• Tidak ada hasil yang ditemukan

ST

AND

AR 1

2. Penetapan petugas untuk mekanisme koordinasi:

• Pengalokasian sumber-sumber daya sangatlah penting untuk koordinasi dan pengelolaan informasi. Mekanisme koordinasi dalam kondisi darurat berskala besar mungkin membutuhkan setidaknya satu koordinator khusus di tingkat nasional dan satu petugas pengelola informasi, serta anggaran untuk peralatan, perjalanan, penerjemahan, pertemuan, dan kegiatan pelatihan.

• koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mungkin juga melibatkan petugas tetap atau paruh-waktu.

• peran-peran koordinasi—seperti mengkoordinasi kelompok teknis-tematis, mengorganisir atau menyelenggarakan pertemuan atau acara antar-lembaga, atau koordinasi tingkat daerah—tidak hanya terbatas pada lembaga penanggungjawab dan dapat diambil alih oleh pihak lain tergantung situasinya. Catatan: kelompok teknis-tematis misalnya kelompok layanan dukungan

psikososial, kelompok kaji cepat.

• untuk efisiensi, sub-klaster perlindungan dapat berbagi peran pengelolaan informasi dengan klaster yang lain, seperti ketika mengatasi kekerasan berbasis-gender, Mental Health and Psychosocial Suport-MHPSS (Kesehatan Mental dan Dukungan Psikososial) atau pendidikan.

3. Provider of the Last Resort (Penyedia upaya terakhir):

• Dalam sistem klaster internasional untuk kemanusiaan, lembaga penanggungjawab juga memiliki tanggung jawab sebagai “penyedia upaya terakhir”. Dalam sistem klaster nasional penanggulangan bencana, koordinator klaster nasional merupakan penyedia upaya terakhir. Artinya, lembaga tersebut bertanggung jawab untuk memastikan semua kesenjangan dalam respons perlindungan anak diatasi.

• strategi untuk mengatasi kesenjangan termasuk advokasi atau penggunaan sumber daya lain yang dapat digali lebih lanjut. Kesenjangan mungkin terjadi secara geografis, tetapi mungkin juga tematis—contohnya, respons yang tidak memadai bagi remaja, pekerja anak, atau anak dengan disabilitas. 4. Pengambilan keputusan:

• Harus ada proses yang jelas dan transparan dalam pengambilan keputusan antar-lembaga di dalam mekanisme koordinasi.

• keputusan dibuat oleh kelompok dan mencakup semua hal yang mempengaruhi kewilayahan, jenis aksi, prioritas strategis, dan anggaran.

• pertimbangkan untuk membentuk sebuah kelompok inti untuk perencanaan bersama dan pengambilan keputusan di dalam mekanisme koordinasi. Kelompok kerja, dengan keterlibatan perempuan dalam keanggotaannya, dapat dibentuk untuk mengawasi pelatihan, penerimaan anggota-anggota baru, pengelolaan informasi, dan perwakilan di dalam kelompok, sektor atau klaster lain.

ST

AND

AR 1

5. Isu-isu sensitif:

• Mekanisme koordinasi untuk perlindungan anak, perlindungan, atau sektor lainnya dapat menjadi sarana yang baik untuk menemukan berbagai cara mengatasi isu-isu budaya seperti aborsi, pengangkatan anak, perkawinan anak, pandangan sosial terhadap disabilitas, dan orientasi seksual. • isu-isu yang sangat politis, atau sensitif, atau mungkin membahayakan

masyarakat – seperti pelanggaran yang dilakukan oleh pihak berwenang atau seorang anggota dari mekanisme koordinasi, atau informasi khusus tentang sebuah wilayah konflik - sebaiknya diatasi dengan mekanisme yang lebih individual/rahasia, atau kelompok yang lebih kecil. Informasi kasus khusus sebaiknya tidak didiskusikan secara terbuka melibatkan seluruh anggota mekanisme koordinasi.

6. Melibatkan aktor-aktor di dalam mekanisme koordinasi:

• Langkah-langkah aktif dibutuhkan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dan organisasi lokal dalam respons kemanusiaan.

• langkah-langkah tersebut antara lain dengan:

melibatkan Organisasi Berbasis Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat lokal;

meluaskan jangkauan berbasis gender, etnis, agama, bidang pekerjaan, dll;

mengelola pertemuan dengan menggunakan bahasa lokal;

melaksanakan pertemuan di lokasi organisasi-organisasi yang berbeda; mengelola pertemuan antara berbagai pemangku kepentingan; dan menghasilkan materi-materi teknis dalam bentuk yang dapat diakses. • hal-hal di atas akan membantu meningkatkan pemahaman dan komitmen,

sekaligus memastikan respons perlindungan anak yang berkelanjutan dan tidak terpisah dari struktur yang ada di masyarakat.

7. Kelompok Kerja Perlindungan Anak (KKPA) di tingkat global:

Kelompok Kerja Perlindungan Anak di tingkat global dipimpin oleh UNICEF dan berpusat di Jenewa di bawah naungan Global Protection Cluster (Klaster Perlindungan Global), diberikan mandat untuk mendukung respons perlindungan anak antar-lembaga yang terkoordinasi di tingkat Negara. Dukungan tersedia dalam bentuk personel (contohnya adalah koordinator yang dapat ditempatkan dalam waktu singkat), perangkat (contoh perangkat asesmen dan materi pelatihan), dan bantuan teknis. Informasi lebih banyak tersedia di http://www.cpwg.net.

ST

AND

AR 1

8. Monitoring pencapaian:

Setelah disiapkan, kelompok koordinasi harus mengembangkan proses yang disepakati untuk (1) menilai dan meningkatkan koordinasi respons; dan (2) memonitor cakupan dan kualitas respons sesuai dengan semua standar ini dan target yang disepakati dalam rencana bersama. Referensi lanjutan dapat diperoleh di http://www.cpwg.net.

Referensi

ST

AND

AR 1

CPWG (2009). Child Protection in Emergencies Coordinator’s

Handbook

GBV Area of Responsibility Working Group (2010). Handbook for

Coordinating Gender-Based Violence Interventions in Humanitarian Settings

http://oneresponse.info/GlobalClusters/Protection/GBV/ • IASC WG (2012). Cluster Coordination Reference Module (4).

Transformative Agenda Reference Document PR/1204/4066/7 • The Sphere Project (2011). The Sphere Handbook: Humanitarian

Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response; Core standard 2: coordination and collaboration

•Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

•Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

•Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

•Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

•Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor173 tahun 2014 tentang Penetapan Klaster Nasional Penanggulangan Bencana

•Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002.

•www.cpwg.net

Lembaga-lembaga kemanusiaan telah melakukan sejumlah langkah maju untuk memastikan para pekerja perlindungan anak memiliki keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan sektor perlindungan anak dalam situasi darurat. Semua pekerja juga dipastikan paham tentang upaya perlindungan anak melalui penerapan kebijakan dan prosedur perlindungan anak yang sesuai. Standar ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan semua standar lain yang sudah dikembangkan di tempat lain, melainkan untuk memberi fokus perhatian pada aspek sumber daya manusia ketika mengerahkan pekerja perlindungan anak dan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan perlindungan anak.

STANDAR 2