• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang dan Waktu

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 194-200)

Dengan mengakui beradanya realtitas obyektif yaitu materi yang bergerak tanpa tergantung dari kesadaran kita, materialisme tak terelakkan harus mengakui juga realitas obyektif daripada waktu dan ruang, dengan bedanya pertama-tama dengan Kantianisme, yang dalam masalah ini berdiri pada pihak idealisme, dengan menganggap waktu dan ruang bukan sebagai realitas obyektif, melainkan sebagai bentuk- bentuk daripada pengertian manusia. Perbedaan dasar dalam masalah

192

ini antara dua garis filsafat dasar sepenuhnya diakui secara jelas oleh penulis-penulis dari aliran yang sangat berbeda-beda, oleh ahli-ahli fikir yang agak konsekwen.Kita mulai dari kaum materialis.

“Ruang dan waktu, -- kata Feuerbach, -- bukannya bentuk- bentuk sederhana daripada gejala-gejala, melainkan syarat dasar (Wesensbedingungen) ….daripada hal-hal yang ada “ (Werke, II, 332). Dengan mengakui dunia yang ditanggapi sebagai realitas obyektif, dunia yang kita fahami dengan pertolongan perasaan, Feuerbach sudah barang tentu membantah baik pengertian fenomenalis (sebagaimana kiranya Mach menyebut dirinya) atau pengertian agostis (sebagaimana disebut oleh Engels) atas ruang dan waktu: sebagaimana benda dan zat – bukan gejala-gejala sederhana, bukan kompleks-kompleks perasaan, melainkan realitas obyektif yang berpengaruh pada indera kita, maka juga ruang dan waktu – bukannya bentuk-bentuk sederhana daripada gejala-gejala, melainkan bentuk yang riil-obyektif daripada hal-hal yang ada. Di dunia tidak ada sesuatu, kecuali materi yang bergerak, dan materi yang bergerak tidak bisa bergerak secara lain kecuali di dalam ruang dan di dalam waktu. Gambaran manusia tentang ruang dan waktu adalah relatif, tapi dari gambaran yang relatif itu tersusunlah kebenaran absolut, dengan terus berkembang, gabaran relatif itu berjalan menyususri garis kebenaran absolut, mendekatinya. Berubah- ubahnya gambaran manusia tentang ruang dan waktu sedemikian sedikitnya bisa membantah realitas obyektif dari pada ruang dan waktu, sebagaimana berubah-ubahnya pengetahuan ilmiah tentang bentuk dan susunan gerak materi tidak bisa membantah realitas obyektif daripada dunia luar.

Engels ketika menelanjangi kaum materialis yang tidak konsekwen dan yang kacau Dühring, menangkapnya justru dalam hal, bahwa ia mengkostatasi tentang perubahan pengertian waktu (persoalannya tak terdebat bagi ahli-ahli filsafat modern yang agak besar dari aliran-aliran filsafat yang paling berbeda-beda), sambil menghindarkan diri dari jawaban yang jelas atas pertanyaan: ruang dan waktu itu riil atau idiil? Adakah gambaran kita yang relatif atas ruang dan waktu itu adalah pendekatan ke bentuk-bentuk yang riil obyektif daripada hal-hal yang ada?

193

)

Ataukah itu hanya produk (hasil) daripada fikiran manusia yang berkembang, yang terorganisir, yang terharmonisir dsb? Dalam hal ini dan hanya dalam hal inilah terletak masalah gnosiologis dasar yang memisahkan aliran filsafat dasar yang sesungguhnya. “Kita tidak bersangkut paut dengan hal, -- tulis Engels, -- pengertian yang bagaimana berubah-ubah di dalam kepala tuan Dühring. Masalahnya berkisar bukan tentang pengertian waktu, melainkan tentang waktu yang sebenarnya, yang bagaimanapun juga tuan Dühring tidak bisa begitu murah” (yaitu dengan kalimat-kalimat tentang berubah- ubahnya pengertian) “menghindarkan diri”. (“Anti-Dühring” cet. bhs Jerman ke-5, S.41) (53) .

Kiranya itu cukup jelas, sehingga tuan-tuan kaum Yuskevic bisa kiranya mengerti masalahanya? Engels mempertentangkan Dühring dengan prinsip yang diakui secara umum, yang bagi setiap orang materialis bisa dimengerti dengan sendirinya, yaitu prinsip tentang kesungguhan yaitu tentang realitas obyektif daripada waktu, dengan mengatakan, bahwa seseorang, dengan menggunakan analisa tentang perubahan pengertian waktu dan ruang, tidak bisa menghindarkan diri dari pengakuan atau pengingkaran yang langsung atas prinsip itu. Masalahnya bukan terletak dalam hal, bahwa Engels membantah baik keharusan maupun arti ilmiah daripada penyelidikan-penyelidikan tentang perubahan, tentang perkembangan pengertian kita mengenai waktu dan ruang, -- melainkan dalam hal, bahwa kita harus secara konsekwen menyelesaikan masalah gnosiologis, yaitu masalah tentang sumber dan arti daripada semua pengetahuan manusia pada umumnya. Seorang idealis filosofis yang agak tahu masalah, -- sedang Engels, ketika membicarakan kaum idealis yang konsekwen zenial daripada filsafat klasik – mudah mengakui perkembangan pengertian kita tentang waktu dan ruang, tanpa berubah dari seorang idealis menganggap, misalnya, bahwa pengertian yang berkembang daripada waktu dan ruang mendekat ke ide absolut daripada ruang dan waktu dst. Tidak bisa berpegang secara konsekwen pada titik tolak di dalam filsafat, titik tolak yang bermusuhan dengan segala

194

macam fideisme dan segala macam idealisme, apabila tidak mengakui secara tegas dan tertentu, bahwa pengertian kita yang berkembang atas waktu dan ruang mencerminkan waktu dan ruang yang riil obyektif; dan di sini, sebagaimana pada umumnya, mendekat ke kebenaran obyektif.

“Bentuk dasar daripada semua wewujud,-- ajar Engels kepada Dühring,-- adalah ruang dan waktu; wewujud di luar waktu adalah merupakan keabsurdan yang sangat besar, sebagaimana wewujud di luar ruang.” (di sana juga).

Mengapa Engels memerlukan di dalam bagian pertama dari kalimat itu hampir harfiah mengulangi Feuerbach, sedang dalam kalimat kedua mengingatkan perjuangan melawan keabsurdan besar dari theisme, perjuangan yang dengan sukses dilancarkan oleh Feuerbach? Karena Dühring, sebagaimana tampak dalam bab itu juga dari karya Engels, tidak bisa mendapatkan penguatan bagi filsafatnya sendiri tanpa bertumpu kadang-kadang pada “sebab terakhir” daripada dunia, kadang-kadang pada “tolakan pertama” (pernyataan) dalam kata-kata lain lagi pengertian: Tuhan, kata (Engels). Dühring, mungkin tidak kurang tulusnya ingin menjadi seorang materialis dan atheis, daripada kaum Machis kita ingin menjadi kaum Marxis, tapi tidak bisa mentrapkan secara konsekwen secara titik tolak filsafat, yang kiranya betul-betul bisa merontokkan semua tanah tempat berpijaknya keabsurdan idealis dan theis. Tanpa mengakui, atau paling tidak tanpa mengakui secara tegas dan jelas atas realitas obyektif daripada waktu dan ruang (sebab Dühring gentayangan dan kacau balau dalam masalah ini), Dühring bukannya kebetulan, tapi tak terelakkan tergelincir di atas bidang miring sampai pada “sebab-sebab terkahir” dan “tolakan pertama”, sebab dia melucuti diri dengan kriteri yang obyektif yang akan mencegahnya keluar dari batas-batas waktu dan ruang. Kalau waktu dan ruang hanya pengertian-pengertian, maka umat manusia yang menciptakan waktu dan ruang itu memiliki hak keluar dari batas- batasnya, dan profesor-profesor borjui memiliki hak menerima upah dari pemerintah-pemerintah reaksioner demi mempertahankan keabsyahan kekeluaran tadi, demi pembelaan langsung atau tak langsung atas “keabsurdan-keabsurdan” abad pertengahan.

195

Engels menunjukkan kepada Dühring bahwa pengingkaran atas realitas obyektif daripada waktu dan ruang secara teoritis adalah kekacauan filosofis, secara praktis adalah kapitulasi atau ke-tanpa- dayaan di hadapan fideisme.

Sekarang lihatlah pada “ajaran” mengenai masalah ini dari “positivisme terbaru”. Kita baca pada Mach:”Ruang dan waktu adalah sistim-sistim deret perasaan yang terapikan (atau yang terharmonisir, wohlgeordnete)” (“Mekhanika” yang nyata, yang secara tak terelakkan timbul dari ajaran, bahwa benda adalah kompleks-kompleks perasaan. Bukannya manusia bersama dengan perasaan-perasaannya berada di dalam ruang dan waktu, melainkan ruang dan waktu berasa di dalam manusia, tergantung dari manusia, dilahirkan oleh manusia, itulah jadinya pada Mach. Dia merasa bahwa tergelincir ke arah idealisme dan “berlawan” dengan jalan membuat seonggok catatan, menyodorkan masalah, sebagaimana Dühring, tentang renungan yang amat panjang (lih.khususnya ”Pemahaman dan Kesesatan”) tentang berubah-ubahnya pengertian kita tentang ruang dan waktu, tentang kerelatifan mereka dan sebagainya. Tapi itu tidak akan menyelamatkannya dan tidak akan bisa menyelamatkannya, bab untuk secara betul-betul menyingkirkan posisi idealis dalam masalah ini bisa, terutama dengan jalan mengakui realitas obyektif daripada ruang dan waktu.Tapi untuk membuat begitu Mach samasekali tidak mau. Dia membentuk teori gnosiologis daripada waktu dan ruang di atas prisnsip relativisme, dan hanya itu. Pembentukan semacam itu pada kenyataannya tidak bisa menjurus ke arah lain kecuali ke idealisme subyektif, sebagaimana kita sudah menjelaskan, ketika berbicara tentang kebenaran absolut dan relatif.

Ketika berlawan menentang kesimpulan-kesimpulan idealis yang tak terelakkan dari dasar awalnya sendiri, Mach berdebat dengan Kant, dengan jalan mempertahankan asal-usul pengertian ruang dari pengalaman (“Pemahaman Dan Kesesatan”, edisi Jerman terbitan ke-2, S.350, 385). Tapi kalau di dalam pengalaman kita tidak memiliki realitas obyektif (sebagaimana Mach mengajarkan), maka bantahan semacam itu terhadap Kant setetespun tidak menyingkirkan posisi umum agnostisisme baik yang ada pada Kant, maupun yang ada pada

196

Mach. Kalau pengertian ruang kita ambil dari pengalaman, bukannya merupakan cerminan dari realitas obyektif yang ada di luar kita, maka teori Mach tetap idealis. Adanya alam di dalam waktu, yang diukur dengan jutaan tahun sebelum munculnya manusia dan pengalaman manusia, menunjukkan ke-tak-masuk-akalan teori idealis itu.

“Dalam hubungan fisiologis, -- tulis Mach, -- waktu dan ruang adalah perasaan orientasi, yang bersama dengan tanggapan panca indera menentukan pembebasan (Auslosung) reaksi-reaksi penyesuaian diri yang secara biologis diperlukan. Dalam hubungan fisis, waktu dan ruang adalah ketergantungan elemen-elemen fisis satu sama lain” (di sana juga, S.434).

Kaum relativis Mach membatasi diri dengan penganalisaan atas pengertian waktu dalam berbagai hubungan! Dan dia begitu jugab berjalan di tempat sebagaimana Dühring. Kalau “elemen” adalah perasaan, maka saling hubungan antara elemen-elemen fisis satu sama lain tidak bisa ada di luar manusia, sebelum manusia, sebelum materi organis. Kalau perasaan atau waktu dan ruang bisa memberikan manusia orientasi yang secara biologis dibutuhkan, maka harus betul- betul di bawah syarat-syarat, bahwa perasaan itu mencerminkan realitas obyektif di luar manusia; manusia tidak bisa kiranya secara bilogis menyesuaikan diri ke alam sekita, apabila perasaannya tidak memberikan kepadanya gambaran yang secara obyektif benar akan alam sekitar. Ajaran tentang ruang dan waktu secara tak terpisahkan hubungan erat dengan penyelesaian masalah dasar gnosiologi: adakah perasaan kita merupakan gambaran daripada benda-benda dan barang- barang, ataukah benda-benda itu merupakan kompleks-kompleks perasaan kita. Mach hanya kacau di antara penyelesaian yang satu dan yang lain.

Di dalam fisika modern, -- katanya, -- dianut pandangan Newton pada waktu dan ruang yang absolut (S.442-444), pada waktu dan ruang sebagaimana adanya. Pandangan itu bagi “kita” tampaknya tak berarti, -- lanjutnya, -- tanpa mencurigai, nyatanya, pada adanya di dunia kaum materialis dan teori pemahaman materialis. Tapi dalam praktek, pandangan itu adalah tak merugikan (undschadlich, S.442) dan oleh karena itu dalam waktu lama tidak dikritik.

197

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 194-200)