• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Lembaga Fatwa dan Kajian Hukum Islam

MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM DI BARAT DAN

D. Problematika Hukum Islam Masyarakat Minoritas Muslim di Barat

3. Lahirnya Lembaga Fatwa dan Kajian Hukum Islam

Fiqh Minoritas “etnis”-nya diakui dan berlaku bagi mereka, sementara hukum Islam secara resmi tidak diakui keberlakuannya. Karena didesak oleh kepentingan lahirnya hukum Islam untuk menyelesaikan masalah keberagamaan masyarakat minoritas muslim, maka muncullah pengadilan Syari’ah informal yang menyelesaikan masalah atau sengketa hukum personal yang terjadi di kalangan mereka atas dasar hukum Islam, karena memang belum ada pengakuan pemerintah atas hukum kekeluargaan Islam.114

3. Lahirnya Lembaga Fatwa dan Kajian Hukum Islam

Mengamati banyaknya permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat minoritas muslim di Barat, muncullah beberapa lembaga atau organisasi yang secara khusus memberikan layanan fatwa dan riset dalam bidang aplikasi hukum Islam di Barat. Yang paling prominent (terkenal) dan menjadi perhatian publik adalah ECFR di Inggris yang didirikan oleh Yûsuf al-Qaradhâwî dan FCNA yang didirikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî.

Dua organisasi ini menjadi paling terkenal karena aktivitas-nya yang secara khusus menggagas perluaktivitas-nya fiqh khusus untuk masyarakat muslim minoritas dan memberikan layanan umum, baik secara on-line melalui jaringan internet maupun off-line, yaitu langsung ke kantor lembaga untuk menyampaikan problematika

114 Ihsan Yilmas mengupas secara tuntas realitas ketidakadilan seperti ini. Menurutnya, Inggris menganut social pluralism, tapi tidak legal pluralism. Social

pluralism yang dianutnya masih diskriminatif dan berstandar ganda. Minoritas

muslim diharapkan untuk beradaptasi dengan budaya Inggris, tetapi tidak diimbangi dengan pengakuan negara atas hak-hak warga minoritas muslim. Menurut Ihsan Yilmas, fakta ini ironik dan berlawanan dengan harapan integrasi dan asimilasi yang sesungguhnya. Karena keinginan untuk menjalankan hukum Islam masih sangat kuat di kalangan masyarakat muslim UK, maka dalam kesehariannya mereka tetap merujuk pada hukum Islam. Seringkali masalah-masalah hukum yang mereka hadapi diselesaikan oleh pengadilan agama tidak resmi dengan menggunakan hukum Islam, misalnya masalah pernikahan, talak, rujuk, dan warisan. Lihat, Ihsan Yilmas, “Muslim Law in Britain: Reflections in the Socio-Legal Sphere...”, hlm. 353-360. Open Society Institute, “The Situation of Muslims in the UK”, hlm. 411.

hukum yang dihadapi minoritas muslim. Fiqh ini akhirnya dikenal dengan istilah fiqh aqalliyyât. Berkenaan dengan hal ini, al-'Alwânî menegaskan:

“There is a (legal) field known as “Muslim Minorities Juris-prudence” (Fiqh al-Aqalliyyat al-Muslimah) for (those) who live in different reality than that of Muslims residing in Islamic countries ... we as a Muslim minority have decided to examine the reality of these communities and make legal decisions for them, since the problems we face as minorities are very different from those a Muslim faces in an Islamic country.”115

ECFR atau dalam bahasa Arab dikenal dengan Al-Majlis

al-Urûbi li al-Iftâ’ wa al-Buhûth didirikan oleh 15 sarjana muslim di

London pada tanggal 29-30 Maret 1997 dengan mengangkat Yûsuf al-Qaradhâwî sebagai ketua. Tujuan lembaga ini adalah memberi-kan saran dan fatwa kepada al-Mustaghrabûn, imigran muslim di Barat berkenaan dengan problematika hukum yang dihadapi sehingga mereka memiliki pandangan yang seragam dan tidak dibingungkan lagi dengan perbedaan pendapat para fuqaha yang sangat banyak dan beragam. Dalam situs resminya di internet, ECFR ini menyatakan sebagai berikut:

The Council shall attempt to achieve the following aims and objectives:

1 . Achieving proximity and bringing together the scholars who live in Europe, and attempting to unify the jurisprudence views between them in regards with the main Fiqh issues.

115 Artinya: “Ada satu bidang hukum yang dikenal dengan “Hukum Islam untuk Minoritas Muslim” (Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah) untuk mereka yang tinggal dalam realitas yang berbeda dari realitas muslim yang tinggal di negara-negara Islam…kami sebagai minoritas muslim telah memutuskan untuk menguji realitas masyarakat minoritas ini dan membuat putusan hukum untuk mereka, karena problem-problem yang kami hadapi sebagai minoritas adalah sangat berbeda dari problem-problem yang dihadapi seorang muslim di negara Islam.” Lihat, www.alsharqalawsath.com, seperti yang dikutip dari Shamai Fishman dalam www.prisma.com.

Fiqh Minoritas 2. Issuing collective fatwas which meet the needs of Muslims in Europe, solve their problems and regulate their interaction with the European communities, all within the regulations and objectives of Syari’a.

3. Publishing legal studies and research, which resolve the arising issues in Europe in a manner which realizes the objectives of Syaria and the interests of people.

4. Guiding Muslims in Europe generally and those working for Islam particularly, through spreading the proper Islamic concepts and decisive legal fatwas.116

Di samping memberikan fatwa, lembaga ini juga terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, seperti pembagian zakat, penentuan awal dan akhir bulan Ramadlan, dan penentuan shalat Jum’at. Program-program insidental yang berkaitan dengan bangunan sosial budaya masyarakat minoritas muslim di Eropa juga menjadi agenda yang lazim diadakan.

Pada tahun 1999, lembaga ini semakin menguat dan men-dapatkan dukungan dari banyak sarjana di luar Eropa. Lembaga ini sekarang memiliki 38 anggota yang tidak hanya berasal dari Inggris, tetapi juga dari beberapa negara lainnya, baik dari Amerika

116 Artinya: “Lembaga ini akan merupaya menggapai maksud dan tujuan sebagai berikut: (1) mencapai keakraban dan kebersamaan sarjana-sarjana yang tinggal di Eropa, dan berupaya untuk menyatukan pandangan-pandangan hukum di kalangan mereka yang berkaitan dengan permasalahan fiqh; (2) Mengeluarkan fatwa kolektif yang memenuhi kebutuhan masyarakat muslim di Eropa, menyelesaikan persoalan-persoalan mereka dan mengatur interaksi mereka dengan masyarakat Eropa, yang semuanya berada dalam koridor aturan dan tujuan syari’ah; (3) menerbitkan studi-studi dan penelitian hukum, yang menyelesaikan problematika yang sedang muncul di Eropa dengan cara yang bisa merealisasikan tujuan syari’ah dan kepentingan manusia; (4) membimbing umat Islam di Eropa secara umum dan mereka yang bekerja untuk Islam secara khusus melalui penyebaran konsep-konsep Islam dan fatwa hukum yang penting. Lihat, http://www.e-cfr.org/en/ ECFR.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

maupun Timur Tengah.117 Kombinasi anggota dari berbagai negara ini menurut Mathias Rohe sangat bersifat politis, yakni untuk menghantam pandangan yang mempertanyakan keabsahan fatwa yang dibuat di luar negara Islam.118

Beberapa fatwa dari lembaga ECFR telah dibukukan oleh ketua ECFR itu sendiri, Yûsuf Qaradhâwî, dalam bukunya Fî Fiqh

al-Aqalliyyât al-Muslimât Hayât al-Muslimîn Wasath al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ119 dan oleh Bin Bayyah dalam bukunya Shinâ‘ah al-Fatwâ

wa Fiqh al-Aqalliyyât.120 Beberapa fatwa baru lainnya bisa di-dapatkan di situs resmi ECFR, http://www.e-cfr.org/en/ dan situs Bin Bayyah, http://www.binbayyah.net/. Yang menarik dari fatwa-fatwa ECFR ini adalah pernyataan tegasnya bahwa metodologi pengambilan fatwanya selain didasarkan pada empat madzhab hukum Islam yang sudah terkenal itu, juga diambil dengan pertimbangan situasi lokal dan maqâshid al-syarî‘ah. Dinyatakannya, “The aims

and objectives of Syari’a must be taken into consideration, whilst the outlawed deceptions and crooked solutions which contra-dict the aims of Syari’a, are to be avoided in all cases.121

Kalau di Eropa ada ECFR yang menjadi lembaga hukum Islam yang sangat proaktif, di Amerika ada FCNA, lembaga hukum Islam yang didirikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî. Lembaga ini, dalam

117 Lihat, http://www.e-cfr.org/en/index.php?ArticleID=305, diakses tanggal 11 Mei 2009.

118 Mathias Rohe, “The Formation of a European Syari’a,” dalam Malik (ed.), Muslims

in Europe–From Margin to Center (Erlangen: Münster, 2004).

119 Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyât al-Muslimat Hayât al-Muslimîn Wasath

al-Mujtama‘ât al-Ukhrâ (Beirut: Dâr al-Syurûq, 2001).

120 Bin Bayyah, Shinâ‘ah Fatwâ wa Fiqh Aqalliyyât (Lubnân, Bairût: Dâr al-Minhâj, 2007).

121 Artinya: “Maksud dan tujuan syari’ah harus dijadikan konsiderasi, sementara kesalahan-kesalahan yang terlarang dan solusi yang menyalahi hukum yang bertentangan dengan maksud syari’ah harus ditolak dalam semua kasus.” Lihat, http://www.e-cfr.org/en/ECFR.pdf, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

Fiqh Minoritas situs resmi internetnya, yaitu http://www.fiqhcouncil.org, meng-identifikasi diri dengan menyatakan:

“The Fiqh Council of North America traces its origins back to the Religious Affairs Committee of the then Muslim Students Association of the United States and Canada in the early 1960s. This Religious Affairs Committee evolved into the Fiqh Committee of the Islamic Society of North America (ISNA) after the founding of ISNA in 1980. As the needs of the Muslim community and the complexity of the issues they faced grew, the Fiqh Council was transformed into the Fiqh Council of North America in 1986.The Council continues to be an affiliate of ISNA, advising and educating its members and officials on matters related to the application of Syari’ah in their individual and collective lives in the North American environment.”122

Terma syari’ah dalam kutipan di atas tidak secara sempit diartikan dengan fiqh seperti yang biasa dipahami sebagai aturan hukum Islam, tetapi mencakup keseluruhan aspek keislaman yang dihadapi muslim Amerika, termasuk tentang terorisme, politik, dan sosial. Dalam mengkaji dan menjawab persoalan keislaman, lembaga ini didukung oleh 19 anggota yang semuanya sarjana muslim kenamaan yang tinggal di Amerika Utara. Thâhâ Jâbir al-'Alwânî sendiri sekarang tidak aktif lagi di lembaga ini, walaupun ide-idenya tentang perlunya fiqh minoritas ini terus digulirkan. Yang menggantikan posisinya sebagai ketua saat ini (hingga kajian ini disusun) adalah Muzammil Siddiqi.123

122 Artinya: “Lembaga Fiqh Amerika Utara memosisikan asal-usulnya pada Komite Urusan Agama dari lembaga Asosiasi Pelajar Muslim Amerika dan Kanada pada tahun 1960-an. Komite Urusan Agama ini berkembang menjadi Komite Fiqh Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) setelah terbentuk pada tahun 1980. Karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim dan kompleksitas persoalan mereka berkembang, maka Lembaga Fiqh ditransformasikan pada Lembaga Fiqh Amerika Utara (FCNA) pada tahun 1986. Lembaga ini masih terus berafiliasi pada ISNA, menyarankan dan mendidik anggota dan stafnya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan aplikasi syari’ah dalam kehidupan pribadi dan kolektifnya dalam wilayah Amerika Utara.” http://www.fiqhcouncil.org/AboutUs/tabid/175/ Default.aspx, diakses pada tanggal 11 Mei 2009.

Kedua lembaga tersebut di atas menarik karena ia menjadi lembaga fiqh yang berbeda dengan kebanyakan lembaga fiqh lainnya yang bersifat eksklusif, tradisional, dan berpaham salafi-wahabisme. Kedua lembaga ini menawarkan paham keislaman yang bersifat inklusif, progresif, dan akomodatif. Fatwa-fatwa dan pendapat hukum yang disampaikannya memberikan jalan mudah bagi minoritas muslim di Barat dalam menjalankan ajaran agamanya. Inilah yang kemudian diadvokasi dan dipromosikan oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî dan Yûsuf al-Qaradhâwi dengan istilah

fiqh al-aqalliyyât yang sampai saat ini mendapatkan banyak pujian

dan dukungan dari beberapa sarjana muslim progresif,124 sekaligus menuai banyak kritik dari beberapa kelompok muslim fundamen-talis.125 Terlepas dari kontroversi serta pujian dan kritik atas fiqh

124 Sarjana dan cendekiawan yang tergabung dalam IIIT (International Institute of

Islamic Thought) yang berpusat di Virginia, FCNA yang berpusat di Amerika

Utara, ECFR yang berpusat di London, dan ISIM (International Institute for the

Study of Islam in the Modern World) yang berpusat di Leiden adalah para

penggagas, pemikir, dan pendukung kuat fiqh al-aqalliyât ini.

125 Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî dalam ceramah maulid yang disampaikan pada 16 Mei 2003 mengkritik fiqh al-aqalliyât ini sebagai upaya mengubah atau mengorupsi syari’ah yang sangat mengkhawatirkan masa depan Islam itu sendiri. Lihat, Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhân al-Bûthî, “Mawlid Khutbah: Fiqh of Minorities is the Most Recent Means of Playing with Allah’s Dîn,” Mei 2003, 4, diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.nottsnewsmuslim. com/Bouti_mawlid%20Khutbah.pdf, diakses tanggal 27 April 2008. Lebih lanjut, dalam kesempatan lain al-Bûthî menyatakan bahwa fiqh of minorities merupakan upaya memecah belah Islam, meruntuhkan satu Islam global menjadi beberapa Islam lokal yang berkeping-keping untuk kemudian dibenturkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, menurutnya, fiqh of minorities ini adalah bagian dari perang ideologi. Lihat, Syaikh Muhammad Sa’îd Ramadhan al-Bûthî, “Fiqh of

Minorities,” diterjemahkan oleh Mahdi Lock di www.marifah.net/articles/

Bouti_MinorityFiqh.pdf, diakses tanggal 27 April 2008; Lihat juga buku Asif K. Khan, The Fiqh of Minorities—the New Fiqh to Subvert Islam (London: Khilafah Publications, 2004) yang menyebutkan bahwa fiqh al-aqalliyât adalah sebuah bentuk bid’ah yang merusak Islam. Di samping kritik keras seperti disebut di atas, ada pula kritik yang relatif halus, tapi juga berlawanan arah dengan para pengritik sebelumnya karena titik tekannya bukan pada motivasi adanya fiqh al-aqalliyyât, melainkan pada esensi dan karakternya. Tareq Oubrou, seorang imam di Perancis menyatakan bahwa syari’a de minorité (fiqh al-aqalliyyât) merupakan transnational

Fiqh Minoritas baru ini, banyaknya permasalahan yang dimintakan fatwa atau pendapat hukum terhadap dua lembaga ini menjadi indikator tingginya apresiasi masyarakat minoritas muslim akan fiqh

al-aqalliyyât ini.

Dari ulasan di atas dapat dipahami bahwa masyarakat mino-ritas muslim di Barat tengah menghadapi permasalahan yang kompleks, tidak hanya permasalahan yang berkaitan langsung dengan kelanjutan hidupnya sebagai manusia, tetapi juga dengan kehidupannya sebagai muslim. Pertemuan berbagai aspek permasalahan aplikasi hukum Islam dalam kehidupan mereka secara sistemik telah mendorong lahirnya fiqh al-aqalliyyât.126

construct (konstruks atau bangunan transnasional) yang menurutnya “an adequate description of the legal status of Muslims in Europe (deskripsi yang layak untuk

status hukum muslim di Eropa).” Oubrou lebih mengadvokasi upaya pembebasan hukum Islam dari klaim legalitasnya dengan cara memasukkan hukum Perancis ke dalam metabolisme dan tata kerja syari’ah ketimbang harus mendukung fiqh

al-aqalliyyât yang meminta pengakuan hukum Islam dengan dalih pluralisme

hukum. Lihat, Alexandre Caeiro, “An Imam in France Tareq Oubrou,” dalam

ISIM NEWSLETTER, No. 15, Spring 2005, hlm. 48.

126 Disebut secara sistemik karena fiqh al-aqalliyyât ini lahir tidak hanya karena

nash atau dalil hukum, dan bukan hanya karena ada peristiwa hukum yang

seperti biasanya, melainkan karena ada faktor sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya yang berbeda dengan yang telah dialami oleh fiqh pada umumnya. Semuanya menjadi satu sistem yang diikat dengan keinginan mewujudkan tujuan syari’ah (maqâshid al-syarî‘ah), yakni terciptanya kebenaran, keadilan, kemaslahatan, dan keindahan. Bahasan tentang makna maqâshid al-syarî‘ah dijelaskan dalam bab 4 buku ini.

Bab 3