• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fiqh al-Nushûsh dan Fiqh al-Maqâshid

F. Produk Fatwa dalam Fiqh al-Aqalliyyât

3. Bidang Politik

Fiqh Minoritas dalamnya membangun masjid, sekolah muslim, jembatan, dan lain sebagainya. Yûsuf al-Qaradhâwî setuju akan kedua makna tersebut dan mengombinasikannya dalam penafsiran bahwa fî sabîl Allâh memang bermakna jihad, tetapi jihad ini merangkum semua makna yang mendukung dakwah dan kemaslahaan umat Islam, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keislaman yang disebut-nya sebagai bagian dari jihad modern.90

Yûsuf al-Qaradhâwî kemudian mengaitkan reinterpretasi di atas dengan kebutuhan masyarakat minoritas dan konsiderasi manfaat atau maslahat yang akan dilahirkan ketika lembaga-lembaga keislaman tersebut berdiri. Atas kuatnya pertimbangan kebutuhan dan manfaat ini, Yûsuf al-Qaradhâwî menyatakan bahwa menggunakan dana zakat untuk membangun lembaga keislaman adalah boleh.

3. Bidang Politik

Dalam bidang politik bisa ditemukan beberapa persoalan mendasar, seperti bagaimana hukum bertempat tinggal di negara-negara non-muslim dan memiliki kewarganegara-negaraan negara-negara tersebut, dan bagaimanakah hukum ikut serta dalam masalah politik dan memilih pemimpin negara yang bukan muslim di negara tersebut. Berikut adalah jawabannya menurut pola pandang

fiqh al-aqalliyyât.

a. Hukum Tinggal di Negara Non-Islam dan Memiliki Kewarganegara-an Negara Tersebut

Bin Bayyah mempunyai analisis menarik tentang masalah ini. Dia memulainya dengan pertanyaan tentang apa esensi dari definisi negara Islam itu sendiri. Apakah negara Islam (dâr

al-Islâm) itu dilihat dari sisi penduduknya yang kebanyakan muslim

ataukah dari sisi hukum yang dipergunakan di negara tersebut yang berdasarkan syari’at Islam. Kalau yang dijadikan patokan dasar adalah hukumnya, apakah keseluruhan hukum Islam yang harus diterapkan ataukah boleh hanya sebagian? Pertanyaan dasar inilah yang telah menjadikan ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan negara Islam dan negara non-Islam.91

Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyampaikan definisi sederhana, bahwa negara Islam adalah negara yang di dalamnya hukum Islam ditegakkan. Sementara itu ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah mendefinisikan-nya sebagai negara yang menegakkan hukum Islam, atau yang memberikan kebebasan kepada penduduknya yang beragama Islam untuk menjalankan hukum Islam. Dengan demikian, lanjut

‘Awdah, negara Islam bisa berupa negara yang keseluruhan atau

mayoritas penduduknya muslim, negara yang diperintah oleh umat Islam dengan menjalankan hukum Islam walaupun sebagian besar penduduknya non-muslim, dan negara yang dikuasai oleh non-muslim tetapi memberikan kebebasan kepada penduduknya yang muslim untuk menjalankan agamanya.92 Perbedaan definisi ini banyak sekali karena tidak ada suatu dalil pun yang secara pasti mengacu pada makna dâr al-Islâm ini. Bin Bayyah sendiri me-nyatakan bahwa dari pembacaan terhadap perbedaan definisi menyimpulkan bahwa dâr al-Islâm adalah setiap pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim, hakim-hakimnya juga muslim walaupun tidak menetapkan/melaksanakan sebagian hukum-hukum syari’at. Sementara negara non-muslim (dâr ghayr

al-muslimîn) adalah setiap pemerintahan yang mayoritas

pen-duduknya non-muslim dan hakim-hakimnya juga non-muslim.93

91Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 280.

92Lihat, ‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, al-Tashrî‘ al-Jinâ’î al-Islâmî Muqâranan bi al-Qânûn

al-Wadh‘î, juz 1, hlm. 224-225.

93Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 280-281.

Fiqh Minoritas Perbedaan pendapat tentang definisi ini berimplikasi pada perbedaan pendapat ulama tentang hukum bertempat tinggal di negara non-muslim. Secara umum pendapat tersebut bisa dibagi ke dalam tiga kategori: pertama, kategori yang mengharamkan secara mutlak, seperti yang dianut oleh Ibn Hazm dan pengikut madzhab Mâlikî. Bahkan Imam Mâlik sendiri secara tegas menyatakan bahwa tidak boleh hukumnya tinggal di negara maksiat di mana para sahabat Nabi dan ulama dihina dan dibenci.

Kedua, pendapat jumhur fuqaha yang memberikan kelonggaran

bolehnya tinggal di negara-negara non-muslim sepanjang ia mampu menjalankan kewajiban agamanya. Dalil yang dikemuka-kan adalah, sebagaimana disampaidikemuka-kan oleh Imam Syâfi’î, bahwa Nabi telah mengizinkan kaum yang telah masuk Islam di Makah untuk tetap tinggal di sana setelah keislaman mereka, sebagian dari mereka adalah ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthallib. Ketiga, bahwa tinggal di negara non-muslim bisa saja hukumnya wajib manakala keberadaannya di tempat itu menjadikan kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam atau manakala perginya umat Islam dari negara tersebut akan melahirkan sisi negatif (mafsadat); haram manakala tidak khawatir keluar Islam, tetapi hanya mereka melihat kemungkaran, sementara melihat ada negara alternatif yang kemungkarannya lebih kecil; mubah apabila dua pertimbangan maslahat dan mafsadat itu sama; dan sunnah atau mustahab apabila ada kepentingan dakwah sementara sudah ada orang lain yang telah memulai dakwah di negara tersebut.94

Pendapat ketiga inilah yang diambil oleh ECFR ketika menentukan hukum iqâmah fî bilâd ghayr al-muslimîn. Per-timbangan kemaslahatan dan kemafsadatan menjadi ukuran mutlak dalam penentuan hukum. Pendapat dengan menjadikan kemaslahatan sebagai konsiderasi utama seperti ini sebenarnya

juga telah disampaikan oleh ulama-ulama klasik. Kitab klasik Mugnî

al-Muhtâj misalnya menyatakan bahwa pandangan dalam menakar

negara-negara yang akan ditempati sesungguhnya adalah dari sisi kebaikan dan kerusakannya.95

Ketika pendapat ketiga yang dijadikan pilihan dalam fiqh

al-aqalliyyât, maka pertanyaan tentang hukum berkewarganegaraan

di negara-negara tersebut juga bervariasi mengikuti hukum bertempat tinggal di negara non-muslim yang sangat ditentukan oleh sisi kemaslahatan dan kemafsadatan seperti yang dikemuka-kan di atas.

b. Hukum Ikut Serta dalam Masalah Politik

Dalam konteks dâr al-Islâm, fiqh al-siyâsah menegaskan bahwa berpartisipasi dalam masalah politik merupakan sesuatu yang disyari’atkan dalam upaya membangun kemaslahatan bersama dan menegakkan prinsip-prinsip Islam yang agung. Partisipasi yang dimaksud dalam hal ini bersifat umum, mulai dari yang paling dasar, yakni memenuhi hak dan kewajiban politik sebagai warga negara, mengikuti pemilu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan politis, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi problematis ketika diletakkan dalam konteks partisipasi umat Islam dalam kegiatan politik di negara-negara non-Islam di Barat. Pertanyaan tentang kebolehan umat Islam di Barat ikut pemilihan presiden yang calon-calonnya beragama non-Islam adalah salah satu contoh permasalahan, sebab syarat menjadi pemimpin menurut fiqh klasik sangat ketat meliputi masalah agama, kepribadian, keilmuan, dan lain sebagainya.96

95Ibid., hlm. 284; Mugnî al-Muhtâj, vol. 4, hlm. 284.

96Lihat, Abû al-Hasan al-Mâwardî, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirût: Dâr al-Kitâb ’Arabî, 1990), hlm. 31-32; lihat pula Abû Ya’lâ Muhammad bin Husain al-Farrâ’, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006), hlm. 20.

Fiqh Minoritas Atas permasalahan ini ECFR memberikan pandangan hukum sebagai berikut:97 pertama, tujuan kerja sama atau ikut serta dalam politik adalah untuk menjaga hak, kebebasan, dan mempertahan-kan nilai-nilai diri serta eksistensi umat muslim di negara tersebut.

Kedua, hukum asal menentukan disyari’atkannya kerja sama

politik bagi umat muslim di Eropa dengan status hukum boleh, sunnat, dan wajib atas dasar ayat al-Qur’ân, yakni surat 5

(al-Mâ’idah) ayat 2:

98

Ketiga, kerja sama politik meliputi menjadi anggota lembaga

sosial kemasyarakatan, ikut serta dalam partai politik, dan lain sebagainya. Keempat, termasuk kaidah yang paling penting yang harus dipegang dalam kerja sama politik ini adalah tetap berpegang teguh pada akhlak Islami, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, serta menghargai pluralisme dan pandangan yang berbeda.

Kelima, ikut serta dalam pemilihan umum dengan syarat

ber-pegang pada kaidah-kaidah syari’at, etika, dan perundang-undangan, dengan niat kemaslahatan dan tidak didasarkan pada kepentingan individu. Keenam, bolehnya menggunakan harta benda untuk kepentingan pemilihan umum tersebut walaupun yang dipilih bukan seorang muslim, sepanjang dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan umum. Ketujuh, kebolehan kerja sama politik tersebut berlaku sama bagi perempuan muslimah sebagai-mana berlaku bagi laki-laki.

Pandangan ECFR di atas lebih menekankan pada konteks dan berorientasi pada kemaslahatan, yang merupakan inti dari

maqâshid al-syarî’ah. Teks-teks dalil yang digunakan sebagai dasar

dalam fiqh klasik, seperti karya Ghazâlî, Mâwardi, dan

al-97Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 294-295.

98Artinya: “…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Farrâ’ lebih dipahami dari sisi tujuannya dibandingkan dengan sisi makna harfiyyah teks itu sendiri. Pandangan ECFR ini sangat sesuai dengan pandangan FCNA dan beberapa sarjana muslim Amerika kontemporer seperti Muqtedar Khan yang jelas-jelas mendukung Obama pada Pemilu Amerika tahun 2008 dengan menjadikan terwujudnya kemaslahatan bagi umat muslim khusus-nya dan dunia pada umumkhusus-nya, sebagai konsiderasi utama.99

Senada dengan pandangan di atas adalah jawaban Thâhâ Jâbir al-'Alwânî atas pertanyaan “apakah dilarang atau diharamkan ikut serta dalam sebuah sistem pemerintahan yang tidak Islami?” Menurut Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, fiqh pada umumnya akan melarang dan menetapkan hukum haram atas hal tersebut. Tetapi, ketika pertanyaan tersebut diletakkan dalam suatu konteks di mana tindakan pemerintahan mungkin dipengaruhi untuk menjadi lebih baik dengan keterlibatan umat muslim dalam sistem politik, pemerintah memiliki otoritas sekuler terhadap umat muslim di negara tersebut dan memberikannya kebebasan untuk menjalan-kan agama mereka, umat muslim diberi hak untuk menangani kantor publik, pemerintahan yang ada belum memberikan aturan dan kebijakan yang memihak umat muslim, maka pertanyaan di atas perlu untuk ditata ulang menjadi “apakah dibolehkan bagi umat muslim berpartisipasi dalam arena politik sebuah peme-rintahan yang demokratik dalam rangka mempengaruhi kebijakan yang ada sehingga mendukung eksistensi umat Islam?” Dalam konteks ini, jawabannya adalah:

“… it is permissible and an obligation on the part of the Muslim community to get involved as long as they are not forced to sacrifice their integrity. For the community it would be considered a type of jihad. If a particular member of the community feels him/her self to be 99Lihat, M. Muqtedar Khan, American Muslims and the 2008 Presidential Election

Policy Recommendation (Michigan: Institute for Social Policy and Understanding,

2008).

Fiqh Minoritas

too weak in religion then there is no harm if that person does not directly participate, but supports financially or in other ways instead”.100