• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

BAGI MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM

D. Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas Muslim

negara Barat. Dalam membahas hal-hal baru inilah maka metodo-logi istinbâth (penetapan) hukumnya juga membutuhkan sesuatu yang baru, yakni pendekatan interdisipliner sehingga dihasilkan fatwa hukum yang berorientasi pada maqâshid al-syarî’ah.

D. Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas

Muslim

Mayoritas umat Islam berkeyakinan bahwa masyarakat minoritas muslim di Barat adalah bagian integral dari masyarakat muslim secara umum, yang disatukan dalam kata “ummah”. Keyakinan ini tidak salah dan memiliki dalil nash yang sangat kuat, baik dari al-Qur’ân maupun al-Hadîts. Keyakinan ini menjadi pro-blematis ketika diikuti oleh keyakinan berikutnya bahwa mereka harus diatur oleh hukum Islam seperti yang berlaku di negara asalnya. Sementara itu, negara asal diharapkan untuk memberi-kan bantuan kemanusiaan, politik, dan finansial agar mereka tetap bisa bertahan hidup secara Islami. Keyakinan semacam ini menyiratkan dua hal utama: pertama, eksistensi mereka sebagai penduduk di negara Barat tidak diakui dan tetap dianggap sebagai pendatang sementara, walaupun telah hidup menetap antargene-rasi. Kedua, mereka dianggap koloni dari dunia muslim.28

Meskipun demikian, keyakinan seperti ini banyak dianut oleh minoritas muslim di Barat dan hal ini juga tetap mendapat dukung-an fatwa hukum dari para ulama ydukung-ang nota bene tinggal di luar negara Barat atau tinggal di Barat, tetapi tidak memiliki keahlian yang cukup tentang watak dan tabiat hukum Islam. Para ulama tersebut memperlakukan mereka seperti orang muslim yang berada di tanah jajahan non-muslim, yang lazim disebut dengan

28Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Minorities, dalam ISIM

Review, No. 11, 2002, hlm. 1. Lihat juga di WLUML Publication http://

www.wluml.org/english/pubsfulltxt. shtml?cmd[87]=i-87-531767. Akses tanggal 22 Mei 2009.

Fiqh Minoritas

dâr al-harb. Dalam konteks seperti ini, minoritas muslim di Barat

merasa kebingungan karena hukum Islam yang mereka pahami ternyata tidak bisa atau tidak memungkinkan untuk serta merta diterapkan dalam konteks kehidupan di Barat. Di sinilah kehadiran

fiqh al-aqalliyyât menemukan peranannya.

Karena itu, urgensi fiqh al-aqalliyyât ini akan terasa apabila kesulitan dan problematika hidup sebagai minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas non-muslim dapat dipahami dengan baik. Problematika sosial, politik, budaya, dan agama yang mereka hadapi membutuhkan kajian khusus dan mendalam sebagai satu kesatuan masalah. Fiqh al-aqalliyyât akan menjadi jawaban atas masalah ini apabila ia mampu menjadi serangkaian aturan yang utuh bagi kehidupan keagamaan masyarakat minoritas muslim, yang menurut istilah Shikh Muhammad Yacoubi, seorang guru di American Zaytuna Institute, adalah “torn between their

devo-tion to Islam and their need to integrate to some degree into

American society.”29 Pendekatan teks tentu tidak cukup mampu

menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Pendekatan multi-disipliner dengan metodologi yang komprehensif dalam berijtihad akan membantu memberikan solusi yang tepat bagi mereka. Pola berpikir seperti inilah yang melahirkan fiqh al-aqalliyyât.

Yûsuf al-Qaradhâwî menyebutkan tujuh tujuan penyusunan

fiqh al-aqalliyyât yang urgensinya bagi masyarakat muslim

minoritas lebih bisa dimengerti: pertama, mempermudah pengamalan agama masyarakat minoritas muslim dalam konteks individu, keluarga, dan masyarakat. Kedua, membantu kelompok minoritas, menjaga eksistensi mereka sebagai muslim yang harus melaksanakan syari’at secara utuh. Ketiga, mempermudah kaum minoritas dalam melaksanakan kewajiban menyampaikan risalah

29Genevive Abdo, Mecca and Main Street: Muslim Life in America after 9-11 (New York, NY: Oxford University Press, 2006), hlm. 32.

Islam kepada non-muslim dengan cara yang dapat dipahami mereka. Keempat, sebagai sumbangan pemikiran Islam dengan nilai-nilai keterbukaan dan toleransi sehingga tidak mencerminkan keterpisahan fiqh dengan realitas masyarakat. Kelima, menyadar-kan kelompok minoritas amenyadar-kan hak-hak mereka, kebebasan mereka dalam beragama, bekerja dan bermasyarakat sehingga mereka mampu menjalankan hak dan kewajiban tanpa merasa tertekan oleh pihak manapun. Keenam, membantu minoritas muslim dalam menjalankan berbagai hak dan kewajibannya sehingga mereka merasa bahwa Islam bukanlah belenggu dalam hidup, melainkan menjadi pegangan yang mengantarkan pada kebahagiaan. Ketujuh,

fiqh al-aqalliyyât diharapkan mampu membantu kelompok

minoritas dalam menjawab persoalan kontemporer yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat non-muslim.30

Dalam bahasa yang lebih ringkas, Bin Bayyah menyatakan bahwa fiqh al-aqalliyyât menjadi penting karena kemunculannya memiliki tiga fungsi utama: (1) menjadi suatu pegangan bagi minoritas muslim dalam melaksanakan ajaran agama, bukan hanya sebagai individu, melainkan juga sebagai masyarakat secara umum; (2) memberikan panduan bagi masyarakat minoritas muslim akan kewajiban mereka dalam berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya, sehingga agama yang dianutnya ini tidak menjadi dinding pemisah, tetapi menjadi jembatan penghubung antarmereka. Nilai-nilai universal Islam, seperti nilai cinta dan kasih sayang, ta‘âruf (saling mengenal) dan keadilan, serta penghormatan hak-hak asasi manusia membuka jalan interaksi kemanusiaan yang baik dengan masyarakat yang berlainan agama dan menjadi media dakwah Islam itu sendiri; (3)

Fiqh al-aqalliyyât ini mempermudah kehidupan keberagamaan,

mengadvokasi Islam sebagai agama yang elastis dan fleksibel.31 30Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 34-35.

31Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 168.

Fiqh Minoritas Tanpa kehadiran fiqh al-aqalliyyât, kelompok minoritas muslim di Barat akan mengalami kebingungan dan keraguan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Opsi-opsi hukum dalam fiqh klasik yang tidak relevan lagi dengan konteks kehidupan yang dijalani memaksa mereka melakukan dua pilihan: menjalankannya dengan penuh keraguan dan keterpaksaan yang menyiksa, atau meninggalkannya sama sekali dan menjalani hidup tanpa pedoman agama. Salah satu contohnya adalah tentang hukum tentara muslim Amerika yang ditugaskan oleh negaranya untuk berperang di Afghanistan atau Iraq yang nota bene adalah saudara sesama muslim. Fiqh klasik hanya mengenal hukum tentang tentara muslim di negara muslim yang memiliki kewajiban membela negaranya dan hukum tentang haramnya menyakiti dan mem-bunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Pilihan hukum ini memaksa tentara muslim Amerika melakukan dua pilihan: berhenti menjadi tentara yang merupakan jalan hidupnya mencari nafkah, atau terus berperang dengan saudara sesama muslim dengan perasaan bersalah dan berdosa. Dalam konteks seperti ini, fiqh al-aqalliyyât menawarkan suatu kepastian hukum sebagai solusi bagi tentara muslim Amerika tesebut.

Dalam upaya menghadirkan fatwa-fatwa atau ketentuan hukum, fiqh al-aqalliyyât ini tetap menjadikan fatwa atau ketentuan hukum fiqh klasik sebagai konsiderasi di samping juga kondisi geografis dan sosial politik setempat sebagai upaya untuk “membumikan” fiqh al-aqalliyyât. Berikut ini adalah penjelasan tentang metodologi yang digunakan dalam fiqh al-aqalliyyât.