• Tidak ada hasil yang ditemukan

L.Feuerbach Dan Y.Dietzgen Tentang Benda Dalam Dirinya Untuk menunjukkan sampai tingkat seberapa ketidak-

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 136-161)

masuk-akalan penegasan kaum Machis kita, seolah-olah orang- orang Materialis Marx dan Engels mengingkari adanya benda dalam dirinya (yaitu benda-benda di luar perasaan kita, di luar bayangan kita dsb.) dan keterfahamannya, seolah-olah mereka mengakui adanya sesuatu batas yang prinsipiil antara gejala dan benda dalam dirinya, -- kita ketemukan lagi beberapa sitiran dari Feuerbach. Celakanya kaum Machis kita terletak dalam hal bahwa mereka mulai berbicara dengan kata-kata profesor-profesor reaksioner tentang materialisme dialektis, tanpa mengetahui baik dialektika maupun materialisme.

“Spiritualisme filsafat modern, -- kata Feuerbach, -- yang menamakan dirinya sebagai idealisme, melontarkan terhadap materialisme umpatan berikut yang menurut mereka mematikan: materialisme, kata mereka, adalah dogmatisme, artinya, dia bertolak dari dunia yang di rasa (sinnliche), sebagai dari kebenaran obyektif

134

yang tak terbantah (ausgemacht), menganggapnya sebagai dunia dalam dirinya, artinya yang ada tanpa kita, sedangkan pada kenyataannya dunia adalah sekedar hasil daripada jiwa” (Samtliche Werke, X Band 1866, S.185*).

Kiranya itu jelas? Dunia dalam dirinya adalah dunia yang ada tanpa kita. Itu adalah materialisme Feuerbach, sebagaimana materialisme abad ke-17 yang dibantah oleh Uskup Berkeley, terletak dalam pengakuan “obyek-obyek yang berdiri sendiri” yang ada di luar kesadaran kita. “An sich” (yang bediri sendiri atau “dalam dirinya sendiri”) milik Feuerbach secara langsung bertentangan dengan “An sich” milik Kant: pembaca ingat sitiran dari Feuerbach yang diajukan di atas, yang menuduh Kant dalam hal bahwa baginya “benda dalam dirinya” adalah “abstraksi tanpa keriilan”. Bagi Feuerbach “benda dalam dirinya” adalah “abstraksi dengan keriilan”, yaitu dunia yang ada di luar kita, yang sepenuhnya bisa terpahami, yang secara prinsipiil sama sekali tidak berbeda dengan “gejala”.

Feuerbach sangat tajam dan terang menjelaskan, bagaimana tidak masuk akalnya menganggap adanya sesuatu “transensus” dari dunia gejala ke dunia dalam dirinya, sesuatu jurang yang tak terlangkahi, yang dibentuk oleh pendeta-pendeta dan yang diambil dari mereka oleh profesor-profesor filsafat. Inilah salah satu dari penjelasan-penjelasan semacam itu:

“Sudah barang tentu hasil karya fantasi juga – merupakan hasil karya alam, sebab kekuatan fantasi, sebagaimana halnya semua kekuatan-kekuatan lain manusia, pada akhirnya (zuletzt), pada dasarnya, sesuai dengan asalnya adalah kekuatan alam, namun meskipun begitu, manusia adalah makhluk yang berbeda dengan matahari, dengan bulan dan bintang-bintang,

135

*(

dengan batu, binatang dan tumbuh-tumbuhan, singkatnya, -- dengan

semua makhluk (Wesen), yang dia tandai dengan istilah umum: alam, -

- dan, oleh sebab itu, gambaran (Bilder) atas matahari, bulan dan

bintang-bintang dan atas semua makhluk alam (Naturwesen) yang lain,

meskipun gambaran-gambaran itu adalah hasil karya alam, tapi hasil karya lain yang berbeda denga obyek-obyek mereka di dalam alam.” (Werke, Band VIII, Stuttg.1903, S.516 ).

Obyek-obyek bayangan kita berbeda dengan bayangan kita, -- benda dalam dirinya berbeda dengan benda untuk kita, -- sebab yang disebut yang terkahir tadi – hanya sebagian atau satu segi dari yang disebut pertama, sebagaimana manusia sendiri – hanya satu bagian dari alam yang dicerminkan di dalam bayangannya.

“…. Perasa lidah saya adalah sedemikian juga hasil karya alam, sebagaimana garam, tapi dari situ bukan berarti, bahwa rasa garam, secara langsung, sebagaimana adanya, merupakan sifat obyektifnya, -- bahwa garam yang sekedar berupa (ist) obyek perasaan sudah dengan sendirinya (an und fur sich) begitu, -- bahwa, oleh sebab itu, rasa garam pada lidah adalah rasa garam, -- sebagaimana kita

memikirkannya tanpa perasaan (des ohne Empfindung gedachten

Salzes)”……Beberapa halaman sebelumnya: “Asin sebagai rasa, adalah pernyataan subyektif daripada sifat obyektif garam”.(514) Perasaan adalah hasil dari pengaruh benda dalam dirinya yang ada di luar kita pada alat-alat panca indera kita, demikian teori Feuerbach. Perasaan adalah gambaran subyektif daripada dunia

obyektif, dari pada dunia an und fur sich.

“……Jadi juga manusia adalah makhluk alam (Naturwesen),

sebagaimana matahari, bintang, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu, tapi walaupun begitu dia berbeda dengan alam, dan, oleh sebab itu, alam di dalam kepala dan di dalam hati manusia berbeda dengan alam di luar kepala dan hati manusia”.

“….Manusia adalah satu-satunya obyek, dalam mana menurut pengakuan orang-orang idealis sendiri, terpenuhi tuntutan “keidentikan subyek dengan obyek”; sebab manusia adalah obyek yang bersamaan dan kesatuannya dengan ada saya sebagai makhluk, tidak mengandung

136

keraguan apapun. …Dan apakah seseorang tidak merupakan obyek fantasi, obyek bayangan bagi orang lain, bahkan bagi orang yang paling dekat? Apakah setiap orang tidak mengerti akan orang lain dalam fikirannya sendiri, menurut caranya sendiri (in und nach seinem Sinne)? ….Dan bahkan kalau antara manusia dengan manusia, antara fikiran dengan fikiran ada perbedaan yang tak boleh diabaikan, maka betapa besar seharusnya perbedaan antara makhluk-makhluk yang

tidak berfikir, yang bukan manusia, yang dengan sendirinya (Wesen an

sich) tidak identik dengan kita, dengan makhluk-makhluk,

sebagaimana dia kita fikirkan, kita bayangkan dan kita mengerti?” (hal.518, di sana juga).

Semua perbedaan yang rahasia, yang bijaksana, yang cerdik antara gejala dengan benda dalam dirinya adalah omong kosong filosofis yang betul-betul. Pada kenyataannya setiap orang jutaan kali mengamati pengubahan yang nyata dan sederhana daripada “benda dalam dirinya” menjadi gejala, menjadi “benda untuk kita”. Justru pengubahan itulah – pemahaman. “Ajaran” Machisme bahwa karena kita mengetahui hanya perasaan, maka kita tidak bisa mengetahui tentang adanya sesuatu di luar perasaan, adalah sofisme tua daripada filsafat idealis dan agnostis, yang disajikan dengan saus baru.

Yozef Dietzgen – seorang materialis dialektis. Di bawah nanti kita tunjukkan bahwa cara pengungkapannya sering tidak tepat, sehingga dia sering terperosok ke dalam kekacauan, kekacauan mana sering dicakup oleh orang-orang tolol (di antaranya oleh Eugen Dietzgen) dan, sudah barang tentu, oleh kaum Machis kita. Tapi mereka tidak berkuasa untuk mengerti atau tidak mau mengerti keunggulan garis filsafatnya, yang secara jelas memisahkan materialisme dengan elemen-elemen lain.

Dietzgen dalam karyanya “Hakekat Kerja Kepala” (terbiatan dalam bahasa Jerman, 1903, hal. 65) berkata: “Kita ambil sebagai “benda dalam dirinya” dunia, -- mudah dimengerti bahwa “dunia dalam dirinya” dan dunia sebagaimana dia merupakan gejala bagi kita, gejala dunia, berbeda satu sama lain tidak lebih besar daripada keseluruhan dengan bagian. “Gejala berbeda

137

*

dari hal, apa yang bergejala, tak kurang dan tak lebih dari hal, bahwa sepuluh mil berbeda dengan sepanjang jalan” (71-72). Perbedaan prinsipiil yang manapun, “transensus” yang manapun, “ketidak- cocokan” alamiah yang manapun, di sini tidak ada dan tidak mungkin ada. Namun perbedaan, sudah barang tentu, ada, yaitu perpindahan dari batas tanggapan dan panca-indera ke adanya benda-benda di luar kita.

“Kita tahu (erfahren, merasakan), -- kata Dietzgen di dalam

“Peninjauan Seorang Sosialis Dalam Bidang Teori Pemahaman” (edisi Jerman 1903, “Kleinere Philosophie. Schrifften”*, hal. 199), -- bahwa semua pengalaman adalah bagian dari apa, yang, berbicara bersama Kant, keluar dari batas pengalaman yang manapun”. “Bagi kesadaran yang memahami hakekatnya sendiri, setiap bagian yang sangat kecil, baik daripada debu, batu maupun daripada kayu, adalah sesuatu yang tak bisa dipahami sampai akhir (Unauskenntliches), yaitu setiap bagian-bagian yang sangat kecil adalah material yang tidak habis- habisnya bagi kemampuan pemahaman manusia, oleh sebab itu adalah sesuatu yang keluar dari batas pengalaman” (199).

Lihatlah: berbicara bersama Kant, yaitu menerima termin Kant yang salah dan kacau, -- dengan tujuan populerisasi yang betul-betul, demi mempertentangkannya, -- Dietzgen mengakui keluarnya “dari batas pengalaman”. Itu—adalah contoh yang baik mana, yang dipegang oleh kaum Machis, dengan menyeberang dari materialisme ke agnostisisme: kita, kata mereka, tidak ingin keluar “dari batas pengalaman” bagi kita tanggapan panca indera justru adalah realitas yang ada di luar kita”.

“Mistika yang tidak sehat, -- kata Dietzgen justru untuk menentang filsafat yang demikian, -- memisahkan secara tidak ilmiah kebenaran absolut dengan kebenaran relatif. Dari benda yang bergejala dan dari “benda dalam dirinya”, yaitu dari gejala dan dari keaslian, dia membuat dua kategori yang satu sama yang lain berbeda toto coelo (secara keseluruhan, menurut seluruh garis, secara prinsipiil) dan yang tidak tercakup di dalam sesuatu kategori umum” (hal. 200).

Sekarang renungkanlah sendiri pemberi-tahuan seorang Machis Rusia Bogdanov yang tidak mau mengakui dirinya sebagai seorang

138

Machis dan yang menghendaki supaya di dalam filsafat, dia dianggap sebagai seorang Marxis.

“Tengah-tengah emas” – antara “panpsischisme dengan panmaterialisme” (“Empiriokritisisme” buku II, cet. ke-2, 1907, hal. 40-41) – ditempati oleh kaum materialis yang bernada lebih kritis, yang menolak ketidak-mungkinan yang tak bersyarat atas ketidak- terpahaminya “benda dalam dirinya”, dan pada saat itu juga menganggap dia (“benda dalam dirinya”, -- Pent.) secara rpinsipiil (huruf miring Bogdanov) berbeda dari “gejala”, dan oleh sebab itu hanya sekedar “terpahami secara samar-samar” di dalam gejala, yang diluar pengalaman menurut isinya (yaitu, kira-kira menurut “elemen- elemen” yang tidak mirip dengan elemen-elemen pengalaman), tapi yang terletak di dalam batas-batas yang dinamakan bentuk-bentuk daripada pengalaman, yaitu waktu, ruang dan sebab musabab. Demikianlah kira-kira titik tolak kaum materialis abad ke-17 dan dari ahli-ahli filsafat modern demikianlah titik tolak Engels dan pengikut Rusia Beltov (40) “.

Itu – adalah seonggok kekacau-balauan. 1) Kaum materialis abad ke-17 dengan siapa berdebat Berkeley, mengakui “obyek dalam dirinya sendiri” tanpa syarat terpahami, sebab bayangan kita, ide-ide kita hanya kopi atau cerminan dari obyek-obyek itu, obyek-obyek yang ada “di luar fikiran” (lih. “Kata Pendahluan”). 2)Yang dengan tegas menentang perbedaan “yang prinsipiil” antara benda dan dirinya dengan gejala adalah Feuerbach, yang mengikuti Y.Dietzgen, sedang Engels dengan contoh yanga sangat pendek tentang pengubahan “benda dalam dirinya” menjadi “benda untuk kita” telah menumbangkan pendapat itu. 3) Akhirnya bahwa kaum materialis menganggap benda dalam dirinya “selalu sekedar samar-samar di pahami di dalam gejala”, itu betul-betul omong kosong, sebagaimana kita ketahui pembantahan

139

*

terhadap kaum agnostikus oleh Engels; sebab-sebab pemutar balikan materialisme oleh Bogdanov – adalah ketidak mengertiannya hubungan antara kebenaran absolut dengan kebenaran relatif (dengan mana akan dipaparkan di bawah nanti). Sedang bagaimana dengan masalah benda dalam dirinya di luar “pengalaman” dan masalah “elemen-elemen pengalaman”, -- itu adalah permulaan kekacau- balauan Machis, tentang mana kita sudah berbicara di atas.

Mengulang-ulangi omong kosong yang keterlaluan dari profesor-profesor rekasioner tentang materialisme, -- dalam tahun 1907 mengingkari Engels, -- dalam tahun 1908 berusaha “mengolah Engels a la agnostisisme, -- itulah filsafat “positivisme terbaru” daripada kaum machis Rusia!

4. Ada Atau Tidak Kebenaran Obyektif

Bogdanov menyatakan: “bagi saya Marxisme mengandung dalam dirinya pengingkaran akan keobyektifan yang tanpa syarat atas kebenaran yan manapun, pengingkaran semua kebenaran abadi” ((Empiromonisme”, bk.III, hal. IV-V). Apa itu artinya: keobyektifan yang tanpa syarat? “Kebenaran yang abadi pada semua zaman “ adalah “kebenaran obyektif dalam arti kata absolut”, -- kata Bogdanov di sana juga, dengan menyetujui untuk mengakui sekedar “kebenaran obyektif hanya dalam batas-batas zaman tertentu”.

Di sini jelas tercanpur adukkan dua masalah: 1) ada atau tidakkah kebenaran obyektif yaitu bisakah dalam bayangan manusia ada isi yang tidak tergantung pada subyek, yang tidak tergantung baik dari manusia maupun dari umat manusia? 2) Kalau ya, maka bisakah

bayangan manusia yang menyatakan kebenaran obektif,

menyatakannya sekaligus, seluruhnya, tanpa syarat, secara absolut atau hanya secara mendekati, secara relatif? Kedua masalah ini adalah hubungan anatara kebenaran absolut dan kebenaran relatif.

Atas masalah kedua, Bogdanov menjawab secara jelas, secara langsung dan secara definitif, dengan menolak pengakuan yang sekecil-kecilnya akan kebenaran absolut dan dengan menuduh Engels

140

sebagai seorang eklektis karena mempunyai pengakuan semacam itu. Tentang penemuan oleh A.Bogdanov bahwa Engels seorang eklektis kita akan berkata secara khusus di belakang nanti. Sedang sekarang kita berhenti sejenak pada masalah pertama, terhadap mana Bogdanov tidak berbicara secara langsung, juga memecahkannya secara negatif, - - sebab boleh mengingkari elemen yang relatif dalam bayangan manusia yang ini atau yang itu tanpa mengingkari kebenaran obyektif, tapi tidak bisa mengingkari kebenaran absolut tanpa mengingkari adanya kebenaran obyektif.

“…..Kriteria (ukuran, Pent.) kebenaran obyektif, -- tulis Bogdanov agak lanjut, hal. IX, -- dalam arti kata Beltov tidak ada, kebenaran adalah bentuk ideologis, bentuk yang bersifat mengorganisasi dari pada pengalaman manusia”……

Di sisni tidak memiliki sangkut paut, baik “arti kata Beltov”, sebab masalahnya berkisar tentang salah satu daripada masalah dasar filsafat, dan pada umumnya bukan tentang Beltov, maupun tentang kriteria kebenaran, tentang mana perlu berbicara secara khusus, tanpa mencapur adukkan masalah itu dengan masalah, adakah kebenaran obyektif itu? Jawaban negatif Bugdanov pada masalah terkahir itu jelas: kalau kebenaran adalah hanya bentuk ideologis, maka berarti, tidak mungkin ada kebenaran yang tidak tergantung dari subyek, dari manusia sebab dari idelogi lain, kecuali ideologi manusia kita bersama Bogdanov tidak tahu. Dan lebih jelas lagi jawaban negatif Bogdanov pada paro kedua dari kalimatnya: kalau kebenaran adalah bentuk pengalaman manusia, maka berarti, tidak mungkin ada kebenaran yang tidak tergantung pada manusia, tidak mungkin ada kebenaran obyektif. Pengingkaran kebenaran obyektif oleh Bogdanov adalah agnostisisme dan subyektivisme. Ketidak masuk akalan pengingkaran itu tampak jelas meskipun hanya dari contoh daripada kebenaran historis alamiah yang diajukan di atas. Ilmu alam tidak membolehkan untuk

141

(

ragu-ragu bahwa penegasannya dengan adanya bumi sebelum manusia adalah kebenaran.Hal itu samasekali cocok dengan teori pemahaman materialis: adanya hal-hal yang dicerminkan (ketidak tergantungan dunia luar dari kesadaran) adalah pangkal pendapat dasar materialisme. Penegasan ilmu alam bahwa bumi ada sebelum adanya manusia adalah kebenaran obyektif. Prinsip ilmu alam itu tidak bisa didamaikan dengan filsafat kaum Machis dan dengan ajaran mereka mengenai kebenaran: kalau kebenaran adalah bentuk terorganisir daripada pengalaman manusia, maka penegasan tentang adanya bumi di luar pengalaman manusia yang manpun, tidak mungkin merupakan kebenaran.

Tapi itu belum cukup. Kalau kebenaran hanya sekedar bentuk yang bersifat mengorganisir daripada pengalaman manusia, maka berarti, yang merupakan kebenaran adalah ajaran, kita katakan saja, Katholisisme. Sebab tidak bisa diragukan sedikitpun bahwa Katholisisme adalah “bentuk yang bersifat mengorganisir daripada pengalaman manusia”. Bogdanov sendiri merasakan kepalsuan yang jelas sekali daripada teorinya, dan sangat menarik untuk melihat, bagaimana dia mencoba merangkak dari rawa-rawa di mana dia terjerumus.

“Dasar-dasar daripada keobyektifan, -- kita baca dalam buku pertama “Empiriomonisme”, -- harus terletak di dalam lingkungan pengalaman kolektif. Yang kita namakan obyektif adalah data-data daripada pengalaman, yang memiliki arti hdup yang sama bagi ita dan bagi orang lain, yaitu data-data, di atas mana bukan hanya kita sendiri yang tanpa kontradiksi membangun aktivitas kita, harus berdasar pula orang-orang lain supaya tidak terjerumus ke dalam kontradiksi. Watak obyektif daripada dunia fisis terletak dalam hal bahwa dia ada bukan bagi saya pribadi, tapi untuk semua orang” (salah! Dia ada secara tak tergantung dari “semua orang”) “dan bagi semua orang memiliki arti tertentu, menurut keyakinan saya, sedemikian juga, sebagaimana bagi saya. Keobyektifan deret fisis, -- adalah arti umum (hal. 25, garis bawah Bogdanov). “Keobyektifan benda-benda fisis, dengan mana kita jumpai dalam pengalaman kita, pada akhirnya, ditentukan di tas dasar saling kontrol dan kesetujuan yang dinyatakan oleh bermacam-macam orang. Pada umumnya, dunia fisis, itu adalah pengalaman yang secara sosial disetujui, yang secara sosial terharmonisir, singkatnya,

142

pengalaman yang secara sosial terorganisir” (hl. 36, huruf miring Bogdanov).

Tidak usah kita ulangi bahwa definisi itu adalah idealis dan salah, bahwa dua fisis ada secara tak tergantung dari manusia dan dari pengalaman manusia, bahwa dunia fisis ada pada waktu belum mungkin ada pengalaman manusia “ kesosialan”dan “ terorganisir” yang manapun juga. Sekarang kita berhenti sejenak untuk membuka kedok filsafat Machis dari segi lain: keobyektifan diberikan definisi sedemikian, bahwa dengan definisi itu ajaran agama memiliki kecocokan, secara tak teragukan memiliki “arti umum” dsb. Kita dengarkan lebih lanjut Bogdanov: “Sekali lagi kita ingatkan pembaca , bahwa pengalaman “obyektif” sama sekali bukan pengalaman “sosial”….Pengalam sosial jauh bukan merupakan sesuatu yang secara sosial terorganisir dan selalu mengandung dalam dirinya bermacam-macam kontradiksi, sehingga satu bagian daripadanya tidak sesuai dengan yang lain; peri dan thuyul bisa ada di bidang pengalaman sosial suatu rakyat atau pada grup tertentu dari pada rakyat, misalnya, kaum tani; tapi karena hal itu, maka peri dan thuyul masih belum pernah dimasukkan ke dalam pengalaman yang secara sosial terorganisir atau yang obyektif, sebab mereka tidak terharmonisir dengan pengalaman-pengalaman kolektif yang lain dan tidak tersusun dalam bentuknya yang terorganisir, misalnya dalam rantai sebab-musabab” (45).

Sudah barang tentu kita merasa sangat senang bahwa Bogdanov sendiri “tidak memasukkan” pengalaman sosial mengenai peri dan thuyul dsb. ke dalam pengalaman obyektif. Tapi ralat yang bermaksud baik dalam bentuk pengingkaran atas fideisme itu, sedikitpun tidak membetulkan kesalahan besar dari posisi Bugdanov. Definisi Bogdanov tentang keobyektifan dan tentang dunia fisis tanpa syarat gugur, sebab ajaran agama dalam tingkat yang besar “memiliki-arti-umum” daripada ajaran ilmu pengetahuan: sampai sekarang sebagian besar umat manusia masih menganut ajaran yang disebutkan pertama. Katholisisme “secara kemasyarakatan terorganisir, terhamonisir, terpadukan” oleh perkembangannya yang berabad-abad; ke dalam

143

(

rantai sebab musabab dia “tersusun” secara paling langsung, sebab agama-agama timbul bukannya tanpa sebab musabab, agama itu dianut oleh massa rakyat di bawah syarat-syarat modern sama sekali bukan secara kebetulan, bahwa kepadanya “secara wajar” para profesor filsafat menyesuaikan diri. Kalau pengalaman keagamaan sosial yang secara tak teragukan memiliki arti umum dan yang secara tak teragukan terorganisir secara tinggi itu “tidak terhamonisir” dengan “pengalaman” ilmu pengetahuan, maka berarti, di antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan yang prinsipiil, yang dasar, yang dibangun oleh Bogdanov ketika dia membantah kebenaran obyektif. Dan betapapun Bugdanov “memperbaiki” diri dengan mengatakan, bahwa fideisme dan agama tidak terhamonisir dengan ilmu pengetahuan, bagaimanapun jug masih ada fakta yang tak teragukan , bahwa pengingkaran oleh Bogdanov atas kebenaran obyektif “terharmonisir” sepenuhnya dengan fideisme. Fideisme modern sama sekali tidak membantah ilmu pengetahuan; dia membantah hanya “tuntutan yang berlebih-lebihan” daripada ilmu pengetahuan, yaitu tuntutan akan kebenaran obyektif. Kalau kebenaran obyektif ada (sebagaimana berfikir kaum materialis), kalau ilmu alam, hanya satu- satunya, yang, ketika mencerminkan dunia luar di dalam “pengalaman” manusia, mampu memberi kankepada kita kebenaran obyektif, maka fideisme yang manapun tanpa syarat terbantah. Sedang kalau kebenaran obyektif tidak ada, kebenaran (di antaranya juga kebenaran ilmiah) adalah sekedar bentuk yang terorganisir dari pada pengalaman manusia, maka dengan hal itu diakui pangkal pendapat dasar daripada keagamaan, terbuka pintu baginya, dibersihkan tempat bagi “bentuk- bentuk yang terorganisir” daripada pengalaman agama.

Timbul pertanyaan, pengingkaran akan kebenaran obyektif itu dimiliki oleh Bogdanov sendiri ataukah dia muncul dari dasar-dasar ajaran Mach dan Avenarius? Atas pertanyaan itu bisa dijawab dengan arti kata terkahir di atas. Kalau di dunia ada hanya perasaan (Avenarius thn. 1876), kalau benda adalah kompleks-kompleks perasaan (Mach dalam “Analisa Perasaan”), maka jelas bahwa di hadapan kita adalah subyektivisme filsafat, yang secara tak terelakkan mengarah ke pengingkaran atas kebenaran obyektif. Dan kalau perasaan dinamakan

144

sebagai “elemen-elemen”, yang, dalam hubungan yang satu merupakan hal-hal yang fisis, sedang dalam hubungan yang satu merupakan hal- hal psykhis, maka dengan itu semua, sebagaimana kita telah melihat, titik tolak dasar empiriokritisisme hanya dikacau balaukan dan tidak dibantah. Avenarius dan Mach mengakui perasaan sebagai sumber pengetahuan kita. Oleh karena itu mereka berdiri di atas titik tolak emperisme (semua pengetahuan dari pengalaman) atau di atas titik tolak sensualisme (semua pengetahuan dari perasaan). Tapi titik tolak mengarah ke perbedaan aliran dasar filsafat, idealisme dan materialisme, dan bukannya menyingkirkannya, meskipun tuan-tuan menyelubunginya dengan jubah istilah “baru” (“elemen-elemen”). Baik kaum solipsis yaitu si idealis subyektif, maupun si materialis bisa mengakui perasaan-perasaan sebagai sumber pengetahuan kita. Baik Berkeley maupun Diderot muncul dari Locke. Pangkal pendapat teori pemahaman yang pertama, tak teragukan terletak dalam hal, bahwa satu-satunya sumber pengetahuan kita – adalah perasaan-perasaan. Setelah mengakui pangkal pendapat pertama itu, Mach mengacaukan pangkal pendapat kedua yang penting: tentang keriilan obyektif yang diberikan kepada manusia dalam perasaan-perasaannya, atau yang

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 136-161)