• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT MINORITAS MUSLIM DI BARAT DAN

D. Problematika Hukum Islam Masyarakat Minoritas Muslim di Barat

2. Sikap Pemerintahan Amerika dan Inggris

Fiqh Minoritas beberapa problematika hukum yang telah diberikan fatwa oleh ECFR, mulai dari hukum keluarga, seperti nikah, talak, dan rujuk, sampai pada masalah ekonomi, seperti masalah asuransi, bunga bank, dan sebagainya. Walaupun hukum keluarga dan masalah ekonomi telah banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh, baik yang klasik maupun yang kontemporer, konteks masalah inilah yang memungkinkan fatwa fiqh al-aqalliyyât berbeda dengan fiqh pada umumnya.

Problematika hukum yang dihadapi oleh masyarakat muslim di Barat memang unik dan berbeda dengan masalah hukum yang muncul di negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Ia bersifat unik karena permasalahan hukumnya belum pernah muncul di negara-negara Islam atau negara muslim dan bersifat berbeda karena perbedaan konteks sosial, budaya, politik, dan hukum dibandingkan dengan negara-negara Islam atau negara muslim. Karena itu, masyarakat muslim di Barat berhak mendapat-kan atensi khusus dari pemerintah atau negara dalam upaya menggapai hak mereka sebagai warga negara dan juga berhak mendapatkan perhatian khusus serta solusi yang bijak dari para ulama dan sarjana muslim ketika berkehendak memberikan fatwa dan panduan hukum.

2. Sikap Pemerintahan Amerika dan Inggris

Para sarjana yang menggeluti kajian tentang muslim di Barat akan sepakat bahwa melalui tuntutan masyarakat minoritas muslim, rekonsiderasi peranan agama dalam domain kebijakan publik mulai mendapatkan perhatian besar dari negara di Eropa.103 Kenyataan serupa juga telah terjadi di Amerika; Islam dan masyarakat muslim menjadi wacana publik dan kajian khusus

103 Eren Tatari, “Theories of the State Accommodation of Islamic Religious Practices in Western Europe,” dalam Journal of Ethnic and Migration Studies, Vol. 35, No. 2, Februari 2009, hlm. 271.

pemerintah yang berkehendak membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kelompok minoritas, termasuk minoritas muslim, dan dunia Islam secara umum. Dengan demikian, diskursus tentang akomodasi negara-negara Barat atas masyarakat minoritas muslim menjadi kajian yang marak dan menarik.

Eren Tatari menyatakan bahwa ada empat teori yang diguna-kan para cendekiawan dalam menjelasdiguna-kan mengapa dan bagaimana akomodasi negara atas masyarakat minoritas muslim tersebut: (1) Resource mobilisation theory (teori mobilisasi sumber daya), yang menyatakan bahwa sumber daya politik masyarakat muslim menentukan tingkat konsesi (pengakuan) yang dihasilkan; (2)

Political opportunity structure theory (teori struktur kesempatan

politik), yang menekankan pengaruh institusi-institusi politik atas kapasitas aktivisme politik masing-masing kelompok; (3)

Ideo-logical theories (teori ideologis), yang menegaskan bahwa yang

paling utama menentukan respons pemerintah adalah cita-cita nasional tentang kewarganegaraan, kebangsaan, dan asimilasi; dan (4) Church-state relations theory (teori hubungan gereja-negara), yang membantu menjelaskan relasi antara negara dan masyarakat minoritas muslim.104

Dalam realitasnya, keempat teori tersebut saling berkaitan dan melengkapi, karena faktor-faktor sosial, politik, ideologis, dan budaya yang dikandung dalam teori-teori tersebut memiliki peranan penting dalam setiap pembuatan kebijakan publik, ter-utama kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat muslim minoritas di mana isu-isu kebijakan yang paling utama biasanya berkaitan dengan masalah politik (misalnya kewarganegaraan/ naturalisasi, representasi politik), ekonomi (pengangguran, kebijakan kesejahteraan), sosial (stigmatisasi sosial dan

diskri-104 Ibid., hlm. 271-272.

Fiqh Minoritas minasi), dan agama (pemakaman Islam, pakaian Islami).105 Problematika yang berkaitan dengan agama, khususnya hukum Islam, sangat banyak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Amerika dan Inggris sebenarnya telah berupaya mencari solusi terhadap problematika hukum Islam di atas sebagai konsekuensi dari kewajiban negara memproteksi hak-hak minoritas. Namun demikian, karena persoalan aplikasi hukum Islam sangat kompleks dari sisi jumlah dan macamnya, maka ia membutuhkan kajian dan kebijakan yang komprehensif sehingga tidak melahirkan konflik baru dalam kehidupan mereka.

Di Amerika, posisi Islam secara normatif adalah sama dengan agama-agama lainnya. Dalam amandemen pertama terhadap konstitusi Amerika yang merupakan bagian dari United States Bill

of Rights dinyatakan “Congress shall make no law respecting an establishment of religion or prohibiting the free exercise thereof”

(Kongres tidak akan membuat hukum yang berkenaan dengan pendirian agama atau melarang pelaksanaannya). Klausa hukum ini memang sangat terbuka terhadap berbagai interpretasi,106 bahkan melahirkan perdebatan panjang ketika dikonfirmasi dengan realitas peraturan-peraturan yang secara hierarkis berada di bawah amandemen tersebut di atas.107 Tetapi, bagaimanapun, klausa tersebut menjadi landasan normatif tertinggi kemerdekaan dan kebebasan beragama di Amerika.

105 Ibid., hlm. 272.

106 Asim Jusic, “Economic Analysis of the Legal Regulation of Religion in the US and Germany,” makalah pada Central European University, dapat diakses di www.papers.ssrn.com/sol3/Delivery.cfm/SSRN_ID1031680_code693708. pdf?abstractid=1031680&mirid=1; penjelasan lebih detail tentang makna konstitusi ini dijelaskan dengan baik dalam situs wikipedia, bisa didapatkan di h t t p : / / e n . w i k i p e d i a . o r g / w i k i / F i r s t _ A m e n d m e n t _ t o _ the_United_States_Constitution.

107 Lihat, Imad-ad-Dean Ahmad, “American and Muslim Perspectives on Freedom of Religion,” dalam University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, Vol. 8, No. 3, Mei 2006.

Dalam perkembangannya, kebijakan Amerika terhadap Islam dan muslim yang tinggal di Amerika memang senantiasa mengalami pasang surut sejalan dengan faktor sosial-politik yang terjadi. Sebut saja misalnya tentang lahirnya Anti-terrorism and

Effective Death Penalty Act (Undang-undang Anti-terorisme dan

Hukuman Mati) atau yang lebih dikenal dengan Secret Evidence

Act pada masa pemerintahan Clinton, US Patriot Act

(Undang-undang Patriot Amerika Serikat) yang ditandatangani George W. Bush Jr. pada tanggal 26 Oktober 2001 yang kemudian diperbarui dengan Patriot Improvement and Reauthorization Act Of 2005 (Undang-undang tahun 2005 tentang Pengembangan dan Reotorisasi Patriot) yang ditandatangani Bush pada tanggal 9 Maret 2006, merupakan undang-undang yang dalam satu sisi menempatkan muslim di Amerika sebagai pihak yang “dicurigai”, tapi pada sisi lain sebenarnya tetap memberikan ruang bagi muslim Amerika untuk menunjukkan sisi progresif Islam.108 Ruang untuk

hukum Islam sebagai bagian dari praktik keberagamaan juga memiliki tempat yang dilindungi kebebasannya oleh negara.

Pada tataran praktik, Amerika mendukung peran sarjana muslim Amerika yang memiliki visi moderat dalam memahami Islam yang diharapkan mampu meminimalisir kesenjangan antara Amerika dan Islam. Diakomodasinya sarjana seperti Khaled Abou El Fadl, M. Muqtedar Khan, Thâhâ Jâbir al-'Alwânî, dan beberapa sarjana lainnya dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan Islam di Amerika adalah suatu bukti atas perhatian pemerintahan Amerika terhadap Islam. Meskipun demikian, hal ini tidak menegasikan masih adanya tensi konflik antara “ajaran” Islam dan nilai-nilai politik dan sosial budaya yang dianut oleh

108 Lihat, Mohamed Anshary, “The Future of Islam in North America The Central Importance of Education,” dalam http://www.readingislam.com/servlet/ Satellite?c=Article_C&cid=1153698300176& pagename=Zone-English-Discover_Islam%2FDIELayout, diakses tanggal 20 Maret 2009.

Fiqh Minoritas mayoritas penduduk Amerika. Inilah yang menjadi tantangan sarjana muslim kontemporer untuk menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat. Sementara itu, dalam konteks negara Inggris dapat dikatakan bahwa upaya-upaya pemerintah Inggris sebenarnya telah dimulai tahun 1764 ketika pengadilan Inggris dalam kasus R v. Morgan memperkenankan seorang muslim bersumpah dengan mengguna-kan al-Qur’ân ketika memberimengguna-kan kesaksian di pengadilan. Upaya lainnya adalah undang-undang penyembelihan ternak (Slaughter

of Poultry Act 1967, s. 1 dan Slaughterhouses Act 1974, s. 36)

yang memperkenankan cara penyembelihan yang Islami dalam upaya memenuhi permintaan daging halal (halal meat) bagi masyarakat minoritas muslim.109

Upaya memberikan ruang bagi minoritas muslim untuk menjalankan ajaran agama terus berjalan seiring dengan tuntutan sosial dan kesadaran politis pemerintah di satu pihak dan masyarakat minoritas muslim di pihak lain. Pada tahun 2000, misalnya, Uni Eropa membuat Charter of Fundamental Rights yang ditandatangani di Nice, yang berisikan komitmen Uni Eropa untuk melindungi hak-hak asasi, termasuk kebebasan beragama dan hak-hak kelompok minoritas.110 Lahirnya Race Directive

109 Masalah halal food ini layak untuk mendapatkan regulasi khusus karena sampai saat ini trend kebutuhan atas makanan halal ini terus naik secara signifikan. Penelitian yang dilakukan di Perancis menunjukkan trend ini secara positif sebagai potret dari fenomena yang sama di wilayah lainnya di Barat. Lihat, Karijn Bonne, Iris Vermeir, Florence Bergeaud-Blackler, Wim Verbeke, “Determinants of Halal Meat Consumption in France,” dalam British Food Journal, Vol. 109, No. 5, 2007, hlm. 367-386.

110 Sara Silvestri, “Muslim Institutions and Political Mobilization,” dalam Samir Amghar et.al (eds.), European Islam Challenges for Public Policy and Society (Brussels: Centre for European Policy Studies, 2007), hlm. 175. Lebih lengkapnya tentang data ini baca Sara Silvestri “EU Relations with Islam in the Context of the EMP’s Cultural Dialogue”, dalam Mediterranean Politics, Vol. 10, No. 3, November, (2005), dan Sara Silvestri, “Europe and Political Islam: Encounters of the 20’th dan 21’st Century”, dalam Tahir Abbas (ed.) Islamic Political

(2000/43/EC) yang menjamin non-diskriminasi atas dasar ras dalam bidang pekerjaan dan provisi harta pribadi dan harta sosial, dan juga The Framework Directive (2000/78/EC) yang men-syaratkan tiadanya diskriminasi atas dasar agama dalam bidang pekerjaan dan pelatihan memberikan landasan normatif lainnya atas eksistensi minoritas muslim.111 Di Inggris, peran negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan saat ini telah ditangani oleh lembaga khusus, yakni Ministerial Department of

Commu-nities and Local Government. Sebelumnya, urusan keagamaan

disatukan dengan urusan ras dan etnis dan ditangani oleh The

Office of Race Relations.112

Dengan demikian, secara normatif hak hidup mereka dijamin dan dilindungi, termasuk hak beribadah dan menjalankan agamanya. Hanya saja, dalam tataran praktis, upaya pengakuan atas eksistensi hukum Islam belum kunjung datang sampai saat ini, dengan alasan bahwa undang-undang proteksi anti-diskri-minasi kelompok minoritas baru berlaku untuk minoritas etnis, dan bukan minoritas agama.113

Undang-undang yang bernama Race Relations Acts ini dianggap melahirkan ketidakadilan ketika dalam realitanya Inggris mengakui Sikh, Yahudi, Gypsy sebagai etnis sehingga hukum ism: A European Comparative Perspective (Edinburg: Edinburgh University Press,

2007), hlm. 57-70.

111 Maleiha Malik, “Accomodating Muslims in Europe Opportunities for Minority Fiqh,” dalam ISIM NEWSLETTER, No. 13, Desember 2003, hlm. 10.

112 Bernard Godard, “Official Recognition of Islam,” dalam Samir Amghar et.al (eds.), European Islam Challenges, hlm. 195.

113 Inggris sebenarnya telah mengakui secara de facto dan de jure bahwa negara ini merupakan negara multi-etnik, multi-religius, multi-komunal, multi-kulturan, dan multi-rasial. Undang-undang tentang Ras (Race Relations Acts) tahun 1965, 1968, dan 1976 menjadi bukti atas hal ini. Sayangnya, minoritas muslim di Inggris telah dikonstruk sebagai kelompok budaya dan bukan sebagai kelompok etnis sehingga minoritas muslim tidak masuk dalam kategori ras yang mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur oleh undang-undang tersebut.

Fiqh Minoritas “etnis”-nya diakui dan berlaku bagi mereka, sementara hukum Islam secara resmi tidak diakui keberlakuannya. Karena didesak oleh kepentingan lahirnya hukum Islam untuk menyelesaikan masalah keberagamaan masyarakat minoritas muslim, maka muncullah pengadilan Syari’ah informal yang menyelesaikan masalah atau sengketa hukum personal yang terjadi di kalangan mereka atas dasar hukum Islam, karena memang belum ada pengakuan pemerintah atas hukum kekeluargaan Islam.114