Model pendekatan dalam manajemen sekolah yang mengacu pada manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secodnary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based managementt, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatna ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam
pengoperasion sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya.
Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, yakni sekolah.
MBS yang berorientasi pelayanan publik
memusatkan perhatian pada peningkatan mutu dan kualitas layanan pendidikan melalui peningkatan mutu komponen terkait. Komponen-komponen tersebut adalah:
a. Siswa, yang menyangkut kesiapan dan motivasi belajarnya.
b. Guru, menyangkut kemampuan profesional, moral kerjanya,dan kerjasamanya.
c. Kurikulum, meliputi relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya d. Dana, sarana dan prasarana, menyangkut
kecukupan dan keefektifannya.
e. Masyarakat, terutama tingkat partisipasinya dalam pengembangan program program di sekolah.
MBS berorientasi pelayanan public memandang bahwa public adalah sebagai pelanggan. Oleh karena itu, keberhasilan MBS yang berorientasi pelayanan public lebih banyak dilihat dari aspek tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan layanan sama atau melebihi harapan pelanggan.
Dilihat dari jenis pelanggannya, maka MBS
berorientasi pelayanan publikdikatakan berhasil jika: a. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara
lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan diperlakukan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah dan sebagainya. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah
b. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena mendapat laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program sekolah.
c. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas yang sesuai dengan harapan.
d. Guru dan karyawan puas dengan palayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan
antar guru/karyawa/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya.
Ada lima sifat layanan yang harus diwujudkan agar pelanggan puas, yaitu:
a. Kepercayaan (reliability). Artinya layanan sesuai dengan yang dijanjikan, misalnya dalam rapat, brosur, dan sebagainya. Layanan semacam itu dapat berlangsung terus menerus dan bukan hanya pada waktu-waktu tertentu. Beberapa aspek dalam keterpercayaan antara lain: kejujuran, aman, tepat waktu, dan ketersediaan. b. Keterjaminan (assurance). Artinya, sekolah
mampu menjamin kualitas layanan yang diberikan. Beberapa aspek dalam keterjaminan, misalnya kompetensi guru/staf, dan
keobyektifan.
c. Penampilan (tangible). Artinya, bagaimana situasi sekolah tampak baik. Beberapa aspek dalam penampilan, misalnya kerapian, kebersihan, ketera-turan, dan keindahan. d. Perhatian (empathy). Artinya, sekolah
memberikan perhatian penuh kepada
pelanggan. Beberapa aspek dalam keperhatian, misalnya melayani pelanggan dengan ramah, memahami aspirasi mereka, dan berkomunikasi dengan baik.
e. Ketanggapan (responsiveness). Artinya, sekolah harus cepat tanggap terhadap kebutuhan pelanggan. Beberapa aspek dari tanggapan, misalnya tanggap terhadap kebutuhan pelanggan dan cepat memperhatikan dan mengatasi keluhan-keluhan yang muncul.
36
www.kinerja.or.idLAMPIRAN B - URAIAN SUBSTANSI
Tata Kelola Manajemen Berbasis Sekolah
Berorientasi Pelayanan Publik
Secara umum prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Berorientasi Pelayanan Publik yang difasilitasi oleh USAID-KINERJA, adalah sebagai berikut:
• Menempatkan sekolah sebagai unit layanan,
dimana sekolah sebagai penyedia layanan diwajibkan untuk memberikan pelayanan sesuai standard yang berlaku (Standard Pelayanan Publik – SPP, Standard Pelayanan Minimum - SPM Pendidikan danStandard Nasional Pendidikan –SNP)
• Memberikan ruang partisipasi yang memadai
bagi pengguna pelayanan (siswa, orang tua dan masyarakat sekitar) untuk menyampaikan masukan, keluhan dan saran guna peningkatan pelayanan sekolah, melalui survey pengaduan ataupun kotak saran yang tersedia
• Proses penyusunan dokumen perencanaan
sekolah secara partisipatif, antara pihak sekolah bersama multi stakeholder sekolah
• Memberikan informasi yang memadai bagi multi
stakeholder sekolah tentang perencanaan, penganggaran, dan pendanaan sekolah, termasuk pelaporan keuangannya dan informasi penting lainnya sebagai upaya transparansi dan akuntabilitas sekolah.
• Pemerintah Daerah – SKPD terkait lebih
aktif dalam mendukung upaya peningkatan pelayanan di sekolah
• Adanya mekanisme monitoring implementasi
MBS Berorientasi pelayanan public oleh multi stakeholder forum (MSF)
• Adanya jurnalis warga yang aktif dalam mempu-
blikasi kan praktek baik, keluhan dan saran untuk mendukung peningkatan pelayanan public.
Flowchart berikut menunjukkan proses MBS Berorientasi Pelayanan Publik yang melibatkan sisi penyedia dan pengguna pelayanan.