• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3 Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau Kecil

4.3.2 Terumbu karang

Pada model pulau-pulau kecil ketiga tipe, unsur interpretasi warna yaitu biru terang dan unsur lokasi yaitu di perairan laut dangkal lebih mudah digunakan untuk identifikasi awal terumbu karang. Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal dan pada citra Landsat RGB 421 tampak berwarna biru terang. Namun, warna biru terang adalah kondisi umum perairan laut dangkal non-mangrove

(Gambar 14 g, 24 f, dan 29 e).

Pada perairan laut dangkal di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik, identifikasi terumbu karang secara visual dapat dibandingkan antara citra RGB 421 dengan RGB 542 (Gambar 14). Jika pada citra RGB 542 obyek tetap tampak maka obyek ini bukanlah terumbu karang. Obyek berwarna biru terang di pulau tektonik ini adalah batuan dasar peneplain yang tenggelam dan belum tentu tumbuh terumbu karang. Hasil cek lapangan diketahui bahwa warna biru terang, pada area terumbu karang ini, ternyata merupakan pasir, batuan dasar, batu lempung, konglomerat, kekeruhan atau terumbu karang (Gambar 11 f dan g). Artinya bahwa identifikasi terumbu karang secara langsung dari unsur-unsur interpretasi masih mengalami kesulitan.

Tipe pulau dan informasi karakteristik biogeofisik di pulau-pulau kecil tipe tektonik berperan dalam analisis terumbu karang. Pulau-pulau kecil di Kota Batam dengan tipe tektonik mempunyai substrat dasar yang secara geologis tersusun atas batuan bekudalam (igneous rock) dan batuan sedimen (sedimentary rocks), sehingga bentuklahan terumbu paparan berkembang di daerah ini. Misalnya, perairan laut dangkal di Pulau Lengkang merupakan paparan yang tersusun oleh batuan bekudalam dan sedimen. Jenis substrat dasar ini terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini bermanfaat untuk reklasifikasi hasil analisis digital menggunakan algoritma Lyzengga.

Pada model pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu, terumbu karang diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB 421 dari data citra Landsat dan QuickBird dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Di Pulau Pasighe (Gambar 24 f) dengan bentuk yang unik memperlihatkan detail perairan laut dangkal yang mengelilinginya. Gambar 24 f ini secara visual menjelaskan, warna biru cerah adalah pecahan koral atau karang mati, warna biru kehijauan adalah karang hidup, warna coklat gelap adalah lamun, dan warna biru adalah lagun.

Untuk obyek terumbu karang Gambar 22 a lebih jelas dibandingkan Gambar 23 a. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara citra RGB

542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat (Gambar 22). Hal ini menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi spasial dalam menampilkan terumbu karang. Pada kasus ini, terumbu karang lebih sesuai ditampilkan dengan kanal 1 dan 2 seperti pada citra komposit RGB 421 Gambar 22 c.

Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau kecil tipe vulkanik di daerah Sikka dan Sitaro diketahui kondisinya berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik di pulau kecil. Semakin tinggi aktivitas vulkanik semakin terkendala pertumbuhan karang. Secara berturut-turut contoh tingkat aktivitas vulkanik, dari paling aktif hingga tidak aktif dan terakhir membentuk atol adalah Pulau Palue dan Pulau Ruang, Gugus-pulau Besar, Pulau Pasighe, dan Pulau Gunung-sari. Pulau Babi berbentuk kubah lava terdenudasi hasil intrusi, sedangkan Pulau Gunung-sari terbentuk oleh tenggelamnya pulau vulkanik atau disebut atol.

Model Pulau Besar yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan lava dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu penghalang, sedangkan model Pulau Palue yang terdapat gunungapi aktif dijumpai terumbu pinggiran. Terumbu penghalang terbentuk pada tahap lanjut dari pertumbuhan terumbu pinggiran. Model Pulau Pasighe yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan piroklastik dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu karang berkembang jauh lebih bagus (Gambar 24 f), sedangkan model Pulau Ruang yang terdapat gunungapi aktif dijumpai karang yang masih dalam tahap awal pertumbuhannya pada substrat dasar batuan vulkanik muda. Aktivitas vulkanik ini juga mempengaruhi kondisi perairan (hidrologi) yang menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan karang. Contoh pertumbuhan terumbu karang tahap awal pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d.

Analisis terumbu karang berikut ini untuk Pulau Babi, Gugus-pulau Besar, Gosong-goni, dan Pulau Ruang menunjukkan spesifikasi karakteristik biogeofisik terumbu terkait dengan karakteristik biogeofisik pulaunya.

Terumbu karang di Pulau Babi terbentuk secara terpisah sejauh 75 meter dari tepi pantai akibat sedimentasi dan secara horizontal lebar terumbu karang berkembang tidak seragam. Perkembangan terlebar, dari arah tepi pulau menuju laut lepas adalah 800 meter, dan bagian tersempit adalah 40 meter. Pada bagian Tenggara dan Barat-Laut, terumbu karang kurang berkembang, dan hanya

memiliki lebar berkisar 40-50 meter. Pada jarak 130 meter dari muara, terbentuk terumbu dengan lebar berkisar 68 meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa terumbu karang dapat berkembang dengan lebih baik pada bagian Barat, Utara, dan Timur Pulau Babi. Hal ini disebabkan karena pada bagian-bagian tersebut menghadap ke laut (sea ward), sehingga percikan ombak serta arus pasang naik dan hangat akan membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang.

Terumbu karang pada Gugus-pulau Besar berkembang pada substrat yang berasal dari material vulkanis tua. Perkembangan terumbu karang tidak merata, mengikuti topografi dasar laut yang tidak teratur dan dipengaruhi oleh sedimentasi dari pulau kecil. Terumbu karang pada Pulau Parumaan berkembang terpisah berkisar 45-120 meter dari tepi pulau. Terumbu karang pada Pulau Kondo berkembang mengelilingi tepi pulau. Sementara itu, terumbu penghalang dijumpai di bagian barat Pulau Besar, hal ini wajar karena merupakan bagian gugus-pulau yang menghadap ke laut lepas (Gambar 44 a).

Terumbu karang pada Gosong-goni (Gambar 41 b) tampak dari citra berbentuk melingkar yang berkembang dengan topografi menyerupai cekungan seperti karung yang terbuka. Bagian terumbu karang yang terdalam mencapai 30 m di bawah permukaan air laut. Bentuk topografi demikian, dapat disebabkan oleh bentuk substrat dasarnya yang menyerupai cekungan. Bentuklahan terumbu ini disebut atol yang sedang tumbuh (belum muncul ke permukaan).

Di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di batuan vulkanik di luar area

breaker zone dan masih sangat sedikit (Gambar 36). Di dalam wilayah breaker zone tidak tumbuh terumbu karang, tapi di luar zona itu bisa tumbuh terumbu karang.Hasil aplikasi algoritma Lyzengga menunjukkan warna kuning dan merah adalah perairan laut dangkal dan terdapat endapan piroklastik berupa batu dan pasir. Di sini terumbu karang tidak terdeteksi karena memang masih sangat sedikit. Pola pertumbuhan terumbu karang pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d.

Di Pulau Ruang breaker zone tampak dengan jelas dari citra (Gambar 36 a) tapi di Pulau Pasighe kurang jelas. Di Pulau Pasighe terumbu karang tumbuh di dalam breaker zone yang merupakan perairan laut dangkal, sebaliknya di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di luar breaker zone. Pulau Pasighe memiliki area perairan laut dangkal yang berbentuk oval dengan material vulkanik. Di Pulau Lengkang tidak tampak breaker zone. Kasus ini menunjukkan

hubungan antara batimetri substrat dasar dengan nilai digital dan pentingnya informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang pada analisis digital.

a) QuickBird RGB 421

b) Landsat RGB 421

autoclip sharpen 2 c) aplikasi algoritma Lyzengga

Gambar 36 Breaker zone di Pulau Ruang, warna putih di pesisir.

a) Landsat RGB 421,

P. Lengkang b) hasil algoritma Lyzengga

Pasir Lamun Karang mati Karang hidup Laut dangkal Laut dalam P. Airmanis P. Lengkang c) Landsat RGB 421,

Puau Abang-besar d) Terumbu karang di Pulau Abang

B P. Abang besar P. Pasir-buluh P. Abang kecil A

Hasil pengamatan pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik tersebut, diperoleh perbedaan pola pertumbuhan terumbu karang secara berturut-turut dari pantai ke arah laut yaitu: a) Pulau Babi adalah pasir kemudian terumbu karang; b) Pulau Pasighe adalah lamun, terumbu karang kemudian pasir; c) Pulau Ruang adalah batu berpasir kemudian terumbu karang. Perbedaan urutan ini terjadi terkait dengan proses terbentuknya pulau kecil.

Hasil pengolahan digital menggunakan algoritma Lyzengga pada model pulau kecil tipe tektonik di Pulau Lengkang dan sekitarnya menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Di sisi lain, algoritma Lyzengga juga menterjemahkan sama antara terumbu karang dan pantai berpasir. Nilai ki/kj pada model Pulau Lengkang ini adalah 0,77835. Selain itu, tumpang tindih obyek dalam satu kelas juga dijumpai di model pulau-pulau kecil tipe tektonik lainnya.

Analisis digital terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga mengelompokkan obyek-obyek yang dibedakan dalam warna. Berdasarkan perbedaan warna ini obyek-obyek di perairan laut dangkal atau di bawah permukaan air dikelompokkan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan tiap kelompok obyek menjadi bagian yang penting dan menjadi fokus perhatian penelitian ini karena berisiko timbul kekeliruan.

Hasil aplikasi algoritma tersebut menunjukkan bahwa identifikasi terumbu karang dan lamun belum sesuai, meskipun telah menggunakan koefisien ki/kj yang dimaksudkan untuk mewakili keragaman daerah kajian. Pada kondisi lapangan memang obyek berwarna biru terang di daerah kajian merupakan batuan dasar peneplain. Kasus ini identik dengan kasus identifikasi mangrove

dimana identifikasi obyek memerlukan pengetahuan tentang obyeknya. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya akurasi klasifikasi terumbu karang secara digital. Upaya reklasifikasi hanya dapat membedakan antara perairan laut dangkal dan pasir.

Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik diketahui bahwa, aplikasi algoritma Lyzengga dapat membedakan dengan baik sampai batas perbedaan antara daratan dan perairan laut dangkal. Namun, algoritma ini belumlah memuaskan untuk digunakan pada klasifikasi terumbu karang dan lamun. Berdasarkan temuan tersebut di atas, dilakukan pengujian di

Pulau Abang yang memiliki data tentang kondisi terumbu karang. Hasil perhitungan ki/kj Pulau Abang dengan 30 area sampling adalah

a = varb1-varB2/(2xcovarB1B2) = -0,29593 ki/kj = a+((a^2)+1)^0.5 = 0,741704

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh klasifikasi terumbu karang seperti ditunjukkan pada Gambar 37 d. Menurut hasil survei CRITC (2005) di Pulau Abang menunjukkan bahwa di lokasi A ditemukan 0% karang hidup; 87,5% pasir dan 12,5% pecahan karang, sedangkan di lokasi B ditemukan: 29,70% karang hidup; 19,80 karang mati; 9,9% pasir; dan 29,7% rumput laut (seaweed). Di lokasi A, hasil klasifikasi mendekati hasil survei, sebaliknya di lokasi B, hasil klasifikasi jauh dari hasil survei. Tingkat akurasi pada kasus ini menunjukkan bahwa faktor morfologi, yaitu keterjalan pantai, mempengaruhi akurasi klasifikasi secara digital. Pada pantai terjal di lokasi B, karang hidup 29,70%, oleh algoritma Lyzengga tidak dapat dikenali. Sebaliknya, pada pantai landai di lokasi A, pasir teridentifikasi sebagai karang hidup oleh algoritma Lyzengga.

Hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Babi dibedakan menjadi 6 kelas yaitu karang mati, karang rusak, pasir, karang hidup, lamun, dan laut/lagun. Hasil reklasifikasinya menjadi karang hidup, karang mati, dan pasir (Gambar 38). Sementara itu hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Pasighe menjadi 6 kelas yaitu lamun, daratan pulau, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati/rubble. Hasil reklasifikasinya menjadi lamun, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang mati (Gambar 39). Reklasifikasi dilakukan berdasarkan informasi bentuklahan terumbu dan karakteristik biogeofisik perairan laut dangkal.

Hasil analisis digital terumbu karang di pulau kecil tipe terumbu menggunakan data Landsat, di Pulau Pomana-besar ditunjukkan pada Gambar 40. Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga pada Gambar 40 a, kemudian dilakukan reklasifikasi dengan masukan hasil analisis karakteristik biogeofisik terumbu karang, dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 40 b. Analisis terumbu karang secara digital ini termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang adalah hasil analisis secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologi. Hasil reklasifikasi dapat membedakan antara terumbu karang (warna biru muda dan kuning) dan pasir (warna merah).

a) hasil algoritma

Lyzengga Landsat b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird : karang mati : karang rusak : pasir : karang hidup : lamun : Laut/lagun c)Hasil reklasifikasi Landsat

Gambar 38 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi.

a) hasil algoritma Lyzengga Landsat b) hasil algoritma Lyzengga QuickBird asifikasi Landsat c) Hasil rekl

Perbedaan data Landsat dan QuickBird untuk klasifikasi terumbu karang dengan algoritma Lyzengga adalah pada kedetailan hasil yang disebabkan oleh perbedaan resolusi spasial yaitu antara 15 m dan 2,5 m. Kesamaannya adalah dalam memanfaatkan kanal 1 dan kanal 2 yang keduanya memiliki kisaran panjang gelombang sama. Hasil klasifikasi terumbu karang dari data QuickBird ini dimanfaatkan untuk verifikasi dan validasi hasil klasifikasi dari data Landsat.

a) hasil algoritma Lyzengga citra Landsat

b) hasil algoritma Lyzengga citra QuickBird

c) hasil reklasifikasi citra Landsat

Karang hidup Laut

Pasir

Karang mati Pulau Pomana-besar

Berdasarkan hasil l dari algoritma Lyzengga diperoleh

pengelompokan nil dalam warna. Setiap warna

diidentifikasi dan dibedakan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan obyek untuk tiap kelas pada saat reklasifikasi menjadi bagian yang penting dan fungsi informasi karakteristik biogeofisik menjadi panduan. Pada kasus terumbu karang di Pulau Pomana menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek yang berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan

dangkala selesaikan sepenuhnya pada saat

reklasifikasi terumbu karang secara digital. Misalnya terumbu karang (warna merah) d

Berdasarkan kasus-kasus tersebut di atas, diperlukan informasi karak

mang

Lamun dapat diidentifikasi secara langsung menggunakan teknik fusi erupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 421 dari

analisis digita ai digital yang dibedakan

n. Kondisi ini tidak dapat di

i bagian Tenggara Pulau Pomana-besar masuk ke kelas pasir.

teristik biogeofisik substrat dasar tempat tumbuh terumbu karang. Dari informasi ini secara tidak langsung juga dapat diperkirakan kedalaman perairannya. Pulau kecil memiliki perairan laut dangkal di sekelilingnya. Oleh karena terumbu karang tumbuh dengan baik pada kedalaman maksimum 30 m, maka area ini perlu dikenali dulu. Uraian di atas menjelaskan fenomena ekosistem terumbu karang dan tahapan untuk menggabungkan antara klasifikasi ekologis dan geomorfologis secara hierarkhis.

4.3.3 Lamun

Secara visual, identifikasi lamun sulit dibedakan dengan kekeruhan karena lamun hidup di bawah permukaan air pada substrat pasir berlumpur. Lamun dan

rove mempunyai syarat tumbuh yang terkait erat, sehingga untuk meyakinkan dalam interpretasi lamun dapat dibantu oleh keberadaan mangrove. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam mengenali lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 14 g). Hasil pengamatan di Pulau Air-manis dijumpai lamun jenis Enhalus yang tumbuh di dekat mangrove dan berada pada perairan yang terlindung (Gambar 11 h). Ekosistem lamun di pulau-pulau kecil di perairan kepulauan Kota Batam memiliki kondisi kerapatan yang beragam.

multispektral b

citra Landsat dan QuickBird. Lamun diidentifikasi berdasarkan unsur interpretasi posisi dan warna. Area lamun yang luas dijumpai di Pulau Pasighe,

dan pada citra RGB 321, lamun berwarna kecoklatan dengan posisinya di daerah yang terlindung (Gambar 24 a, b, dan c). Komposit true color RGB 321 citra Landsat dan QuickBird menampilkan lamun dengan tajam, tapi komposit lain dengan kanal 1 dan 2 dapat juga digunakan seperti komposit RGB 421, 521, atau 721. Penajaman dan pemfilteran untuk lamun sama dengan untuk terumbu karang yaitu autoclip highpass sharpen 2. Sementara itu, fusi multispasial terjadi pengkaburan pada penambahan kanal pankromatik.

angkal berlumpur sehingga dimun

an lamun menggunakan algori

Ekosistem lamun di Pulau Pasighe memiliki jenis dan kerapatan yang beragam. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam identifikasi lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 24 f). Lamun di Pulau Pasighe dijumpai berkembang dengan sangat baik dengan posisi di sekitar mangrove. Persebaran lamun jenis Enhalus

(Gambar 15 e) di Pulau Pasighe berada di dekat mangrove dan kemudian dijumpai jenis Thalasia (Gambar 15 f) secara berurutan. Sementara itu, lamun tidak dijumpai di pulau-pulau tipe vulkanik di daerah Sikka. Hal ini diperkirakan karena pantai-pantainya berhadapan langsung dengan laut lepas, jikapun ada pantai yang terlindung substrat dasarnya berupa batu.

Lamun biasanya tumbuh pada perairan laut d

gkinkan memiliki nilai digital yang sama dengan kekeruhan. Kekeliruan klasifikasi antara lamun dan kekeruhan pada klasifikasi digital dapat diperbaiki pada tahap reklasifikasi yaitu dengan memanfaatkan hasil analisis visual. Permasalahan dan pemecahannya untuk obyek ini sama seperti yang diuraikan pada klasifikasi terumbu karang. Tingkat akurasi klasifikasi lamun ditentukan pada saat proses reklasifikasi, yaitu menggunakan kelas-kelas yang dibentuk algoritma Lyzengga dan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik biogeofisik yang ada.

Hasil pengamatan pada model pulau-pulau kecil di daerah penelitian diketahui bahwa untuk identifikasi terumbu karang d

tma Lyzengga sebaiknya ditentukan batas daerah daratan pulau kecil secara visual. Berdasarkan uji coba model pulau, nilai digital batas antara darat dan perairan laut dangkal berbeda-beda bahkan pada satu pulau kecil sekalipun. Cara ini sangat berpengaruh pada akurasi klasifikasi terumbu karang dan lamun secara digital.

4.4 Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan