• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koordinasi Prinsipiil Dan “Realisme Naif”

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 75-98)

Ajaran Avenarius tentang koordinasi prinsipiil dibentangkanya di dalam “Pengertian Manusia Tentang Dunia” dan di dalam “Catatan- Catatan”. Yang tersebut terakhir itu ditulis agak belakangan dan Avenarius di sini menekankan, bahwa pembentangan, memang, sedikit lain, bukannya sesuatu yang berbeda dari “Kritik Pengalaman Bersih”, tapi sama saja (“Bemerk”*. 1894, S.137 dalam majalah yang dikutip). Hakekat dari ajaran itu – adalah keadaan tentang “koordinasi yang tak terpisahkan (unauflosliche)” (yaitu saling hubungan) “Aku kita (des ich) dengan alam sekitar “ (S.146). “Dengan mengatakan secara filosofis, -- kata Avenarius di sini juga – bisa dikatakan: Aku dan bukan Aku”. Baik yang satu maupun yang lain, baik Aku kita maupun alam sekitar, kita “selalu mendapatkan secara bersama” (immer ein ZuzamenVogefundenes). Tak ada pelukisan penuh yang manapun yang ada (atau yang kita temukan: des Vorgefundenen) yang bisa mencakup “alam sekitar” tanpa sesuatu Aku (ohne ein ich), yang merupakan pemilik alam sekitar itu, -- paling tidak Aku yang melukiskan apa yang kita temukan itu” (das Vorgefundene, S.146). Dalam hal ini Aku disebut komponen-pusat daripada koordinasi, alam sekita disebut – komponen-lawan (Gegenlied). (Lihat “Dermensliche Weltbegriff“**… cet. ke-2, 1905, hal. 83–84, § 148 dan seterusnya). Avenarius menuntut pengakuan, bahwa dengan ajaran itu dia mengakui seluruh keberhargaan apa yang disebut realisme naïf, yaitu pandangan yang naïf, yang biasa, yang tidak filosofis darimana semua orang yang tidak merenung-renung tentang hal, mereka ada atau tidak ada, ada atau tidak ada alam sekitar, dunia luar. Mach dengan menyatakan solidaritas kepada Avenarius juga berusaha mengenalkan diri sebagai pembela “realisme naïf” (“Analisa

73

Perasaan”, hal. 39). Kaum Machis Rusia, semua saja tanpa kecuali, telah percaya pada Mach dan Avenarius, bahwa itu adalah betul- betul pembelaan “realisme naïf”: diakui Aku, diakui alam sekitar – apa yang kalian perlukan lagi?

Di sini untuk mengerti pada pihak siapa dan bagaimana tingkat kesungguhan kenaifan mereka, maka kita memulai dari tempat yang agak jauh. Inilah percakapan populer antara seorang ahli filsafat dengan seorang pembaca:

“Pembaca: Harus ada sistim daripada benda-benda (menurut pandangan filsafat biasa), dan dari benda-benda harus dilahirkan kesadaran”

“Ahli filsafat: sekarang engkau berbicara menuruti jejak para ahli filsafat profesionil…. Dan tidak dari titik tolak akal sehat manusia dan dari kesadaran yang betul-betul….

“ Katakanlah kepada saya dan fikirlah baik-baik sebelum menjawab: munculkah padamu atau di hadapanmu sesuatu benda secara lain, kecuali bersama dengan kesadaran atas benda itu atau lewat kesadaran atasnya ….”

“Pembaca: kalau saya memikirkan baik-baik atas masalahnya, maka saya harus setuju denganmu.”

“Ahli filsafat : Sekarang engkau berbicara dari diri sendiri, dari jiwamu sendiri Janganlah berusaha meloncat dari diri sendiri, janglah mencakup lebih dari apa yang bisa kau cakup (atau tangkap), yaitu kesadaran dan (huruf miring dari ahli filsafat) benda, benda dan kesadaran; atau lebih tepatnya: bukan yang satu atau yang lain secara terpisah-pisah, tapi apa yang kemudian teruraikan menjadi yang satu dan yang lain, apa yang tanpa syarat merupakan obyektif-subyektis dan subyektif-obyektis”.

* 0 0 $ ' ” – “Catatan

Manusia Tentang Matapelajaran Psykhologi” Red. ** “Pengertian Manusia Tentang Dunia” Red.

74

*

Itulah hakekat daripada koordinasi prinsipiil empiriokritis daripada pembela baru “realisme naïf” oleh positivisme terbaru ! Ide tentang koordinasi “yang tak terpisahkan” dibentangkan di sini dengan penuh kejelasan dan justru dari titik tolak , seolah-olah pembelaan yang sebenarnya daripada pandangan manusia yang biasa, yang tak terputar balikkan oleh kebijaksanaan “para ahli filsafat profesionil”. Pada hal , percakapan yang diajukan itu diambil dari karangan yang terbit dalam tahun 1801 dan ditulis oleh wakil yang klasik daripada idealisme subyektif Johann Gottlieb Fichte*.

Suatu yang lain, kecuali pengulang-ulangan idealisme subyektif, maka tidak ada sesuatu apapun dalam ajaran-ajaran Mach dan Avenarius yang kita telaah itu. Tuntutan mereka bahwa mereka seolah-olah mengungguli di atas materialisme dan di atas idealisme, seolah-olah mereka menyingkirkan pertentangan titik tolak yang berjalan dari benda ke kesadaran dan titik tolak yang sebaliknya, -- itu adalah tuntutan kosong daripada pembaruan Fichteisme. Fichte juga menggambarkan, seolah-olah dia “secara tak terputus-putus” menghubungkan “aku” dengan “alam sekitar” , kesadaran dengan benda, seolah-olah dia yang “menyelesaikan” masalah dengan bertolak dari hal, bahwa manusia tidak bisa melompat dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, terulangilah argumen Berkeley: saya merasakan hanya perasaan saya sendiri, saya tidak mempunyai hak untuk menganggap “obyek di dalam dirinya” di luar perasaan saya. Perbedaan cara-cara menyatakan oleh Berkeley dalam tahun 1710, oleh Fichte dalam tahun 1801, oleh Avenarius dalam tahun –tahun 1891-1894, sedikitpun tidak mengubah masalahnya yaitu garis filsafat dasar idealisme subyektif. Dunia adalah perasaan saya; yang bukan-Aku “terajukan (terbuat, terproduksi) oleh Aku kita; benda tak putus-putusnya berhubungan dengan kesadaran; koordinasi yang tak terputus Aku kita dengan alam sekitar adalah koordinasi prinsipiil empiriokritis; -- itu adalah prinsip yang itu-itu juga, adalah barang rongsokan yang itu-itu juga yang dipersolek atau dipersolek kembali dengan merek.

75

Pengambilan sumber pada “realisme naïf”, yang seolah-olah dibela oleh filsafat semacam itu, adalah sofisme yang paling murah. “Realisme naïf” daripada akal sehat manusia yang belum pernah tinggal di rumah gila atau di dalam ilmu pengetahuan ahli-ahli filsafat idealis, terletak dalam hal, bahwa benda, alam sekitar, dunia selalu ada tidak tergantung dari perasaan kita, dari kesadaran kita , dari Aku kita dan dari manusia pada umumnya. Pengalaman (bukan dalam arti kata Machis, tapi dalam arti kata manusia) yang itu-itu tadi, yang membentuk di dalam diri kita keyakinan yang teguh, dan bukan kompleks-kompleks yang sederhana daripada perasaan – perasaan saya yang tinggi, yang rendah, yang kuning, yang keras dsb., -- pengalaman itu tadi membentuk keyakinan kita dalam hal bahwa benda, , dunia, alam sekitar ada tanpa tergantung dari kita. Perasaan kita, kesadaran kita adalah sekedar gambaran dari dunia luar, dan dengan sendirinya bisa dimngerti, bahwa cerminan tidak bisa ada tanpa tergantung dari yang mencerminkan, tapi yang dicerminkan bisa ada tanpa tergantung dari yang mencerminkan. Keyakinan “yang naïf” daripada umat manusia secara sadar diletakkan oleh materialisme sebagai dasar teori pemahamannya. Tidakkah penilaian yang demikian atas “koordinasi prinsipiil” merupakan hasil dari prasangka materialisme melawan Machisme? Sedikitpun tidak. Para spesialis ahli filsafat yang asing dari segala kecenderungan terhadap materialisme, bahkan yang membencinya dan yang mengunakan sistim-sistim yang ini atau yang itu daripada idealisme, setuju akan hal, bahwa koordinasi prinsipiil Avenarius & Co adalah idealisme Subyektif . Misalnya Wundt, reaksi yang menarik siapa tidak dimengerti oleh tuan Yuskevic, secara langsung berkata, bahwa teori Avenarius, di mana seolah-olah tak mungkin pelukisan yang penuh atas sesuatu yang ada atau

* Johann Gottlieb Fichte. ! 0 $ ) )

$ , 55 &

/ ”, Berlin, 1801, SS.1785180 (Johann Gotlieb Fichte. “Pemberitahuan yang jelas bagaikan matahai kepada publik yang luas tentang hakekat yang sebenarnya daripada filsafat terbaru. – Usaha memaksa pembaca untuk mengerti”, Berlin, 1801, hal. 1785180. Red.).

76

(

yang kita temukan tanpa sesuatu Aku, tanpa pengamat atau tapa yang melukiskan, merupakan “campur aduk palsu atas isi daripada pengalaman yang sungguh-sungguh dengan penganalisaan tentangnya”. Ilmu fisika, -- kata Wundt, -- samasekali diabstraksi dari semua pengamat. “Sedang abstraksi semacam itu mungkin karena hal, bahwa dalam setiap isi pengalaman, ada suatu keharusan untuk melihat (hinzudenken. Arti sesungguhnya: memikirkan) dari individu yang mengalami pengalaman, karena hal, bahwa keharusan tadi, yang diterima oleh filsafat empiriokrtis dengan persetujuan filsafat immanentis, pada umumnya adalah anggapan yang secara empiris tidak mempunyai dasar dan yang timbul dari campuran palsu antara isi pengalaman yang sungguh-sungguh dengan penganalisaan tentangnya” (sitiran dari artikel, S.382). Sebab kaum immenentis (Schuppe, Rehmke, Leclair, Schubert-Soldern), yang menunjukkan sendiri – bagaimana kita lihat di bawah nanti – simpatinya yang sangat terhadap Avenarius, bertolak justru dari ide hubungan yang “tak putus-putus” antara subyek dengan obyek itu. Sedang W.Wundt sebelum menganalisa Avenarius, telah menunjukkan dengan panjang lebar, bahwa filsafat immanentis adalah “modifikasi” Berkeleianisme, bahwa, betapapun kaum immanentis mengkhianati Berkeley, tapi pada kenyataannya, perbedaan kata-kata tidak boleh menutupi kita dari “isi yang lebih mendalam daripada ajaran filsafat”, yaitu Bekeleianisme dan Fichterianisme. *

Penulis Inggris Norman Smith, ketika menganalisa “Filsafat pengalaman Bersih” milik Avenarius, membentangkan kesimpulan itu jauh lebih langsung dan tegas:

“Sebagian besar orang kenal dengan ‘Pengertian Manusia Tentang Dunia’ Avenarius, mungkin setuju dengan hal, bahwa betapapun meyakinkannya kritiknya (terhadap idealisme), hasil positifnya sama sekali bersifat fantasi. Kalau kita mencoba menjelaskan teori pengalamannya demikian, sebagaimana dia akan dibayangkan , yaitu sebagai realistis sejati (genuinely realistic), maka dia tergelincir dari setiap pembentangan yang jelas: seluruh

77

artinya hanya berisi pengingkaran subyektivisme, yang, katanya dia tumbangkan. Tapi kalau kita terjemahkan istilah-istilah tekhnik Avenarius ke dalam bahasa yang lebih sehari-hari, -- maka kita akan melihat, di mana sumber sebenarnya daripada pemistikan itu. Avenarius mengalihkan perhatian dari titik-titik lemah posisinya dengan jalan mengarahkan serangan pokoknya yaitu pada titik lemah: (yaitu titik idealis) “yang merupakan titik maut dalam teorinya sendiri”.**. “Yang memberikan pengabdian baik kepada Avenarius di sepanjang jalan pertimbangannya adalah ketidak- tegasan istilah “pengalaman”. Kadang-kadang istilah itu (experience) berarti orang yang menjalani pengalaman, kadang- kadang berarti apa yang dialami; arti terakhir itu ditandaskan ketika masalahnya berkisar mengenai sifat Aku (of the self) kita. Dua arti daripada istilah “pengalaman” itu dalam praktek cocok dengan pembagiannya yang penting menjadi penelaahan yang absolut dan yang realtif” (di atas saya telah menunjukkan arti pembagian itu yang ada pada Avenarius) “dan dua titik tolak itu pada kenyataannya tidak terdamaikan di dalam filsafatnya. Sebab kalau dia menganggap suatu pangkal pendapat sebagai pangkal pendapat yang wajar, yaitu pangkal pendapat, bahwa pengalaman secara ideal dilengkapi dengan fikiran” Penulisan yang penuh atas alam sekitar secara ideal dilengkapi dengan fikiran tentang Aku yang mengamatinya), “maka dia membuat anggapan, yang dia tidak mau menyatukan dengan penegasannya sendiri, yaitu seolah-olah tidak ada sesuatu di luar hubungannya dengan Aku (to the self) kita. Pelengkapan yang ideal pada realtitet tertentu, yang didapat dari penguraian benda-benda materiil menjadi elemen-elemen yang tidak bisa diterima oleh perasaan kita” (masalahnya berkisar tentang elemen-elemen materiil yang ditemukan oleh ilmu alam, tentang atom-atom, elektron-elektron dsb., dan bukan elemen-elemen reka-rekaan yang dikarang oleh Mach dan

* Artikel yang disitir paragraf C. “2 0 '

SS. 373, 375. Bandingkan 368 dan 407 Tentang ketidak5terelakkannya solipsisme dari titik tolak itu, S.381.

** Norman Smith. “./ $ ' $ 3 ” dalam “Mind”

78

Avenarius), “atau dari pelukisan atas bumi pada saat-saat ketika seorang makhlukpun belum ada di atasnya, -- itu, untuk secara tepat dikatakan, bukan pelengkapan atas hal, apa yang kita alami. Itu hanya melengkapi satu dari matarantai-matarantai koordinasi yang telah dikatakan oleh Avenarius, bahwa mereka tak terpisahkan. Itu mengarahkan kita ke satu hal, apa yang tidak hanya kapanpun tidak pernah terlami (tak pernah menjadi sasaran pengalaman, has not been experienced) tapi ke satu hal, apa yang kapanpun dan dengan jalan apapun tak bisa dialami oleh makhluk-makhluk semacam kita- kita ini. Tetapi di sini datanglah membantu Avenarius arti dobel dari istilah: pengalaman. Avenarius menganalisa, bahwa fikiran adalah bentuk pengalaman yang sedemikian juga benarnya (sejatinya, genuine) sebagaimana tanggapan panca-indera, sedang dengan begitu dia melangkah mundur kembali pada argumen yang usang (time-worn) daripada idealisme subyektif, yaitu bahwa fikiran dan realitas adalah tak terpisahkan, sebab realitas bisa dicerminkan hanya di dalam fikiran, sedangkan fikiran membutuhkan adanya orang yang memikir. Jadi bukannya suatu pemulihan yang orisinil dan mendalam atas realisme, melainkan sekedar pemulihan idealisme subyektif dalam bentuknya yang paling kasar (crudest), -- itulah hasil terkahir daripada pertimbangan-pertimbangan positif Avenarius” (p.29).

Mistifikasi Avenarius, yang seluruhnya mengulangi kesalahan Fichte, secara jitu ditelanjangi di sini. Bualan penyingkiran dengan pertolongan istilah “pengalaman” atas pertentangan antara Materialisme (Smith sia-sia berkata: realisme) dengan idealisme mendadak sontak menjadi dongengan, begitu kita beralih ke masalah-masalah konkrit tertentu. Misalnya masalah adanya bumi sebelum manusia, sebelum semua makhluk yang merasa. Kita akan dengan mendetil membicarakan masalah itu. Sedang sekarang kita catat, bahwa yang membuka topeng Avenarius, dari “realisme-nya” yang penuh lamunan, bukan hanya Norman Smith, penentang teorinya, melainkan juga seorang immanentis W.Schuppe yang dengan hangat menyambut terbitnya

79

“Pengertian ManusiaTentang Dunia” sebagai pembenaran realisme naïf * . Masalahnya terletak dalam hal, bahwa terhadap “realisme” yang begitu, yaitu terhadap Mistifikasi yang demikian atas materialisme, yang disodorkan oleh Avenarius, sepenuhnya setuju W.Schuppe. Terhadap “realisme” yang begitu,-- tulisnya kepada Avenarius, -- saya selalu menuntut dengan hak yang sedemikian besar sebagaimana tuan, hochverehrter Herr College (yang terhormat tuan kolega), sebab saya seorang immanentis, difitnah seolah-olah saya seorang idealis subyektif. Pengertian saya tentang pemikiran…. Secara baik sekali harmonis (vertragt sich vortrefflich) dengan “teori pengalaman bersih” tuan, tuan kolega yang terhormat (S.384). “Hubungan dan ketidak-terputusan antara dua anggota koordinasi” pada kenyataannya hanya diberikan oleh Aku kita (das ich, yaitu kesadaran sendiri yang abstrak, yang Fichteis, fikiran yang terpisah dari otak). “Apa yang hendak tuan buang, maka tuan hanya memaksudkan dengan diam diri”, -- tulis Schuppe (hal. 388) kepada Avenarius. Dan sulit untuk dikatakan, siapa yang lebih menyakitkan dalam menyingkap topeng mistifikator Avenarius, -- Smith-kah dengan pembentangannya yang langsung dan jelas, atau Schuppe dengan reaksinya yang penuh kegairahan atas karya penutup Avenarius. Di dalam filsafat, -- ciuman Wilhelm Schuppe sedikitpun tidak lebih baik daripada dalam politik ciuman Peter Struve atas tuan Menshikov. (24)

Sama juga masalahnya dengan O.Ewald yang memuji Mach karena tidak menyerah terhadap materialisme, berbicara tentang koordinasi prinsipiil: “kalau membicarakan saling hubungan komponen-pusat dengan komponen lawan dari keharusan gnosiologis, dari mana tidak mungkin ada konsesi, maka betapapun kata “empiriokritisme” ditulis dengan cap huruf-huruf besar dan penuh teriakan, -- itu berarti berdiri pada satu titik tolak yang sama sekali tidak berbeda dengan idealisme absolut” (istilah tidak benar; seharusnya dikatakan idealisme subyektif, sebab

* Lih. Surat Terbuka W.Schuppe kepada R Avenarius dalam “& * " 2" " $ .” Bd. 17, 1893, SS. 3685388.(& *

80

idealisme absolut Hegel berdamai dengan adanya bumi berdamai dengan adanya bumi, alam, dunia fisis tanpa manusia, dengan menganggap alam hanya sebagai “peralihan diri” daripada ide absolut). “Sebaiknya, apabila tidak patuh dengan konsekwen pada koordinasi itu dan memberikan kepada komponen-lawan suatu kebabasannya, maka sekali gus akan berdatangan kemungkinan- kemungkinan metafisis, khususnya ke arah realisme transendentil”. (Kutipan dari karangan, hal.56-57).

Yang dinamakan metafisika dan realisme transendentil oleh tuan Friedlander yang bersembunyi di balik nama samaran Ewald, adalah materialisme. Dia sendiri dengan mempertahankan salah satu dari jenis idealisme, sepenuhnya setuju dengan Machisme dan dengan Kantianisme dalam hal, bahwa materialisme adalah metafisika, “dari awal sampai akhir adalah metafisika yang paling liar” (hal. 134). Tentang “transensus” dan ke-metafisika-an materialisme, dia adalah orang sepaham dengan Bazarov dan semua kaum Machis kita, dan tentang hal itu, nanti kita terpaksa berbicara secara khusus. Sedang di sini perlu untuk dicatat, sekali lagi, bagaimana dalam kenyataannya menghilang tuntutan yang kosong dan pedantis (ilmiah semu, Pent.) untuk mengungguli idealisme dan materialisme, bagaimana masalahnya diajukan dengan pertentangan yang tajam. “Memberi kebebasan kepada komponen-lawan”, itu berarti, (kalau diterjemahkan dari bahasa Avenarius yang sukar dan dibikin-bikin ke dalam bahasa manusia yang sederhana) menganggap alam, dunia luar tak tergantung dari kesadaran dan perasaan manusia, dan itu adalah materialisme. Membangun teori pemahaman bertolak dari hubungan yang tak terpisahkan antara obyek dengan perasaan manusia (“kompleks perasaan” = benda; “elemen-elemen dunia” identik di dalam yang psykhis dan di dalam yang fisis; koordinasi Avenarius dsb. ) berarti secara tak terelakkan terpelanting ke idealisme. Demikianlah kebenaran yang sederhana dan yang tak terelakkan, yang dengan sedikit perhatian saja mudah ditemukan di bawah tumpukan istilah-istilah ilmiah semu dari Avenarius, Schuppe, Ewald dll. yang paling sukar, yang secara

81

sengaja untuk mengaburkan masalah dan yang menjauhkan massa yang luas dari filsafat.

“Pendamaian” teori Avenarius dengan “realisme naïf” pada akhirnya menimbulkan keraguan bahkan pada murid-muridnya sendiri. R.Willy, misalnya, berkata, bahwa pengesahan yang biasa, seolah-olah Avenarius mendekat ke “realisme naïf”, harus dimengerti cum grano salis*. “Sebagai dogma, realisme naïf tak lain dan tak bukan adalah kepercayaan pada benda dalam dirinya, yang ada di luar manusia (ausserpersonliche), dalam bentuknya yang teraba-terasakan”**. Dengan kata-kata lain: satu-satunya teori pemahaman yang betul-betul dibentuk dengan kesesuaian yang sebenarnya dengan “realisme naïf” dan bukan kesesuaian yang dilamun, menurut Willy sudah barang tentu adalah materialisme. Tapi dia terpaksa mengakui, bahwa kesatuan “pengalaman”, kesatuan “aku dengan alam sekita dipulihkan oleh Avenarius di dalam “Pengertian Manusia Tentang Dunia” “ dengan pertolongan sederet pengertian-pengertian pembantu dan perantara yang sukar dan kadang-kadang sangat dibuat-buat” (171). “Pengertian Manusia Tentang Dunia” yang merupakan reaksi melawan idealisme Avenarius yang mula pertama, “sepenuhnya memiliki watak pendamai (eines Ausgleiches) antara realisme naïf akal sehat dengan teori pemahaman idealis dari filsafat akademis. Tapi kiranya saya tidak ingin membenarkan bahwa pendamaian semacam itu bisa memulihkan kesatuan dan keutuhan pengalaman” (Willy berkata: Grunderfahrung, artinya pengalaman dasar; lagi istilah baru).

Pengakuan yang sangat berharga! Untuk mendamaikan idealisme dengan materialisme, “Pengalaman” Avenarius tidak berhasil, Willy, rupanya, membantah filsafat akademis daripada pengalaman untuk menggantinya dengan filsafat yang tiga kali lebih membingungkan yaitu filsafat daripada pengalaman “dasar”.

* dengan catatan besar. Red.

82

Kita sudah melihat, bahwa masalah itu sudah masalah yang secara khusus beracun bagi filsafat Mach dan Avenarius. Ilmu alam secara positif menegaskan, bahwa bumi sudah ada dalam kondisi di mana di atasnya belum ada dan tak mungkin ada baik manusia maupun makhluk hidup yang bagaimanapun. Materi organis adalah gejala yang belakangan, sebagai hasil daripada perkembangan yang berlangsung lama. Jadi, belum ada materi yang merasa, -- belum ada “kompleks perasaan” yang manapun, -- belum ada Aku yang bagaimanapun, yang seolah-olah “secara tak terpisahkan” berhubungan dengan alam sekitar, menurut ajaran Avenarius. Materi adalah yang pertama, fikiran, kesadaran, perasaan adalah hasil dari perkembangan yang sangat tinggi. Demikianlah teori pemahaman materialis, di atas mana secara instingtif berpijak ilmu alam.

Bisa ditanya, tahukan wakil-wakil terkemuka empiriokritisme tentang kontradiksi teori mereka dengan ilmu alam? Tahu dan dengan keras mengajukan problem, dengan pertimbangan-pertimbangan yang bagaimana seharusnya disingkirkan kontradiksi itu. Yang secara khusus menarik dari titik tolak materialisme adalah tiga pandangan mengenai hal itu, yaitu pandangan Avenarius sendiri, kemudian pandangan murid-muridnya J.Petzoldt dan R. Willy.

Avenarius berusaha menyingkirkan kontradiksi denga ilmu alam dengan pertolongan teori komponen-pusat yang “potensiil” di dalam koordinasi. Sebagaimana kita ketahui, koordinasi berada dalam hubungan yang “tak terpisahkan” antara Aku dengan alam sekitar (=”komponen lawan”), kalau “komposnen pusat” berupa embrio? Sistim embrio C, -- jawab Avenarius, -- adalah “komponen pusat potensiil dalam hubungan dengan alam sekitar individual di masa depan” (“Catatan”, hal 140, dari buku yang disitir). Komponen pusat yang potensiil kapanpun tak sama dengan nol, -- bahkan pada saat

ketika belum ada ibu bapa (elterliche Bestandteile), dan ada hanya

“bagian penyusun alam sekitar” yang mampu menjadi ibu bapa (S.141).

83

Jadi Koordinasi tak terpisahkan. Menegaskan hal itu bagi seorang empiriokritikus adalah mutlak demi menyelamatkan dasar-dasar daripada filsafatnya, demi perasaan dan kompleks-kompleksnya. Manusia adalah komponen pusat tidak sama dengan nol, dia masih berada sebagai komponen pusat yang potensiil! Bisa merasa heran, sebagaimana bisa ada orang-orang yang bisa memperhatikan secara serius ahli filsafat yang menyuguhkan analisa semacam itu! Bahkan Wundt yang telah mengajukan reserve, bahkan dia sama sekali bukan musuh semua metafisika (yaitu semua fideisme), terpaksa di sini mengakui pemburengan* yang mistis istilah: “potensiil” yang menghancurkan segala macam koordinasi (sitiran karangan hal. 379) Pada kenyataannya, masakan bisa dengan serius berbicara trentang koordinasi di mana ketidak-terpisahannya terletak dalam hal, bahwa satu daripadanya bersifat potensiil?

Dan apakah itu bukan mistik, bukan prolog yang langsung daripada fideisme? Kalau boleh berfikir tentang komponen pusat yang potensiil dalam hubungannya dengan alam sekitar di masa depan, maka mengapa tidak berfikir tentangnya dalam hubungannnya dengan alam sekitar di masa yang lalu,yaitu sesudah matinya manusia? Tuan berkata: Avenarius tidak membuat kesimpulan itu dari teorinya. Ya, dari hal itu teori yang reaksioner dan tak masuk akal itu menjadi lebih pengecut, tapi tidak menjadi lebih baik. Avenarius dalam tahun 1894

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 75-98)