• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berfikirkah Manusia Dengan Pertolongan Otak?

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 98-107)

Bazarov dengan ketegasan menjawab pertanyaan itu secara positif. Dia berkata: “Kalau pada tesis Plekhanov, yang berbunyi, ‘Kesadaran adalah kondisi intern (?Bazarov) daripada materi’ diberikan bentuk yang lebih mencukupi syarat, misalnya ‘semua proses psykhis adalah fungsi daripada proses otak’, maka baik Mach maupun Avenarius tak akan berdebat dengannya”….(Risalah ‘tentang’ filsafat Marxisme”. (29).

Bagi tikus tidak ada binatang yang lebih kuat daripada kucing. Bagi kaum Machis Rusia tak ada orang materialis yang lebih kuat daripada Plekhanov. Masakan pada kenyataannya hanya

96

(

Plekhanov atau Plekhanov yang pertama-tama mengajukan tesis materialis yang mengatakan bahwa kesadaran adalah kondisi intern materi? Dan kalau Bazarov tidak suka merumuskan materialis yang ada Plekhanov, mengapa hanya memperhatikan Plekhanov, tapi

bukannya memperhatikan Engels, bukannya memperhatikan

Feuerbach.?

Sebab kaum Machis takut mengakui kebenaran. Mereka berjuang melawan materialisme tapi membuat kedok, seolah-olah berjuang melawan Plekhanov: pengecut dan metode yang tak berprinsip.

Marilah beralih ke empiriokritisisme. Avenarius “tidak mau berdebat” melawan hal, bahwa fikiran adalah fungsi otak. Kata-kata Plekhanov itu memiliki ketidak benaran yang langsung. Avenarius tidak hanya berdebat melawan tesis materialis, melainkan menciptakan “teori” yang utuh untuk menumbangkan justru tesis itu. “Otak kita,-- kata Avenarius dalam “Pengertian Manusia Tentang Dunia”, -- bukan tempat tinggal, tempat duduk, pencipta, bukan isntrumen atau alat, pembawa atau substrat dls. daripada fikiran” (S.76—dikutip dengan solidaritas yang ada pada Mach dalam “Analisa Perasaan”, hal. 32). “Fikiran bukan penghuni atau pemberi perintah, separo atau segi dan sebagainya, tapi juga bukan hasil, bahkan bukan fungsi fisiologi atau bahkan kondisi pada umumnya daripada otak” (di sana juga). Dan tidak kurang tegasnya Avenarius menolak di dalam “Catatannya: “gambaran” “bukan fungsi (fisiologis, psykhis, psykhofisis) daripada otak” (§§ 115, S.419 dari artikel yang dikutip). Perasaan bukan “fungsi psykhis daripada otak” (§ 116).

Jadi, menurut Avenarius, otak bukan alat untuk berfikir, fikiran bukan fungsi otak. Kita ambil Engels dan sekarang juga kita melihat formulasi materialis yang terbuka yang betul-betul bertentangan dengan itu semua. “Fikiran dan kesadaran,-- kata Engels dalam ‘Anti Dühring’, -- adalah buah hasil dari otak manusia” (hal.22, terbitan kelima bhs. Jerman) (26). Fikiran semacam itu banyak diulang-ulangi di dalam karya ini. Di dalam “Ludwich Feuerbach” kita baca pembentangan berikut dari pandangan-pandangan Feuerbach dan pandangan-pandangan Engels: “dunia kebendaan (tofflich) yang kita terima dengan panca indera, dunia kebendaan dalam mana termasuk kita-kita ini, adalah satu-satunya dunia yang sesungguhnya”,

97

“kesadaran dan fikiran kita, betapapun maha sensitifnya, merupakan hasil (Erzeugnis) daripada organ yang bersifat barang, yang bersifat benda, otak. Materi bukan hasil daripada jiwa, tapi jiwa adalah hanya hasil yang tinggi daripada materi. Itu sudah barang tentu adalah materialisme sejati” (cet. Jerman ke-4, hal. 18). Atau hal. 4: pencerminan proses-proses alam dalam otak yang berfikir” (27) dll., dsb.

Titik tolak materialisme itu dibantah oleh Avenarius, dengan menamakan “otak yang berfikir” sebagaimana “pemujaan ilmu alam” (“Pengertian Manusia Akan Dunia”, cet. Jerman ke-2, hal. 70). Oleh sebab itu, mengenai perbedaannya yang tegas dengan ilmu alam dalam masalah ini, Avenarius untuk dirinya tidak membuat ilusi yang sekcilnyapun. Dia mengakui – sebagaimana Mach dan kaum immanentis mengakui – bahwa ilmu alam berdiri di atas titik tolak materialis yang isntingtif dan tak sadar. Dia mengakui dan secara langsung menyatakan, bahwa berpisah tanpa syarat dengan “psykhologi yang berkuasa” (“Catatan-catatan hal. 150 dan banyak lainnya). Psykhologi yang berkuasa itu melakukan “introyeksi” yang tak bisa diijinkan, -- demikian istilah baru yang dengan susah payah dipakai oleh ahli filsafat kita, -- yaitu pemasukan fikiran ke dalam otak atau perasaan ke dalam diri kita. “Empat kata” itu (ke dalam dari kita = in uns),--kata Avenarius di sana juga,--justru mencakup dalam dirinya pangkal pendapat (Annahme), yang dibantah oleh empiriokritisisme. “Pemasukan (Hineinverlegung) dari apa yang terlihat dsb. ke dalam diri manusia, yalah apa yang disebut introyeksi” (S.153, § 45).

Introyeksi “secara prinsipiil” menyimpang dari “pengertian yang wajar atas dunia” (naturlicher Weltbegriff), dengan menyatakan “ ke dalam diri saya” sebagai ganti dari kata “di hadapan saya” (vor mir., S.154), “dengan jalan mengubah dari bagian penyusun daripada alam sekitar (yang riil) menjadi bagian penyususn daripada fikiran (yang idiil)” (di sana juga). “Introyeksi dari yang mekhanis” (kata baru sebagai ganti dari: yang psykhis), “yang secara bebas dan secara jelas menampakkan diri dalam sesuatu tertentu (atau: dalam sesuatu yang kita

98

temukan, im Vorgefundenen), secara rahasia berembunyi (latitierendes,

--kata Avenarius “secara baru”) di dalam pusat sistim syarat” (di sana juga).

Di hadapan kita – mistifikasi yang itu-itu juga, yang telah kita lihat pada pembelaan ronsokan atas “realisme naïf” oleh kaum empiriokritis dan kaum immanentis. Avenarius bertindak sesuai dengan nasehat penipunya Turgenyev (28): terutama harus mengeluh tentang kekurangan-kekurangan yang kau sadari sendiri. Avenarius berusaha agar dikira dia bertempur melawan idealisme: se-olah-olah idelaimse filsafat biasanya timbul dari introyeksi, mengubah dunia luar menjadi perasaan, menjadi gambaran dsb. Sedang saya, katanya, membela “realisme naïf”, semua yang ada mempunyai keriilan yang sama, baik “Aku” maupun alam lingkungan, tidak memasukkan dunia luar ke dalam otak manusia.

Di sini sofistikanya betul-betul yang itu-itu juga, yang telah kita lihat dalam contoh koordinasi yang sudah terkenal usangnya. Ketika menarik perhatian pembaca dengan jalan menyerang idealisme, pada kenyataan Avenarius hanya dengan kata-kata yang agak lain sendikit membela idealisme yang itu-itu tadi: fikiran bukan funsi otak, otak bukan alat untuk berfikir, perasaan bukan fungsi daripada sistim syaraf, bukan, perasaan adalah, -- “elemen-elemen”, dalam satu hubungan hanya bersifat psykhis, sedang dalam hubungan lain (meskipun elemen-elemen yang “identik”, tapi) bersifat fisis. Dengan termin-termin baru yang membingungkan, dengan istilah-istilah baru yang dikarang-karang, yang seolah-olah menyatakan “teori” baru, Avenarius hanya melangkah-langkah di satu tempat dan kembali berpangkal pendapatnya yang dasar yang idealis.

Bogdanov menulis dalam tahun 1903 (artikel:”Pemikiran Otoriter” dalam kumpulan: ”Dari psykhologi masyarakat”, hal. 119 dan seterusnya):

“Richard Avenarius telah memberikan gambaran filsafat yang harmonis dan utuh tentang perkembangan dualisme jiwa dan benda. Hakekat ‘dari pada ajaran introyeksinya’ terletak dalam hal berikut” (kita secara langsung melihat benda fisis, hanya menurut hypotese saja

menyimpulkan pengalaman-pengalaman orang lain, yaitu

99

terumitkan oleh hal, bahwa pengalaman orang lain dimasukkan ke

dalam tubuhnya, dipakukan (di-introyeksi-kan) ke dalam

organismenya. Sudah hypotese itu sendiri merupakan barang sisa dan bahkan melahirkan sederet kontradiksi. Avenarius secara sistimatis mencatat kontradiksi-kontradiksi itu dengan jalan membentangkan secara konsekwen sederet momen-momen bersejarah dalam perkembangan dualisme dan kemudian perkembangan idealisme filsafat; -- namun di sini kita tidak merasa perlu untuk mengikuti Avenarius”…. “Introyeksi tampil sebagai penjelasan atas dualisme jiwa dan benda”.

Bogdanov terpancing oleh filsafat para profesor, telah percaya bahwa “introyeksi” mengarah menentang idealisme. Bogdanov menerima dengan baik penilaian atas introyeksi yang diberikan sendiri oleh Avenarius, tanpa memperhatikan sengat yang diarahkan untuk melawan materialisme. Introyeksi mengingkari, bahwa fikiran adalah fungsi otak, bahwa perasaan adalah fungsi sistim syaraf pusat manusia, yaitu mengingkari kebenaran yang paling elementer dari pada fisiologi demi penghancuran materialisme. “Dualisme” ternyata ditumbangkan secara idealis (meskipun ada kemarahan diplomatis Avenarius ke alamat idealisme), sebab perasaan dan fikiran ternyata bukan yang sekunder, bukan yang ditimbulkan oleh materi, melainkan adalah yang primer. Dualisme di sini dibantah oleh Avenarius hanya karena hal, bahwa “terbantah” olehnya ada obyek tanpa subyek, adanya materi tanpa fikiran, adanya dunia luar yang tidak tergantung dari perasaan kita, yaitu membantah secara idealis: pengingkaran yang tak masuk akal akan hal, bahwa gambaran yang dibentuk oleh penglihatan atas pohon adalah fungsi daripada selaput jala, syarat- syarat dan otak saya, adalah dibutuhkan oleh Avenarius ntuk menguatkan teori tentang hubungan “yang tak terpisahkan” daripada pengalaman “yang utuh” yang mencakup baik “Aku” kita, maupun pohon, yaitu alam sekitar.

Ajaran tentang introyeksi adalah kekacau-balauan, adalah

penyodoran omongkosong-omongkosong idealis dan yang

bekontradiksi dengan ilmu alam yang secara tak ragu-ragu berdiri di atas hal, bahwa fikiran adalah fungsi otak, bahwa perasaan, yaitu bayangan dunia luar, ada di

100

dalam diri kita, yang dilahirkan oleh pengaruh benda-benda pada alat panca-indera kita. Penyingkiran yang materialis atas “dualisme jiwa dan tubuh” (yaitu monisme materialis) terletak dalam hal, bahwa jiwa tidak ada secara tak tergantung dari tubuh, bahwa jiwa adalah sekunder, fungsi daripada otak, cerminan dunia luar. Penyingkiran yang idealis atas “dualisme jiwa dan tubuh” (yaitu monisme idelais) terletak dalam hal, bahwa jiwa bukan fungsi tubuh, bahwa jiwa, oleh sebab itu, adalah yang primer, bahwa alam sekitar dan “Aku” ada hanya dalam hubungan yang tak terpisahkan daripada “kompleks-kompleks elemen” yang itu-itu juga. Kecuali dua cara yang secara langsung bertentangan daripada cara ketiga, kalau tidak dihitung eklektisme, yaitu pencampur adukan yang tolol atas materialisme dengan idealisme. Justru pencampur adukan semacam itu yang ada pada Avenarius tampak bagi Bogdanov & Co “kebenaran di luar materialisme dan idealisme”.

Tapi ahli-ahli filsafat spesialis tidak begitu naïf dan mudah percaya sebagaimana kaum Machis Rusia. Meskipun benar, setiap profesor-tetap itu membela sistim “sendiri” bagi pembantahan materialisme atau, paling tidak, “pendamaian materialisme dengan idealisme,-- namun terhadap saingannya mereka tanpa tatakrama menelanjangi bungkalan-bungkalan yang tak berhubungan daripada materialisme dan daripada idealisme dalam sistim-sistim “yang orisinil” dan “yang terbaru” manapun. Kalau beberapa kaum inteltuil muda pada terpancing oleh Avenarius, maka si burung tua Wundt tak mudah terbujuk. Si idealis Wundt dengan tak sopan telah membuka topeng dari muka Avenarius yang sedang cemberut, dengan jalan memujinya demi tendensi anti materialis daripada ajarannya tentang introyeksi.

“Kalau empirokritisisme, -- tulis Wundt, -- mengumpati materialisme vulger karena hal, bahwa dia, dengan pertolongan ungkapan-ungkapan seperti: otak “mempunyai” atau “melangsungkan” pemikiran, menyatakan hubungan yang pada umumnya tidak dapat dikonstatasi dengan pertolongan penglihatan yang faktis dan dengan penulisan yang faktis” (bagi Wundt yang merupakan “fakta” mungkin adalah hal, bahwa manusia berfikir

101

tanpa pertolongan otak!), “….maka umpatan tadi sudah barang tentu adalah beralasan” (sitiran dari artikel, S.47-48).

Yah, sudah barang tentu! Kaum idealis selalu bersama dengan ke-separo-separo-an Avenarius dan Mach dalam melawan materialisme! Hanya sayangnya, -- tambah Wundt, -- bahwa teori introyeksi itu “tidak berada dalam hubungan yang manapun dengan ajaran tentang deret kehidupan yang tak tergantung, jelas bahwa dia hanya digabungkan ke ajaran itu dari luar lewat pintu belakang dengan cara yang betul-betul dibuat-buat (S.365).

Introyeksi, -- kata O.Ewald, -- “tak lain dan tak bukan adalah lamunan empirokrtisisme, yang dia perlukan untuk menutupi kesalahan-kesalahannya” (l.c. * , 44). Kita melihat kontradiksi yang aneh: dari satu segi menyingkirkan introyeksi dan memulihkan pengertian yang wajar atas dunia harus mengembalikan kepada dunia watak daripada realitas yang hidup, dari segi lain, dengan pertolongan koordinasi prinsipiil empriokritisisme mengarah ke teori idelais yang tulen tentang saling hubungan yang absolut dari pada komponen-lawan dengan komponen-pusat. Dengan begitu Avenarius berputar-putar pada satu lingkaran. Dia telah berangkat berperang melawan idelisme dan meletakkan senjata di hadapan idealisme menjelang perang terbuka dengannya. Dia ingin membebaskan dunia obyek-obyek dari kekuasaan subyek, -- dan sekali lagi menyatukan dunia itu dengan subyek. Apa yang sebenarnya dia musnahkan, -- adalah karikatur atas idealisme, tetapi bukan pernyataan gnosiologisnya yang sebenarnya” (l.c. 64-65). “Kata-kata Avenarius yang sering dikutip, -- kata Norman Smith, -- bahwa otak bukan tempat duduk, bukan organ, bukan pembawa fikiran, adalah pengingkaran daripada satu-satunya termin yang hanya kita miliki untuk menentukan hubungan yang satu dengan yang lain” (sitiran artikel, hal. 30).

102

'

Juga tidak mengherankan, bahwa persetujuan Wundt atas teori introyeksi membangkitkan rasa simpati pada seorang spiritualis James Ward* yang melancarkan perang secara sistimatis melawan “naturalisme dan agnostisisme” terutama melawan T.Hyxley (bukan karena hal, bahwa dia adalah seorang materialis yang masih kurang cukup dan tegas, sebagaimana disesalkan oleh Engels, tapi) karena hal, bahwa di balik agnostisisme-nya pada hakekatnya tersembunyi materialisme.

Kita catat, bahwa seorang Machis Inggris K.Pearson, dengan tidak mengindahkan segala macam tipu daya filosofis, tanpa mengakui baik introyeksi, koordinasi, maupum “penemuan elemen-elemen dunia”, mendapatkan hasil Machisme yang tak terelakkan, yang tidak memiliki “selubung-selubung” semacam itu, yaitu: idealisme subyektif yang tulen. Pearson tidak tahu “elemen” yang bagaimanapun.

“Tanggapan panca indera” (sense impressions) adalah satu-satunya

istilahnya. Dia tak ragu-ragu sedikitpun, bahwa manusia berfikir dengan pertolongan otak. Dan kontradiksi antara tesis tersebut (satu- satunya yang sesuai dengan ilmu pengetahuan) dengan titik tolak filsafatnya tetap begitu jelas, tetap menyolok mata. Pearson menjadi penasaran ketika berperang melawan pengertian materi, sebagai suatu yang tak tergantung dari tanggapan panca indera kita. (bab 7 “Gramatika ilmu pengetahuan” nya). Dengan mengulangi argumen- argumen Berkeley, Pearson menyatakan bahwa materi – bukanlah sesuatu. Tapi ketika masalahnya berkisar mengenai hubungan antara otak dengan fikiran, maka Pearson dengan tegas menyatakan: “Dari kemauan dan kesadaran, yang terikat dengan mekhanisme materiil, kita tidak bisa menyimpulkan yang kiranya mirip dengan kemauan dan kesadaran tanpa mekhanisme itu”.** Pearson bahkan mengajukan tesis sebagai kesimpulan dari bagian yang bersangkutan daripada penyelidikannya: “Kesadaran tidak mempunyai arti apapun di luar sistim syaraf yang sejenis dengan milik kita; tidak logis untuk menegaskan bahwa semua materi berkesadaran” (tapi logis untuk menganggap, bahwa semua materi memiliki sifat-sifat yang pada hakekatnya sejenis dengan perasaan, sifat-sifat pencerminan) “lebih- lebih lagi tidak logis untuk menegaskan, bahwa kesadaran atau kemauan berada di luar materi” (di sana juga, p.75, tesis ke-2). Kekacau-balauan yang ada pada Pearson ternyata tak terperikan!

103

Materi – tak lain dan tak bukan adalah grup-grup tanggapan panca indera; itu filsafatnya. Jadi perasaan dan fikiran --yang primer; materi – yang sekunder. Tidak, kesadaran, tanpa materi tidak ada, bahkan andaikata tanpa sistim syaraf! Artinya kesadaran dan perasaan ternyata adalah yang sekunder. Air di atas tanah, tanah di atas ikan Hiyu, ikan hiyu di atas air. “elemen-elemen” Mach, koordinasi dan introyeksi Avenarius sedikitpun tidak menyingkirkan kekacau-balauan itu dan hanya menggelapi masalah, menutupi jejak-jejak dengan sampah-sampah filosofis akademis.

Yang merupakan sampah-sampah itu, tentang mana cukup dibicarakan dengan dua kata, adalah terminologi khusus Avenarius, yang membentuk tumpukan yang tanpa batas daripada bermacam- macam “notal-notal”, “sekural-sekural”, “fidensial-fidensial” dll., dll. Kaum Machis Rusia kita dengan malu-malu menyingkiri sebagian besar omong kosong keprofesoran itu, hanya pada kesempatan yang jarang saja membombardir pembaca (untuk memekakkan telinga) dengan sesuatu “eksistensial” dsb. Kalau orang naïf menganggap kata- kata itu sebagai biomekhanika tertentu, maka ahli-ahli filsafat Jerman – penggemar sendiri kata-kata “cerdik” – mengatawi Avenarius. Berkatakah: “notal” (notus – terkenal) atau berkata bahwa saya kenal sesuatu, samasekali adalah sama saja, -- kata Wundt dalam paragraf yan berjudul “Watak skolastis daripada sistim empirokritis”. Dan memang betul, bahwa itu adalah – skolastika yang tulen dan menyedihkan. Seorang dari murid-murid Avenarius yang setia, E.Willy, memiliki keberanian untuk secara terbuka mengakui hal itu. Avenarius memimpikan biomekhanika, -- kata dia, -- tapi untuk datang pada pengertian tentang kehidupan daripada otak bisa hanya dengan jalan penemuan faktis dan bukan dengan jalan sebagaimana berusaha dibuat oleh Avenarius. Biomekhanika Avenarius tidak bersandar secara tegas pada pengamatan-pengamatan baru yang manapun;

* James Ward “4 . ”, 3rd ed. Lond. 1906, vol. II, pp.

104

'

cirinya yang menonjol adalah betul-betul sebagai konstruksi skhematis atas pengertian; dan lagi pula konstruksi yang tidak memiliki bahkan watak hypotese yang membuka masa depan tertentu, -- itu adalah klise spekulasi (blosse Spekulierschablonen), yang, sebagai dinding merintangi kita dari pandangan yang lebih jauh” *.

Kaum Machis Rusia lebih mirip dengan penggemar mode, yang digairahkan oleh topi yang sudah diusangkan oleh ahli-ahli filsafat borjuis Eropa.

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 98-107)