• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN TANAH

3.2 Citra Diri Perempuan

Citra diri perempuan merupakan sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya (Sugihastuti, 2000:112 – 113). Menurut Sugihastuti dalam Mbulu (2017) Citra diri perempuan merupakan keadaan yang terlihat dan terasa oleh tokoh perempuan. Citra diri merupakan keadaan dalam diri perempuannya sendiri. Adapun citra diri perempuan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi citra fisik dan citra psikis. Berikut ini akan dipaparkan citra perempuan dari aspek fisik dan psikis pada keempat tokoh utama dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

61 3.2.1 Citra Perempuan dari Aspek Fisik

Keadaan tubuh perempuan merupakan salah satu aspek citra fisik yang dapat terlihat sepanjang penceritaan, keadaan tubuh perempuan meliputi seluruh anggota tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keadaan tubuh yang dimaksud ialah seluruh anggota tubuh yang terlihat dan dimiliki oleh tokoh utama perempuan. Keadaan tubuh dapat terlihat dari penyebutan secara langsung ataupun tidak langsung sepanjang penceritaan film (Septiaji dan Nisya, 2019:310).

Citra perempuan secara fisik, perempuan dewasa yang merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dari bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Dalam aspek fisik, perempuan mengalami hal-hal yang khas yang tidak dialami oleh laki-laki, terkongkretkan dari ciri-ciri fisik perempuan dewasa, misalnya pecahnya selaput dara, melahirkan dan menyusui anak, serta kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan. Hal ini juga menyangkut persoalan terminologi gender. Konsep gender adalah suatu terminologi yang berbeda dengan konsep jenis kelamin. Konsep biologis adalah perbedaan yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena faktor kodrati. Misalnya, perempuan memiliki alat reproduksi; mengandung, melahirkan. Perbedaan biologis ini bersifat permanen, tidak dapat dipertukarkan, sebagai suatu ketentuan yang pasti dari Tuhan. Realitas fisik ini pada kelanjutannya menimbulkan antara lain mitos tentang perempuan sebagai mother-nature. Di dalam mitos ini wanita diasumsikan sebagai sumber hidup dan kehidupan, sebagai makhluk yang dapat menciptakan makhluk baru dalam artian dapat melahirkan anak (Sugihastuti, 2000:94).

62

Berdasarkan aspek fisik, tokoh Maya dan Dini (Tara Basro, Marissa Anita) direpresentasikan sebagai perempuan yang tinggal di lingkungan perkotaan dan sehari-harinya bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dilihat dari visualnya dalam Perempuan Tanah Jahanam, tampak jelas bahwa Dini dan Maya tidak suka bersolek dan lebih nyaman dengan penampilan seadanya (terlihat pada Gambar 14). Dalam kehidupannya, tokoh Maya dan Dini digambarkan sebagai perempuan dewasa yang tomboi dan gagah.

Ciri fisik ini terbentuk dengan sendirinya karena Maya merupakan anak yatim piatu sedangkan Dini masih memiliki orangtua namun tidak pernah memedulikan keberadaannya hingga Dini bagaikan hidup sebatang kara. Mereka terpaksa bekerja keras setiap harinya demi bertahan hidup di lingkungan perkotaan.

Dini dan Maya tidak seberuntung perempuan-perempuan lain yang dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan finansial yang cukup hingga tubuh mereka cantik dan terawat.

Gambar 14, visual Maya dan Dini dalam Perempuan Tanah Jahanam.

63

Namun, aspek fisik yang dimaksudkan bukanlah soal kecantikan dan keindahan tubuh semata, melainkan perempuan yang dapat hamil, melahirkan dan menyusui. Karena fisik dan sifatnya yang cenderung maskulin, pada usia mereka yang sudah menginjak 25 tahun, Maya dan Dini memilih untuk tetap lajang dan tidak begitu tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria manapun. Berangkat dari hal itu, asumsi terkait kecantikan wanita yang seolah diwajibkan mencapai kodratnya dengan menghasilkan keturunan, tidak dapat dibuktikan pada tokoh Maya dan Dini dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

Tokoh selanjutnya adalah Nyi Misni yang diperankan oleh Christine Hakim. Ia merupakan salah satu penggerak utama alur cerita film Perempuan Tanah Jahanam. Nyi Misni yang memegang watak antagonis dalam film ini, difokalisasikan sutradara sebagai perempuan tua dengan citra fisik selayaknya lansia pada umumnya. Ia tampil dengan tone kulit tubuh yang cenderung pucat dan keriput, rambut putih, serta postur tubuh membungkuk (terlihat pada Gambar 15).

Sistem indera dan psikomotorik figur Nyi Misni yang lemah, berpengaruh pada penglihatan dan kemampuannya menopang tubuh. Terlihat dalam film, tokoh Nyi Misni tampak mengalami kesulitan saat berjalan. Dalam setiap adegan, ia berjalan dengan kaki yang terseok-seok. Ciri ini menunjang visual Nyi Misni pada Perempuan Tanah Jahanam menjadi sosok yang dingin dan menyeramkan.

Performa memukau tokoh Nyi Misni dalam film Perempuan Tanah Jahanam tak terlepas dari acting skill yang dimiliki aktris senior Indonesia, Christine Hakim. Joko Anwar selaku sutradara dalam berbagai kesempatan menyampaikan apresiasinya terhadap kepiawaian dan profesionalitas sang aktris

64

fenomenal tersebut. Pasalnya, diketahui bahwa Christine Hakim sampai rela menarik dan merekatkan kelopak mata kanannya ke bawah menggunakan double tape sebagai bentuk impovisasinya dalam menambah ciri karakter Nyi Misni. Hal tersebut dilakukan, karena Christine Hakim merasa bahwa dengan kondisi mata seperti itu akan sangat membantunya dalam memberi kesan ‘menyeramkan’ dan juga ‘bengis’ pada raut wajah Nyi Misni.

Gambar 15, visual Nyi Misni dalam Perempuan Tanah Jahanam.

Kembali lagi pada pernyataan sebelumnya yang mengatakan bahwa aspek fisik bukan hanya soal wajah dan penampilan belaka, melainkan bagaimana tokoh perempuan hidup dengan garis yang sudah ditentukan untuk membuktikan bahwa mereka perempuan. Pada tokoh Nyi Misni, aspek fisik dibuktikan dengan perannya sebagai ibu dari Ki Saptadi dalam Perempuan Tanah Jahanam. Ironisnya, Nyi Misni melahirkan, menyusui dan merawat Saptadi hingga dewasa tanpa didampingi figur seorang suami. Hal ini dikarenakan Saptadi lahir dari hubungan gelapnya dengan ayah Ki Donowongso yang dalam film tidak disebutkan namanya. Status

65

sosial Nyi Misni yang hanya seorang pembantu rumah tangga menyekat mereka untuk menjadi satu keluarga yang utuh.

Tokoh lain dalam film Perempuan Tanah Jahanam yang dapat memenuhi aspek fisik persona perempuan adalah figur Ratih (Asmara Abigail). Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Ratih direpresentasikan sebagai seorang perempuan muda yang telah menikah dan sedang mengandung anak pertamanya. Ratih merupakan salah satu penduduk asli Desa Harjosari.

Pada pertengahan film, diketahui bahwa suami dari Ratih merupakan pria yang menyerang Maya di exit tol karena Maya dianggap sebagai penyebab munculnya kutukan di Desa Harjosari. Dalam Perempuan Tanah Jahanam, visual Ratih disesuaikan dengan citra fisik perempuan Jawa yang hidup di desa terpencil dan terkucilkan dari dunia luar. Sehari-harinya, Ratih menampakkan diri dengan penampilan sederhana, pakaian lusuh dan tanpa polesan make-up di wajah. Ratih memiliki postur tubuh yang kurus, rambut sebahu, tone kulit yang cenderung gelap, dan bermata sayu (terlihat pada Gambar 16) .

Gambar 16, visual Ratih dalam Perempuan Tanah Jahanam.

66 3.2.2 Citra Perempuan dari Aspek Psikis

Ditinjau dari aspek psikisnya, perempuan merupakan makhluk psikologis, makhluk yang berpikir, berperasaan, dan beraspirasi (Sugihastuti, 2000:95). Aspek psikis perempuan tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Prinsip feminitas ini merupakan kecenderungan yang ada dalam diri perempuan. Prinsip-prinsip itu berkenaan dengan ciri relatedness, receptiviy, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasi komunal, dan memelihara hubungan interpersonal.

Apabila dari aspek psikis terlihat bahwa perempuan dilahirkan secara biopsikologis berbeda dengan laki-laki, hal ini turut berimplikasi pada pengembangan dirinya yang bermula dari lingkungan keluarga. Aspek psikis perempuan saling terikat dengan aspek fisik dan keduanya merupakan inti yang membangun citra diri perempuan (Ruthven, 1984:34).

Citra diri perempuan tidak bisa terlepas dari aspek psikis dan fisik. Semakin baik pertumbuhan seorang perempuan, akan semakin berkembang pula psikisnya untuk menjadi dewasa. Adanya perbedaan bentuk fisik antara perempuan dan laki-laki berdampak pula pada pola berpikir dan pola kehidupan perempuan. Aspek psikis menunjukkan bahwa perempuan memiliki pemikiran-pemikiran untuk berkembang, berinspirasi, serta memiliki intuisi yang mengarahkan mereka untuk peka terhadap feeling/sense yang ia rasakan di dalam, maupun di luar dirinya (Connell, 2002:131).

Setelah peneliti menilik psikis pemeran utama secara lebih komprehensif, dapat disimpulkan bahwa tokoh Maya dan Dini merupakan perempuan pemberani

67

dan tangguh. Hal ini dilatarbelakangi oleh beban hidup mereka yang berbeda jauh dengan perempuan pada umumnya. Walaupun Dini dan Maya belum menikah dan menjadi seorang ibu, tentu saja mereka tetap memiliki perasaan dan pemikiran untuk menanggapi keadaan dalam dirinya, ataupun luar dirinya, yaitu dapat merasakan gejolak dalam hati dan akalnya sebagai perempuan.

Hal ini dibuktikan dengan adegan Maya yang seringkali merasakan guncangan dalam dirinya, karena sejak kecil ia sama sekali tidak mengetahui siapa keluarganya. Begitu pula dengan Dini, ia memiliki orangtua yang lengkap namun seperti hidup sebatang kara. Maya dan Dini terpaksa bekerja keras setiap harinya demi bertahan hidup di tengah kejamnya ibu kota. Kekurangan figur orangtua sangat berpengaruh pada dinamika kejiwaan seseorang, hasilnya, sisi feminin tokoh Maya dan Dini menjadi berkurang, digantikan dengan maskulinitas yang mendominasi karakter maupun tampilan fisik mereka.

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Maya dan Dini direpresentasikan sebagai sosok perempuan independen yang tidak manja atau menggantungkan hidupnya pada orang lain, terlebih pada laki-laki. Maya dan Dini kerap dihadapkan pada situasi sulit yang membuat keduanya tak punya pilihan lain selain bekerja keras sehingga membuat independensi itu terbentuk dengan sendirinya. Hal ini ditunjukkan dalam opening scene Perempuan Tanah Jahanam yang menampilkan momen saat tokoh Maya dan Dini bekerja hingga larut malam sebagai penjaga gerbang tol (terlihat pada Gambar 17).

Karena profesi yang sedang dijalani menuntutnya bekerja hingga larut malam bahkan dini hari, membuat Maya menjadi bahan pergunjingan para

68

tetangganya. Tetangganya bersepekulasi bahwa Maya adalah seorang perempuan malam (pelacur). Namun, hal ini tidak melemahkan semangat Maya untuk terus bekerja dan menjalani kehidupan, ditemani oleh sahabat karibnya, Dini. Walau sesekali ia merasa marah dan kesal atas stereotip negatif yang disematkan padanya.

Maya dan Dini tidak ingin menyerah pada keadaan dan keterbatasan yang mereka miliki. Mereka memegang prinsip hidup sendiri yang membentuk karakter dan sifat keduanya.

Gambar 17, potret Maya saat menjaga exit tol.

Selain itu, perkembangan psikologis pada diri Maya dan Dini membuat mereka menjadi sosok yang berani bertindak dan mengambil keputusan. Maya dan Dini seolah tidak pernah stagnan dalam memperjuangkan nasib hidup mereka.

Mereka bersedia mengahadapi segala bentuk risiko dan rintangan yang menghadang. Hal ini dibuktikan pada adegan ketika Maya dan Dini yang pada akhirnya memilih berhenti menjadi penjaga tol lalu memutuskan untuk memulai bisnis berdagang pakaian (terlihat pada Gambar 18). Terlebih lagi, sosok Dini yang tanpa ragu menerima tawaran Maya untuk berbisnis dan menginvestasikan seluruh tabungannya sebagai modal usaha.

69

Kedewasaan dapat membuat setiap orang menjadi mandiri, serta mampu mengatur hidup agar lebih baik, dan juga mampu menolong diri sendiri.

kedewasaan seorang perempuan adalah mempunyai rencana, tujuan hidup, mempunyai kerja atau karya, bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat oleh dirinya, mandiri, berpartisipasi sebagai warga masyarakat dan berkrepibadian stabil (Kartono 1981:172-173). Pernyataan Kartono sedikit banyak menggambarkan kepribadian Maya dan Dini yang berdikari mengupayakan kehidupannya.

Setelah menyadari bahwa dengan berdagang pakaian tidak dapat menjamin ketercukupan finansial mereka, Maya dan Dini meninggalkan bisnis pakaiannya demi menyelami misteri keluarga Maya yang mungkin dapat merubah nasib mereka. Bermodalkan keberanian dan informasi yang terbatas, Maya beserta Dini pergi ke Desa Harjosari untuk mencari tahu soal harta peninggalan keluarga Maya.

Berangkat dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Maya dan Dini dalam Perempuan Tanah Jahanam direpresentasikan sebagai perempuan dengan citra psikis yang kuat, tegas, persisten dan pantang menyerah.

Gambar 18, potret Maya dengan barang dagangannya.

70

Tokoh berikutnya adalah figur Ratih. Ratih direpresentasikan sebagai perempuan yang sedang hamil muda dan sangat concern dengan kehamilan pertamanya itu. Ia berusaha menjaga kandungannya dari segala hal buruk yang mungkin dapat menimpanya, termasuk soal misteri ‘kutukan perempuan hamil’

yang menyelimuti Desa Harjosari. Ditinjau dari segi psikisnya, sosok Ratih digambarkan sebagai perempuan lugu yang tabah dan sangat suportif. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa adegan ketika Ratih mencoba menyelamatkan Maya dari serangan warga Desa Harjosari (terlihat pada Gambar 19).

Ratih yang notabene merupakan warga asli Desa Harjosari dan sedang berjuang untuk menyelamatkan kandungannya dari kutukan, tak menjadikannya kejam seperti warga Desa Harjosari lainnya. Ia tetap memiliki rasa empati yang tinggi dan tidak segan menawarkan bantuan pada Maya yang diceritakan merupakan penyebab utama munculnya kutukan di Desa Harjosari. Ratih menolak patuh pada perintah Ki Saptadi yang meminta seluruh warga Desa Harjosari untuk memburu Maya demi melepaskan kutukan dari Desa Harjosari tersebut.

Gambar 19, potongan adegan saat Ratih berusaha menyelamatkan Maya dari kepungan warga Desa Harjosari.

71

Ratih merupakan seorang perempuan yang selalu berusaha untuk berpikir positif sekalipun sedang dikepung oleh keadaan yang negatif. Mayoritas orang Jawa memiliki prinsip hidup yang tercermin dalam ungkapan, Urip iku urup. Artinya, hidup itu menyala. “Nyala” membawa terang yang dapat memperlihatkan kepada kita bahwasanya dunia ini penuh keindahan (Ismawati, 2019:23). Berpikir positif ibarat “nyala” itu, yang mampu memerangi kegelapan (pikiran negatif) dan membawa sinar terang. Hal ini tercermin dalam film saat Ratih dengan pemikirannya sendiri percaya bahwa, dengan membunuh Maya, tidak akan membebaskan desanya dari kutukan. Ia yakin, pasti ada cara lain yang mampu menyelesaikan isu kutukan tersebut.

Pada pertengahan film, disajikan adegan Maya memberitahu Ratih tentang apa yang telah terjadi dengan suaminya. Ratih memang sudah lama mencari keberadaan sang suami yang menghilang begitu saja tanpa kabar. Maya memberanikan diri untuk bercerita pada Ratih bahwa suaminya telah mati ditembak polisi beberapa bulan lalu saat mencoba membunuh Maya yang saat itu sedang bekerja. Mendengar hal tersebut, sama sekali tidak menurunkan tekad seorang Ratih untuk membantu Maya dalam memecahkan misteri kutukan Desa Harjosari.

Musibah yang telah menimpanya bertubi-tubi tak menyulut psikis Ratih untuk menjadi seorang yang pendendam. Tokoh Ratih benar-benar merepresentasikan sosok perempuan Jawa yang identik dengan psikologi yang sabar, setia, rajin, serta menerima. ‘Sabar’ dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan jiwa yang diwujudkan melalui sikap dan ketahanan untuk menderita sesuatu yang tidak diinginkan. Sifat inilah yang mendominasi karakter Ratih.

72

Dalam film, terlihat pula cara Ratih dalam bertutur kata mencerminkan pribadi perempuan santun dan supel. Ratih memiliki sifat mulia dalam dirinya yang membentuk citra Ratih menjadi tokoh perempuan baik hati dalam Perempuan Tanah jahanam.

Berbeda dengan ketiga tokoh sebelumnya, karakter Nyi Misni sengaja dimunculkan sebagai salah satu pemantik konflik dalam Perempuan Tanah jahanam. Tokoh fiktif ini mempertegas kesan horor pada Perempuan Tanah Jahanam dengan watak antagonis yang dibawakannya. Nyi Misni merupakan perempuan tua yang berperan sebagai ibu dari kepala Desa Harjosari, Ki Saptadi.

Tanpa disadari, sebuah kesan dari dosa masa lalu berimplikasi pada perkembangan psikis Nyi Misni hingga menjadikannya berwatak bengis dan pendendam.

Konflik film bermula pada kisah Nyi Misni yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah di kediaman orangtua Donowongso hingga menjalin relasi gelap dengan majikannya yang kala itu merupakan kepala Desa harjosari. Dari hubungan terlarang itu, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Saptadi. Karena status sosial yang rendah, Nyi Misni terpaksa membendung keinginannya untuk meminta pertanggungjawaban dari sang majikan.

Kesedihan, kekecewaan dan amarah yang dipendam, menimbulkan gangguan psikis pada karakter Nyi Misni. Faktor-faktor inilah yang membangun sifat keras, dingin dan kejam dari tokoh Nyi Misni dalam Perempuan Tanah Jahanam. Gejolak dalam diri Nyi Misni sebagai ibu tunggal dan perempuan dengan status sosial yang berada di lapisan bawah serta termarginalkan, membentuk citra

73

psikis yang buruk. Hal ini dapat ditelaah pada setiap aksi Nyi Misni dalam Perempuan Tanah Jahanam.

Saat menyaksikan laku dalam setiap adegan, penonton akan disuguhi gambaran mental spiritual dari seorang Nyi Misni. Diceritakan bahwa tokoh Nyi misni menggunakan ilmu hitam sebagai alat untuk membalaskan dendamnya pada sang majikan beserta seluruh keturunannya (terlihat pada Gambar 20).

Gambar 20, visual Nyi Misni saat melakukan praktik ilmu hitam.

Ilmu hitam atau tenung, secara umum biasanya merujuk pada penggunaan kekuatan gaib atau sihir untuk tujuan jahat dan egois. Sehubungan dengan dikotomi kiri dan kanan, ilmu hitam merupakan aliran ‘kiri’ yang bertentangan dengan ilmu putih yang mendedikasikan kekuatan gaib untuk kebajikan (Melton, 2001:32).

Pengaruh budaya populer telah memungkinkan praktik-praktik lain berkembang di bawah panji-panji ilmu hitam, termasuk konsep satanisme.

Satanisme merupakan praktik pemanggilan setan atau roh sebagai bentuk pemujaan atau pendewaan terhadap makhluk spiritual tersebut (Petersen, 2009:220).

Ilmu hitam telah dikenal sejak sangat lama di Nusantara khususnya di daerah Jawa yang memiliki sebutan sikir. Berangkat dari hal ini, Jawa Timur,

74

provinsi yang kerap dijuluki ‘sarang ilmu hitam’ secara khusus dijadikan sebagai lokasi syuting utama Perempuan Tanah Jahanam. Mengutip dari portal berita Tempo.co, pemilihan lokasi ini dilandasi oleh hasrat Joko Anwar selaku sutradara untuk menyuntikkan atmosfer ‘gaib’ yang nyata ke dalam semesta Perempuan Tanah Jahanam.

Aspirasi eksentrik tersebut dipertegas dengan kehadiran tokoh Nyi Misni dalam Perempuan Tanah Jahanam. Isu black magic Jawa ini sangat berimplikasi pada representasi citra psikis tokoh Nyi Misni. Sihir menjadi alat penggerak utama karakter Nyi Misni dalam Perempuan Tanah Jahanam. Diperlihatkan bahwa Nyi Misni merupakan seorang dukun jahat dan sadistis yang tega memanipulasi pikiran para penduduk Desa Harjosari akibat rasa posesifnya kepada putra semata wayangnya, Saptadi. Ia mengorbankan sebagian besar penduduk Desa Harjosari sebagai tumbal ilmu hitamnya dengan dalih ingin ‘melindungi’ sang putra.

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, penonton akan dihadapkan pada sejumlah adegan yang memuat perilaku ‘menyimpang’ tokoh Nyi Misni. Salah satunya adalah saat Nyi Misni menggantung ‘bahan baku’ untuk pembuatan wayang kulit yang akan dipentaskan sang putra. Tenang, innosent, tanpa belas kasih, seolah dia hanya sedang menjemur sehelai sarung bantal yang pada kenyataannya merupakan kulit manusia, sungguh melahirkan rasa ngeri dan nyeri.