• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Praktek Dalam Teori Pemahaman

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 161-177)

Kita telah melihat bahwa Marx dalam tahun 1845, Engels dalam tahun 1888 dan 1892 memasukkan kriteri praktek ke dalam dasar teori pemahaman materialisme (45) . Di luar praktek, untuk mengajukan masalah tentang hal, “sesuaikah fikiran manusia dengan kebenaran obyektif”, adalah skolastika, -- kata Marx dalam tesis ke-2 tentang Feuerbach. Pembantahan yang lebih baik atas agnostisisme Kant dan Hume sebagai mana atas dalih-dalih (Chrullen) filsafat, adalah praktek, -- ulang Engels. “Sukses aktivitas kita membuktikan

kesetujuan (kecocokan Ubereinstimmung) tanggapan kita dengan sifat

yang obyektif daripada benda-benda yang tertanggapi”, -- Bantahan Engels terhadap kaum Agnostikus (46) .

Bandingkanlah analisa Mach tentang kriteria praktek dengan itu semua. “Dalam fikiran atau percakapan sehari-hari biasanya dipertentangkanlah pemunculan dan ilusi dengan kenyataan. Ketika memegang pensil di udara, kita melihatnya dalam keadaan lurus; setelah mencelupkannya ke dalam air dalam kedudukan condong, kita melihatnya bengkok. Pada kejadian terkahir orang pada bilang; “pensil tampaknya bengkok tetapi pada kenyataannya dia lurus”. Tapi di atas dasar apa kita menamakan satu fakta sebagai kenyataan, sedang fakta lain kita menurunkannya sampai arti ilusi? …. Ketika melakukan kesalahan yang wajar, bahwa dalam kejadian-kejadian yang tidak biasa, kita sangat menunggu datangnya gejala-gejala yang biasa, maka penungguan kita sudah barang tentu, kadang-kadang tertipu. Tapi dalam hal ini, fakta-fakta tidak salah. Dalam kejadian-kejadian semacam itu, untuk berbicara tentang ilusi memiliki arti kalau dipandang dari titik tolak praktis tapi bukan dari titik tolak yang ilmiah. Dalam taraf sedemikian juga, tidak memilikilah arti dari titik tolak ilmiah masalah yang sering dibahas, yaitu betul-betul beradakah dunia, atau dia sekedar ilusi kita, tak lebih sebagai impian di waktu tidur. Tapi mimpi yang tidak masuk akal adalah fakta, yaitu tidak lebih jelek daripada fakta-fakta lain” (“Analisa Perasaan”, hla. 18-19).

159

(

Adalah adil, bahwa yang merupakan fakta bukan hanya mimpi yang tidak masuk akal, tapi juga filsafat yang tidak masuk akal. Tidak mungkin dalam hal ini untuk ragu-ragu setelah berkenalan dengan filsafat Ernst Mach. Sebagai seorang sofis yang terakhir, dia mencampur adukkan penyelidikan ilmiah-historis dan psykhologis dari pada kesesatan manusia, daripada segala macam “mimpi yang tidak masuk akal” daripada umat manusia seperti kepercayaan pada peri, thuyul dsb. dengan perbedaan gnosiologis antara yang benar dan “yang tidak masuk akal”. Itu adalah sama saja, seandainya ahli ekonomi berkata bahwa baik teori Senior (47), menurut mana seluruh laba diberikan kepada si kapitalis oleh “yang terakhir” daripada kerja kaum buruh, dan teori Marx, -- adalah fakta yang sama, dan dari titik tolak yang ilmiah tidak memiliki arti masalah tentang hal, teori yang mana yang menyatakan kebenaran obyektif dan teori yang mana yang menyatakan prasangka pada borjuasi dan daripada profesor- profesornya yang bisa disuap. Si tukang kulit Dietzgen menganggap teori pemahaman ilmiah, yaitu teori pemahaman materialis sebagai

“senjata universal untuk melawan kepercayaan agama” (:”Kleinere

philosophischen Schriften”, hal. 55 *), sedang bagi profesor biasa Ersnt Mach”dari titik tolak yang ilmiah tidak memiliki arti” perbedaan antara teori pemahaman materialis dengan teori pemahaman idealis- subyektif! Ilmu tak berpartai dalam perjuangan antara materialisme dengan idealisme dan agama, itu adalah ide tercinta bukan saja milik Mach seorang diri, tapi milik semua profesor borjuis modern, profesor- profesor, yang secara adil dinamakan oleh Y.Dietzgen yang tadi itu “sebagai begundal-begundal yang berdiploma yang membingungkan rakyat dengan idealisme yang berbelit-belit” (hal. 53, di sana juga). Itu justru adalah idealisme keprofesoran yang berbelit-belit, di mana kriteria praktek, yang bagi semua orang dan bagi setiap orang, memisahkan ilusi dari kenyataan, dipindahkan oleh Mach keluar batas- batas ilmu pengetahuan, keluar batas-batas teori pemahaman. Praktek manusia membuktikan ketepatan teori pemahaman materialis, -- kata Marx dan Engels, ketika menamakan sebagai “skolastika” dan sebagai “dalih filosofis” usaha-usaha untuk memecahkan masalah gnosiologi dasar di luar praktek. Sedangkan bagi Mach praktek adalah satu segi, sedang teori pemahaman – sama sekali merupakan segi lain; segi-segi itu bisa diletakkan secara berdekatan, tanpa ada prasyaratan dari yang

160

pertama atas yang kedua. “Pemahaman, -- kata Mach dalam karangan terakhirnya:”Pemahaman dan Kesesatan””(hal. 115), cetakan kedua edisi Jerman), -- adalah pengalaman psykhis yang secara biolois berguna (forderndes)” “Hanya sukses bisa membedakan pemahaman dan kesesatan” (116) “Pengertian adalah hypotese kerja fisis” (143). Kaum Machis Rusia kita yang menghendaki menjadi seorang Marxis, dengan kenaifan yang mengherankan menganggap kata-kata Mach semacam itu sebagai pembuktian, bahwa dia mendekat ke Marxisme. Tapi Mach di sini demikian mendekatnya ke Marxis sebagaimana Bismark mendekat ke gerakan buruh, atau uskup Eulogius ke demokratisme. Pada Mach prinsip semacam itu terletak di dekat teori pemahaman idealisnya dan bukannya menentukan pilihan garis tertentu yang ini atau yang itu di dalam gnosiologi. Pemahaman bisa secara biologi berguna, berguna di dalam praktek manusia, di dalam pemeliharaan kehidupan, di dalam pemeliharaan jenis, hanya apabila dia mencerminkan kebenaran obyektif yang tidak tergantung pada manusia. Bagi si materialis “sukses” praktek manusia membuktikan kesesuaian bayangan-bayangan kita dengan sifat obyektif daripada benda-benda yang kita tanagkap. Bagi seorang solipsis “sukses” adalah apa saja yang saya perlukan di dalam praktek, yang bisa dipandang secara terpisah dari teori pemahaman. Kalau memasukkan kriteri praktek ke dalam dasar teori pemahaman, maka secara tak terelakkan kita dapatkan materialisme, -- kata seorang Marxis. Biarlah praktek materialistis, sedang teori adalah hal yang lain, -- kata Mach. “Secara praktis, -- tulisannya di dalam “Analisa perasaan”, -- ketika melancarkan sesuatu tindakan, Kita bisa sedemikian sedikitnya bisa lewat tanpa gambaran tentang Aku, sebagaimana kita tidak bisa lewat tanpa gambaranan tentang benda, ketika kita mengulurkan tangan pada sesuatu barang. Secara fisiologis kita tetap menjadi egois dan materialis sedemikian terus-menerusnya, sebagaimana kita secara terus menerus melihat terbitnya matahari. Namun secara teoritis kita samasekali tidak mengikuti pandangan itu”(284-285).

161

Di sini egoisme tidak bersangkut paut, sebab, itu – sama sekali bukan kategori gnosiologis. Juga tidak berusan gerak matahri yang seolah-olah mengintari bumi, sebab ke dalam praktek, praktek yang mengabdi pada kita sebagai kriteri dalam teori pemahaman, juga harus dimasukkan praktek pengamatan-pengamatan atau penemuan-penemuan astronomis dsb. Hanya tinggal pengakuan Mach yang berharga, bahwa di dalam prakteknya sendiri manusia berpegangan sepenuhnya dan terutama pada teori pemahaman materialis, sedang usaha untuk menyingkirinya “secara teoritis” hanya sekedar menyatakan usaha Mach yang skolastis-gelertis dan idealis – berbelit-belit.

Sampai tingkat seberapa usaha-usaha itu bukan merupakan hal baru, yaitu usaha-usaha untuk menyingkirkan praktek sebagai sesuatu yang tak perlu diperhatikan didalam gnosiologi, uasaha- usaha untuk membersihkan tempat bagi agniostisisme dan idealisme, ditujukan oleh contoh berikut dari sejarah filsafat klasik Jerman. Pada jalan antara Kant dan Fichte berdirilah G.E.Schulze (yang di dalam sejarah filsafat di sebut Chulze-Aenesdidemus). Dia secara terbuka mempertahankan garis skeptis dalam filsafat dengan menyebut diri sebagai pengikut Hume (sedang dari orang-orang kuno Pyrro dan Sextus). Dia secara tegas menolak segala macam benda dalam dirinya dan kemungkinan pengetahuan obyektif, dengan tegas menuntu, agar supaya kita tidak berjalan lebih jauh daripada “pengalaman”, lebih jauh daripada perasaan, tambahan pula mengetahui sebelumnya bantahan dari kubu lain: “Karena seorang skeptik, ketika idia ikut dalam serta dalam masalah-masalah kehidupan, mengakui kenyataan obyektif daripada benda-benda sebagai sesuatu yang tak teragukan, membawa diri sesuai dengan itu dan mengijinkan kriteri kebenaran, -- maka pembawaan diri si skeptik sendiri adalah pembantahan yang lebih baik dan lebih nyataterhadap skeptisisme-nya”* . “Argumen semacam itu, -- dengan marah jawab Schulze, -- berguna hanya untuk rakyat jelata (Pobel, S.254), sebab skeptisisme saya tidak menyinggung praktek- praktek kehidupan, dengan tetap tinggal dalam batas-batas filsafat”.(255).

162

Tepat sama dengan idealis subyektif Fichte juga mengharapkan dalam batas-batas filsafat idealisme mencari tempat untuk “realisme yang tak terelakkan (sic aufdringt) bagi kita semua bahkan bagi seorang idealis yang paling konskewen, ketika masalahnya mengenai tindakan, yaitu realisme yang mengakui bahwa obyek-obyek ada samasekali tidak tergantung dari kita di luar kita”.

Positivisme Mach terbaru tidak terlalu jauh meninggalkan Schulze dan Fichte! Sebagai keajaiban kita catat, bahwa bagi Bazarov mengenai masalah itu sekali lagi di dunia tidak ada orang lain kecuali Plekhanov: kecuali kucing tidak ada binatang buas. Bazarov mentertawakan “filsafat salto vitale Plekhanov” (“Risalah” halaman 69), yang menulis betul-betul frase absurd, seolah-olah “kepercayaan” akan adanya dunia luar “adalah salto vitale”(lompatan vital) “ yang tanpa syarat daripada filsafat” (Cat.ke L. Feuerbach” hal. 111). Istilah “kepercayaan” meskipun diletakkan di atas tanda kutip, yang diulangi di bekalang Hume, menunjukkan kekacauan istilah-istilah pada Plekhanov, -- setuju. Tapi apa urusan Plekhanov di sini? Mengapa Bazarov tidak mengambil materialisme lain, misalnya Feuerbach? Hanya karena dia tidak mengetahauinya? Namun ketololan bukan argumen. Juga Feuerbach, sebagaimana Marx dan Engels, membuat “lompatan” yang tak terijinkan – dari titik tolak Schulze, Fichte dan Mach, -- ke praktek dalam masalah-masalah dasar teori pemahaman. Ketika mengkritik idealisme, Feuerbach membentangkan hakekatnya dengan sitiran yang begitu jelas dari Fichte, yang sangat bagus memukul seluruh Machisme. “Kau menganggap, -- tulis Fichte, -- bahwa benda-benda adalah nyata, bahwa mereka ada di luarmu, hanya karena kau melihat, mendengar, meraba. Namun penglihatan, perabaan, pendengaran adalah hanya perasaan….. Kau merasa bukan obyek-obyek, tapi hanya perasaanmu sendiri”. (Feuerbach, Werke, X Band, S.185). Dan Feuerbach membantah:

* G.E.Schulze. “. ) 2 / $ "

- 6 ”, 1792, S.253. (G.E.Schulze.

“Aenesidemus, atau tentang dasar5dasar filsafat elementer, yang disajikan oleh Prof.Reinhold dari Jena” 1792, hal. 253. Red.)

163

manusia bukan Aku yang abstrak, Tapi atau laki-laki atau perempuan, dan masalah tentang hal, adakah dunia berupa perasaan, boleh disamakan dengan masalah: adakah manusia perasaan saya atau hubungan-hubungan kita dalam praktek membuktikan sebaliknya? “Kesalahan dasar idealisme justru terletak dalam hal, bahwa dia mengajukan dan menyelesaikan masalah tentang keobyektifan dan kesubyektifan, tentang kenyataan atau ketidak- naytaan dunia hanya dari titik tolak teori” (189 di sana juga). Feuerbach memperhitungkan seluruh praktek manusia sebagai dasar teori pemahaman. Sudah barang tentu, -- katanya, -- juga kaum idealis mengakui di dalam praktek keriilan Aku kita dan Kau-nya orang lain. Bagi kaum idealis “titik tolak itu, berguna hanya untuk hidup dan bukan untuk spekulasi. Tapi spekulasi, yang berkontradiksi dengan kehidupan, yang membuat titik tolak kebenaran menjadi titik tolak kematian, titik tolak nyawa yang terpisah dengan tubuh, -- spekulasi semacam itu adalah spekulasi mati, spekulasi palsu” (192). Sebelum merasa kita bernafas; kita tidak bisa hidup tanpa udara, tanpa makanan dan minuman.

“Jadi, artinya, masalahnya berkisar mengenai makanan dan minuman dalam menganalisa masalah tentang ke-idealan atau keriilan dunia? – seru seorang idealis yang marah –Betapa hinanya. Betapa merusaknya kebiasaan baik yaitu dengan segala kekuatan mencaci maki materialisme dalam arti ilmiah dari mimbar filsafat dan mimbar theologi dengan harapan, agar di belakang meja di hotel-hotel dengan daftar menu (makanan) (a) dipraktekkan materialisme dalam arti yang paling kasar” (195). Dan Feuerbach berseru bahwa menyamakan perasaan subyektif dengan dunia obyektif “berarti menyamakan polusi dengan kelahiran anak” (198). Catatan itu bukan yang paling sopan, tapi tepat menyasar ahli-ahli filsafat yang mengajarkan bahwa tanggapan panca indera justru adalah kenyataan yang ada di luar kita.

Titik tolak kehidupan, titik tolak praktek harus menjadi titik tolak yang pertama dan yang dasar daripada teori pemahaman. Dan

164

dia secara tak terelakkan menjurus ke materialisme, dengan membuang dari ambang pintu reka-rekaan yang tak terbilang banyaknya daripada skolastika keprofesoran. Sudah barang tentu dalam hal ini tak boleh dilupakan bahwa kriteri praktek menurut hakekat masalahnya sendiri tidak bisa membenarkan atau membantah sepenuhnya sesuatu bayangan manusia. Kriteri itu juga sedemikian “tak menentunya” untuk tidak mengijinkan pengetahuan manusia berubah menjadi “absolut”, dan pada saat itu sedemikian tertentunya untuk melancarkan perjuangan yang tanpa ampun melawan segala macam bentuk idealisme dan agnostisisme. Apabila apa yang dibenarkan oleh praktek kita adalah kebenaran yang satu- satunya, yang terakhir, yang obyektif, -- maka dari sini timbul pengakuan akan satu-satunya jalan ilmu pengetahuan yang menuju ke kebenaran itu, jalan yang menuruti titik tolak materialis. Misalnya, Bogdanov setuju untuk mengakui teori peredaran uang Marx sebagai kebenaran obyektif hanya “bagi zaman kita”, dengan menamakan “dogamtis” anggapan atas teori itu sebagai kebenaran “obyektif supra-sejarah” (“Empiromonisme”, buku III, hal. VII). Itu sekali lagi kekalutan. Kecocokan teori itu dengan praktek tidak bisa mengubah situasi akan datang yang manapun hanya karena satu sebab yang sederhana saja, yaitu menurut sebab mana, bahwa Napoleon meninggal pada tanggal 5 Mei 1821 adalah kebenaran abadi. Tapi karena kriteri praktek, -- yaitu jalannya perkembangan semua negeri-negeri kapitalis pada puluhan tahun terakhir, -- membuktikan hanya kebenaran obyektif daripada seluruh teori sosial-ekonomi Marx pada umumnya, dan bukan daripada perumusan-perumusan, bagian-bagian dsb. yang ini atau yang itu, maka jelas, bahwa membicarakan di sini tentang”dogmatisme” daripada kaum Marxis, berarti memberi konsesi yang tak termaafkan kepada ekonomi borjuis. Satu-satunya kesimpulan daripada pendapat yang dimiliki oleh kaum Marxis, bahwa teori Marx adalah kebenaran obyektif, adalah sebagai berikut: berjalan menuruti teori Marx, kita akan mendekati kebenaran obyektif makin lama makin dekat (kapanpun tak akan pernah sampai padanya samasekali), sedangkan berjalan menuruti jalan lain, kita tidak dapat sampai ke suatu apapun, kecuali kekalutan dan kebohongan.

165 )

" "

!

!

# $ % # & %

Pertanyaan pertama dari pertanyaan-pertanyaan itu selalu diajukan oleh kaum idealis, oleh kaum agnostikus, di antaranya oleh kaum Machis kepada kaum materialis; pertanyaan kedua diajukan oleh kaum materialis kepada kaum Machis. Coba kita analisa di mana letak masalahnya.

Avenarius berkata mengenai masalah materi:

“Di dalam ‘pengalaman penuh’ yang telah dibersihkan tidak ada benda-benda fisis – yaitu “materi” di dalam pengertian metafisis yang absolut, sebab “materi” di dalam pengertian ini adalah abstraksi: dia, kiranya adalah kumpulan daripada komponen-lawan ketika mengabstraksikan (ketika melihat secara terpisah, Pent.) dari komponen-pusat yang manapun. Baik di dalam koordinasi prinsipiil, yaitu di dalam “pengalaman penuh” tidak bisa dimengerti (undenkbaar) kompone-lawan tanpa komponen-pusat, maka juga “materi” di dalam pengertian metafisis yang absolut adalah nonsen (Unding) yang penuh” (Bemerkungen, S.2 * dalam majalah yang disebutkan, paragraf 119).

Dari omongkosong itu tampak satu: Avenarius menamakan hal yang fisis atau materi sebagai absolut dan sebagai metafisika, sebab menurut teori kordinasi prinsipiilnya (atau secara baru: “Pengalaman Penuh”) komponen-lawan tak terpisahkan dari komponen-pusat, alam sekitar tidak terpisahkan dari Aku, yang- bukan-Aku tak terpisahkan dari Aku (sebagaimana dikatakan oleh J.G.Fichte). Bahwa teori itu adalah idealisme subyektif dengan jubah baru, tentang hal itu kita sudah berbicara pada tempatnya

166

sendiri, dan watak serangan Avenarius kepada “materi” sama sekali jelas: kaum idealis mengingkari kenyataan fisis tak tergantung dari psykho dan oleh sebab itu membantah pengertian yang diolah filsafat untuk kenyataan semacam itu. Bahwa materi adalah data- data “fisis” (yaitu data-data yang lebih dikenal dan yang langsung diberikan kepada manusia, yang tentang adanya tidak diragukan oleh siapapun, kecuali oleh penghuni rumah-rumah kuning), -- tentang hal itu Avenarius tidak mengingkari, dia hanya menuntut agar diterima teori “dia” tentang hubungan yang tak terpisahkan antara alam sekitar dengan Aku.

Mach menyatakan pendapat itu lebih sederhana, tanpa keruwetan-keruwetan filosofis. “Apa yang kita namakan materi, adalah hanya hubungan wajar yang cukup diketahui daripada elemen-elemen (“perasaan”)” (“Analisa Perasaan”, hal. 265) Mach mengira, bahwa dengan mengajukan penegasan semacam itu, dia melancarkan “revolusi yang radikal” di dalam pandangan dunia sehari-hari. Pada kenyataannya itu adalah idealisme subyektif yang tua bangka, yang ketelanjangannya ditutupi dengan istilah “elemen” Akhirnya seorang Machis Inggris Pearson, yang tak kenal ampun bertempur melawan materialisme, berkata: “Dari titik tolak ilmiah tak mungkin ada bantahan terhadap hal bahwa dengan mengklasifikasi grup-grup yang terkenal dan yang agak konstan daripada tanggapan-tanggapan panca-indera, dengan menyatukan mereka bersama dan menamakannya sebagai materi -- kita, dengan begitu, sampai pada jarak yang sangat dekat dengan definisi J.St.Mill: materi adalah kemungkinan yang konstan dari perasaan, -- tapi definisi semacam daripada materi sama sekali tidak mirip dengan hal, bahwa materi adalah benda yang bergerak” (“The Grammar of Science”, 1900, 2nd ed. P. 249 ** ). Di sini tidak ada daun korma (c) “elemen”, dan kaum idealis secara langsung mengulurkan tangan pada kaum agnostikus.

* “Bemerkungen zum Begriff des Gegenstandes der Psychologie”, S.2 (“Catatan5catatan tentang obyek psykhologi”, hal. 2. Red.)

167

Pembaca melihat, bahwa semua pertimbangan daripada peletak dasar empiriokritisisme itu seluruhnya dan terutama berputar-putar dalam rangka masalah gnosiologis yang sudah sejak lama tentang hubungan fikiran dengan kenyataan, perasaan dengan hal-hal fisis. Diperlukan kenaifan yang tiada taranya daripada kaum Machis Rusia untuk menganggap di sini sesuatu yang paling tidak mempunyai hubungan dengan “ilmu alam terbaru” atau dengan positivisme terbaru”. Semua ahli filsafat yang telah kita ajukan, ada yang secara langsung, ada yang secara samar-samar mengganti garis filsafat dasar materialisme (dari kenyataan ke fikiran, dari materi ke perasaan) dengan garis idealisme yang berlawanan. Pengingkaran atas materi oleh mereka adalah penyelesaian yang sudah sejak lama dikenal

daripada masalah-masalah pemahaman-teoritis dalam artian

pengingkaran atas sumber luar, sumber obyektif dari perasaan kita, pengingkaran atas realitas obyektif yang sesuai dengan perasaan kita. Dan sebaliknya, pengakuan atas garis filsafat, yang diingkari oleh kaum idealis dan kaum agnostikus, termanifestasi dalam definisi” materi adalah apa yang ketika mempengaruhi alat-alat panca-indera kita menimbulkan perasaan; materi adalah realitas obyektif yang diberikan kepada kita di dalam perasaan, dsb.

Bogdanov dengan berkedok, bahwa dia hanya berdebat dengan Baltov, dan secara pengecut tidak menyinggung Engels, menjadi marah oleh definisi-definisi semacam itu, yang, pembaca lihat, “yang ternyata hanya sekedar pengulang-ulangan” (“Empiriomnisme”, III, hal. XVI). Daripada “rumus” (si “Marxis” kita lupa menambahkan: rumusan Engels), bahwa bagi satu aliran di dalam filsafat, materi adalah primer, jiwa – sekunder, bagi aliran lain – sebaliknya. Semua kaum Machis Rusia dengan penuh gairah mengulang-ulangi “pembantahan” Bogdanov! Sedang pada kenyataannya renungan yang paling kecilpun bisa kiranya menunjukkan kepada orang-orang itu, kecuali berupa petunjuk, yang manakah yang dianggap primer. Apakah artinya memberi “definisi”? itu berarti pertama-tama memasukkan suatu pengertian ke dalam pengertian “keledai” ke dalam pengertian yang lebih luas. Sekarang muncul pertanyaan, adakah pengertian yang lebih luas, dengan mana kiranya teori pemahaman bisa beroperasi,

168

daripada pengertian: kenyataan dan fikiran, materi dan perasaan, hal- hal yang fisis dan yang psykhis? Tidak ada. Itu adalah pengertian yang cukup luas, yang paling luas, lebih jauh mana pada hakekatnya (kalau tidak memaksudkan selalu mungkin mengubah istilah) sampai sekarang gnosiologi belum pernah melangkah. Hanya penipuan dan ketololan yang keterlaluan bisa menuntut “definisi” demikian daripada dua “deret” pengertian yang cukup luas, yang kiranya tidak terdiri dari “pengulangansederhana”: yang satu atau yang lain diambil sebagai yang primer. Ambillah tiga pertimbangan sebagai atas materi di atas. Mengarah kemanakah semua pertimbangan itu? Ke hal, bahw ahli-hli filsafat itu berjalan dari yang psykhis, , atau dari Aku, ke yang fisis, atau ke alam sekitar, sebagai dari komponen-pusat ke komponen- lawan, -- atau dari perasaan ke materi, -- atau dari tanggapan panca- indera ke materi. Bisakah kiranya Avenarius, Mach dan Pearson memberikan sesuatu “definisi” lain daripada pengertian-pengertia dasar, kecuali petunjuk daripada arah garis filsafat mereka? Bisakah kiranya mereka memberi definisi secara lain, sekali lagi entah bagaimana secara khusus menentukan apakah Aku itu, apakah perasaan itu, apakah tanggapan panca-indera itu? Sudah cukup jelas untuk mengajukan pertanyaan, agar supaya mengerti, betapa besarnya omong kosong yang dibicarakan oleh kaum Machis, ketika mereka menuntut dari kaum materialis definisi materi yang demikian, yang kiranya tidak mengarah ke pengulangan, bahwa materi, alam, kenyataan, yang fisis adalah yang pertama, sedang jiwa, kesadaran, perasaan, yang psykhis adalah yang kedua.

Zenialitas Marx dan Engels justru muncul dalam hal, bahwa mereka mengabaikan permainan-permainan congkak daripada istilah- istilah, terminologi-terminologi yang sukar, “isme-isme” yang licik, dan dengan sederhana dan langsung berkata: ada garis materialis dan idealis di dalam filsafat. Usaha untuk menemukan titik tolak “baru” di

Dalam dokumen v i lenin materialisme dan empiriokritisme (Halaman 161-177)