• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SOSIAL BUDAYA

B. Pengaruh Budaya Daerah

1. Budaya Jawa

a. Pengertian Suku Jawa

Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

b. Sejarah Suku Jawa

Budaya Jawa terkenal dengan ketabahan yang tinggi dan bahkan juga ulet, hal ini dikalangan suku lain cenderung seperti kepasrahan yang fatalis karena dipengaruhi oleh

kultur “nrimo”, bahkan untuk meniadakan kesombongan mereka memakai istilah “ojo dumeh” (jangan mentang-mentang). Bila menghormati orang yang dituakan lalu

mengangkat seluruh jasa-jasanya dan mengubur dalam-dalam segala kesalahannya, maka

mereka memakai istilah “Mikul dhuwur, menden jero” (memikul tinggi-tinggi dan

memendam dalam-dalam). Untuk menguatkan kebersamaan mereka memakai istilah

“mangan ora mangan pokok e ngumpul” (makan ndak makan pokoknya kumpul). Dan

dalam menetapkan kehati-hatian pekerjaan mereka memakai istilah “alon-alon waton

kelakon” (pelan-pelan asala tercapai).

Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenangan bertindak mereka memberikan

istilah “ngono ya ngono aja ngono”, hal ini sejalan dengan usaha bertata krama walaupun

kepada mereka yang dikalahkan dengan istilah digdaya tanpa aji-aji, menang tanpo ngasorake. Dalam pemerintahan lambatnya gerak pengambilan keputusan pemerintah

“alon-alon waton kelakon”, sulitnya mengangkat kasus dan terjadinya pengkultur individu “mikul dhuwur menden jero”, dan toleransinya terhadap berbagai kekeliruan “ngono ya ngono aja ngono” adalah akibat menyebar luasnya perilaku yang berangkat dari adat

istiadat jawa yang diuraikan tersebut di atas.

c. Letak Geografis Suku Jawa

Suku jawa merupakan suku yang terbesar di Indonesia, yang meliputi dari Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tenggah, Yogyakarta. Indonesia sebenarnya terkenal dengan etnis jawa yang sangat kental dengan kebudayaannya seperti letak geografis, bahasa, kepercayaan, sifat, dan seni. Letak geografis pulau jawa 132.000 km², berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Jawa Tengah di timur, Samudera Hindia di selatan, serta Banten dan DKI Jakarta di barat.

Pulau jawa merupakan pulau yang sangat padat di Indonesia Penduduk di suku jawa ini sangat kontras. Di survey bangsa Indonesia kurang lebih hanya 12% orang jawa menggunakan bahasa Indonesia sebagian bahasa mereka sehari-hari sekitar 18% menggunakan bahasa jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa jawa saja. Dalam bahasa jawa yang sebenarnya memiliki beberapa aturan perbedaan kosa kata dan intonasi setiap berbicara dengan lawan bicara. Dan tata

cara bicara orang suku jawa sangat lembut dan pelan. Maka dari itu suku jawa sering dianggap oleh kalangan luas sebagai suku yang lemah lembut.

Dalam kepercayaan suku jawa sangat kental dengan agama Islam. Tapi ada juga yang memeluk agama lain selain agama Islam, seperti Protestan, Keristen, Buddha, Hindu dan Katolik. Tapi ada juga orang suku jawa yang mempercayai agama Kejawen. Kejawen sebagai kata benda yang memiliki arti di dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan jawa. Kejawen merupakan sebuah kepercayaan yang dianut di pulai Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.

Kesenian pulau jawa sangat beragam, seperti ludruk, wayang kulit, wayang orang, tari jaipong, dll. Biasanya kesenian ini di pentaskan pada acara tertentu seperti acara pernikahan dan adat. Tapi dengan berjalannya waktu kesenian itu harus kita lestarikan meskipun berbagai kesenian dari Negara lain yang masuk ke Negara kita. Kita sebagai warga Negara Indonesia harus menjaga peninggalan nenek moyang kita dengan baik.

d. Sistem Kekerabatan Jawa

Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki diibaratkan sa pikul yang lebih besar dari sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.

Silsilah keturunan jawa: 1. Anak 2. Putu 3. Buyut 4. Canggah 5. Wareng 6. Udheg- udheg 7. Gantung siwur 8. Gropak senthe 9. Kandhang bubrah 10. Debog bosok

11. Galih asem

Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8 dan seterusnya merupakan keluarga jauh. Selain itu juga di kenal Pa jipat lima/ pancer sedulur papt lima pancer yang merupakan saudara orang Jawa saat dilahirkan. Sedulu papat lima pancer ini diambil dari Kitab Kidungan Purwajati seratane , yang dimulai dari tembang Dhandanggula yaitu :Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang

Ing tembang dhuwur iku disebutake yen ” Sedulur Papat ” iku Marmati, Kawah, Ari-Ari,

lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi?. Marmati iku tegese Samar Mati ! lire yen wong wadon pas nggarbini ( hamil ) iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul Metune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah ( Getih ) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser (Tali Plasenta) iku umume PUPAK yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen

”SEDULUR PAPAT LIMA PANCER”. Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut

Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.

Yang intinya sedulur papat tadi melambangkan 4 macam nafsu yang dimiliki manusia :

a. Macan melambangkan nafsu amarah

c. Kethek(monyet) melambangkan nafsu aluamah (makan tidur) d. Merak melambangkan nafsu mutmainah (kebaikan)

Artinya setiap manusia harus bisa mengendalikan keempat nafsu yang dibawanya sejak lahir. Apabila seorang manusia tidak dapat mengendalikannya maka akan hancurlah hidupnya dan bila nafsu tersebut terkendali dengan baik maka akan tercipta keselarasan atau harmoni.

e. Bahasa Suku Jawa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

f. Kepercayaan Suku Jawa

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam bentuk dewa dewi seperti Dewi Sri, Ratu Pantai Selatan, roh-roh leluhur, atau yang lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan

budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.

Selain itu, masyarkat jawa juga mempunyai tradisi upacara adat dalam setiap kegiatan – kegian besar, seperti :

o Kematian ( Mendhak )

o Upacara nyewu dina (memohon pengampunan kepada Tuhan )

o Upacara Brobosan (penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia )

o Upacara-upacara sebelum pernikahan (Siraman, Upacara Ngerik, Upacara Midodareni, Upacara diluar kamar pelaminan, Srah-srahan atau Peningsetan, Nyantri, Upacara Panggih atau Temu, Balangan suruh Penganten, dll )

o Upacara untuk kelahiran bayi, seperti :

 Wahyu Tumurun

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu mendapat.

 Sido Asih

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai sifat belas kasih

 Sidomukti

Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena kewibawaannya.

 Truntum

Maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun (tumaruntum) pada sang bayi.

 Sidoluhur

Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan berbudi pekerti luhur.

 Parangkusumo

Maknanya agar anak memiliki kecerdasan bagai tajamnya parang dan memiliki ketangkasan bagai parang yang sedang dimainkan pesilat tangguh.

 Semen romo

Maknanya agar anak memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta pada rakyatnya.

Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja yang bergaul dengannya.

 Cakar ayam

Maknanya agar anak pandai mencari rezeki bagai ayam yang mencari makan dengan cakarnya karena rasa tanggung jawab atas kehidupan anak-anaknya, sehingga kebutuhan hidupnya tercukupi, syukur bisa kaya dan berlebihan.

 Grompol

Maknanya semoga keluarga tetap bersatu, tidak bercerai-berai akibat ketidakharmonisan keuarga (nggrompol : berkumpul).

 Lasem

Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak senantiasa bertakwa pada Tuhan YME.

 Dringin

Bermotif garis horisontal, bermakna semoga anak dapat bergaul, bermasyarakat, dan berguna antar sesama.

g. Seni Suku Jawa

Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa. Contoh kesenian yang berkembang di mastarakat jawa adalah :

a. Topeng (topeng madura, topeng malang, topeng dongkrek) b. Angklung

c. Bali-balian

d. Wayang ( kuli, klitik, purwo, godog, golek, dll )

e. Tarian (tari topeng kuncaran, tari merak, tari serimpi, tari blambangan cakil, tari remong, reog ponorogo dan jaipong )

h. Rumah Tradisional Suku Jawa

Joglo merupakan rumah adat tradisional suku jawa. Ada bermacam-macam jenis rumah jonglo diantaranya joglo limas, joglo sinom, joglo pangrawit dan sebagainya. Rumah jenis joglo memiliki struktur bangunan yang unik dimana biasanya rumah tersebut memiliki dua bagian utama yaitu bagian pendapa yang biasanya ukuranya sangat luas, ruangan ini biasanya dipergunakan sebagai tempat meneriam tamu maupun tempat untuk musyawarah. Sedangkan bagian kedua adalah bagian dalam dari rumah joglo yang biasanya bersifat tertutup untuk orang luar karena merupakan ruang privasi yang berupa kamar dapur dan sebagainya. Rumah joglo pada masa lampau biasanya hanya dimiliki oleh para pembesar atau orang-orang kaya saja.

Susunan Bangunan dan Ruangan dari Rumah Joglo

Pada dasarnya rumah jenis ini memiiki bentuk dasar berupa persegi panjang atau bujur sangkar. Pembangunan rumah joglo ini sama sekali tidak menggunakan paku, hal ini berbeda dengan pembangunan joglo yang kita jumpai pada jaman modern sekarang ini. Pembangunan rumah ini dulunya hanya menggunakan system knock down, sehingga setiap bagian bisa saling berkait dan menguatkan. Kita dapat menjumpai system ini pada rumah-rumah yang memiliki struktur bangunan lama.

Pada setiap rumah joglo selalu memiliki empat pilar pada ruangan utama atau pendoponya yang biasanya disebut dengan nama soko guru, inilah yang merupakan sebuah ciri unik dari pembangunan rumah tersebut yang tidak dimiliki oleh rumah jenis yang lain.

Pada arsitektur yang terdapat pada bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan hanya sekadar sebagai pemahaman seni konstruksi rumah, namun juga merupakan refleksi atau pencerminan dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa sebuah keindahan, bahkan sikap religiusitasnya ikut terefleksikan dalam seni arsitektur rumah dengan gaya seperti ini.

Pada bagian pintu masuk rumah joglo memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di bagian tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan disamping kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna atau arti simbolis bahwa kupu tarung yang berada di bagian tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di bagian samping kanan dan samping kiri untuk besan.

Pada ruang bagian dalam dari rumah joglo yang disebut gedongan pada umumnya dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam untuk memimpin salat yang umumnya dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan oleh

pemilik rumah joglo tersebut. Selain itu gedongan biasanya juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dan dijadikan sebagai ruang tidur pengantin serta bagi anak-anaknya.

Ruang depan dari rumah joglo yang biasanya disebut juga dengan nama jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, pada bagian sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk rumah tersebut terdapat satu tiang di bagian tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder. Selain merupakan simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga memiliki fungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan para penghuni rumah joglo tersebut tentang keesaan Tuhan.

i. Kejawen Pakaian Khas Jawa Yang Masih Lestari

Aneka ragam suku budaya yang ada di Indonesia memberikan corak terhadap jenis pakaian setiap sukunya salah satunya pakaian kahs Jawa memberikan keunikan serta keindahan yang sanagt menarik untuk dikenakan.

Kejawen sudah kenal sejak dahulu hingga sekarang kejawen merupakan jenis pakaian khas Jawa, kerajaan Demak, dan kerajaan Mataram. Pakaian Kejawen terdiri dari celana panji-panji (cinden), baju surjan, kebayak, teni atau blenggen, iket blankon, kemben, kuluk (untuk upacara raja dengan menteri-menterinya) dan lain sebagainya.

Namun pakaian tradisional khas laki-laki Jawa sehari-hari adalah Surjan yang dilengkapi dengan blangkon dan bebetan. Sedangkan untuk putri menggunakan Kebaya atau Jaritan.

Jenis pakaian Mesiran, kebanyakan digunakan untuk menggambarkan suasana asal dari pemakai. Pakaian ini berasal dari Negara Timur Tengah dan masih dipergunakan, khususnya dalam acara-acara ketoprak. Sedangkan pakaian yang terbuat dari kain bludru yang dibordir terdiri dari celana panjang gombyor, kemeja panjang, rumpai, jubah, udel, simbar.

Basahan merupakan jenis pakaian tradisional gabungan antara pakaian Kejawen dengan Mesiran. Biasanya dipegunakan oleh para wali atau dapat dilihat saat pertunjukan tarian cerita Menak. Gedhog, pakaian terdiri dari tropong, jamang dan sumping, kelat bahu, dan lain sebagainya.

j. Makanan Tradisional Jawa

Salah satu makanan khas Jawa, jenang, tidak lepas dari kebudayaan dan kepercayaan orang Jawa. Beberapa upacara selametan yang digelar keluarga berlatar belakang Jawa

selalu menggunakan sajian atau sesajen jenang. “Orang mau melahirkan, atau tujuh bulanan, syukurannya pakai jenang. Dibagikan ke para tetangga,” kata salah satu peserta

Festival Jenang, Muryati, saat ditemui Espos di stannya di Ngarsopuro, Solo.

2. Budaya Minangkabau