• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN TANAH

3.3 Citra Sosial Perempuan

3.3.1 Citra Perempuan dalam Keluarga

Perempuan sebagai anggota keluarga dicitrakan sebagai makhluk yang disibukkan dengan berbagai aktivitas domestik kerumahtanggaan: banyak pekerjaan rumah tangga yang dianggap sebagai tetek bengek, menjadi tanggung jawab perempuan (Sugihastuti, 2010:131).

Menurut Natarajan dalam Wieringa (2007:54) atribut feminin dalam citra perempuan yang melekat pada parokial pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan tersebut terjadi karena adanya konstruksi feminitas dalam pekerjaan feminin, yaitu

76

berada pada sektor domestik, dibatasi oleh empat dinding bernama rumah, pernikahan, dan mengurus suami dan keluarganya.

Cantor dan Bernay dalam Udu (2009:109 – 110) berpendapat bahwa, di dalam keluarga, terdapat peran perempuan untuk membentuk seorang individu.

Peran ibu sangat dominan untuk membentuk karakter untuk anak-anaknya. Peran dominan tersebut disebabkan oleh adanya kedekatan emosional ibu terhadap anak-anaknya, cinta seorang ibu akan memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan anak-anaknya.

August Comte dalam Helen A. Moor (1996:65) berpandangan bahwa, wanita secara sosiologi dibatasi perannya pada lingkup keluarga, dan bersifat subordinat. Dari segi konstitusional, posisi perempuan bersifat inferior terhadap laki-laki. Peran subordinat mengecilkan partisipatif di luar peran domestiknya, sekaligus mengingkari seluruh kapasitas dan potensi yang dimiliki oleh perempuan.

Pelabelan negatif terhadap perempuan bukan dideterminasi oleh faktor kodrati, suatu keniscayaan di bawah sejak lahir, akan tetapi direkonstruksi oleh budaya paternalistik, dan maternalistik yang diperkuat dengan pandangan keagamaan.

Budaya paternalistik berpandangan bahwa kaum laki-laki secara inheren dalam dirinya mempunyai potensi dan keunggulan dibandingkan dengan perempuan, sementara budaya maternalistik menempatkan peran-peran perempuan hanya cocok di lingkungan keluarga, melaksanakan peran domestik. Di lingkungan keluarga, perempuan kehilangan otoritas terhadap laki-laki, dan laki-lakilah dianggap sebagai pemegang otoritas. Otoritas ini meliputi kontrol atas

sumber-77

sumber ekonomi dan pembagian kerja secara seksual di dalam keluarga yang menurunkan derajat perempuan.

Seperti biasa, Joko Anwar meramu dan menuntaskan setiap naskah film garapannya berdasarkan pemikiran-pemikiran absurd yang terlintas dalam benaknya. Menurut pengakuan Joko, naskah film Perempuan Tanah Jahanam mulai ia tulis pada tahun 2009. Ihwal yang melatarbelakangi terciptanya naskah Perempuan Tanah Jahanam tersebut hadir melalui kontemplasinya terkait fungsi keluarga, yakni ibu, bapak, dan anak.

‘Keluarga’, sebagaimana merupakan trademark sekaligus perekat plot pada film-film garapan Joko sebelumnya, kembali menjadi elemen kuat yang memicu perguliran cerita Perempuan Tanah Jahanam. Saat menghadiri event film promotion Perempuan Tanah Jahanam, secara khusus, Joko Anwar menceritakan detil alasan dibalik terciptanya film Perempuan Tanah Jahanam. Film ini merupakan manifestasi akan keresahan Joko Anwar terkait perempuan dan peranannya dalam keluarga.

Menurut pandangan Joko, sudah terlalu banyak problematika yang terbentuk dari sosok orang tua yang melahirkan anak tanpa perencanaan matang.

Isu inilah yang menyebabkan sebagian anak-anak terlahir ke dunia tanpa bekal keberuntungan berupa ketercukupan finansial maupun jaminan afeksi dari kedua orang tuanya. Judgment ini diwujudkan Joko melalui tokoh Maya dan Dini. Sejak kecil, Maya tidak pernah mengetahui keberadaan orang tua kandungnya. Maya tidak memiliki kesempatan untuk dapat merasakan perannya sebagai anak bagi keluarganya.

78

Selain itu, Perempuan Tanah Jahanam juga merupakan representasi penolakan Joko Anwar terkait norma yang berkembang dalam masyarakat. Norma yang mewajibkan perempuan untuk menghasilkan keturunan walaupun ia tidak memiliki kapabilitas atau planning yang cukup untuk melahirkan maupun merawat anak-anaknya. Joko Anwar anti terhadap batasan-batasan mengekang semacam ini.

Bagi Joko, perempuan memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya sendiri.

Perempuan layak atas jaminan akses universal terhadap hak reproduksi. Wujud

‘penolakan’ tersebut turut dihadirkannya dalam diri tokoh Maya dan Dini yang digambarkan tidak memiliki ketertarikan untuk menikah maupun memiliki anak.

Citra perempuan dalam keluarga mungkin tidak dapat ditemukan pada diri tokoh Maya dan Dini dalam Perempuan Tanah Jahanam. Namun, hal serupa tidak berlaku pada sosok Ratih yang merupakan seorang istri sekaligus calon ibu bagi anak dalam kandungannya. Sebelum sang suami meninggal dunia pada malam nahas saat dia mencoba membunuh Maya, Ratih sempat menjalankan perannya sebagai seorang istri. Sebagai seorang istri, Ratih patuh dan mencintai suaminya.

Selain menjalani perannya sebagai seorang istri, Ratih juga memiliki pekerjaan lain. Ia membuka sebuah usaha warung makan di Desa Harjosari untuk memenuhi kebutuhannya dan juga keluarga kecilnya.

Sikap Ratih sebagai seorang istri yang patuh dan mencintai suaminya, tercermin secara implisit dalam film saat Ratih tanpa berat hati mengizinkan sang suami untuk meninggalkannya ke kota demi mencari ‘obat’ yang dianggap dapat menyelamatkan keluarganya dari kutukan di Desa Harjosari. Kendati dirinya dalam kondisi lemah karena sedang hamil muda dan sangat membutuhkan pendampingan

79

sosok suami, Ratih tetap membiarkan suaminya pergi. Sebelum mengetahui jika sang suami telah meninggal dunia, Ratih berkata pada Maya bahwa ia sangat merindukan suaminya serta percaya jika sang suami akan segera kembali ke rumah dan berkumpul bersamanya.

Beralih ke identifikasi citra perempuan dalam keluarga pada tokoh antagonis dalam film Perempuan Tanah Jahanam, Nyi Misni. Nyi Misni merupakan satu-satunya antagonis perempuan dalam cerita ini. Dikisahkan bahwa Nyi Misni adalah ibu dari Saptadi, yakni kepala Desa Harjosari. Sepanjang hidup, Nyi Misni menjalani peran gandanya sebagai ibu sekaligus ayah untuk anak tunggalnya tersebut. Hal ini dapat terjadi karena Saptadi merupakan anak dari hasil hubungan gelap Nyi Misni dengan majikannya.

Dalam memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Tidak sekadar melahirkan, seorang ibu memiliki andil besar sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak.

Kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral/pusat logistik sangat penting dalam kelangsungan hidup seorang anak (Gunarsa, 2004:31). Tentu berat bagi Nyi Misni sebab terpaksa melahirkan dan merawat anak laki-lakinya seorang diri tanpa kehadiran sosok suami. Hal ini secara tidak langsung menujukkan resistansi solid seorang Nyi Misni sebagai perempuan dalam menghadapi permasalahan hidupnya.

Walaupun Nyi Misni dikenal berwatak jahat, di sisi lain, ia sangat mencintai dan menyayangi anaknya. Ia mengemban tanggungjawabnya sebagai seorang ibu yang protektif bagi Saptadi. Nyi Misni mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang yang dimilikinya pada putra semata wayangnya itu. Ia tidak pernah

80

menganggap Saptadi sebagai sebuah kesalahan masa lalu yang harus dihapuskan.

Sejak kecil, Nyi Misni telah mendidik Saptadi menjadi anak laki-laki yang berprestise. Hasilnya, saat dewasa, Saptadi berhasil menjabat sebagai kepala Desa Harjosari yang sangat dihormati dan ditakuti oleh seluruh warganya.