1.2 Perumusan Masalah
2.1.2 Tipe pulau
Indonesia kaya akan pulau kecil dengan berbagai tipe, karena terletak pada zona tektonik dan magmatik aktif. Secara sederhana Dahuri (1998) membagi tipe pulau menjadi pulau oseanik (pulau vulkanik dan pulau koral) serta pulau kontinen. Dalam Ensiklopedi Nasional 1990, tipe pulau dibagi menjadi empat yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau koral, dan pulau barier. Beller et al., (1990), membagi tipe pulau menjadi dua yaitu pulau tinggi dengan ketinggian lebih dari 15 kaki dan pulau rendah dengan ketinggian kurang dari 15 kaki. Pulau tinggi terbentuk dari proses gunungapi, agregasi batuan kontinental, atau pengangkatan batuan terumbu, sedangkan pulau rendah terbentuk di tengah samudra, di kepulauan, dan berdekatan dengan pulau utama. Namun sebaliknya, Ongkosongo (1998) mencoba merinci tipe pulau ke dalam 24 dasar klasifikasi. Dasar klasifikasinya adalah ukuran, elevasi, keterjalan, proses pembentukan, genesis, perubahan muka laut, kestabilan elevasi, kondisi, litologi, tutupan biota, pengaruh manusia, bentuk, geomorfologi, aksesibilitas, keberadaan penduduk, kepadatan penduduk, keaslian, pemanfaatan, keadaan politik, kesuburan, kepemilikan, kondisi khusus, dan lain-lain.
Bentuk lain klasifikasi pulau adalah berdasarkan kriteria fisik yang mengelompokkan pulau menjadi pulau berbukit dan pulau datar (Hehanusa,1998; Kantor Mentri Negara LH, 1996; dan Sugandhy, 1998). Pembagian ini berdasarkan pada morfologi dengan pembagian selengkapnya adalah:
(1) Pulau Berbukit:
1) Pulau Vulkanik. Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklastik, lava maupun ignimbrit hasil kegiatan gunungapi, misalnya Pulau-pulau Krakatau, Banda, Gunungapi, dan Adonara.
2) Pulau Tektonik. Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau- pulau Nias, Siberut, dan Enggano.
3) Pulau Teras Terangkat. Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai dengan pembentukan teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras. Pulau ini banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, misalnya Pulau Ambon dan Pulau Biak
4) Pulau Petabah (monadnock). Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan-batuan ubahan (metamorf), terobosan/intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau-pulau Batam, Bintan, dan Belitung.
5) Pulau Gabungan. Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih tipe pulau di atas misalnya Pulau-pulau Haruku, Nusa Laut, Kisar, dan Rote. (2) Pulau Datar:
Pulau datar adalah pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar yang terdiri atas pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral.
1) Pulau Aluvial. Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di pantai Timur Sumatra dan Delta Mahakam di Kalimantan.
2) Pulau Koral. Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.
3) Pulau Atol. Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil daripada 50 km2, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1.000 m hingga 2.000 m.
Sementara itu DKP (2004) membagi tipe pulau menjadi lima yaitu pulau benua/kontinen, pulau vulkanik, pulau koral timbul, pulau daratan rendah, dan pulau atol.
Pulau Benua (Continental Islands), Pulau ini terbentuk sebagai bagian dari benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Jenis batuan dari pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silika. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru (dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada pula pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Plistosen, kemudian berpisah pada zaman Holosen ketika muka laut meninggi. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang, Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, dan Tasmania. Di Indonesia, pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Pulau Papua.
Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau ini sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunungapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau tipe ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng- lempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Jenis batuan dari pulau tipe ini adalah basalt dan silika (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik yang terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunungapi (hot spots) yang terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawai, Marquesas, Aleutian, Antiles Kecil, Solomon, dan Tonga.
Pulau Koral Timbul (Raised Coral Islands), Pulau ini terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi.
Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan rumahnya dan membentuk pulau koral. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau koral timbul. Pada umumnya, koral yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau koral timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda, Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara.
Pulau Daratan Rendah (Low Islands), Pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau tipe ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana alam, seperti topan atau tsunami. Oleh karena pulau tipe ini relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara Teluk Jakarta.
Pulau Atol (Atolls), Pulau Atol adalah pulau (pulau koral) yang berbentuk cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk terumbu tepi (fringing reef) kemudian berubah menjadi terumbu penghalang (barrier reef) dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukannya disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik semula dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah Pulau-pulau Tukang Besi.
2.2 Ekosistem Laut
Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, membentuk suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri atas organisme hidup dan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun. Ekosistem laut adalah ekosistem yang terbentuk dari proses marin atau proses lain, tetapi masih mendapat pengaruh proses marin. Pada klasifikasi bentuklahan, ekosistem ini mencakup bentuklahan asal marin dan organik (Lampiran 1). Pakar pesisir membagi ekosistem ini berdasar sifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasa dijumpai antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun,
pantai berbatu, pantai berpasir, pantai berlumpur, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuari, lagun, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan permukiman. Ekosistem utama adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun (Dahuri, 1998).
Keterkaitan antara ketiga ekosistem utama adalah bahwa ekosistem
mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang akan dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut, sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Selain itu ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun hutan mangrove (Kaswadji, 2001). Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling mendukung dan interaksinya sangat erat, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu maka ekosistem yang lain akan terpengaruh. Selain itu, Dahuri (2000) mengatakan bahwa keterkaitan antar ekosistem utama ini berupa dampak manusia, migrasi biota, bahan organik partikular, nutrien bahan organik terlarut, dan fisik.
Keterkaitan antara tiga ekosistem utama dengan ekosistem laut lain adalah pada syarat tumbuhnya. Terumbu karang menghendaki laut cerah dan gelombang besar, sehingga pantai berlumpur tidak sesuai. Namun sebaliknya, pantai berlumpur sesuai untuk ekosistem mangrove, sedangkan ekosistem lamun sesuai pada ketiga ekosistem pantai meskipun bagus pada pantai lumpur berpasir (Bengen, 2000).
2.2.1 Mangrove
Mangrove dapat hidup pada jenis pantai berlumpur dan pantai berpasir dengan berbagai substrat di antaranya adalah pasir, lava gunungapi, atau sedimen yang bersifat karbonat. Hutan mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap kadar garam yang tinggi, serta terhadap
tanah yang kurang stabil dan pengaruh pasang surut. Mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, yang mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat. Susunan spasial formasi penggunaan lahan daerah kepesisiran di Jawa, dari laut ke arah darat adalah perikanan, mangrove, tambak, permukiman di pematang gisik, dan sawah, sedangkan untuk daerah kepesisiran di Sumatra adalah mangrove/nipah, hutan pantai, hutan pasang surut, dan ladang (Malingreau dan Christiani, 1981).
Penyebaran hutan mangrove dibatasi oleh letak lintang karena mangrove
sangat sensitif terhadap suhu dingin yang dikenal sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis. Tanah tempat tumbuhnya berlumpur, berlempung, dan atau berpasir. Penyebarannya juga terbatas akibat ketergantungannya terhadap aliran air tawar. Oleh karena itu, mangrove tumbuh pada daerah
intertidal dan supratidal. Hutan mangrove tumbuh di sepanjang pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, seperti muara sungai, delta, pantai yang terlindung, dan teluk yang dangkal. Gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi tumbuhnya mangrove ini. Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Nontji, 1987).
Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat, dan morfologi pantai. Suksesi dan kematian mangrove dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan berupa kondisi, kecepatan pengendapan yang tetap, gerakan air yang minimal, keadaan pasang surut, dan salinitas air dan tanah tertentu. Sementara itu, ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yaitu (Nybakken, 1982):
(1) Suplai air tawar dan salinitas
Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dari ekosistem
mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada: 1) Frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, 2) Frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan 3) Tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies hutan mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang
mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadi modifikasi masukan air tawar yang dapat mengubah kadar garam serta aliran nutrien dan sedimen.
(2) Pasokan nutrien
Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: 1) frekuensi, jumlah, dan lama penggenangan oleh air asin dan air tawar dan 2) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus (Odum, 1992).
(3) Stabilitas substrat
Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove, (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic).
Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Hutan mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera, Xylocarpus, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegitalis, Snaeda, Conocarpus (Bengen, 1999). Perakaran mangrove yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan.
Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan pencari makan bagi berbagai macam hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan, penahan abrasi, amukan bagi topan, dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Sebagai fungsi
ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai obat-obatan. Selain juga sebagai pemasok larva ikan dan udang. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove
yang dikembangkan di Indonesia adalah sebagai kawasan wisata alam.
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai
produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974, yang diacu dalam Supriharyono, 2000), produktivitas primer hutan mangrove cukup tinggi dan dapat mencapai 5.000 gC/m2/tahun.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies sebanyak 89, terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Di Pasifik, Avicenia tumbuh pada keadaan yang teduh dan berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan dan di belakangnya tumbuh Rhizophora. Zona Ceriops dapat tumbuh bergabung dengan zona Bruguiera, sedangkan Sonneratia tumbuh menghadap ke arah laut pada daerah yang senantiasa basah. Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove adalah moluska, udang-udang tertentu, dan beberapa ikan yang khas.
2.2.2 Terumbu karang
Terumbu karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis- jenis karang batu dan alga penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Karang di dunia dibagi dalam dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Perbedaannya terletak pada kemampuan karang hermatipik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan ini disebabkan adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dalam jaringan karang hermatipik. Sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia (Nybakken, 1982). Terumbu karang memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo
Madreporaria=Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
Karang dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni. Individu karang disebut polip, terdiri atas bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae. Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang terakumulasi menjadi terumbu (Nybakken, 1982).
Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat asuhan, tempat pencari makan, tempat pemeliharaan, tempat pemijahan, dan tempat pelindung fisik bagi berbagai biota (Nybakken, 1982). Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain dan rangkanya menjadi tempat berlindung berbagai spesies hewan seperti golongan moluska, crustasea, cacing polichaeta, tiram raksasa (kimah), gastropoda, echinodermata (terutama bulu babi, teripang, bintang laut, dan lili laut), bakteri, dan kepiting. Hewan dalam kelompok besar dan ikut dalam membentuk sistem terumbu adalah ikan baik ikan konsumsi maupun ikan hias yang mempunyai arti ekonomi penting (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken, 1982).
Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata. Perikanan yang produktif dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan penduduk pesisir. Terumbu karang menghasilkan berbagai produk seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia dan sedikitnya ada empat fungsi yaitu fungsi pariwisata, perikanan, pelindung pantai, dan keanekaragaman hayati. Fungsi pariwisata adalah keindahan karang, kekayaan biologi, dan kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi. Fungsi perikanan; sebagai tempat ikan-ikan karang yang harganya mahal sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang, dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat
mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White dan Cruz-Trinidad, 1998). Perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister, 1998). Fungsi pelindung pantai; terumbu pinggiran dan terumbu penghalang adalah pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa- desa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuklahan terumbu ini. Fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity); ekosistem ini mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hidup di ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis. Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensinya untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker, dan penggunaan lain sangat tinggi.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas hanya berkisar 50-100 gC/m2/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998), sedangkan potensi perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824 ton/tahun (Dahuri, 2001). Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000).
Organisme yang dapat kita temukan di terumbu karang antara lain; Pisces (berbagai jenis ikan), Crustacea (udang, kepiting), Moluska (kerang, keong, cumi- cumi, gurita), Echinodermata (bulu babi, bintang laut, timun laut, lili laut, bintang ular), Polychaeta (cacing laut), Sponge, Makroalga (Sargasum, Padina,
Halimeda), dan terutama hewan karang (Anthozoa). Begitu banyak jenis organisme yang hidup di sana sehingga terumbu karang adalah salah satu ekosistem di permukaan bumi ini yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi.
Kunzmann (2001) menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia karena banyaknya spesies per satuan luas. Disebutkan bahwa di dunia ini terdapat sekitar 800 jenis karang dan sekitar 4.000 jenis ikan. Total spesies yang ada di terumbu karang adalah sekitar 9 juta spesies, tidak termasuk mikroba. Dari jumlah ini, 400 jenis karang, 3.000 jenis ikan karang, dan sekitar 1.700 jenis moluska berada di Asia Tenggara. Dari genus Acropora saja, Wallace et. al., (2001) mengidentifikasi dan membuat daftar 91 jenis (spesies) terdapat di Indonesia. Maliskusworo (1991) menyebutkan bahwa perairan karang di Indonesia adalah terluas di Asia Tenggara.
Hasil inventarisasi COREMAP-LIPI Tahun 2000, ekosistem terumbu karang di Indonesia tercatat seluas 20.731 km2. Data luas ini kemungkinan lebih kecil dari luas terumbu karang yang sebenarnya karena data ini diperoleh dari citra Landsat sehingga dimungkinkan masih terdapat kawasan terumbu karang pada kedalaman di luar jangkauan sensor satelit yang tidak tampak seperti yang terdapat pada tebing sangat curam.