• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRUKTUR FILM PEREMPUAN TANAH JAHANAM

2.2 Unsur Naratif

2.2.4 Waktu

Seperti halnya unsur ruang, hukum kausalitas merupakan elemen dari naratif yang terikat oleh waktu. Sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur waktu (Pratista, 2008:36).

Urutan waktu menunjuk pada pola berjalannya time plot sebuah film. Urutan waktu cerita secara umum terbagi menjadi dua pola, yakni linear dan nonlinear.

Pola linear merujuk pada time plot yang berurutan (mengikuti garis lurus). Pola linear terdiri atas serangkaian peristiwa yang memiliki awal, tengah, dan akhir yang jelas, sedangkan pola nonlinear merupakan kebalikannya. Pola nonlinear bertendensi memanipulasi waktu kejadian dengan mengubah urutan plotnya sehingga dapat membuat hubungan kausalitas menjadi tidak jelas.

Dalam hal ini, apabila ditinjau secara keseluruhan, time plot film Perempuan Tanah Jahanam dituturkan dengan pola linear. Walaupun pada pertengahan film terdapat sebagian kecil adegan flashback atau kilas balik yang

46

dikemas dalam bentuk mimpi sang tokoh utama (Maya). Dalam film Perempuan Tanah Jahanam, time tetap berjalan sesuai urutan aksi peristiwa tanpa adanya penundaan/interupsi waktu yang signifikan, sehingga tidak akan menyulitkan penonton dalam memahami ceritanya.

2.3 Sinematik

Secara harfiah, sinematik berkenaan atau berhubungan dengan film (bioskop, gambar hidup). Sedangkan menurut kaidah sineas, sinematik adalah unsur pembangun sebuah film yang bersifat teknik. Secara garis besar, unsur sinematik terbagi atas empat bagian, yaitu mis-en-scene, sinematografi, editing, dan juga suara. Mis-en-scene merupakan aspek visual dalam sebuah film, mencakup setting (latar), tata cahaya, kostum dan make up, serta akting dan pergerakan pemain. Sedangkan sinematografi merupakan aspek perlakuan kamera terhadap objek yang diambil. Dalam penelitian ini, penulis secara singkat mengidentifikasi sinematik dalam film Perempuan Tanah Jahanam yang berupa mis-en-scene, sinematografi, editing, dan juga suara (Pratista, 2008:1).

2.3.1 Mise-en scene

Mise-en scene merupakan segala hal yang berada di depan kamera (Pratista, 2008:4). Pada Perempuan Tanah Jahanam, para aktor dan aktris luar biasa total dalam memainkan perannya masing-masing. Setiap aktor dan aktris yang terlibat dituntut untuk berdialog menggunakan bahasa Jawa dan nampaknya semua tokoh dapat menguasai bahasa ini dengan cukup baik. Aksi para pemain Perempuan Tanah Jahanam tersebut ditampilkan melalui layar dengan aspek rasio 16:9 dan 2.35:1 sesuai dengan syarat standar Wide Screen Movie.

47

Maya (Tara Basro) merupakan pusat dari semesta cerita film Perempuan Tanah Jahanam. Adegan ketika Maya terbangun dari tidur dan mencari sumber suara yang membangunkannya sungguh menebar teror (terlihat pada Gambar 9).

Seakan-akan ia sedang dikejar kekuatan supranatural yang bersemayam di rumah tua milik keluarganya. Belum lagi adegan-adegan berdarah yang disampaikan secara gamblang dan dingin. Seorang dalang membantai para pemain gamelan di tengah pertunjukan lakon wayang, wanita tua yang menggorok seorang gadis, anak dan ibu bunuh diri dengan menorehkan belati di leher masing-masing.

Gambar 9, potongan adegan ketika Maya terbangun dari tidurnya.

Jalannya cerita dan perkembangan karakter Perempuan Tanah Jahaman pun memiliki sebab-akibat (kausalitas) yang jelas. Pembantaian yang dilakukan Ki Saptadi (Ario Bayu), misalnya, sengaja dimunculkan untuk membuat penduduk desa semakin benci kepada Ki Donowongso (Zidni Hakim). Donowongso diketahui telah menculik dan membunuh tiga anak kecil sebagai tumbal agar putrinya, yakni Maya, dapat terbebas dari gelembung kenestapaan yang telah dialaminya sejak

48

lahir. Maupun saat Nyi Misni membuat Saptadi lupa akan relasi gelapnya bersama istri Donowongso, Nyai Shinta (Faradina Mufti).

Laku tersebut diambil sebab Nyi Misni tak ingin putra tunggalnya, Saptadi sampai bernasib nahas seperti dirinya. Dalam film diceritakan bahwa Nyi Misni pernah menjalin hubungan terlarang dengan ayah Donowongso namun tak bisa berbuat apa-apa setelahnya karena status sosialnya yang berada di lapisan bawah sebagai pembantu. Setting latar yang terlihat matang, serta performa para pemain lain juga memiliki andil besar dalam menghidupkan film ini. Maka tak heran, jika film ini meraih banyak penghargaan dalam berbagai macam kategori.

Dalam sinematografi, cahaya merupakan elemen yang sangat penting. Seni menata cahaya ini sangat memengaruhi perhatian penonton terhadap cerita yang disajikan. Tanpa adanya cahaya, sebuah objek tidak akan dapat terekspos dengan baik. Apa yang dilihat penonton, dapat diatur melalui intensitas penerangan, ukuran objek yang disorot, kontras suatu objek dengan latar belakang, serta jarak objek.

Film sendiri seringkali didefinisikan sebagai lukisan cahaya.

Apabila memperhatikan setiap adegan dalam film, tampaknya, teknik tata cahaya yang dilakukan oleh tim produksi Perempuan Tanah Jahanam berhasil diatur sedemikian rupa sehingga menampilkan objek yang artistik dalam setiap adegannya. Lighting yang digunakan dalam Perempuan Tanah Jahanam bersumber langsung dari sinar matahari (daylight) maupun cahaya artifisial ruangan (tungsten). Visual film yang dominan low light dan hard light ditangkap cerdik dengan pendar cahaya alternatif yang presisi, sukses menambah rasa ngeri.

Permainan warna juga dilakukan dengan cahaya merah yang sesekali muncul pada

49

momen-momen thrilling. Tata cahaya dalam film Perempuan Tanah Jahanam sangat diperhatikan demi mempertegas kesan horror thriller yang kental sesuai dengan genre film ini.

Gambar 10, close-up visual wajah Nyi Misni.

Aspek lain yang turut mendukung keberhasilan film Perempuan Tanah Jahanam adalah make-up dan kostum yang dikenakan para pemain. Tata rias dan kostum setiap aktor maupun aktris dalam film Perempuan Tanah Jahanam disesuaikan dengan jalan ceritanya yang sadis dan mencekam. Make-up para pemain diatur sedemikian rupa guna memberikan kesan tradisional dan natural khas masyarakat desa. Tata rias yang digunakan juga menciptakan wajah aktor yang sesuai dengan tuntutan naskah. Karakter Nyi Misni contohnya, performa tokoh antagonis ini ditunjang oleh departemen kostum dan tata rias yang mumpuni sehingga membuat sosok ini terlihat begitu menyeramkan, apapun yang ia lakukan (terlihat pada Gambar 10).

2.3.2 Sinematografi

50

Sinematografi mempunyai arti menulis dengan gambar yang bergerak, jadi sinematografi tersebut terdiri dari dua kata yaitu sinema dan grafi, sinema dari bahasa Yunani yaitu kinema yang mempunyai arti gerakan dan grafi yaitu graphoo yang mempunyai arti menulis. Menurut (Pratista, 2008) sinematografi merupakan aspek penting yang membentuk sebuah film. Sang pembuat film yang menggunakan asas sinematografi pasti memengaruhi adegan yang didapat.

Joko Anwar, selaku sutradara dan penulis naskah Perempuan Tanah Jahanam tak terjebak dalam pola klise film horor Indonesia yang seolah dibebankan kewajiban untuk memberikan efek kejut di tiap adegan film demi memberi kesan seram bagi penonton. Joko sendiri tidak banyak mengandalkan jump scare dalam film garapannya ini. Sebaliknya, Joko membangun atmosfer Perempuan Tanah Jahanam melalui teknik sinematografi. Didukung dengan tim sinematografer yang solid, Joko Anwar berhasil mempersembahkan presentasi audio visual yang tidak kalah mengagumkannya dengan kualitas naskah. Hasilnya, nyaris setiap adegan dalam Perempuan Tanah Jahanam mampu menghadirkan teror yang mencekam penonton.

Gambar 11, potongan adegan di tengah hutan pada malam hari.

51

Dalam film Perempuan Tanah Jahanam terlihat teknik penataan kamera yang sangat diperhatikan. Dari keseluruhan adegan yang telah dianalisis peneliti, film Perempuan Tanah Jahanam didominasi dengan penggunaan teknik pengambilan gambar long-shot guna lebih leluasa dalam menyampaikan interaksi tokoh dengan area sekitar, serta medium shot untuk lebih menonjolkan detil ekspresi dan body language masing-masing karakter.

Pemilihan angle atau sudut pandang kamera turut memberikan visualisasi yang ciamik dalam setiap adegan film. Sudut kamera yang digunakan dalam Perempuan Tanah Jahanam adalah low angle yang memberikan kesan dramatis pada setiap objek dan eye-level angle supaya pandangan mata objek dapat sejajar dengan ketinggian objek lainnya, diikuti camera movement yang dominan stay, dolly dan track. Kameramen tampak berusaha keras untuk menampilkan visual terbaiknya. Apalagi, jika penonton memperhatikan pergerakan kamera saat adegan kejar-kejaran di tengah hutan pada tengah malam, effort sang kameramen memang patut diacungi jempol (terlihat pada Gambar 11). Secara visual, Perempuan Tanah Jahanam terasa mencekam, tapi juga indah di saat yang bersamaan.

2.3.3 Editing

Istilah editing berasal dari bahasa Latin, editus yang artinya ‘menyajikan kembali’. Dalam bidang audio-visual, termasuk film, editing adalah usaha merapikan dan membuat sebuah tayangan film menjadi lebih berguna dan enak ditonton. Tentunya editing film ini dapat dilakukan jika bahan dasarnya berupa shot (stock shot) dan unsur pendukung seperti voice, sound effect, dan musik sudah mencukupi. Selain itu, dalam kegiatan editing, seorang editor harus betul-betul

52

mampu merekontruksi (menata ulang) potongan-potongan gambar yang diambil oleh juru kamera. Singkatnya, editing film adalah merencanakan dan memilih serta menyusun kembali potongan gambar yang diambil oleh juru kamera untuk disiarkan kepada masyarakat (Nardi, 1977:47).

Editing film Perempuan Tanah Jahanam yang ditangani oleh Dinda Amanda, sangat baik dalam memadukan gambar dan memberikan transisi. Tim editor terbilang mahir dalam menyunting film Perempuan Tanah Jahanam.

Gambar 12, adegan pembantaian Perempuan Tanah Jahanam berupa siluet pada layar pementasan lakonan wayang.

Editing yang lancar dan dinamis pada rangkaian potongan-potongan gambar Perempuan Tanah Jahanam, menciptakan film yang utuh dan berurutan sehingga dapat dengan mudah dimengerti penonton. Dengan permainan editingnya, terciptalah set visual yang tampak alami dan believable sesuai kebutuhan dalam setiap adegan film (terlihat pada Gambar 12).

2.3.4 Suara

Suara adalah segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran (Pratista, 2008:2). Suara merupakan salah satu unsur pembentuk film

53

yang terdapat dalam unsur sinematik. Suara dalam film mempunyai beberapa unsur seperti speech, sound effect dan musik. Suara memiliki kelebihan, dimana dapat menciptakan sebuah ilusi tanpa harus digambarkan. Sound effect berguna untuk menciptakan realitas pada sebuah gambar dalam film. Fungsi vital suara adalah mendukung nuansa emosional serta menambah realisme visual yang mencerminkan perasaan maupun keberadaan tokoh dalam film (Balazs, 2015:209).

Pada Perempuan Tanah Jahanam, Sisi audio pun tidak mau kalah.

Kepiawaian sound recordist Anhar Moha, sangat terasa dalam menangkap suasana lingkungan sekitar dan menyelaraskannya dengan dialog. Menurut Joko Anwar, percakapan para pemain selalu diusahakannya untuk diambil secara langsung guna meminimalisir proses dubbing. Bunyi jangkrik dan efek suara tonggeret yang dihadirkan dalam film mempertegas realitas suasana perdesaan. Penerapan sound effect ini bukan hanya menjelaskan lokasi dalam cerita, tetapi turut mendukung nuansa emosional para pemain Perempuan Tanah Jahanam.

Beralih ke pembahasan sound speech dalam Perempuan Tanah Jahanam, apabila ditinjau dari awal hingga akhir, film ini memiliki dialog yang terdengar clear dan sinkron. Sepanjang film, adegan monolog tidak banyak ditampilkan, melainkan hanya beberapa saja. Kerjasama tim sound, termasuk Mohammad Ikhsan dan Richard Hocks sangat solid dalam memberikan ambience horor yang membantu menambah kengerian di dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

Keberadaan musik dalam sebuah film merupakan salah satu aspek yang sangat vital. Alunan nada pada tiap adegan akan turut memengaruhi psikologis penontonnya. Apalagi ketika menyaksikan film bergenre horror-thriller, tentu

54

music track membantu membangkitkan atmosfer mencekam. Dibalik keharmonisan film scoring Perempuan Tanah Jahanam, terdapat tim tata musik karya musisi-musisi langganan Joko Anwar seperti Aghi Narottama, Bemby Gusti dan Tony Merle dipadukan dengan performance composer newbie yang baru saja terjun dalam perfilman, Mian Tiara.

Secara khusus, musisi Mian Tiara berkontribusi dalam Perempuan Tanah Jahanam dengan olah vokalnya. Mian menyumbang vokal dalam tembang-tembang Jawa yang lirih dan sendu. Vokal Mian mengiringi suasana adegan persalinan beberapa perempuan warga Desa Harjosari dan saat pertunjukan wayang kulit dalam kisah Perempuan Tanah Jahanam. Mian juga turut berperan sebagai salah satu tokoh perempuan hamil di Desa Harjosari. Mian mengaku menemukan ketenangan spiritual saat berkesempatan menembang dan juga berakting untuk Perempuan Tanah Jahanam. Kabar baiknya, kerja keras mereka selaku music arranger film Perempuan Tanah Jahanam tidak sia-sia. Mereka berhasil memenangkan piala citra dalam kategori Penata Musik Terbaik pada FFI, Festival Film Indonesia (terlihat pada Gambar 13).

Gambar 13, Potret para pemain dan kru film Perempuan Tanah Jahanam pada malam anugerah piala citra Festival Film Indonesia (FFI).

55 2.4 Rangkuman

Pada bab 2 ini telah dianalisis rumusan masalah pertama terkait struktur film dalam Perempuan Tanah Jahanam karya Joko Anwar. Struktur film yang terdapat dalam Perempuan Tanah Jahanam meliputi unsur naratif dan unsur sinematik.

Unsur naratif terdiri atas tokoh, konflik & masalah, lokasi dan waktu. Sedangkan unsur sinematik meliputi mise-en scene, sinematografi, editing, dan suara.

Unsur naratif membahas mengenai suatu rangkaian kejadian dalam film yang terikat oleh hukum logika sebab-akibat (kausalitas). Perempuan Tanah Jahanam menggaet sejumlah aktor kenamaan Indonesia untuk berperan dalam film ini. Sebut saja Tara Basro, Marissa Anita, Christine Hakim, Asmara Abigail, dan Ario Bayu. Dalam film ditampakkan empat central character yang semuanya berjenis kelamin perempuan, yakni Maya yang diperankan oleh Tara Basro, Dini yang diperankan oleh Marissa Anita, Ratih yang diperankan oleh Asmara Abigail serta Nyi Misni yang diperankan oleh Christine Hakim. Beralih ke peripheral character yang turut memegang watak penting dalam film, yaitu Saptadi (Ario Bayu), Nyai Shinta (Faradina Mufti) dan Donowongso (Zidni Hakim).

Maya adalah sentral film Perempuan Tanah Jahanam. Ia merupakan gadis sebatang kara yang terpaksa berjuang untuk tetap bertahan hidup. ‘Keadaan’

membentuk Maya menjadi perempuan tangguh dan berani. Untungnya, Maya memiliki Dini, sahabat karib yang selalu bersamanya dalam kondisi apapun. Tokoh Dini menjadi sosok yang lebih aktif menghidupkan suasana di awal cerita.

Karakternya yang outspoken membumbui Perempuan Tanah Jahanam dengan dialog-dialog jenakanya. Dini merupakan sahabat yang baik bagi Maya. Dini

56

bahkan rela membahayakan nyawanya demi mendampingi Maya dalam menghadapi beragam problematika hidupnya. Tokoh Ratih yang merupakan penduduk Desa Harjosari adalah salah satu tokoh protagonis yang baik dan positif serta mampu menyita empati penonton saat menyaksikan perannya dalam Perempuan Tanah Jahanam.

Berlawanan dengan sosok Ratih, Tokoh Nyi Misni merupakan satu-satunya tokoh antagonis perempuan dalam film ini. Ia berperan sebagai ibu dari Ki Saptadi (kepala Desa Harjosari). Nyi Misni dapat dikatakan sebagai pemantik konflik dengan karakter jahatnya. Saptadi (kepala Desa Harjosari) pernah menjalani relasi gelap dengan Nyai Shinta yang merupakan istri Ki Donowongso. Dalam film diceritakan bahwa Saptadi hidup di bawah kendali sang ibu, Nyi Misni. Nyai Shinta dan Donowongso dalam Perempuan Tanah Jahanam menjadi korban kekejaman Nyi Misni dan Saptadi hingga merenggut nyawa keduanya.

Kisah Perempuan Tanah Jahanam berawal dari tokoh Maya dan Dini, dua perempuan kota yang bekerja keras demi bertahan hidup. Maya dan Dini tidak memiliki pertalian darah namun hubungan keduanya sudah seperti saudara kandung. Suatu ketika, Maya mendapatkan informasi kalau dirinya merupakan keturunan keluarga kaya raya yang berdiam di sebuah desa terpencil bernama Harjosari. Mengetahui hal itu, Maya beserta Dini berinisiatif untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai harta warisan yang kemungkinan masih berada di desa tersebut. Konflik dan masalah semesta Perempuan Tanah Jahanam bermula dari sini. Maya dan Dini terpaksa menghadapi berbagai macam masalah yang mereka jumpai di Desa Harjosari.

57

Joko Anwar selaku sutradara film Perempuan Tanah Jahanam memilih desa-desa terpencil di sekitar Jawa Timur sebagai lokasi syuting demi memberi kesan real ‘tanah jahanam’ sesuai dengan judul filmnya. Terdapat tiga lokasi utama yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa penting dalam Perempuan Tanah Jahanam. Ketiga lokasi tersebut adalah Desa Harjosari, Rumah keluarga Maya dan juga Rumah Ki Saptadi yang merupakan kepala Desa Harjosari.Terkait waktu maupun perkembangan plot film Perempuan Tanah Jahanam, secara keseluruhan dikemas dalam pola linear (berurutan) tanpa adanya penundaan tempo yang substansial sehingga memudahkan penonton dalam memahami serta menikmati setiap rangkaian ceritanya.

Sinematik membahas mengenai unsur pembangun sebuah film yang bersifat teknik. Sejalan dengan konflik dan masalah yang terjadi, mise-en scene film Perempuan Tanah Jahanam secara keseluruhan berisi mengenai petualangan dan perjuangan Maya serta Dini di Desa Harjosari yang diselimuti misteri. Dengan sinematografi yang matang, tim produksi Perempuan Tanah Jahanam mempersembahkan teror yang mencekam penonton. Trik editing yang ciamik, dipadukan dengan sound record yang harmonis mampu membuat penonton terseret masuk ke dalam jagat cerita dan merasakan histeria, persis seperti yang dialami tokoh-tokoh Perempuan Tanah Jahanam.

Perlu diketahui bahwa hasil kajian struktur film ini akan digunakan sebagai pijakan/dasar identifikasi dan interpretasi citra perempuan dalam film Perempuan Tanah Jahanam karya Joko Anwar yang selanjutnya akan dibedah secara detail pada bab 3.

58

Tabel 1. Unsur naratif film Perempuan Tanah Jahanam Unsur Naratif

Tokoh Konflik & Masalah Lokasi Waktu

• Maya (Tara

59

Tabel 2. Unsur sinematik film Perempuan Tanah Jahanam Unsur Sinematik

Mise-en-scene Sinematografi Editing Suara

• Dialog yang

60 BAB 3

CITRA PEREMPUAN

DALAM FILM PEREMPUAN TANAH JAHANAM 3.1 Pengantar

Dalam Bab 3 akan dibahas mengenai gambaran citra perempuan terhadap empat tokoh perempuan yang terdapat dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

Gambaran citra perempuan ini meliputi citra diri perempuan dan citra sosial perempuan. Citra diri perempuan dibagi menjadi dua; meliputi citra fisik dan psikis.

Citra sosial perempuan juga terbagi menjadi dua, yakni citra perempuan dalam keluarga dan citra perempuan dalam masyarakat. Dengan demikian, penggunaan citra pada penelitian ini adalah wujud gambaran sikap dan sifat dalam keseharian perempuan yang menunjukan wajah serta ciri khas perempuan dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

3.2 Citra Diri Perempuan

Citra diri perempuan merupakan sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun sosialnya (Sugihastuti, 2000:112 – 113). Menurut Sugihastuti dalam Mbulu (2017) Citra diri perempuan merupakan keadaan yang terlihat dan terasa oleh tokoh perempuan. Citra diri merupakan keadaan dalam diri perempuannya sendiri. Adapun citra diri perempuan yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi citra fisik dan citra psikis. Berikut ini akan dipaparkan citra perempuan dari aspek fisik dan psikis pada keempat tokoh utama dalam film Perempuan Tanah Jahanam.

61 3.2.1 Citra Perempuan dari Aspek Fisik

Keadaan tubuh perempuan merupakan salah satu aspek citra fisik yang dapat terlihat sepanjang penceritaan, keadaan tubuh perempuan meliputi seluruh anggota tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keadaan tubuh yang dimaksud ialah seluruh anggota tubuh yang terlihat dan dimiliki oleh tokoh utama perempuan. Keadaan tubuh dapat terlihat dari penyebutan secara langsung ataupun tidak langsung sepanjang penceritaan film (Septiaji dan Nisya, 2019:310).

Citra perempuan secara fisik, perempuan dewasa yang merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dari bayi perempuan, yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Dalam aspek fisik, perempuan mengalami hal-hal yang khas yang tidak dialami oleh laki-laki, terkongkretkan dari ciri-ciri fisik perempuan dewasa, misalnya pecahnya selaput dara, melahirkan dan menyusui anak, serta kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan. Hal ini juga menyangkut persoalan terminologi gender. Konsep gender adalah suatu terminologi yang berbeda dengan konsep jenis kelamin. Konsep biologis adalah perbedaan yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena faktor kodrati. Misalnya, perempuan memiliki alat reproduksi; mengandung, melahirkan. Perbedaan biologis ini bersifat permanen, tidak dapat dipertukarkan, sebagai suatu ketentuan yang pasti dari Tuhan. Realitas fisik ini pada kelanjutannya menimbulkan antara lain mitos tentang perempuan sebagai mother-nature. Di dalam mitos ini wanita diasumsikan sebagai sumber hidup dan kehidupan, sebagai makhluk yang dapat menciptakan makhluk baru dalam artian dapat melahirkan anak (Sugihastuti, 2000:94).

62

Berdasarkan aspek fisik, tokoh Maya dan Dini (Tara Basro, Marissa Anita) direpresentasikan sebagai perempuan yang tinggal di lingkungan perkotaan dan sehari-harinya bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dilihat dari visualnya dalam Perempuan Tanah Jahanam, tampak jelas bahwa Dini dan Maya tidak suka bersolek dan lebih nyaman dengan penampilan seadanya (terlihat pada Gambar 14). Dalam kehidupannya, tokoh Maya dan Dini digambarkan sebagai perempuan dewasa yang tomboi dan gagah.

Ciri fisik ini terbentuk dengan sendirinya karena Maya merupakan anak yatim piatu sedangkan Dini masih memiliki orangtua namun tidak pernah memedulikan keberadaannya hingga Dini bagaikan hidup sebatang kara. Mereka terpaksa bekerja keras setiap harinya demi bertahan hidup di lingkungan perkotaan.

Dini dan Maya tidak seberuntung perempuan-perempuan lain yang dapat tumbuh dengan penuh kasih sayang dan finansial yang cukup hingga tubuh mereka cantik dan terawat.

Gambar 14, visual Maya dan Dini dalam Perempuan Tanah Jahanam.

63

Namun, aspek fisik yang dimaksudkan bukanlah soal kecantikan dan keindahan tubuh semata, melainkan perempuan yang dapat hamil, melahirkan dan menyusui. Karena fisik dan sifatnya yang cenderung maskulin, pada usia mereka yang sudah menginjak 25 tahun, Maya dan Dini memilih untuk tetap lajang dan tidak begitu tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria manapun. Berangkat dari hal itu, asumsi terkait kecantikan wanita yang seolah diwajibkan mencapai

Namun, aspek fisik yang dimaksudkan bukanlah soal kecantikan dan keindahan tubuh semata, melainkan perempuan yang dapat hamil, melahirkan dan menyusui. Karena fisik dan sifatnya yang cenderung maskulin, pada usia mereka yang sudah menginjak 25 tahun, Maya dan Dini memilih untuk tetap lajang dan tidak begitu tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria manapun. Berangkat dari hal itu, asumsi terkait kecantikan wanita yang seolah diwajibkan mencapai