• Tidak ada hasil yang ditemukan

1)

Wakil Ketua PERHEPI KOMDA Palembang periode 2012-2015 1)

Tenaga Pengajar Kopertis Wilayah II Sumatera Selatan (PNSD) pada Fakultas Pertanian UNISTI. Abstrak. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Salah satu upaya tersebut adalah melalui program GP3K yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak mulai dari Petani, Distributor sampai dengan Perusahaan Industri. Pihak-pihak yang terkait tersebut yang merupakan pelaku-pelaku dalam sistem agribisnis, yaitu pelaku di sub-sistem usaha tani, sub-sistem hilir dan sub-sistem hulu bahkan juga untuk memperlancar kegiatan dilibatkan juga secara langsung sub-sistem penunjang. Keterlibatan berbagai pihak tersebut tentunya telah memiliki kewenangan/ kepentingan masing- masing. Dari sinilah diperlukan suatu kiat agar masing-masing pihak dapat bersatu dalam kebersamaan untuk mencapai suatu tujuan bersama yang saling menguntungkan. Seyogiyanya hal ini dapat terwujud dengan penerapan konsep Agribisnis yang sistemik, sinergistik dan Holistik. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan suatu bentuk pola kerjasama (kemitraan) diantara pihak terkait dalam upaya mendukung program GP3K di Sumatera Selatan. Petani sebagai ujung tombak dari sub-sistem yang ada dalam kerangka sistem Agribisnis (pelaku produksi) membutuhkan berbagai inovasi Teknologi dan Kelembagaan agar ekpektasi kedepan dapat terwujud yaitu peningkatan produksi/ produktivitas usaha tani (pangan) dapat tercapai.

Kata Kunci: Program GP3K, kerjasama Inovasi Teknologi dan Kelembagaan, Peningkatan Produksi 1. PENDAHULUAN

Salah satu tolak ukur dalam menentukan keberhasilan pembangunan pertanian (khususnya bidang pangan) suatu negara adalah dengan melihat kemampuan negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya yang terwujud melalui swasembada pangan (paling tidak ketahanan pangan).

Di Indonesia ketahanan pangan merupakan salah satu topik yang sangat penting dan selalu dibicarakan bahkan dapat menuju keranah politik. Rumusan dalam perencanaan pembangunan pertanian telah menetapkan lebih rinci lagi bahwa pembangunan pertanian dilaksanakan tidak saja melalui program ketahanan pangan namun diikuti dengan pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Dengan kata lain, melalui program tersebut perspektif tentang ketahanan pangan harapan kedepan dapat diwujudkan dengan penerapan konsep agribisnis yang melibatkan sektor hulu, usaha tani dan hilir maupun penunjang yang saling berkaitan, sehingga ketersediaan pangan dapat terpenuhi, aman setiap daerah dan setiap saat.

Berujung awal tahun 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu penting, dunia selalu optimis mengenai ketersediaan pangan. Bahkan waktu itu, FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia. Peningkatan produksi pangan yang tinggi itu akan terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan pangan, kualitas makanan juga akan membaik.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah kecukupan pangan dunia menjadi isu penting, dan banyak kalangan yakin bahwa dunia sedang menghadapi krisis pangan sejak 2007 karena laju pertumbuhan penduduk di dunia yang tetap tinggi setiap tahun, sementara, di sisi lain, lahan yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan pertanian terbatas, atau laju pertumbuhannya semakin kecil, atau bahkan secara absolut cenderung semakin sempit. Pandangan ini persis seperti teori Malthus yang memprediksi suatu saat dunia akan dilanda kelaparan karena defisit produksi/stok.

2. AGRIBISNIS SEBAGAI SISTEM

Secara konsepsional sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain dalam suatu bingkai sistemik (Davis and Goldberg, 1957; Drilon Jr, 1971; Downey and Steven, 1987; Adjid, 1998; Sumodiningrat, 2000; Firmansyah dkk, 2003). Sebutan sistem disini menurut Bertalanffy (1968) adalah serangkaian elemen yang satu sama lain saling berhubungan dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Sedangkan Fairchild (1969) mengemukakan bahwa sistem adalah suatu organisasi dari bagian yang saling terkait membentuk satu kesatuan. Pendapat ini

139

searah dengan yang dikemukakan oleh Webster (1984) yang menyatakan bahwa sistem adalah suatu rangkaian atau susunan yang satu sama lain terkait.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa sistem itu sendiri adalah suatu kesatuan dari beberapa bagian yang disebut subsistem, dan mempunyai suatu tujuan tertentu. Setiap sistem memiliki masukan- masukan tertentu dan memiliki proses transformasi tertentu yang memproses masukan-masukan tersebut menjadi keluaran-keluaran tertentu. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sistem merupakan kumpulan subsistem yang saling berinteraksi dan saling bergantung dengan lingkungan nya. Dalam mencapai tujuannya sistem memerlukan input yang dalam agribisnis dapat berupa sarana produksi dan bahan baku. Melalui proses transformasi input diubah menjadi output berupa barang dan jasa, dan proses transformasi ini terjadi secara spesifik dalam berbagai subsistem. Dengan demikian agribisnis termasuk sistem dalam ilmu sosial yang kegiatannya diintegrasikan oleh berbagai bidang ilmu, seperti ilmu budidaya tanaman, teknik industri (diantaranya untuk penyediaan sarana produksi dan pengolahan hasil), ekonomi (pemasaran), dan organisasi/kelembagaan untuk memproduksi barang dan jasa dalam kegiatan agribisnis secara keseluruhan.

Dalam sistem agribisnis yang merupakan salah satu aktivitas perekonomian, juga terdapat kegiatan- kegiatan yang melibatkan sektor-sektor sebagaimana sektor-sektor yang terkait dalam perekonomian. Selanjutnya rangkaian keterkaitan sektor dalam perekonomian dikemukakan juga oleh Chenery (1979) dan Djojodipuro ( 1992), bahwa investasi memberikan pengaruh tidak langsung terhadap keterkaitan produksi berupa : (1) investasi akan menciptakan permintaan barang antara (backward linkage), ; dan (2) produksi yang dihasilkan oleh investasi tersebut akan menciptakan penawaran ke sektor lain (forward linkage), yang akan meningkatkan keuntungan dan investasi baru di sektor tersebut.

Logikanya keterkaitan subsistem akan membawa proses akumulasi surplus ekonomi pada masing- masing subsistem dan wilayah. Dengan demikian agribisnis dapat dianalisis secara tersendiri dalam menggambarkan keterkaitan sektor-sektor yang terlibat dalam aktivitas dan sistem agribisnis tersebut. Jadi secara operasional komponen yang bekerja dalam sistem agribisnis terdiri dari beberapa kelembagaan yang fungsi utamanya adalah memberikan nilai tambah yang maksimal bagi pelaku agribisnis. Sehingga agribisnis sendiri bukan sekedar proses kegiatan pertanian yang berbasis lahan, tetapi merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh pelaku pertanian yang menyiapkan input, proses menuju output, dan transportasi untuk menjual produk ke konsumen (Austin, 1983; Seperich, et al 1994; Wilson, 2002). Seperti yang dikemukakan oleh Schaffener et al (1998), bahwa agribisnis sebagai sistem merupakan kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak dan mengorganisasikan usaha berbasis input hasil pertanian untuk menggandakan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dan menggandakan nilai tambah.

Untuk meningkatkan fungsi dan peran kelembagaan agribisnis menurut Adjid (1998) perlu diciptakan suatu kondisi yang kondusif, sehingga tercipta hubungan kemitraan yang serasi antara kelembagaan petani (kelompok tani) dengan kelembagaan lainnya. Dalam menciptakan hubungan kemitraan yang serasi tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : aturan main yang disepakati oleh para aktor ekonomi harus transparan, adanya kejelasan serta kepastian mengenai pembagian hasil maupun resiko dan mampu mendorong kemandirian petani.

3. KETAHANAN PANGAN

Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17 yang menyebutkan bahwa "Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga (RT) yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau". UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy, 2002).

Undang-undang No.17 tentang konsep ketahanan pangan nasional tersebut memberikan penekanan pada akses setiap RT memperoleh pangan yang cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun kata- kata RT belum berarti menjamin setiap individu di dalam RT mendapat akses yang sama terhadap pangan karena di dalam RT ada relasi kuasa (Pambudy, 2002). Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa pemerintah, di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti jumlah dengan mutu yang baik serta stabilitas harga, dan, di pihak lain, peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah.

140

Pada tahun 2005, melalui UU No.11/2005, pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain berisi tentang tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Konsekuensi dari ratifikasi itu, menurut Irham (2008), adalah pemerintah harus merubah semua undang-undang yang tidak selaras dengan ketentuan Kovenan Ekosob tersebut, termasuk soal pangan yakni UU No 7/1996 tersebut. Irham menjelaskan paling tidak ada 4 alasan mengapa UU tersebut harus dirubah: (1) perlindungan hak rakyat atas pangan oleh negara merupakan kewajiban hakiki; (2) UU dapat menjadi penjamin atas pemenuhan tanggung jawab pemerintah dalam menyejahterakan masyarakatnya melalui pemenuhan pangan yang berkesinambungan; (3) krisis pangan yang melanda dunia (sejak 2007) merupakan pelajaran berharga tentang pentingnya suatu bangsa memiliki kedaulatan atas pangan untuk menjamin kecukupan pangan bagi warga negaranya; dan (4) pembangunan ekonomi bisa berkelanjutan jika pemenuhan hak dasar rakyat atas pangan terpenuhi.

Ditegaskan lebih lanjut oleh Irham (2008), bahwa selain UU No7/1996 tidak sesuai dengan Kovenan Ekosob, juga belum menyentuh keempat aspek tersebut. Misalnya, UU No.7/1996 ”menghilangkan” kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan, yakni dengan memberikan sebagian beban kewajiban itu ke masyarakat (Pasal 45). Selain itu, menurutnya, yang dimaksud dengan ”pemerintah” dalam UU ini harus lebih ditegaskan lagi, apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah (pemda). Hal ini menjadi sangat penting setelah berlakunya otonomi daerah (otda). Bahkan Irham berpendapat bahwa dalam konteks otda, justru yang memiliki peran sentral dalam pemenuhan ketersediaan pangan seharusnya pemda.

4. PROGRAM GP3K

Kementerian BUMN saat ini tengah mengembangkan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Melalui pelaksanaan program ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian, membuka lapangan kerja baru untuk tenaga kerja pertanian, dan menekan laju alih fungsi lahan.

Pemerintah optimistis dengan program gerakan peningkatan produksi pangan berbasis korporasi (GP3K) yang melibatkan sejumlah Badan Usaha Milik Negera (BUMN), mampu mendongkrak produksi pangan nasional. Melalui program GP3K ini, produktivitas lahan diharapkan meningkat rata-rata satu ton setiap hektarenya. Peningkatan produktivitas tersebut menyusul kegiatan intesifikasi pertanian melalui GP3K, di antaranya adalah penyediaan benih unggul, penyediaan pupuk, pembukaan lahan baru, penyewaan lahan ke petani, pinjaman lunak, serta pendampingan.

Dalam operasionalnya, promram GP3K ini didukung setidaknya ada empat perusahaan BUMN yang turut serta dalam upaya menaikkan jumlah stok pangan nasional. Perusahaan tersebut adalah PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Pusri dan anak-anak perusahaanya, serta Perum Perhutani.

Disamping intensifikasi, GP3K juga mengadakan pembukaan lahan baru. Pada tahun ini total lahan baru yang dibuka mencapai 100 ribu hektare. Yang meliputi, PT Sang Hyang Seri membantu membuka 40 ribu hektare sawah, PT Pertani 30 ribu hektare, dan PT Pusri 30 ribu hektare. Dengan demikian harapan ke depan melalui GP3K produksi padi bisa bertambah 2 juta ton, sehingga rencana impor beras 1,6 juta ton tidak dilakukan.

Program GP3K ini dibuat untuk mendukung pencapaian surplus pangan nasional serta budi daya tanaman kepada petani. Tujuan dari program tersebut adalah meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai pada tingkat yang optimal.

Ketahanan Pangan Berbasis Korporasi akan lebih efisien dan berdaya saing. Sampai saat ini isu ketersediaan pangan dunia masih menjadi kekhawatiran banyak kalangan. Hal tersebut dipicu oleh krisis global yang berkepanjangan, perubahan iklim yang tak menentu, juga cepatnya laju pertambahan penduduk. Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menargetkan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja sama lintas sektoral seperti halnya peran sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam mendukung produksi pangan.

Ketahanan pangan sangat menentukan hidup matinya suatu bangsa. Memang, mewujudkan surplus 10 juta ton tidaklah gampang. Butuh kerja sama lintas sektoral. Produksi pangan memang tidak serta merta bertujuan untuk mencapai target. Tetapi juga harus ada hitung-hitungan bisnis. Semua dilakukan untuk menuju arah korporasi yang lebih efisien dan berdaya saing.

141

5. KONSEP AGRIBISNIS DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

Fakta geografis dan sumber kekayaan hayati yang ada menunjukkan bahwa keunggulan Indonesia terletak di sektor Agribisnis yang merupakan sumber bahan baku hulu bagi sektor agroindustri. Di tambah lagi, masyarakat yang bekerja pada kegiatan agribisnis cukup besar, sehingga layak diberi prioritas perhatian yang besar, agar tumbuh menjadi sektor unggulan.

Pengembangan agribisnis di Indonesia menurut Saragih (1998), merupakan tuntutan perkembangan yang logis dan harus dilanjutkan sebagai wujud kesinambungan, penganekaragaman dan pendalaman pembangunan pertanian yang selama ini telah dilaksanakan dengan hasil yang mengesankan. Bahkan di negara-negara industri yang telah memasuki tahap ekonomi informasi sekalipun, peranan dan sumbangan agribisnis dan agroindustri secara absolut masih sangat besar. Selanjutnya hal ini dipertegas oleh Syarkowi (2004), yang menyatakan bahwa agribisnis tetap diperlukan dalam tingkat semaju apapun kehidupan perekonomian suatu bangsa dan negara. Jadi selayaknya penerapan konsep agribisnis dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan melalui program GP3K akan melahirkan suatu model pendekatan dengan suatu pola yang terintegrasi dalam satu keterpaduan sistem.

Memang sangat ironis melihat kenyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara besar agraris mengalami masalah ketahanan pangan. Untuk memahami kenapa demikian, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja faktor-faktor determinan utama ketahanan pangan. Menurut Yustika (2008), dalam kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan masalah pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai realitas bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan perkreditan. Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan. Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu kegiatan ekonomi di pedesaan. Selanjutnya dikatakan, bahwa ketiga pilar/kelembagaan tersebut (atau perubahannya) akan amat menentukan keputusan petani yang turut mempengaruhi derajat ketahanan pangan. Pandangan di atas tidak salah, namun bisa dikembangkan, yakni bahwa ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh tiga pilar tersebut namun oleh sejumlah faktor berikut seperti lahan, infrastruktur, teknologi, keahlian dan wawasan, energi, dana, lingkungan fisik/iklim, relasi kerja, dan ketersediaan input lainnya. Lebih lanjut Thony (2012) mwngemukakan bahwa dalam menjalankan program GP3K yang notabene untuk menunjang ketahanan pangan, terdapay tiga inti persoalan yang perlu mendapat perhatian yaitu bagaimana mewujudkan ketahanan pangan, bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani, dan bagaimana meningkatkan nilai tambah serta daya saing produksi pangan. Untuk mewujudkan hal diatas dibutuhkan infrastruktur yang memadai seperti adanya kepastian pasar produk dan jaminan harga, pengangkutan yang lancar, perangsang produksi terhadap petani sebagai pelaku usaha pangan, kemudian ketersedian sarana produksi secara lokal dan penerapan tekhnologi tepat guna.

Dari uraian di atas dapat dirancang suatu model pendekatan agribisnis yang tepat melalui suatu pola kemitraan antara pihak hulu, usaha tani, dan hilir serta penunjang yang tergabung dalam satu bingkai sistem agribisnis yagng melahirkan keterpaduan sistem agribisnis yang sistemik, holistik, dan sinergistik.

Pola kemitraan agribisnis tersebut dilakukan dengan memberdayakan petani yang beada di ujung tombak sebagai pelaku utama industri dalam proses usahatani melalui inivasi tekhnologi dan kelembagaan yang diaplikasikan dalam bentuk paket teknologi, modal usaha, jaminan harga, pembelian hasil. Sehingga dapat memotivasi pihak yang bermitra dengan demikian harapan peningkatan produktivitas dapat terwujud.

Paket teknologi yang disiapkan adalah berupa paket teknologi yang mudah dimengerti dan dipahami serta berbahan baku lokal (spesifik lokasi) bagi petani dalam kesehariannya menggeluti usahataninya. Dengan penggunaan paket teknologi tersebut akan berdampak pada peningkatan hasil, sehingga usahataninya akan lebih baik. Pemberian kemudahan dalam memperoleh pinjaman dalam bentuk kredit modal usaha dan fasilitas pengembalian dengan sistemn pengembalian setelah panen (yarnen). Selain itu adanya jaminan harga dan jaminan pembelian terhadap produk usahatani memalui lembaga yang tergabung dalam kemitraan agribisnis.

Dengan pola kemitraan agribisnis yang melembaga antara pelaku hulu (BUMN industri saprodi), dengan petani pelaku industri proses produksi usahatani dan pelaku hilir (industri jasa), serta pelaku penunjang (petugas penyuluh), yang melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing bekerjasama dengan niat saling membutuhkan yang melibatkan diri dalam satu wadah untuk mencapai tujuan bersama dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di Sumatera Selatan. Dengan demikian ekspektasi akhir dari hasil usaha adalah hasil usaha tani meningkat, penghasilan bertambah, dan berujung kepada terciptanya kesejahteraan petani.

142

6. RANGKUMAN

 Upaya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan melalui program GP3K yang dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak mulai dari Petani, Distributor sampai dengan Perusahaan Industri yang merupakan pelaku-pelaku dalam sistem agribisnis, Dari sinilah diperlukan suatu kiat agar masing-masing pihak yang bersatu untuk mencapai suatu tujuan bersama yang saling menguntungkan.

 Pencapaian hal tersebut dilakukan melalui suatu bentuk pola kemitraan agribisnis antara pihak terkait dalam upaya mencapai tujuan dari program GP3K di Sumatera Selatan.

 Petani sebagai ujung tombak (pelaku produksi) dari sub-sistem yang ada dalam kerangka sistem Agribisnis membutuhkan berbagai inovasi Teknologi dan Kelembagaan agar dapat mewujudkan ekpektasi kedepan yaitu peningkatan produksi/produktivitas usaha tani (pangan) dapat tercapai.

7. DAFTAR PUSTAKA

Adjid, Dudung Abdul. 1998. Bunga Rampai Agribisnis. Kebangkitan, Kemandirian dan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan. Menuju Abad 21. Surat kabar Sinar Tani, Jakarta.

Austin, J.E. 1983. Agroindustrial Project Analysis. Erlangga, Jakarta. Bertalanffy, L.V. 1968. General System Theory. George Brazile, New York.

Chenery, H. B. 1979. Structural Change and Development Policy. Oxford University Press, London.

Davis, John H. and Ray A. Goldberg. 1957. A Concept of Agribusiness. Harvard Graduate School of Business Administration. Boston. Massachussets.

Djojodipuro , M. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Downey, W. David and John K. Trocke. 1981. Agribusiness Management. McGraw-Hill, Inc. New York. Drilon Jr., J.D. 1971. Introduction to Agribusiness Management. Asian Productivity Organization. Tokyo. Fairchild, H.P. 1969. Dictionary of Sociology and Related Sciences. Littlefield & Co, New Jersey.

Firmansyah, A., Surasono, Iriantara, Y., David , S., Gani, Z., Irawan, R. 2003. Divestasi Saham KPC : Memperjuangkan Hak Rakyat Kalimantan Timur : Forum Indonesia Tumbuh. Dalam Mudrajad Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Erlangga, Jakarta.

Irham (2008), “Kovenan Ekosob dan Soal Pangan”, Suyadi, Adrianus (2008), ”Krisis Pangan dan Solidaritas”,Kompas, Opini, Sabtu, 14 Juni: 6.

Pambudy, Ninuk Mardiana (2002a), "World Food Summit dan Ketahanan Pangan", Kompas, Sorotan, Senin, 17 Juni : 36.

Saragih, Bungaran. 1998. Agribisnis. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor. Yayasan Mulia Persada Indonesia, PT Surveyor Indonesia, dan Pusat Studi Pembangunan IPB. Schaffener, D. J., W. R. Schroder and M. D. Earle. 1998. Food Marketing an International Perspective.

Mc Graw-Hill, Printed in Malaysia.

Seperich, George J., Michael W. Woolverton, James G. Beierlein. 1994. Introduction to Agribusiness Marketing. New Jersey: Prentice Hall Career &Tecnology.

Sjarkowi, F. 2005. Is Poverty Eradication Possible in Peatland Areas of Central Kalimantan. Key-note Presentation; International Symposium on Peatland Development. CIMTROP. Palangkaraya, 22-23 September, 2005.

Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Pembangunan Ekonomi Melalui Pengembangan Pertanian. Bina Rena Pariwira, Jakarta.

Thony, Agoes. 2012. Inovasi Teknologidan Kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dalam Upaya Mewujudkan Ketahanan Pangan Melalui Program Gerakan Peningkatan Produktivitas Pangan Berbasis Korporasi (GP3K). Materi pelatihan Manajemen Agribisnis petani peserta GP3K di Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung, 2012. Kerjasama PT Pusri Palembang dengan Lembaga Konsultan Opportunity Institute (Oty).

Webster, 1984. Webster‟s New Word Dictionary of the American Language. Second College Edition. Simon and Sc huster Inc., Ohio.

Wilson, W.W., and B. L. Dahl. 2002. Cost and Risks of Testing and Segregating GM Wheat. Agribusiness and Applied Economics Report No. 501. Departement of Agribusiness and Applied Economics, North Dakota State University, fargo. Http://agecon.lib.umm.edu/.

143

OPTIMALISASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI

Dokumen terkait