• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang Sebab-Musabab Keharusan di Dalam Alam

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 180-194)

Masalah sebab-musabab memiliki arti yang terutama penting bagi penentuan garis Filsafat daripada “isme” terbaru yang ini atau yang itu, dan kita, oleh sebab itu, harus membentangkan masalah itu agak mendetil.

Kita mulai dari pembentangan teori pemahaman materialis

mengenai masalah ini. Pandangan-pandangan L.Feuerbach

dibentangkan olehnya khususnya jelas di dalam batahannya terhadap R.Haym yang kita sebutkan di atas.

“Alam dan rasio manusia,-- baginya (bagi Feuerbach) sama sekali berpisah dan di antara mereka terdapat suatu jurang yang tak terlompati baik dari sisi yang satu maupun dari sisi yang lain. Haym mengambil dasar bagi umpatan itu pada paragraf 48 “Hakekat Agama” saya, di mana dikatakan, bahwa “alam bisa dimengerti melewati alam sendiri, bahwa keharusannya bukan keharusan manusia atau keharusan logis, metafisis atau matematis, bahwa alam sendiri merupakan makhluk yang sedemikian, terhadap mana tidak dapat dicapkan stempel manusia, meskipun kita membandingkan gejala- gejalanya dengan gejala-gejala manusia yang analogis, kita trapkan pada istilah-istilah dan pengertian-pengertian kemanusiaan, seperti: aturan, tujuan, hukum, untuk membuatnya agar supaya dia bisa kita mengerti, kita terpaksa menggunakan padanya istilah-istilah yang demikian daripada bahasa kita”. Apa itu artinya? Dengan itu semua adakah saya ingin berkata, bahwa: di dalam alam tidak ada aturan, sehingga misalnya antara paru-paru dengan udara, antara cahaya

178

dengan mata, antara suara dengan telinga tidak ada kecocokan yang manapun? Tidak ada aturan, sehingga misalnya, bumi kadang-kadang berputar menurut elips, kadang-kadang menurut lingkaran, mengelilingi matahari kadang-kadang selama satu tahun, kadang- kadang selama seperempat jam? Omong kosong apa itu? Apakah yang hendak saya katakan dalam kutipan itu? Tidak lebih dari hal, agar membedakan antara apa yang menjadi milik alam dengan apa yang menjadi milik manusia; di dalam kutipan itu tidak dikatakan , bahwa kata-kata dan bayangan tentang aturan, tujuan dan hukum jangan sampai cocok dengan apa yang tidak nyata di dalam alam, dalam kutipan itu diingkari hanya keidentikan antara fikiran dengan kenyataan, diingkari, agar supaya aturan dls. berada di dalam alam justru sedemikian rupa, sebagaimana di dalam kepala atau panca- indera manusia. Aturan, tujuan, hukum adalah tidak lebih dari kata- kata, dengan mana manusia menerjemahkan kejadian-kejadian alam ke dalam bahasanya sendiri, agar supaya mengertinya; kata-kata itu bukannya tanpa arti, bukannya tanpa isi obyektif (nich sinn-d. h. gegenstandlose Worte); namun meskipun begitu perlu membedakan orisinil dengan terjemahan. Aturan, tujuan, hukum menurut arti manusia menyatakan sesuatu yang semau-maunya.

“Theisme secara tegas menyimpulkan bahwa kekebetulan daripada yang ber-aturan, daripada yang bertujuan, daripada yang hukumiah itu berasal dari asal-usul yang berkehendak semaunya, dari makhluk yang berbeda dari alam dan yang memasukkan hal-hal yang beraturan, yang bertujuan, yang hukumiah itu ke dalam alam, alam yang dengan sendirinya (an sich) semrawut (dissolute) yang tidak berketentuan. Rasio kaum theis …… adalah rasio yang berkontradiksi dengan alam, yang secara absolut tidak memiliki pengertian akan hakekat alam. Rasio kaum theis mengoyak alam menjadi dua makhluk, -- satu yang materiil, lainnya yang formil atau yang bersifat kejiwaan” (Werke, VII Band, 1903, S.518-520 *).

179

Jadi, Feuerbach mengakui ke-hukumiah-an yang obyektif di dalam alam, mengakui sebab dan musabab yang obyektif yang dicerminkan oleh bayangan manusia hanya sedikit mendekati tentang aturan, hukum dsb. Pengakuan atas ke-hukumiah-an yang obyektif daripada alam berada pada Feuerbach dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan pengakuan atas realitas obyektif daripada dunia luar, daripada obyek-obyek, benda-benda, barang- barang yang dicerminkan oleh kesadaran kita.Pandangan-pandangan Feuerbach adalah materialis secara konsekwen. Dan semua pandangan-pandangan lain, lebih tepatnya, garis filsafat lain dalam masalah tentang sebab-musabab, keharusan di dalam alam, Feuerbach secara adil menggolongkan ke aliran fideisme. Sebab jelas dalam kenyataannya, bahwa garis subyektivisme dalam masalah tentang sebab-musabab, menyodoran aturan dan keharusan daripada alam bukannya dari dunia luar yang obyektif, melainkan dari kesadaran, dari rasio dari logika dsl. Bukan hanya memisahkan rasio manusia dari alam, bukan hanya mempertentangkan yang disebut pertama dengan yang disebut kedua, tapi membuat alam menjadi bagian dari rasio, bukannya menganggap rasio sebagai bagian dari alam. Garis subyektif dalam masalah tentang sebab- musabab adalah idealis filosofis (di mana teori sebab-musabab Hume dan kant merupakan variasinya), yaitu fideisme yang agak terlunakkan, agak tercairkan. Pengakuan atas ke-hukumiah-an yang obyektif daripada alam dan cerminannya yang mendekati benarnya ke-hukumiah-an itu di dalam kepala manusia adalah materialisme. Sedang bagaimana masalahnya dengan Engels, maka dia tidak pernah, kalau saya tidak salah, masalah khusus mengenai masalah sebab-musabab, mempertentangkan titik tolak materialisme dengan aliran-aliran lain. Dalam hal ini baginya tidak ada keperluan, sebab ia menganai masalah yang lebih fundamentil mengenai realitas obyektif dunia luar pada umumnya telah memisahkan diri secara definitif dengan semua kaum egnostikus.Tapi barang siapa dengan perhatian sekecil mungkin membaca karya-karya filsafatnya, maka baginya harus jelas, bahwa Engels tidak memiliki

180

sekelumitpun keraguan mengenai adanya ke-hukumiah-an, sebab- musabab, keharusan yang obyektif daripada alam. Kita batasi saja dengan sedikit contoh-contoh. Di dalam paragraf pertama “Anti- Dühring” Engels berkata: “Untuk memahami segi yang sepotong- sepotong” (atau bagian-bagian dari gambaran umum gejala-gejala dunia), “kita terpaksa mengambilnya keluar dari hubungan- hubungan ilmiah (naturlich) atau historisnya dan menyelidiki satu persatu secara sendiri-sendiri menurut sifat-sifatnya, menurut sebab- sebab dan akibat-akibat khususnya” (5-6). Bahwa hubungan alamiah, hubungan gejala-gejala alam itu ada secara obyektif, adalah nyata. Engels menggaris bawahi khususnya pandangan dialektis atas sebab dan akibat: “sebab dan akibat adalah bayangan-bayangan yang mempunyai arti, sebagaimana adanya, hanya dalam pentrapannya ke kejadian khusus tertentu; tetapi begitu kita akan memandang kejadian khusus itu dalam hubungan-hubungan menyeluruh dengan dunia secara keseluruhan, bayangan-bayangan itu masuk dari dan bertali temali di dalam baying saling pengaruh yang universal, dalam mana sebab dan akibat secara kontinyu saling bertukar tempat; apa yang di sini dan merupakan sebab, di sana dan pada saat lain menjadi akibat dan sebaliknya” (8). Oleh karena itu pengertian manusia atas sebab dan akibat, selalu sedikit menyederhanakan hubungan yang obyektif daripada gejala-gejala alam, hanya sekedar mendekati saja mencerminkannya, secara buatan mengisolasi segi-segi yang ini atau yang itu daripada suatu proses dunia yang utuh. Kalau kita temukan, bahwa hukum-hukum pemikiran sesuai dengan hukum-hukum alam, maka hal itu menjadi sepenuhnya bisa dimengerti – kata Engels, -- kalau diperhitungkan, bahwa pemikiran dan kesadaran adalah “buah hasil otak manusia dan manusia sendiri adalah buah hasil alam”. Bisa dimengerti, bahwa “buah hasil manusia, yang dia sendiri pada akhirnya adalah buah hasil alam, tidak berkontradiksi dengan hubungan-hubungan alamiah (Naturzusammenhang) lainnya, tapi sesuai dengannya” (22) (49) . Tidak bisa disangsikan, bahwa ada hubungan obyektif alamiah di antara gejala-gejala dunia. Tentang “hukum-hukum alam”, tentang “keharusan alam” (Naturnotwendigkeiten) Engels berbicara terus menerus, tanpa menganggap secara khusus perlu menjalankan prinsip-prinsip materialisme yang cukup dikenal.

181

Di dalam “Ludwig Feuerbach” kita baca hal yang sama juga, bahwa “hukum-hukum umum daripada hekekatnya adalah identik, sedang menurut pemunculannya berbeda hanya karena hal, bahwa kepala manusia bisa menggunakan hukum-hukum itu secara sedar, sedang di dalam alam – sampai saat ini sebagianbesar juag di dalam sejarah umat manusia – hukum-hukum itu berlangsung secara tak sadar, dalam bentuk keharusan-keharusan luar, di antara deretan kekebetulan yang tak terbilang banyaknya yang hanya tampaknya saja merupakan kebetulan-kebetulan” (38). Dan Engels menuduh naturfilsafat lama dalam hal, bahwa dia mengganti “hubungan- hubungan sebenarnya yang belum dikenal” (daripada gejala-gejala alam) “dengan hubungan-hubungan idiil, yang fantastis” (42) (50) . Pengakuan oleh Engels akan ke-hukumiah-an, sebab-musabab, keharusan yang obyektif di dalam alam sama sekali adalah jelas di samping peng-garis-bawahan atas watak yang relatif daripada cerminan-cerminan kita, yaitu cerminan-cerminan manusia yang mendekatai pada ke-hukumiah-an itu, cerminan di dalam pengertian- pengertian yang ini atau yang itu.

Dengan beralih ke Dietzgen, kita harus mula-mula mencatat satu dari pemutar balikan yang tak terbilang banyaknya atas masalah- masalah oleh kaum Machis kita. Salah seorang dari penulis-penulis “Risalah ‘tentang’ filsafat Marxisme”, tuan Helfond, menyatakan kepada kita: “ Point-point dasar daripada pandangan dunia Dietzgen bisa di resume ke dalam prinsip-prinsip sebagai berikut: “….9)Ketergantungan yang bersebab-musabab, yang kita pasangkan pada benda-benda, dalam kenyataannya tidak terkandung di dalam benda-benda itu sendiri”(248). Itu adalah bualan yang mentah-mentah tuan Helfond, yang pandangannya sendiri merupakan sup campur aduk dari materialisme dan agnostisisme, secara tak tahu malu memutar balikkan Y.Dietzgen. Sudah barang tentu pada Dietzgen dapat ditemukan tidak sedikit kekacauan, ketidak tepatan, kesalahan- kesalahan yang menggembirakan kaum Machis dan yang memaksa setiap orang materialis untuk mengakui bahwa Dietzgen adalah seorang ahli filsafat yang tidak konsekwen. Tapi untuk mengecapkan pada kaum materialis Dietzgen pengingkaran yang langsung dari

182

pandangan materialis atas sebab-musabab, yang bisa melakukan itu hanya kaum Helfond, hanya kaum Machis Rusia.

“Pemahaman ilmiah yang obyektif, -- kata Y.Dietzgen dalam karangannya “Hakekat Kerja Kepala” (terbitan bahasa Jerman tahun 1903), -- mencari sebab-sebab bukannya di dalam kepercayaan, bukannya di dalam spekulasi, melainkan di dalam pengalaman, bukannya a priori, melainkan aposteriori *. Ilmu alam mencari sebab- sebab bukannya di luar gejala-gejala,bukannya dibelakang gejala- gejala itu, tapi di dalamnya, dengan pertolongannya” (S.94-95). Sebab- sebab adalah kemampuan berfikir. Tapi mereka – bukannya hasil murni kemampuan berfikir itu, mereka dilahrikan olehnya dengan kerja sama dengan material yang terasakan. Sebagaimana dari kebenaran kita menuntut, agar dia merupakan kebenaran dari pada gejalan-gejala obyektif, maka dari sebab-sebab, kita menuntut agar dia berupa sebab-sebab yang nyata, agar dia merupakan sebab-sebab daripada akibat tertentu yang obyektif” (S.98-99). “Sebab-sebab daripada barang-barang adalah saling hubungannya” (S.100).

Dari sini tampak bahwa tn. Helfold mengajukan penegasan yang secara langsung bertentangan dengan kenyataan. Pandangan dunia materialisme yang dibentangkan oleh Y.Dietzgen mengakui, bahwa “ketergantungan dari sebab-sebab” terkandung “di dalam barang-barang sendiri”. Demi kepentingan sup campur aduk Machis, diperlukan oleh tuan Helfold mengacaukan garis materialis dengan garis idealis dalam masalah tentang sebab-musabab.

Mari kita beralih ke garis ke dua.

Pada Avenarius pernyataan yang sangat jelas daripada titik tolak filsafatnya terletak di dalam karangan pertamanya; “Filsafat, sebagai pemikiran tentang dunia berdasarkan prinsip pengeluaran tenaga sedikit mungkin” Di dalam § 81 kita baca: “dengan tidak merasakan (tidak memahami di dalam pengalaman:erfahren) tenaga, sebagai sesuatu yang menimbulkan gerak, kita juga tidak merasakan keharusan daripada sesuatu gerak ...…. Semua yang kita rasakan

183

(erfahren), adalah, -- bahwa yang satu diikuti yang lain. Di hadapan kita adalah titik tolak Hume dalam bentuknya yang tulen: perasaan, pengalaman sedikitpun tidak mengatakan kepada kita tentang sesuatu keharusan. Ahli filsafat yang menekankan (di atas dasar “pengamatan fikiran”) bahwa ada hanya perasaan, tidak pernah sampai pada sesuatu kesimpulan yang lain. “Karena, -- kita baca lebih lanjut, -- bayangan tentang sebab-musabab menuntut tenaga dan keharusan atau paksaan, sebagai bagian-bagian penyusun yang integral untuk menentukan akibat, maka bayangan tentang sebab-musabab itu berguguran bersama mereka” (p 82). “Keharusan tetap tinggal sebagai tingkat kemungkinan daripada akibat-akibat yang ditunggu” (§ 83 tesis).

Itu – adalah subyektivisme yang betul-betul definitif dalam masalah tentang sebab-musabab. Dan kalau tetap konsekwen, maka tidak bisa sampai pada kesimpulan lain, tanpa mengikuti realitas obyektif sebagai sumber daripada perasaan-perasaan kita.

Mari kita ambil Mach. Di dalam bab khusus tentang “sebab- musabab dan penjelasan-penjelasan” (“Warmelehre”,2. Auflage 1900, S.432-439)* kita baca: “Kritik oleh Hume (daripada pengertian sebab- musabab) masih tetap berlaku” Kant dan Hume dengan cara yang berbeda-beda memecahkan masalah tentang sebab-musabab (Mach tidak merewes ahli-ahli filsafat lain!); “kita bergabung” pada pemecahan Hume. “Kecuali keharusan logis (huruf miring dari Mach) tidak ada sesuatu keharusan lain, misalnya keharusan fisis”. Itu adalah justru pandangan terhadap mana Feuerbach dengan tegas berjuang. Pada kepala Mach tidak terlintas pengingkaran akan ke-sejenisan-nya dengan Hume. Hanya kaum Machis Rusia yang melantur sampai pada penegasan “bisa digabungkannya” agnostisisme Hume dengan materialisme Marx dan Engels. Di dalam “Mekhanika”nya Mach kita baca:”Di dalam alam tidak ada baik sebab maupun akibat” (S.474,3. Auflage, 1897). “Saya berkali-kali membentangkan, bahwa semua bentuk daripada hukum sebab-musabab timbul dari hasrat-hasrat (Trieben) subyektif; bagi alam tidak ada keharusan bercocokan dengan hasrat-hasrat itu”(495).

Di sini perlu dicatat, bahwa kaum Machis Rusia kita dengan kenaifan yang mentakjubkan mengganti masalah tentang aliran

184

materialis atau idealis daripada semua analisa tentang hukum sebab- musabab dengan masalah tentang perumusan yang ini atau yang itu daripada hukum tersebut. Mereka percaya pada profesor-profesor empiriokritikus Jerman, bahwa kalau berkata: “saling hubungan fungsionil” maka itu merupakan penemuan daripada “positivisme terbaru”, terhindar dari “fitisisme” istilah, semacam “keharusan” , “hukum” dsb. Sudah barang tentu itu hanya remeh temeh yang setulen- tulennya dan Wundt memiliki hak sepenuhnya untuk mentertawakan kata-kata kata-kata ubahan itu (S.383 dan 388 kutipan dari artikel di dalam “Phil. Studien”*, yang sedikitpun tidak mengubah hakekat masalanya. Mach sendiri berkata tentang “semua bentuk” daripada hukum sebab-musabab dan di dalam “Pemahaman Dan Kesesatan” (terb. Ke-2, S.278) membuat catatan yang dengan sendirinya bisa dimengerti, bahwa pengertian fungsi bisa menyatakan lebih tepat “ketergantungan elemen-elemen” hanya pada saat, ketika tercapai kemungkinan untuk menyatakan hasil-hasil penyelidikan di dalam bilangan-bilangan angka terukur, -- sedang hal itu bahkan di dalam ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu kimia, tercapai hanya sebagian- sebagian. Mungkin dari titik tolak kaum Machis yang percaya pada penemuan-penemuan para profesor, Feuerbach (sudah tidak berbicara lagi tentang Engels) tidak tahu, bahwa pengertian aturan, ke- hukumiah-an dsb. bias dinyatakan dalam syarat-syarat tertentu secara matematis dengan hubungan-hubungan fungsionil tertentu!

Masalah pemahaman teoritis yang betul-betul penting, yang dimiliki oleh aliran-aliran filsafat, terletak bukan dalam hal, sampai tingkat ketepatan yang seberapa yang dicapai oleh penulisan kita atas hubungan sebab-sebab dan bisakah penulisan-penulisan itu dinyatakan di dalam rumus-rumus matematis yang tepat, -- melainkan dalam hal, adakah sumber daripada pemahaman kita atas hubungan-hubungan itu adalah hukumiah yang obyektif daripada alam, atau sifat-sifat akal kita, kemampuannya yang khas untuk memahami kebenaran- kebenaran a

* Mach.E. “ $ ”, 2 Auflage, 1900, Mach.E. “Prinsip5

185

< ) (

4. "Prinsip Pemikiran Secara Ekonomis” Dan Masalah Tentang “Kesatuan Dunia”

“Prinsip ‘pengeluaran tenaga sekecil mungkin’, yang diletakkan sebagai dasar teori pemahaman oleh Mach, Avenarius dan oleh banyak orang lain, adalah ……..tak teragukan merupakan tendensi “Marxis” di dalam gnosiologi”.

Begitulah V.Bazarov menyatakan di dalam “Risalah” hal. 69. Pada Marx ada “ekonomi”. Pada Mach ada “ekonomi”. Betul- betulkan secara tak teragukan, bahwa antara yang satu dengan yang lain ada meskipun bayangan hubungan?

Karangan Avenarius “Filsafat Sebagai Pemikiran Atas Dunia, Sesuai Dengan Prinsip Sedikit Mungkin mengeluarkan Tenaga”” (1876) menggunakan “prinsip”itu, sebagaimana kita telah melihat, sedemikian rupa, bahwa demi “pemikiran secara ekonomis” dinyatakan, bahwa yang ada hanya perasaan. Baik sebab-musabab, maupun “subsatnsi” (kata, yang tuan-tuan profesor senang menggunakan “demi kehebatan” sebagai ganti daripada kata yang lebih tepat dan lebih jelas: materi) dinyatakan “tersingkirkan” demi keenomisan itu, maka terjadi perasaan tanpa materi, fikiran tanpa otak. Pembualan yang setulen-tulennya itu adalah uasaha untuk menyelundupkan idealisme subyektif dengan sous baru. Di dalam dunia literatur filsafat watak yang justru demikian daripada karangan dasar itu mengenai “pemikiran secara ekonomis” yang sumbang, sebagaimana kita telah melihat, telah diakui secara umum. Kalau kaum Machis kita tidak melihat idealisme subyektif dengan bendera “baru”, maka hal itu sudah termasuk bidang lelucon.

Mach di dalam “Analisa Perasaan” (terjemahan ke dalam bahasa Rusia hal. 49) mengambil sumber pada karyanya tahun 1872, mengenai masalah itu. Karya itu, sebagaimana kita telah melihat, adalah pelaksanaan titik tolak subyektivisme tulen, penjurusan dunia menjadi perasaan. Jadi dua karangan dasar yang memasukkan ke dalam filsafat “prinsip” yang terkenal itu, melaksanakan idealisme! Di

186

mana letak masalahnya? Dalam hal, bahwa prinsip pemikiran secara ekonomis, kalau dia betul-betul diletakkan “sebagai prinsip teori pemahaman” tidak bisa mengarah ke jurusan lain, kecuali ke arah idealisme subyektif. “Lebih ekonomis” dari segala-galanya adalah “berfikir”, bahwa yang ada hanya saya dengan perasaan saya, -- itu tak terbantahkan lagi karena memasukkan ke dalam gnosiologi pengertian yang sedemikian tak masuk akalnya.

“Lebih ekonomis”-kah “berfikir” atom sebagai yang tak terpecahkan atau sebagai yang terdiri dari elektron-elektron positif dan negatif? “Lebih ekonomis”-kah berfikir revolusi borjuis Rusia dilancarkan oleh kaum liberal atau dilancarkan melawan kaum liberal? Seseorang cukup mengajukan pertanyaan agar melihat ketidak masuk akalan, melihat subyektivisme daripada pemakaian kategori “pemikiran secara ekonomis”. Pemikiran hanya akan “ekonomis”, kalau pemikiran itu secara benar mencerminkan kebenaran obyektif, dan yang menjadi kriteri daripada benarnya hal itu adalah praktek, eksperimen, industri. Hanya di pengingkaran dasar-dasar Marxisme, bisa dengan serius berbicara tentang secara ekonomis di dalam teori pemahaman!

Kalau kita melihat sepintas lalu karya-karya Mach yang belakangan, maka kita mengetahui interpretasi yang demikian atas prinsip yang terkenal itu, yang selalu sama dengan pengingkaran sepenuhnya atasnya. Misalnya di dalam “Ajaran Tentang Panas”, Mach kembali pada idenya sendiri yang dicintainya tentang “alam yang ekonomis” daripada ilmu pengetahuan (hal. 366, terbitan kedua bahasa Jerman). Tapi di sini juga dia tambahkan,kita melakukan ekonimis bukan untuk ekonomi (366; diulangi 391): “tujuan dari perekonomian ilmu pengetahuan adalah untuk mungkinnya gambaran dunia yang lebih penuh….lebih tenang….”(366). Karena masalahnya begitu, maka “prinsip ekonomi” terenyahkan bukan hanya dari dasar- dasar gnosiologi melainkan pada umumnya juga dari gnosiologi secara hakiki. Berbicara, bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah memberikan gambaran yang benar (ketenangan di sini tak ada sangkut pautnya) atas dunia, berarti mengulangi prinsip materialisme. Berbicara hal itu berarti mengakui realitas obyektif daripada dunia dalam hubungannya dengan gambar. Keekonomisan pemikiran

187

dalam hubungan yang demikian adalah sekedar kata yang kaku dan penuh tipu daya yang lucu sebagai ganti kata: yang benar. Mach di sini kacau menurut kebiasaan, sedang kaum Machis kita melihat dan memuja kekacauan itu.

Di dalam “Pemahaman Dan Kesesatan” kita baca di dalam bab “Contoh-contoh Jalan Penyelidikan”:

“Lukisan yang lengkap dan sederhana Kirchhoff

(1874)gambaran yang ekonomis dari hal-hal yang faktis (Mach 1972), kecocokan pemikiran dengan kenyataan dan kecocokan proses-proses fikiran satu sama lain” (Grassmann), -- semua itu menyatakan fikiran yang itu-itu juga dengan variasi yang sedikit berbeda”.

Yah, apakah itu bukan contoh kekacauan? “Ekonomis fikiran” darimana Mach dalam tahun 1872 menyimpulkan adanya hanya perasaan saja (titik tolak yang dia sendiri di kemudian hari harus mengakui titik tolak yang idealis), disamakan dengan ungkapan yang secara tulen materialis dari ahli matematika Grassmann tentang keharusan untuk mencocokkan pemikiran dengan kenyataan ! disamakan dengan lukisan yang sederhana (daripada realitas obyektif, yang tentang adanya sedikitpun tidak diragukan oleh Kirchhoff!)

Pemakaian yang begitu daripada prinsip “pemikiran secara ekonomis” adalah merupakan sekedar contoh dari kegantayangan filosoof Mach yang menggelikan. Sedang kalau disinkirkan bagian- bagian, sebagai yang menggelikan atau lapsus-lapsus, maka watak idealis daripada “prinsip pemikiran secara ekonomis” menjadi tak teragukan. Misalnya seorang Kantianis Honigswald, ketika berpolemik dengan filsafat Mach, menyambut “prinsip keekonomisan”-nya sebagai pendekatan ke “lingkaran ide Kantianisme” (Dr.Richard Honigswald. “Zur Kritik der Machschen Philosophie”, Brl. 1903, S.27*). Memang pada kenyataannya, kalau tidak mengakui realitas obyektif, yang diberikan di dalam perasaan-perasaan, maka dari mana bisa timbul “prinsip keekonomisan, kalau tidak dari subyek? Perasaan sudah barang tentu tidak mengandung “keekonomisan” yang bagaimanapun. Berarti pemikiran memberikan sesuatu yang tidak ada di dalam perasaan ! Berarti “prinsip keekonomisan” muncul bukan dari

188

pengalaman (=perasaan) tapi mendahului semua pengalaman,

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 180-194)