• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fiqh al-Nushûsh dan Fiqh al-Maqâshid

F. Produk Fatwa dalam Fiqh al-Aqalliyyât

1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual

Fiqh Minoritas diberikan fatwa atau diputuskan hukumnya oleh ECFR didokumen-tasikan dengan baik.

Sementara itu, FCNA yang juga giat membahas dan mem-berikan jawaban atas permasalahan masyarakat minoritas muslim belum mendokumentasikan kajiannya dalam bentuk buku, tetapi masih dalam format arsip digital dalam situs resmi yang dimiliki-nya. Meskipun demikian, beberapa sajana yang terlibat di dalam-nya, seperti Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Salah Sultan, menuangkan beberapa putusan atau pandangan fiqh al-aqalliyyât dalam beberapa tulisan mereka.

Berikut adalah beberapa contoh kasus hukum yang telah diberikan fatwanya dan diterbitkan oleh lembaga ECFR sendiri, terutama yang dikutip dalam kitab fiqh al-aqalliyyât yang ditulis oleh pemimpin lembaga tersebut, Yûsuf al-Qaradhâwî, dan salah seorang anggotanya, Bin Bayyah, serta yang dilansir oleh FCNA yang sebagian disampaikan oleh mantan pemimpinnya, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî.

1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual

Bidang keyakinan dan ibadah merupakan bidang kajian utama dalam setiap agama. Persoalan-persoalan dalam bidang ini men-jadi persoalan yang paling krusial, sensitif, dan urgen dibanding-kan dengan bidang lainnya. Dalam bidang ini dibahas dua contoh yang sampai saat ini masih tetap aktual dalam masyarakat minoritas muslim di Barat, yaitu masalah ucapan selamat atas hari raya Ahli Kitab dan masalah waktu salat Jum’at.

a. Ucapan Selamat atas Hari Raya Ahli Kitab

Hukum menyampaikan ucapan selamat atas hari raya Ahli Kitab kepada teman, kerabat, tetangga, atau pembimbing tesis, dan lain sebagainya merupakan masalah yang senantiasa

kan, baik di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Malaysia dan Indonesia atau terlebih di negara-negara yang minoritas muslim. Pertanyaan ini juga pernah disampaikan oleh seorang muslim kandidat doktor di Jerman pada ECFR.76

Jawaban ECFR adalah bahwa menyampaikan ucapan selamat kepada mereka diperbolehkan. Dalil yang dikemukakan adalah al-Qur’ân surat 60 (al-Mumtahanah) ayat 8 dan 9:

77

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, ayat ini secara tegas dan jelas mengajarkan dua pola interaksi dengan non-muslim: berlaku baik dan adil kepada mereka yang tidak memusuhi, serta tidak menjadi-kan mereka yang memusuhi atau memerangi umat Islam sebagai kawan. Berbuat adil yang dimaksud adalah tidak mengurangi hak mereka, sementara berbuat baik yang dimaksud adalah memberi-kan sebagian hak kita kepada mereka. Menyampaimemberi-kan ucapan selamat hari raya kepada mereka adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan karena bagian dari perbuatan baik ketika memang memberikan efek positif dalam pola interaksi kemanusiaan; yang

76Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 145.

77Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Fiqh Minoritas tidak diperbolehkan adalah mengikuti acara ritual keagamaan mereka.78

Lebih lanjut Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa memang banyak ulama yang dengan tegas mengharamkan ucapan selamat dan mengikuti hari raya Ahli Kitab. Ibnu Taymiyyah adalah salah seorang yang secara tegas mengulas hal ini dalam kitabnya Iqtidhâ’

Shirâth Mustaqîm Mukhâlafah Ahl Jahîm. Yûsuf

al-Qaradhâwî menyatakan kesepakatannya dengan Ibn Taymiyyah dalam hal keharaman umat Islam mengikuti hari raya mereka atau mereka mengikuti hari raya umat Islam. Tetapi, Yûsuf al-Qaradhâwî dengan ECFR-nya tidak sependapat tentang keharaman ucapan selamat hari raya kepada non-muslim, apalagi masih ada ikatan kekeluargaan, tetangga ataupun hubungan kerja. Lebih lanjut Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa fatwa Ibn Taymiy-yah tersebut cocok dengan konteks zamannya ketika fatwa itu disampaikan. Andaikata Ibn Taymiyyah hidup pada saat ini dan melihat realitas pola hubungan yang sangat berbeda dengan rea-litas zamannya, Yûsuf al-Qaradhâwî yakin bahwa Ibn Taymiyyah akan mengubah fatwanya, atau minimal meringankannya.79

78Ibid., hlm. 146-147; Lihat juga Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât,

hlm. 337-342.

79Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 149-150. Pandangan al-Qaradhâwî tentang Ibn Taymiyyah ini bisa dibandingkan dengan ulasan Bin Bayyah tentang fatwa ECFR atas permasalahan ini. Bin Bayyah memberikan catatan bahwa sebenarnya permasalahan ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Dalam madzhab Imam Ahmad saja ada tiga pendapat: haram (larangan), makruh, dan mubah. Menurut Bin Bayyah, Ibnu Taymiyyah memilih pendapat yang terakhir karena pendapat ini mengandung kemaslahatan. Pendapat inilah yang diambil oleh ECFR. Pendapat-pendapat ini diungkap dengan jelas oleh al-Mardâwî dalam kitabnya yang berjudul al-Insyâf. Pandangan yang dikemukakan Ibn Taymiyyah dalam kitab-kitabnya yang lain, yang melarangnya, tidaklah sesuai dengan pilihannya seperti yang tegas dinyatakan di atas. Lihat, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 342.

b. Waktu Salat Jum’at

Persoalan waktu salat bukan merupakan masalah bagi mereka yang tinggal di negara Asia Tenggara dan Timur Tengah yang peredaran mataharinya relatif normal dan teratur. Tetapi, hal ini menjadi masalah bagi mereka yang tinggal di wilayah sekitar kutub utara, yang panjang siang dan malamnya tidak selalu sama. Pada musim panas, siang hari bisa jadi berlangsung 16 jam dan malam harinya tersisa 8 jam atau bahkan lebih ekstrem dari itu. Di Bulgaria, matahari terbenam kadangkala menjelang pukul 10 malam, sementara di Denmark dan Swedia, misalnya, siang hari bisa berlangsung 18 jam sehingga salat Isya’ baru bisa dilakukan sekitar pukul 11 malam. Islam telah mewajibkan salat wajib lima kali sehari-semalam kepada siapa pun di tempat mana pun, termasuk kepada umat Islam yang ada di kutub utara yang setengah tahun penuh hanya memiliki siang tanpa malam dan setengah tahun sisanya hanya memiliki malam tanpa siang. Memang ada sebagian ulama Hanafiyah yang menyatakan gugurnya beban taklîf salat bagi mereka yang hidup di suatu tempat di mana matahari beredar dengan durasi yang ekstrem seperti di kutub utara, dengan alasan tiadanya sebab, yaitu waktu, tiadanya kemampuan dan kemungki-nan, serta tiadanya faidah yang bisa diharapkan dari beban taklîf tersebut.80 Tetapi, pendapat ini ditentang oleh sebagian besar ulama Hanafiyah. Jumhur ulama sepakat bahwa dalam kondisi peredaran matahari berada dalam posisi ekstrem maka waktu salat adalah berdasarkan perkiraan.81

80Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Qadhâyâ al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu‘âshir (Sûriyah: Dâr al-Fikr, 2007), hlm. 31-33. Dalil yang dikemukakan adalah ayat al-Qur’ân tentang waktu salat sebagaimana disebutkan dalam surat 17 (al-Isrâ’), ayat 78: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

81Ibid., hlm. 32-34.

Fiqh Minoritas Persoalan waktu salat ini menjadi rumit ketika dipadukan dengan pelaksanaan salat Jum’at. Ada yang mengajukan pertanya-an pada ECFR tentpertanya-ang bagaimpertanya-ana hukumnya melakspertanya-anakpertanya-an salat Jum’at sebelum tergelincirnya matahari (qabl al-zawâl) atau setelah masuknya waktu salat ‘ashar (ba‘d al-‘ashr), dengan alasan sempitnya waktu khutbah dan salat Jum’at pada waktu dzuhur di beberapa negara, terutama pada musim dingin, atau karena tiada-nya kesempatan menunaikan salat Jum’at karena berbenturan dengan jadwal kerja atau kuliah, kecuali pada waktu pagi atau sore.82

Pertanyaan ini sepertinya sepele dan mengada-ada, tetapi inilah realitas yang dihadapi oleh sebagian umat Islam yang tinggal di negara-negara Barat yang memiliki musim berbeda dengan musim di wilayah tropis seperti Indonesia. Dalam menanggapi pertanyaan ini Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa jumhur ulama menyepakati waktu salat Jum’at adalah pada waktu salat dzuhur, yakni dari tergelincirnya matahari sampai pada posisi matahari yang memungkinkan bayangan suatu benda telah menyamai benda aslinya dikurangi bayangan ketika matahari tergelincir.83

Meskipun demikian, Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian menge-mukakan beberapa pandangan madzhab yang berbeda dengan pandangan jumhur ulama. Di antaranya adalah pandangan ulama Hanâbilah yang memberikan kelonggaran waktu salat Jum’at di awal waktu. Sebagian mereka menyatakan bahwa awal waktu salat Jum’at berdasarkan beberapa hadîts Nabi dan perbuatan para sahabat adalah sama dengan waktu salat hari raya, yakni mulai dari naiknya matahari sekitar 10 menit atau seperempat jam

82Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 72.

sampai habisnya waktu dzuhur.84 Pendapat lainnya yang dikemu-kakan adalah tentang akhir waktu salat Jum’at yang dikemudikemu-kakan oleh ulama Mâlikiyyah. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa akhir waktu salat Jum’at adalah terbenamnya matahari atau segera sebelum terbenam. Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian menyatakan bahwa atas dasar pendapat tersebut di atas sesungguhnya boleh saja salat Jum’at itu dilakukan pagi hari atau sore hari ketika situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk melaksanakannya pada waktu yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Pilihan seperti itu lebih baik daripada melalaikan salat Jum’at itu sendiri. Meski-pun demikian, ketika kesempatan melaksanakannya tepat pada waktu yang telah disepakati itu ada, maka melakukannya bersama tanpa perselisihan itu adalah yang lebih baik.85