3.3 Pengumpulan Data
3.3.3 Citra penginderaan jauh satelit
Jenis data penginderaan jauh satelit yang dikumpulkan meliputi citra resolusi menengah yaitu Landsat dan SPOT-4 diperoleh dari LAPAN, serta citra resolusi tinggi yaitu SPOT-5 dan QuickBird dipesan dari agennya. Citra Landsat dipilih pada kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 8 dengan resolusi spasial 15 m. Citra SPOT-4 dipilih kanal 1, 2, 3, 4 dengan resolusi spasial 20 meter, sedangkan citra berupa pansharpen dengan resolusi spasial 5 meter. Citra QuickBird digunakan seluruh kanal yaitu kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 5 dengan resolusi spasial 0,6 m. Penggunaan citra SPOT-5 difungsikan untuk mendukung analisis visual, sedangkan citra QuickBird difungsikan untuk validasi dan verifikasi terhadap citra Landsat karena kedua citra ini memiliki kisaran panjang gelombang yang sama.
Pengumpulan citra diupayakan dengan persentase liputan awan serendah mungkin dan kendala ini diselesaikan dengan cara menyeleksi citra dari beberapa tanggal perekaman yang tersedia. Pemilihan tanggal citra atau waktu perekaman tidak menjadi pertimbangan utama dalam analisis berbasis geomorfologi karena
analisisnya memanfaatkan obyek-obyek di permukaan yang relatif statis. Hal ini berbeda dengan obyek penutup/penggunaan lahan yang relatif dapat berubah lebih dinamis. Pulau-pulau kecil dan ekosistem laut yang dipilih sebagai model adalah daerah dimana citranya tanpa awan agar hasil pengolahan citra dapat mencerminkan nilai spektral obyek yang sebenarnya. Data tersebut dikumpulkan dengan pemotongan (cropping) citra dan disimpan dalam bentuk data set untuk citra kanal multispektral dan citra kanal pankromatik. Dengan demikian terdapat tiga kelompok data set citra meliputi pulau tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu termasuk di dalamnya ekosistem laut utama yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun.
Tiap daerah model disimpan dalam bentuk data set yang dipisahkan antara kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda, yaitu untuk data Landsat akan diperoleh satu set data kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30 meter, dan satu set data kanal 8 yang mempunyai resolusi spasial 15 meter. Bentuk data set serupa juga dibuat untuk citra SPOT dan QuickBird. Data set daerah model digunakan untuk permodelan pengolahan data yaitu fusi dan penajaman serta untuk analisis karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut.
3.4 Pengolahan Data 3.4.1 Fusi multispektral
Fusi dimaksudkan sebagai penggabungan beberapa kanal yang terdapat pada citra Landsat ETM+, SPOT-4, dan QuickBird untuk mendapatkan tampilan citra yang tajam. Fusi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi multispasial. Fusi multispektral adalah penggabungan antar kanal dengan resolusi spasial sama. Dalam hal ini, untuk citra Landsat menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m. Fusi yang sama dilakukan pada citra SPOT-4 menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan SWIR dengan resolusi spasial 20 m, sedangkan citra QuickBird menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m.
Fusi multispektral terbaik diseleksi menggunakan algoritma Optimum Index Factor (OIF) seperti pada persamaan 1 berikut:
(1) keterangan: Sk : standar deviasi nilai-nilai spektral pada kanal
Abs (rj): nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal.
Citra Landsat dengan 6 kanal dapat diperoleh kombinasi 3 (tiga) kanal sebanyak C36 = 6! / (3!) (6-3)! = 20. Menurut Jensen (1986) dari 20 kombinasi
tersebut hasil yang terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF tinggi. Namun Danoedoro (1996) mengemukakan bahwa bentuk kombinasi yang memakai kanal 1 atau spektrum biru sebaiknya tidak digunakan untuk tujuan interpretasi obyek, karena kanal 1 mengandung hamburan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan OIF untuk enam kanal citra Landsat, dan dipilih kombinasi yang mempunyai nilai OIF tertinggi selain kombinasi dengan kanal 1.
Kombinasi dengan nilai tertinggi ini dapat menyajikan keragaman warna paling banyak sehingga informasi obyek-obyek dapat diidentifikasi secara optimal. Keragaman warna terbanyak dari tiga kanal, untuk resolusi radiometrik 8 bit, adalah sebesar (28)3 = 16.777.216 warna. Kombinasi tiga kanal yang terpilih digunakan untuk membuat citra komposit warna dengan memasukkan setiap kanal ke dalam filter merah, hijau, dan biru.
Dari kombinasi 3 kanal terpilih, didapatkan P33 = 3! / (3-3)! = 6 kemungkinan
tampilan citra komposit berwarna. Keenam tampilan citra komposit ini berbeda dalam warna, tetapi jumlah warna atau jumlah kisaran nilai digitalnya tetap sama. Dengan kata lain, tingkat kedetailan informasi keenam citra komposit adalah sama. Dalam hal ini, pada dasarnya kombinasi kanal yang optimal ditentukan oleh terain, iklim, dan sasaran interpretasi (Sabin, 1997).
3.4.2 Penajaman
Penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah diperoleh fusi multispektral terseleksi. Penajaman citra meliputi semua operasi yang menghasilkan citra ‘baru’ dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral berbeda (Danoedoro, 1996). Pada tahap ini beberapa jenis penajaman dianalisis dan kemudian dipilih jenis penajaman terbaik. Kisaran nilai digital setiap obyek diketahui pada saat proses penajaman citra dikerjakan.
Pada pengolahan data penginderaan jauh dikenal dua jenis penajaman, yaitu penajaman spektral atau kontras dan penajaman spasial atau filtering. Penajaman spektral adalah manipulasi citra dengan merentangkan histogram untuk mendapatkan kecerahan citra. Cara ini disebut juga operasi titik, karena di dalam
pemrosesan citra, operasi transformasi warna atau kecerahan dipakai pada setiap piksel (titik) dari suatu set data independen untuk diaplikasikan pada seluruh piksel lainnya. Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman yang ada pada perangkat lunak ER-MAPPER 6.4., yang meliputi transformasi linier, transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi nilai aktual. Setiap transformasi ini menghilangkan 0,5% di kanan dan kiri histogram.
Proses penajaman spasial atau filtering dibagi jadi tiga jenis, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Filter yang pertama digunakan untuk menghaluskan kenampakan citra dan filter yang kedua digunakan untuk menonjolkan perbedaan antar obyek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat antar obyek (Danoerdoro, 1996). Filter yang kedua ini biasa digunakan untuk menajamkan detail tanpa berpengaruh pada bagian frekuensi rendah dari citra. Adapun filter yang ketiga dipakai untuk menajamkan obyek-obyek yang terletak di sekitar tepi pada citra (ER-MAPPER 5.5, 1997). Untuk penajaman spasial low pass filter, dipakai tiga jenis yaitu average 7 x 7, average 3 x 3, dan average diagram. Untuk penajaman spasial high pass filter dipilih tiga algoritma yaitu sharpen-2, sharpen-11, sharpedge, sedangkan untuk penajaman spasial edge detection filter
dipilih tiga bentuk algoritma yaitu different, gradien in the x direction, dan gradien in the y direction.
Algoritma-algoritma yang ada pada ketiga jenis penajaman spasial tersebut kemudian diterapkan pada model-model penajaman spektral yang telah diseleksi sebelumnya. Hasil dari proses-proses penajaman ini kemudian diseleksi dan dipilih satu yang memiliki tampilan visual paling jelas untuk setiap model pulau kecil.
Data SPOT-4 dan QuickBird diolah untuk mendapatkan citra komposit dengan proses penajaman seperti yang dilakukan pada citra Landsat. Citranya digunakan sebagai pendukung dan pembanding analisis obyek-obyek di pulau kecil dan ekosistem laut.
3.4.3 Fusi multispasial
Fusi multispasial merupakan penggabungan kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada penelitian ini dilakukan penggabungan antara komposit kanal multispektral dengan kanal pankromatik. Pengolahan ini disebut juga sebagai penajaman yaitu dengan meningkatkan resolusi spasial. Pada citra Landsat ETM+ dilakukan penggabungan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 resolusi
spasial 30 m dengan kanal 8 resolusi spasial 15 m. Pada citra QuickBird dilakukan penggabungan antara kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 resolusi spasial 2,44 m dengan kanal 5 resolusi spasial 0,6 m. Pada penggabungan ini, kanal 8 dan kanal 5 (pankromatik) ditempatkan pada bagian “intensity”, sehingga diperoleh suatu kombinasi Red Green Blue Intensity atau disingkat RGBI (ER-MAPPER 5.5, 1997).
Citra SPOT-4 tidak diperoleh kanal pankromatik sehingga tidak dilakukan fusi multispasial. Demikian halnya untuk citra SPOT-5 dan citra QuickBird daerah Batam karena citra yang diperoleh telah diolah (bukan data asli) atau disebut citra pansharpen.
3.5 Analisis Data 3.5.1 Pulau kecil
Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut diinterpretasi dari tampilan citra komposit dari hasil pengolahan citra terseleksi. Tahapan interpretasi dan analisis adalah identifikasi, delimitasi, dan delineasi bentuklahan. Identifikasi adalah mengenali bentuklahan atau obyek dan memberikan nama bentuklahan atau obyek. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan atau obyek pada citra yang diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya di lapangan, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan atau obyek tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan ke dalam bentuk peta bentuklahan dan menjadi suatu unit dalam deskripsi karakteristik biogeofisik. Satu unit bentuklahan berupa satu poligon.
Analisis pulau kecil berbasis geomorfologi menggunakan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Analisis ini untuk mendapatkan kelas bentuklahan pada pulau-pulau kecil dan bentuklahan terumbu yang dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape). Cara pendekatan ini lebih sesuai karena berdasarkan pada prinsip geomorfologi yang menggunakan bentuklahan, litologi, dan genesis (proses masa kini dan masa lalu) (Zuidam, 1985). Metode klasifikasi bentuklahan dilakukan menurut kelas-kelas pada skala 1:50.000 sesuai dengan pedoman teknis pemetaan tematik dasar.
3.5.2 Ekosistem laut Mangrove
Analisis data mangrove dilakukan secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi dengan pendekatan analisis geomorfologi, sedangkan analisis digital
adalah untuk mendapatkan informasi kualitasnya melalui tingkat kerapatan vegetasi.
Metode analisis geomorfologi untuk mengenali mangrove dari aspek morfologi adalah dari bentuk topografi pulau kecil yang berupa dataran. Bentuklahan yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove antara lain bentukan asal marin dan fluvio-marin. Dari aspek morfoarrangement, mangrove tumbuh pada atau dekat dengan bentuklahan yang memungkinkan terbentuk air payau, seperti bentuklahan-bentuklahan delta, rataan pasang surut, dataran pantai, dan dataran aluvial pantai. Sebaliknya pada bentuklahan cliff dan beting gisik,
mangrove jarang dijumpai. Analisis menggunakan aspek morfoarrangement pulau kecil memberikan informasi mengenai kemungkinan tumbuh atau tidaknya
mangrove di suatu pesisir. Sementara itu, tipe pulau kecil memberikan informasi morfogenesis perkembangan mangrove.
Vegetasi mangrove dikenali dari citra komposit RGB kanal terseleksi untuk mendapatkan perbedaan warna yang tegas antara vegetasi mangrove dengan vegetasi non mangrove. Kanal yang digunakan adalah kanal 3 (merah) dan kanal 4 (infra merah) dari citra Landsat dan QuickBird. Kanal 3 dan kanal 4 masing- masing bekerja pada panjang gelombang 0,63 – 0,69 µm dan 0,76 – 0,90 µm dimana pada selang panjang gelombang tersebut perbedaan kurva pantulan dari obyek vegetasi dan tanah sangat besar sehingga berguna untuk identifikasi
mangrove.
Perbedaan tingkat kerapatan mangrove dapat dilakukan melalui analisis indeks vegetasi, dengan menggunakan citra yang areanya telah diidentifikasi sebagai obyek mangrove. Hal ini penting dilakukan agar indeks kerapatan yang dihasilkan betul-betul berasal dari vegetasi mangrove. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu cara algoritma yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi vegetasi di antaranya ”kerapatan”.
Indeks vegetasi ditentukan dengan rumus:
(2) (IR – R)
NDVI =
(IR + R) keterangan:
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
IR = Nilai digital pada kanal infra merah dekat R = Nilai digital pada kanal merah
Nilai NDVI semakin besar menunjukkan bahwa nilai kehijauan vegetasi permukaan semakin tinggi. Dalam analisis indeks vegetasi, nilai kerapatan vegetasi ditentukan dengan melakukan pengklasifikasian ulang (reclassification) dari nilai hasil perhitungan NDVI dengan mempertimbangkan nilai histogram dan standar deviasinya. Nilai-nilai tersebut kemudian diklasifikasikan sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi
Kelas Kisaran NDVI Keterangan
0 < 0.01 dan > 0.07 tidak bervegetasi 1 0,01 – < 0,18 sangat jarang 2 0,18 – < 0,32 jarang 3 0,01 – < 0,42 sedang 4 0,42 – < 0,42 lebat 5 0,49 – < 0,70 sangat lebat Sumber : Danoedoro, 1996
Terumbu karang dan lamun
Terumbu karang dan lamun merupakan obyek yang ada di bawah permukaan air laut. Analisis geomorfologi terumbu dan lamun dilakukan melalui interpretasi obyek-obyek secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi. Metode analisis secara geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang lahan dengan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Tampilan terumbu karang dan lamun pada citra satelit seringkali sulit dibedakan dengan substrat dasar perairan laut dangkal, kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, karena informasi yang didapat dari citra awalnya masih tercampur dengan informasi lain.
Dari analisis geomorfologis terumbu bermanfaat untuk memandu analisis ekologisnya. Analisis ekologis terumbu karang dilakukan untuk mendapatkan informasi kondisi ekologis terumbu karang, berupa karang mati dan karang hidup serta kondisi lamun. Analisis ekologis yang dimaksud menggunakan algoritma Lyzengga (1981) yang dilakukan secara digital menggunakan metode yang didasari oleh “Model Pengurangan Eksponensial” (Exponential Attenuation
Model). Algoritms ini menghilangkan efek kolom air untuk ekstraksi informasi obyek dasar laut dengan persamaan sebagai berikut:
Lyz = Liˆ + (0,54 Lib - Liˆ) exp -2 kiz (3)
keterangan:
Li = radiasi pada panjang gelombang i Liˆ = radiasi yang diukur pada laut dalam
Lib = radiasi dasar perairan (0 m), panjang gelombang i z = kedalaman perairan (m)
ki = koefisien atenuasi dari air pada panjang gelombang i
Persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut:
[
]
−⎢⎣⎡⎜⎝⎛ ⎟⎠⎞(
⎥⎦⎤ = ln( 1) ln(TM2) kj ki TM Y)
(4)di mana: Y : Hasil klasifikasi algoritma Lyzengga TM1 dan TM2 : kanal 1 dan kanal 2 Ladsat. Koefisien ki dan kj diperoleh dengan cara:
1
2+
+
=a
a
k
k
j i[
]
(
1var
1 22)
2
TM TM TM TMCo
Var
Var
a
×
−
=
Pada prakteknya, algoritma pada Formula 4 diubah dari tanda negatif ( - ) menjadi positif ( + ) untuk menghasilkan variasi warna lebih banyak, sehingga dapat mengenali variasi terumbu karang secara tegas.
Operasi algoritma Lyzengga ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna keabuan (gray scale), dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi warna pseudo (pseudo colour ) pada kisaran nilai digital antara 0 - 255.
Gambaran ringkas keseluruhan proses pengolahan data dan analisis data penginderaan jauh satelit secara skematik ditunjukkan pada Gambar 10.
3.5.3 Perikanan pantai
Analisis perikanan pantai dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kondisi perikanan pantai. Data ikan
dikumpulkan di beberapa stasiun yang mewakili variasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, seperti diuraikan pada sub-bab 3.3.2. Analisis menggunakan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi (Odum, 1992), adalah untuk membuktikan korelasi antara proses degradasi pada suatu bentuklahan di daratan pulau kecil, bentuklahan terumbu, dan kondisi perikanan pantai.
Analisis Indeks Keanekaragaman (H’)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota perairan. Indeks ini juga untuk mengetahui kesehatan perikanan. Persamaan yang digunakan untuk indeks ini adalah persamaan Shannon-Wiener.
H’ = -
∑
= s iPi
Pi
1ln
Pi = ni/NH’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener....(5) H’ < 1 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak
stabil atau kualitas air tercemar berat
1 < H’ < 3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang
H’ > 3 = komunitas biota dalam kondisi stabil (air bersih)
Analisis Indeks Keseragaman (E)
Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota ikan yaitu seragam atau tidak seragam. Jika nilai indeks relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di perairan dalam kondisi seragam. Nilai indeks berkisar antara 0 - 1. Persamaan yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shannon- Wiener. E =
maks
H
H
'
Nilai indeks: 0 – 1E = indeks keseragaman Shannon-Wiener …..(6) H’ maks = ln s (s adalah jumlah spesies)
H’ = indeks keanekaragaman E = 0 berarti keseragaman rendah
Analisis Indeks Dominansi (C)
Menurut Odum (1971) untuk mengetahui adanya dominansi jenis ikan tertentu di perairan dapat digunakan indeks dominansi Simpson
C =
∑
=⎥⎦
⎤
⎢⎣
⎡
s iN
ni
1 2 Nilai indeks: 0 – 1C = indeks dominansi Simpson...(7) ni = jumlah individu jenis ke-i
Citra: 1.Landsat 2.SPOT 3.QuickBird Peta : 1. RBI 2. Geologi 3. Pelayaran Cek Lapangan
Penentuan model pulau kecil
Algoritma Lyzengga
Uji fusi multispektral
Analisis kondisi ekosistem laut (terumbu karang, lamun, mangrove) Penajaman Pemfilteran Uji multispasial
Analisis geomorfologi pulau
dan ekosistem laut Analisis visual multitingkat Input Proses Output Analisis kaitan bentuklahan Algoritma NDVI Kondisi biofisik/ bentuklahan ekosistem laut Kondisi biofisik/ bentuklahan pulau
Pulau tektonik Pulau vulkanik Pulau terumbu
Kelas: karang hidup, karang mati, lamun Tingkat kerapatan mangrove Teknik pengolahan citra terseleksi Pengelompokan pulau kecil
Identifikasi ekosistem laut berdasarkan tipe pulau
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya