• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user b)Alur/ Plot

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 39-45)

Nurgiyantoro (2007: 110) menjelaskan ‘alur’ sebagai unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2007: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Lukman Ali (dalam Waluyo, 2011: 9) memaparkan plot merupakan sambung-sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab-akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi. Lebih lanjut, Robert Scholes (dalam Waluyo, 2011: 10) menjelaskan rangkaian kejadian yang menjalin plot meliputi: (1) eksposisi (paparan awal cerita); (2) inciting moment (problem cerita mulai muncul); (3) rising a ction (konflik dalam cerita meningkat); (4) complica tion

(konflik semakin ruwet); (5) clima x (puncak penggawatan); (6) falling a ction

(menurunnya konflik); (7) denouement (penyelesaian).

Sementara Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2007: 113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.Senada dengan pendapat tersebut, Forster (dalam Nurgiyantoro, 2007: 113) mengungkapkan plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Lebih lanjut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 113) mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu

commit to user

sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Pendapat lain disampaikan Aminuddin (2009: 83) alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Sedangkan menurut Anthony C. Winkler dan Jo Ray McCuen (1967: 295) mengemukakan:

“ Plot r efers to sequence of events or a ctions in stor y. Plots ar e a s numerous a s the imagina tion of writers a llows a nd va ry in importa nce from one story a nother. At the hea rt of plot is conflict-a cha ra cter in opposition neither to himself or herself, to something or someone else, or to the environment.”

“Plot adalah urutan peristiwa atau tindakan dalam cerita. Plot berisi banyak imajinasi dari penulis dan berubah-ubah dengan kepentingan dari satu cerita ke cerita lainnya. Jantung sebuah plot adalah konflik-sebuah karakter yang beroposisi baik dengan dirinya sendiri, sesuatu atau orang lain ataupun dengan lingkungan.”

Berpijak dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa alur/plot adalah struktur peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita berdasarkan kaitan sebab akibat sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita secara padu, bulat, dan utuh.

c) Penokohan dan Perwatakan

Aminuddin (2009: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu. Sementara

commit to user

Nurgiyantoro (2007: 165) menjelaskan tokoh adalah merujuk pada orangnya atau pelaku cerita.

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.Pendapat lain disampaikan Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Pendapat lain dari Kelley Griffith (1986: 46),

“ Cha ra cter s a re the people in na rra tives, a nd cha ra cterization is the a uthor’s pr esenta tion a nd development of cha r acters. Sometimes, as in fantasy fiction, the cha ra cters a re not people. They ma y be a nima ls, or robots, or crea tures fr om outer spa ce, but the author gives them huma n a bilities a nd huma n psychologica l tra its. Thus they rea lly a re people in a ll but outwar d form.”

“Perwatakan adalah orang-orang dalam cerita narasi. Penokohan adalah perwakilan si pengarang dan pengembangan dari penokohan. Kadang sebagai fiksi rekaan. Tokoh tidak hanya manusia. Tokoh bisa saja binatang atau robot atau makhluk dari luar angkasa, tetapi pengarang memberikan penokohan tersebut seperti manusia dan memiliki psikologi manusia. Dengan demikian penokohan tersebut benar-benar manusia tetapi bentuk luarnya atau fisiknya tidak sepeti manusia”.

Lebih lanjut Abrams (dalam Fananie, 2000: 87) memaparkan untuk menilai karakter tokoh dapat dilihat dari apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada konsistensi atau keajegannya dalam

commit to user

sikap, moralitas, perilaku, dan pemikiran dalam memecahkan, memandang, dan bersikap dalam menghadapi setiap peristiwa.Menurut Leo Hamalian dan Frederick R. Karl (1984: 165) “in a story where one a spect dominates, a s mood does here, often cha ra cteriza tion is not sha rply defined, frequently, the char acter or cha ra cters ta ke on genera l qua lities”. “Dalam sebuah cerita dimana satu aspek mendominasi, sebagaimana mood sering perwatakan tidak definisikan secara jelas atau tajam, seringnya, karakter berperan dengan kualitas umum”.

Anthony C. Winkler dan Jo Ray McCuen (1967: 300) “most writing about cha ra cter involves an a nalysis of a ction a nd movie. The writer must expa nd on evidence in the text tha t implies something a bout the cha ra cter”. “Sebagian besar penulisan tentang perwatakan melibatkan sebuah analisis tentang tindakan dan motif. Penulis harus mengembangkan secara jelas dalam teks yang mana menjelaskan secara tidak langsung tentang karakternya”.

Menurut Rampan (1995: 46) pembentukan watak dapat dilakukan melewati beberapa hal, (1) melalui apa yang diperbuat sang tokoh. Biasanya saat situasi genting akan muncul watak asli seseorang, karena dalam situasi itu ia harus mengambil keputusan yang tegas dan cepat. Untuk menentukan watak seseorang, pengarang harus mampu menyelami sepenuhnya susasna setting dan plot cerita, sehinga watak muncul secara meyakinkan; (2) melalui kata-kata dan ucapan sang tokoh. Kata-kata dan ucapan menunjukkan bahwa ia orang tua, orang muda, berprndidikan tinggi atau rendah, lelaki atau wanita, kasar atau berbudi luhur; (3) melalui bentuk tubuh tokoh. Dalam cerita pendek dan novel Barat, sering dijumpai penggambaran watak lewat bentuk tubuh; (4) lewat ide dan buah pikiran

commit to user

tokoh; dan (5) dilakukan secara langsung dengan deskripsi secara naratif oleh pengarang.

Fananie (2000: 87) memberi penjelasan bahwa, konflik-konflik yang tedapat dalam suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, tidak dapat dilepaskan dari tokoh-tokohnya, baik yang bersifat protagonis maupun antagonis. Lebih lanjut, Waluyo (2011: 19) menjelaskan tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca.

Dalam buku yang sama, Waluyo (2011: 19-20) menjelaskan pengertian tokoh sentral, tokoh wirawan, dan tokoh tambahan. Tokoh sentral adalah tokoh-tokoh yang dipentingkan atau ditonjolkan dan menjadi pusat penceritaan. Tokoh sentral meliputi tokoh protagonis dan antagonis. Kebalikan dari tokoh sentral adalah tokoh tambahan atau tokoh sampingan. Tokoh wirawan adalah tokoh penting (termasuk sentral) tetapi bukan tokoh protagonis dan antagonis yang utama. Sementara tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang dijadikan latar belakang saja dan tidak dipandang penting.

Harjito (2006: 6-7) mengungkapkan bahwa cara menampilkan atau mengungkapkan karakter tokoh disebut penokohan. Penampilan perwatakan secara umum ada dua cara yaitu analitik dan dramatik. Teknik analitik yaitu cara pengungkapan watak tokoh dengan mengungkapkan watak atau karakter tokoh secara langsung atau secara tersurat sedangkan teknik dramatik yaitu cara pengungkapan watak atau karakter tokoh di mana pembaca harus menyimpulkan

commit to user

sendiri watak yang dimiliki tokoh karena pengarahan mengungkapkan watak tokohnya secara tersirat mengenai karakter sang tokoh atau secara tidak langsung.

Begitu juga menurut Nurgiantoro (2007: 194-195) pelukisan tokoh dibedakan menjadi dua teknik meliputi, (1) Teknik ekspositori (Teknik Analisis) yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung (tersurat). Pengarang langsung memberikan deskripsi tokoh berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku atau bahkan ciri fisiknya; (2) Teknik dramatik yaitu cara melukiskan tokoh secara tidak langsung atau tersirat. Sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara terpotong dan tidak sekaligus. Pengarang tidak hanya pasif, melainkan sekaligus terdorong melibatkan diri secara aktif, kreratif, dan imajinatif.

Sementara, Waluyo (2011: 22) menjelaskan cara menampilkan watak tokoh, meliputi: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui dialog pelakunya.

Berpijak dari beberapa uarain di atas maka penokohan adalah pelaku cerita yang mengalami peristiwa sehingga peristiwa tersebut mampu menjalin suatu cerita. Sedangkan perwatakan adalah penggambaran watak tokoh atau pelaku cerita yang ditampilkan dalam sebuah cerita, baik dalam keadaan lahir maupun batin.

commit to user

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 39-45)