• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Tinjauan Pustaka

3. Etika Berpakaian

Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau

tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. (Ethics, the study and philosophy of human condunct, with emphasiss on

the determination of right and wrong; one of the normative sciences). Etika

sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari segi inilah kita dapati pemakaian etika dengan nilai-nilainya yang filosofis. (Salam, 2000: 3-4).

Etiket sama halnya dengan etika. Etiket berasal dari bahasa Prancis,

etiquette, yang pada mulanya berarti label, tanda pengenal, seperti apa yang

kita kenal dengan tanda cap atau pengenal yang dilekatkan pada barang; etiket barang merupakan jaminan kualitas dari barang tersebut. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi semacam persetujuan bersama untuk menilai sopan atau tidaknya seseorang dalam (satu jenis) pergaulan. (Etiquette = prescribed or conventional requirements as to social behavior.

Karena pada prinsipnya etiket itu juga mengandung nilai sopan santun, maka sebagai salah satu ajaran, etiket itu dimasukkan menjadi bagian dari ajaran etika, terutama Etika Sosial. (Salam, 2000: 34).

Etika berpakaian adalah cara dilakukannya suatu perbuatan,

mengenai boleh atau tidak memakai, mengenakan barang (baju, celana, dsb). Apa yang dipakai atau dikenakan menyesuaikan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungannya. (Wahab, 2009)

Etika berbusana itu adalah suatu ilmu yang memikirkan bagaimana

seseorang dapat mengambil sikap dalam berbusana tentang model, warna, corak atau motif, mana yang tepat, baik sesuai dengan kesempatan, kondisi dan waktu serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menerapkan etika berbusana dalam kehidupan manusia perlu memahami tentang kondisi lingkungan, budaya dan waktu pemakaian yaitu dimana kita berada dan dalam kesempatan apa kita mengenakan busana tersebut. Untuk hal itu baik jenis, model, warna, corak busana perlu disesuaikan dengan ke tiga hal tersebut, agar seseorang dapat diterima dilingkungan masyarakat. Untuk menerapkan etika berbusana sesuai kesempatan perlu mengetahui busana mana yang tepat dan sesuai dipergunakan. (Widjiastuti, 2007: 33- 34)

But he also said he thinks discipline, achievement and climate are all linked to dress. "These days, a school has to create the most optimum environment for learning that you can. ... The intangible effect is it creates a better environment." Some parents and students have already complained that the dress code limits

personal expression, he said. His reaction is: "Who you are should be defined by your behavior and not how you're dressed." Even if the proposal doesn't move forward, Coveleski said, he believes schools in the district could do a better job of enforcing the current dress code. Julia O'Neal, 14, who will be attending Sussex Technical High School when school resumes, said many schools already ban flip-flops, but youths wear them anyway with no repercussions. Enforcement is a key element of any dress code, both Mitchell and Bunting said. Some teachers have been reluctant to say anything. The difficult situations include male teachers saying something to female students about excessive cleavage or suggestive slogans written across the back of shorts or sweat pants. "It's a very, very touchy thing," Mitchell said. In the Indian River district, the new code takes effect the first day of school, Sept. 4. Under the new code, teachers will be looking for violations in homeroom and will send possibleviolators to the school office for action."The key to all of this is enforcement," Mitchell said. "It's going to have to be enforced by theteachers from the get-go." (http://www.udel.edu/anthro/ackerman/Dress%20codes%20get%20t ough%20on%20teenage%20fashions.pdf)

Di Universitas Sebelas Maret sendiri ada tata tertib yang mengatur kehidupan mahasiswa di kampus. Tata tertib kehidupan mahasiswa adalah ketentuan yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang dapat menciptakan suasana kondusif dan menjamin keberlangsungannya proses belajar mengajar secara terarah dan teratur Tata tertib kehidupan mahasiswa ini telah diatur dalam Surat Keputusan Rektot No. 487A/J27/KM/2005 dalam Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa sub F dijelaskan pula tentang tata tertib busana yakni sebagai berikut:

a. Setiap mahasiswa harus berpakaian sopan dan rapi sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

b. Jenis dan macam pakaian disesuaikan dengan kegiatan yang sedang dilaksanakan.

c. Mahasiswa dilarang mengenakan kaos oblong dan sandal pada saat kegiatan kulikuler di dalam ruang kuliah.

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga menginduk tata tertib Universitas mengenai tata tertib berbusana bagi mahasiswa. Pada beberapa tempat seperti lobi gedung 1, lobi gedung 2, ruang dekan, ruang TU juga terdapat tulisan mengenai larangan mengenakan kaos oblong dan sandal jepit serta berpakaian sopan bagi mahasiswa untuk masuk di lingkungan FISIP UNS. Akan tetapi, peraturan tidak sepenuhnya diindahkan oleh mahasiswa. Banyak mahasiswa mengenakan kaos oblong dan sandal jepit saat kuliah dan saat berada dalam lingkungan FISIP UNS saat kegiatan kulikuler. Namun banyak juga mahasiswa yang mengenakan pakaian rapi dan sopan sesuai ketentuan tata tertib di lingkungan kampus.

Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan. Sebab, agar suatu kaedah hukum atau peraturan tertulis

benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit empat faktor, yaitu :

a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri.

b. Petugas yang menegakkan atau yang menterapkan. Petugas penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Yang jelas adalah, bahwa di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, petugas seyogianya harus mempunyai pedoman, antara lain peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.

c. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum. Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan, sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

(Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1981: 13-18)