• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fiqh al-Aqalliyyât: Definisi dan Posisinya dalam Sejarah Perkembangan Fiqh

BAGI MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM

C. Fiqh al-Aqalliyyât: Definisi dan Posisinya dalam Sejarah Perkembangan Fiqh

gagasan-gagasannya tentang hukum Islam dalam menjawab persoalan kontemporer minoritas muslim di Barat. Baginya, persoalan keberagamaan masyarakat minoritas muslim di Barat tidak bisa dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara mengirim-kan mereka kembali ke negara-negara muslim, karena sesungguh-nya masalah tersebut bukan terletak pada eksistensi mereka di Barat, melainkan karena kurang memadainya fiqh klasik menjawab permasalahan mereka. Karena itulah ECFR yang diketuainya berupaya memberikan fatwa-fatwa baru yang dihasilkan dari penelitian dan reinterpretasi hukum Islam.

Menurut Yûsuf al-Qaradhâwî, fiqh al-aqalliyyât sesungguh-nya bukanlah sesuatu yang secara total baru dan bukan pula devi-asi dari fiqh kldevi-asik yang ada, melainkan sebuah produk hdevi-asil reinterpretasi atas dalil-dalil yang ada atas dasar kemaslahatan yang memang menjadi spirit syari’ah. Fiqh al-aqalliyyât tampak seperti hal yang baru karena ia dimunculkan di wilayah baru, yakni wilayah Barat.

C. Fiqh al-Aqalliyyât: Definisi dan Posisinya dalam Sejarah

Perkembangan Fiqh

Terma fiqh al-aqalliyyât ( ) terdiri dari dua kata:

fiqh ( ) dan aqalliyyât ( ). Fiqh yang secara etimologi

dipadankan dengan kata al-fahm ( ) yang bermakna memahami, secara terminologi didefinisikan sebagai “mengetahui hukum-hukum Allah yang berkenaan dengan perbuatan para mukallaf, baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh maupun mubah.”15 Sementara itu, aqalliyyât yang secara etimologis ber-makna minoritas atau kelompok, merupakan suatu istilah politik yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat dalam suatu

15Jamâl al-Dîn ‘Abd al-Rahîm al-Asnawî, Nihâyat al-Sûl Syarh Minhâj al-Wushûl fî

‘Ilm al-Ushûl (Beirût, Lubnân: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), hlm. 11.

Fiqh Minoritas pemerintahan yang dalam hal etnis, bahasa, ras atau agama ber-beda dengan kelompok mayoritas yang berkembang.16

Secara terminologis, fiqh aqalliyyât oleh Thâhâ Jâbir al-'Alwânî didefinisikan sebagai:

‘Abd Allâh bin al-Syaikh al-Mahfûdz bin Bayyah, salah seorang anggota dari ECFR, suatu lembaga fatwa dan riset di Eropa yang mengembangkan fiqh al-aqalliyyât, menyatakan bahwa ECFR secara sederhana mendefinisikan fiqh al-aqalliyyât dengan “hukum-hukum fiqh yang berhubungan dengan umat Islam yang hidup di luar negara Islam.”18 Menurutnya, penamaan fiqh khusus dengan istilah fiqh al-aqalliyyât sesungguhnya menuai per-debatan, tetapi ECFR menetapkan validitas istilah ini karena sesungguhnya dalam istilah kontemporer, istilah ini bisa dipahami dengan baik.19

16Lihat, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 95-6; Lihat pula, Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 164.

17Artinya: “Satu bentuk fiqh yang memelihara keterkaitan hukum syar’i dengan dimensi-dimensi suatu komunitas, dan dengan tempat di mana mereka tinggal. Fiqh ini merupakan fiqh komunitas terbatas yang memiliki kondisi khusus, yang memungkinkan sesuatu yang tidak sesuai bagi orang lain menjadi sesuai bagi mereka. Cara memperolehnya membutuhkan aplikasi sebagian ilmu kemasyarakatan secara umum dan ilmu sosiologi, ekonomi, dan beberapa ilmu politik dan hubungan internasional secara khusus.” Lihat, Taha Jabir al-‘Alwani,

Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 97.

18Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 164.

19Salah satu bentuk perdebatannya adalah tentang kata minoritas yang menempel dengan fiqh ini. Menurut Muhammad Khalid Mas’ud, kata minoritas di sini

Dari definisi di atas jelas bahwa fiqh al-aqalliyyât tetap merupakan salah satu jenis fiqh yang merupakan bagian dari fiqh pada umumnya, hanya saja ia memiliki karakter khusus karena akan diterapkan pada masyarakat dengan karakter khusus, di tempat yang juga memiliki karakter khusus, yang berbeda dengan fiqh pada umumnya, yakni minoritas muslim di Barat. Dari sisi sumber hukum, fiqh al-aqalliyyât sama dengan fiqh pada umum-nya, yakni bersumber pada al-Qur’ân dan al-Hadîts, yang dibangun berdasarkan ijmâ‘, qiyâs, istihsân, al-mashâlih al-mursalah, sadd

al-dharâ’i‘, ‘urf, dan dalil-dalil lain yang telah disampaikan oleh

para ulama ushûl fiqh. Akan tetapi, dari sisi bentuk fiqh

al-aqalliyyât merupakan bentuk yang baru karena pelaku hukumnya

adalah masyarakat minoritas muslim yang memiliki karakter khusus, yang tidak dimiliki oleh mayoritas muslim lainnya.20

Yûsuf al-Qaradhâwî menjelaskan hakikat fiqh al-aqalliyyât dengan menyebutkan empat hal untuk diperhatikan: pertama, umat Islam tidak hanya memerlukan fiqh sebagaimana dipahami

sangatlah problematik karena tiga hal: pertama, ketidakjelasan semantiknya memunculkan sub-nation dalam kerangka sebuah nation-state. Minoritas keagamaan malah lebih lemah lagi sub-nation tadi karena merupakan pecahan yang lebih kecil lagi; kedua, permasalahan minoritas ini berkaitan dengan situasi minoritas lainnya, seperti situasi minoritas non-muslim dan muslim di negara muslim; ketiga, kondisi minoritas muslim di Barat tidak sama dengan minoritas muslim di negara non-Barat, seperti India dan Cina. Muhammad Khalid Mas’ud, “Islamic Law and Muslim Minorities, dalam ISIM Review, No. 11, 2002, hlm. 2.

20Bin Bayyah, Shinâ‘ah al-Fatwâ wa Fiqh al-Aqalliyyât, hlm. 165. Hal ini berarti bahwa fiqh al-aqalliyyât ini adalah satu bentuk dari fiqh wâqi‘î (fiqh realitas) dan bukan fiqh nadzarî (fiqh konseptual/perspektif). Fiqh wâqi’î ini adalah ciri utama fiqh pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat di mana ketentuan hukum yang ada merupakan respons atau jawaban atas permasalahan riil yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, fiqh nadzarî adalah ciri-ciri fiqh yang berkembang pada masa imam madzhab yang tidak hanya menjawab permasalahan riil, tetapi juga jawaban atau kasus yang diandaikan terjadi. Lebih lengkapnya tentang ciri-ciri khas fiqh masa Nabi dan masa berikutnya bisa dibaca di Jâd Haq ‘Alî Jâd al-Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî Murûnatuhû wa

Tathawwuruhu (Qâhirah: Mathba‘ah al-Mushhaf al-Syarîf bi al-Azhar, 1995),

hlm. 24-72.

Fiqh Minoritas saat ini, yang hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat eksoterik agama dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Ada hal lain yang tidak kalah penting, yaitu masalah yang bersifat esoterik, ruhaniah, batin, teologis. Masyarakat minoritas muslim membutuhkan fiqh khusus yang merangkum keseluruhan masalah keagamaan. Inilah yang menjadi substansi fiqh al-aqalliyyât.

Kedua, masyarakat minoritas muslim adalah bagian dari umat

Islam keseluruhan. Mereka sama dalam hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban keberagamaan. Hanya saja, mereka memiliki perbedaan dengan mayoritas umat Islam dalam hal ketundukan pada undang-undang negara di mana mereka ber-tempat tinggal, yang nota bene bukan negara Islam atau negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Karena itulah diperlukan perhatian khusus atas mereka dalam hal aplikasi hukum Islam sehingga tidak berbenturan dengan kenyataan hidup mereka.

Ketiga, walaupun fiqh al-aqalliyyât merupakan bagian dari fiqh

secara umum, ia memiliki karakter yang berbeda dengan fiqh pada umumnya. Fuqaha masa lalu yang telah menghasilkan karya-karya fiqh yang banyak dikenal saat ini, tidak pernah membayangkan kemungkinan percampuran bangsa-bangsa seperti saat ini melalui gelombang imigrasi yang terjadi karena jarak antarnegara semakin dekat, dengan bantuan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, diperlukan suatu jenis fiqh khusus bagi mereka yang menjadi minoritas di negara-negara Barat. Muncul-nya fiqh minoritas ini sesungguhMuncul-nya merupakan hal yang biasa ketika munculnya fiqh kedokteran, fiqh ekonomi, dan fiqh politik juga dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena memiliki karakter yang khusus. Keempat, eksistensi Islam di Barat menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan dakwah Islam sebagai rahmat universal. Menegasikannya, meremehkannya atau bahkan tidak mempedulikan eksistensinya adalah bagian dari pelecehan terhadap kemuliaan Islam. Karena itu, pertanyaan tentang

tidaknya tinggal di negara kafir menjadi tidak relevan lagi untuk dipertanyakan.21

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa di satu sisi, fiqh

al-aqalliyyât ini merupakan fiqh dalam format khusus yang

diperuntukkan bagi masyarakat minoritas muslim di Barat. Fiqh ini mempertimbangkan hubungan antara ajaran agama dan kondisi masyarakat/lokasi di mana mereka tinggal, sehingga memiliki karakter dan produk hukum yang mungkin saja tidak bisa diterapkan pada komunitas di lokasi yang berbeda. Fiqh ini sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk memberikan previlege (keistimewaan) atau konsesi pada masyarakat muslim minoritas, tetapi dalam rangka menempatkan minoritas muslim sebagai model representatif dari masyarakat muslim di negara-negara tempat mereka tinggal.22

Pada sisi yang lain, fiqh al-aqalliyyât menjadi bentuk fiqh yang kandungannya meluas melebihi bentuk fiqh yang saat ini banyak dikenal dan dipahami. Fiqh dalam pemahaman kontem-porer adalah seperangkat aturan hukum Islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh, maupun mubah. Ranahnya jelas adalah ranah hukum murni. Dalam perkembangan studi-studi keislaman, dipisahkan antara wilayah fiqh, tawhîd (teologi), dan akhlâq (etika). Sementara itu, fiqh al-aqalliyyât tidak hanya mem-bicarakan masalah hukum murni, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan tawhîd (teologi) dan akhlâq (etika) yang semuanya dihadapi oleh masyarakat muslim minoritas di Barat. Karena itulah Thâhâ Jâbir al-'Alwânî menyatakan bahwa definisi

fiqh al-aqalliyyât sebenarnya mengikuti definisi fiqh yang

ber-kembang pada masa awal, yaitu fiqh yang bermakna pemahaman

21Yûsuf al-Qaradhâwî, Fî Fiqh al-Aqalliyyât al-Muslimah, hlm. 30-34.

22Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, Toward a Fiqh for Minorities, hlm. 3-4.

Fiqh Minoritas atas semua ajaran agama, seperti yang dipahami oleh Abu Hanîfah sebagai fiqh makro (al-Fiqh al-Akbar) yang menjadi nama salah satu karyanya yang isinya mencakup semua unsur ajaran agama.23 Dari penjelasan tentang konsepsi fiqh di atas, tampak jelas adanya perbedaan makna dan cakupan materi antara fiqh klasik dan fiqh al-aqalliyyât. Pertama adalah kembalinya fiqh pada makna asalnya, pada awal-awal masa kodifikasi yang memiliki cakupan luas, tidak hanya terbatas pada masalah hukum murni, tetapi juga seluruh dimensi keislaman lainnya. Perbedaan kedua adalah piranti metodologisnya yang berupa ijtihad dengan dasar-dasar baru, yaitu landasan maqâshid al-syarî’ah sebagai pen-dekatannya.

Fiqh al-aqalliyyât didesain untuk memberikan panduan

tentang hal-hal yang dilarang dan yang boleh bagi minoritas muslim yang tinggal di negara Barat, yang tidak bersistem pemerintahan Islami.24 Fiqh pada masa awal memang identik dengan syari’ah, meliputi segala dimensi ajaran agama. Pada perkembangannya, fiqh hanya berisikan hukum-hukum Islam murni, dengan tidak memasukkan bidang aqidah yang dianggap sebagai wilayah kajian teologis, dan akhlak yang berada pada wilayah kajian moral/etika. Perkembangan fiqh pada masa berikutnya terpengaruh oleh trend spesialisasi yang merupakan jargon profesionalisme di berbagai bidang sehingga melahirkan pembidangan yang lebih spesifik tentang wilayah kajian fiqh, seperti fiqh ibadah, fiqh mu’amalah, fiqh munakahat, fiqh siyasah,

23Ibid., hlm. 3; Taha Jabir al-‘Alwani, Maqâshid al-Syarî’ah, hlm. 97.

24Pemaknaan fiqh secara sempit dan pembatasan (atau keterbatasan?) aplikasinya pada bidang-bidang tertentu yang bersifat privat dan bukan publik pada interval waktu yang sangat lama, dibahas dengan baik oleh Bernard G. Weiss dalam bukunya: The Spirit of Islamic Law (Athen and London: Georgia University Press, 1998), hlm. 172-186.

dan lain sebagainya.25 Fiqh aqalliyyât sebagai trend kontemporer kembali memadukan semua bidang itu.

Syaikh Jâd al-Haq ‘Alî Jâd al-Haq, mantan Syaikh al-Azhar Mesir, secara detail menjelaskan tentang perkembangan fiqh secara umum ke dalam empat fase besar: fase pertama adalah masa Nabi Muhammad yang berakhir pada tahun 11 H; fase kedua adalah masa sahabat dan para pembesar tâbi‘în mulai wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 M (abad ke-1 H) sampai dengan Oktober 749 M (132 H) atau 1/3 pertama abad ke-2 H; fase ketiga adalah tâbi‘ al-tâbi‘în dan para pengikutnya mulai sepertiga pertama abad ke-2 H sampai dengan pertengahan abad ke-4, masa ketika madzhab-madzhab besar berdiri dengan tradisi kodifikasi fiqhnya; fase terakhir adalah fase dominasi taqlîd mulai abad ke-4 H sampai saat ini.26 Pada fase pertama, kedua, dan bagian awal fase ketiga, fiqh menjadi istilah umum untuk semua pemahaman keagamaan, dan baru pada masa berikutnya ia menjadi istilah khusus untuk hukum Islam yang mulai dipisahkan dalam pem-bidangannya dari tauhid dan akhlak. Pada fase taqlid, ketunduk-annya pada karya fiqh era formatif tidak banyak melahirkan yang baru kecuali penafsiran dan pensyarahan atas karya yang sudah

25Pemaknaan fiqh yang terpisah dengan aqidah, kalam, dan akhlak tasawuf oleh sebagian kelompok dianggap sebagai sebuah kemajuan karena mengikuti pola spesifikasi dan profesionalisme, tetapi oleh kelompok lainnya ditentang karena telah membuat dikotomi dengan border line yang tebal sehingga Islam tidak bisa lagi didekati secara utuh.

26Jâd al-Haq‘Alî Jâd al-Haq, Qadhâyâ Islâmiyyah Mu‘âshirah al-Fiqh al-Islâmî

Murûnatuhû wa Tathawwuruhu (Qâhirah: Mathba‘ah Mushhaf Syarîf bi

al-Azhar, 1995), hlm. 17; Bandingkan dengan periodisasi perkembangan fiqh menurut M. Hashim Kamali, “Fiqh and Adaptation to Social Reality,” dalam The

Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1 January, 1996, hlm. 66-68. Menurut M.

Hashim Kamali, ada lima periode besar: periode Nabi (610-632 M), periode sahabat (632-661 M), periode tabi’in yang dimulai dengan naiknya dinasti Umayyah dan berakhir dengan runtuhnya dinasti tersebut (661-750 M), periode formasi madzhab-madzhab fiqh, dan periode taqlîd yang dimulai sekitar pertengahan abad ke -4 H.

Fiqh Minoritas mapan dengan pembidangan permasalahan keislaman yang lebih mendetail lagi.

Ketika fiqh harus berhadapan dengan realitas zaman yang berbeda, yakni masa modern dengan konteks Barat, muncullah

fiqh al-aqalliyyât dengan semangat untuk menghidupkan ijtihad

model baru dengan format fiqh yang berbeda dari mainstream perkembangan fiqh akhir-akhir ini, karena upayanya untuk mencakup semua permasalahan keislaman dengan kiblat utama nilai-nilai universal Islam yang mengacu pada upaya merealisasi-kan kemaslahatan.

Melihat materi permasalahan yang dibahas dalam fiqh

al-aqalliyyât yang relatif baru dan dalam konteks yang belum dibahas

oleh fiqh klasik, sesungguhnya ia bisa diposisikan sebagai bagian dari fiqh al-nawâzil, yaitu fiqh realitas baru yang belum dibahas pada masa-masa perkembangan klasik hukum Islam.27 Fiqh

al-aqalliyyât menjadi bagian dari fiqh ini karena ia membahas

hal-hal baru dalam konteks khusus, yakni hukum Islam di

negara-27Nawâzil secara etimologis merupakan bentuk plural dari nâzilah yang memiliki

makna musibah (kejadian) luar biasa yang terjadi pada suatu masa dalam kehidupan manusia. Lihat, Hasan al-Karamî, al-Hâdi ilâ Lughat al-’Arab, jilid 4 (Lubnân: Dâr Lubnân li Thaba’ah wa Nashr, 1412), hlm. 284. Secara terminologis,

al-nawâzil adalah kejadian-kejadian atau perisiwa yang membutuhkan fatwa atau

ijtihad baru sebagai upaya penentuan status hukum syar’î-nya, baik kejadian itu berkaitan dengan hukum, akhlak maupun aqidah yang terjadi dalam peristiwa keseharian manusia. Ragam definisi tentang hal ini berikut juga penjelasan tentang prinsip-prinsipnya dapat dilihat dalam Musfir bin ‘Alî bin Muhammad al-Qathânî dalam karyanya: Manhaj Istinbâth Ahkâm al-Nawâzil al-Fiqhiyyah al-Mu‘âshirah

Dirâsat Ta’shîliyyat Tathbîqiyyat (Jeddah: Dâr al-Andalus al-Khadrâ’ li al-Nashr

wa al-Tawzî‘, 2003), hlm. 84-111. Dalam madzhab Hanafiyyah, nawâzil secara khusus dimaksudkan sebagai fatwa-fatwa atau kejadian-kejadian baru yang ketentuan hukumnya dibuat oleh ulama-ulama muta’akhkhirîn ketika ada permintaan, sementara mereka tidak mendapatkan rujukan riwayat dari ulama madzhab sebelumnya. Lihat, Muhammad bin Husayn bin Hasan al-Jîzânî, “al-Ijtihâd fî al-Nawâzil,” dalam al-‘Adl, No. 19, Rajab 1424 H, hlm. 14-15. Lihat pula Nuh Ha Mim Keller, “Which of the Four Orthodox Madzhabs has the Most Developed Fiqh for Muslims Living as Minorities?” dalam http://www. masud.co.uk/ISLAM/ nuh/fiqh.htm. Akses tanggal 23 Mei 2009.

negara Barat. Dalam membahas hal-hal baru inilah maka metodo-logi istinbâth (penetapan) hukumnya juga membutuhkan sesuatu yang baru, yakni pendekatan interdisipliner sehingga dihasilkan fatwa hukum yang berorientasi pada maqâshid al-syarî’ah.

D. Urgensi Fiqh al-Aqalliyyât bagi Masyarakat Minoritas