām [6]: 151).
Sedangkan redaksi yang dipergunakan dalam surat al-Isrā‟ adalah:
…
“…Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan, Kami yang akan memberi rezki kepada mereka dan kepadamu...”(QS. al-Isrā‟ [17]: 31).38
Kedua ayat di atas sama-sama berisi larangan membunuh anak dengan alasan takut miskin, namun redaksi yang dipergunakan sedikit berbeda. Perbedaan ini disebabkan sasarannya berbeda. Pada surat al-An‟ām kalimat yang dipakai adalah هم, khitab ditujukan kepada orang miskin atau fuqara. Surat Al-Isrā‟ redaksi yang dipergunakan adalah ة ي ۡش خ dengan mempergunakan maf‟ul li ajlih, ditujukan kepada orang-orang kaya.Perbedaan lainnya adalah, pada ayat pertama didahulukan lafazِرو ِمكقِز dari lafaz ِۡمُهبَيِإ. Pada ayat kedua menggunakan redaksi ِ
ِ
ِۡمُهُق ُز ۡر و dengan susunan sebaliknya.
Ketiga, perbandingan perbedaan atau variasi redaksi dalam bentuk-bentuk lain. Di samping perbandingan kemiripan redaksi, terdapat beberapa bentuk perbedaan atau variasi lain yang dijadikan objek kajian tafsir muqāran.
37
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 148.
38Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Dari perbedaan atau variasi tersebut, bila ditinjau secara sepintas dan pengertian dalam bahasa Indonesia memang tidak terlihat perbedaan yang esensial, tetapi bila di analisa lebih mendalam melalui pendekatan kaidah bahasa Arab terkadang memiliki penekanan (stressing) yang berbeda.
Langkah yang ditempuh dalam melakukan perbandingan ayat