• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosiokultural Masyarakat dalam Novel Rumah di Seribu Ombak

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 148-153)

commit to user 7)Meme

3. Sosiokultural Masyarakat dalam Novel Rumah di Seribu Ombak

Erwin Arnada merupakan bukan penduduk asli Bali tetapi Erwin Arnada mampu menulis novel yang berlatar di Bali khususnya di Singaraja. Ia mampu mengungkap kedaan masyarakat Singaraja dengan menceritakan kebudayaan yang terdapat di Singaraja. Selain itu menceritakan juga pendidikan anak-anak yang kurang beruntung karena faktor ekonomi, tidak sekolah dan juga menjadi korban dari perlakuan tidak senonoh pria dewasa (CLHW no. 4), Erwin Arnada dapat menggunakan bahasa Bali dengan lancar, juga dapat mengungkap adat dan kebiasaan, serta kepercayaan dan keyakinan yang ada di Singaraja. Sosiokultural masyarakat yang ditampilkan dalam novel Ruma h di Seribu Omba k berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat dan kebiasaan, agama, kepercayaan dan keyakinan, suku.

a. Pendidikan

Novel Ruma h di Seribu Ombak menceritakan pendidikan anak-anak di Singajara yang kurang beruntung pendidikannya karena faktor ekonomi sehingga tidak dapat bersekolah. Erwin Arnada sangat konsen sekali dengan anak-anak yang kehilangan hak pendidikannya dan perlindungan keselamatannya karena kemiskinan dan tidak berdaya dari faktor ekonomi (CLHW no. 4).

Anak-anak yang kurang beruntung dalam pendidikannya tidak hanya terjadi di Singaraja saja, tetapi di pelosok Indonesia juga banyak terdapat anak

commit to user

yang tidak beruntung dalam pendidikannya. Banyak yang bicara tentang pendidikan, tentang kemakmuran tapi dibelahan pelosok masih banyak anak-anak yang tidak beruntung karena faktor ekonomi (CLHW no. 4). Melalui novel Ruma h di Seribu omba k Erwin Arnada menyampaikan kepada masyarakat bahwa novel tersebut mempunyai pesan sosial dan kemanusiaan yang perlu direnungkan dan dilakukan untuk anak-anak yang tidak berintung (CLHW no. 4). Erwin Arnada menampilkan tokoh Wayan Manik sebagai anak yang tidak beruntung pendidikannya karena faktor ekonomi kemiskinan.

“Kalau kau pintar kenapa tidak sekolah?”

“Kalau orangtuaku mampu, aku sudah es-em-pe, bukan sekolah di laut,” tuturnya pasrah. Dari perbincangan sepanjang jalan, aku menangkap kesan kalau Yanik masih ingin merasakan bangku sekolah (Rumah di Seibu Ombak, 2011: 85-86).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Wayan Manik tidak bisa melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayari sekolah. Kutipan lain yang menunjukkan Yanik putus sekolah adalah sebagai berikut.

“Kau masih ingin sekolah, ya?” ucapku memancing.

Yanik diam saja. Biasanya kalau orang diam saja, itu tanda jawabannya iya. Aku tak bisa bilang apa-apa lagi. Seperti yang ia katakan, ia putus sekolah karena tak bisa bayar uang sekolah.

Kalau dia hafal luar kepala segala jenis dinosaurus, pasti bukan anak yang kepalanya kopong. Aku jadi malu, andai saja tak menyontek jawaban Yanik tadi, pertanyaan Pak Ketut pasti hanya membuatku melongo (Rumah di Seribu Ombak, 2011: 86).

Kutipan di atas menjelaskan Yanik putus sekolah karena tak bisa membayar uang sekolah. Yanik adalah anak yang pandai dan mempunyai keinginan untuk bisa sekolah lagi. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Nik, kau mau meneruskan sekolah tidak?” tanyaku tiba-tiba. Ceritanya terpotong karena kaget mendengar pertanyaanku.

commit to user

“Kau kan tahu Mii, bagaimana ceritaku soal sekolah,” jawabnya pasrah. “Jawab saja dulu,” sergahku.

“Ya tentu mau. Aku juga bosan setiap hari menunggui kau selesai sekolah, bengong di laut dari pagi atau membersihkan perahu si Pande,” tukas Yanik.

“Kalau begitu, kita harus cari uang buat bayar sekolahmu. Bagaimana ya caranya dapatkan uang. Kau biasanya punyaide macam-macam, Nik.”

“Tapi tetap aku tidak bisa bayar, upah dari membantu Pande, semua kuberikan untuk Meme. Menunggu bapakku pulang, belum tentu ia punya uang untuk bayar.” Suara Yanik makin terdengar pasrah. Tapi, aku melihatnya masih menyimpan sepercik harapan untuk bisa sekolah lagi. (Rumah di Seribu Ombak: 96).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Yanik putus sekolah karena tidak mempunyai biaya untuk membayar uang sekolah. Keinginan untuk sekolah lagi masih tersimpan dalam benak Yanik. Berkat keinginan keras Yanik untuk bersekolah lagi serta dorongan dan bantuan dari Samii sebagai teman. Akhirnya Yanik dapat melanjutkan sekolah yang sempat terhenti. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Apalagi kuingat kalau hari ini merupakan hari saat Yanik datang mesti datang ke sekolah untuk mendaftar ulang menjadi salah satu murid SD 2 Kalidukuh. (Rumah di Seribu Ombak: 143).

Kepala sekolah membolehkan Yanik mengulang kelas enam SD. Yang lebih menggembirakan adalah ketika kepala sekolah memberikan potongan uang sekolah setelah melihat semangat Yanik yang begitu besar. Kebijaksanaan ini disampaikan kepala sekolah setelah ia melihat isi rapor Yanik yang lucek dan kumal itu. Yanik begitu gembira ketika diberi tahu ia bisa sekolah mulai besok. Yanik kutinggal sendirian di ruang kepala sekolah. Karena aku harus masuk kelasku sendiri. Sebelum aku keluar ruangan, ia memberiku kode, mengungguku sepulang sekolah, di pos tempat kami biasa mengabiskan waktu. (Rumah di Seribu Ombak: 144-145).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Yanik melanjutkan sekolah lagi yang sempat terhenti. Yanik mengulang kelas enam SD. Kepala sekolah memberikan memberikan potongan uang sekolah karena melihat semangat Yanik yang begitu besar ingin kembali sekolah.

commit to user

Tanpa buang waktu, kubuka lembar demi lembar. Tebakanku meleset. Tadinya, kupikir mataku akan melihat deretan angka dengan tinta merah. Ternyata, yang ada di depanku adalah deretan angka tujuh dan delapan. Tintanya tentu saja berwarna biru. Hanya ada dua angka enam di dalam rapor Yanik. (Rumah di Seribu Ombak: 145).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Yanik merupakan siswa yang pandai. Nilai di rapornya tujuh dan delapan, hanya ada dua angka enam di dalam rapornya.

Selain tokoh Wayan Manik terdapat juga tokoh Samihi/Samii sebagai tokoh utama dikisahkan oleh Erwin Arnada sebagai seorang anak yang berpendidikan masih di bangku SD kemudian naik ke bangku SMP.

Aku tergelak kecil. Aspirasi menanggalkan celana pendek berwarna merah, ternyata ada di kepala semua anak kelas enam. Mereka semua sudah tak sabar untuk terlihat lebih ‘besar’. Dan, celana seragam SMP berwarna biru adalah salah satu cara agar kami terlihat lebih besar. Setidaknya, begitulah yang ada di pikiran kami. Seragam sekolah SMP memang masih tak jauh beda dengan SD. Sama-sama celana pendek.yang beda hanya warnanya. Namun, entah kenapa status sebagai anak SMP terasa lebih gagah. Lebih membanggakan. Mungkin selama enam tahun ini kami dianggap anak kecil dan rendah di antara tingkat pendidikan sekolah formal. Asumsi ini ada benarnya bila kita mengurut-urutkan tingkat sekolah: SD-SMP-SMU. (Rumah di Seribu Ombak: 262).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Samii yang duduk di bangku kelas enam SD sedang menunggu pengumuman kelulusan. Samii sudah tidak sabar lagi ingin segera menjadi murid SMP. Agar terlihat lebih ‘besar’ dan gagah.

Nama-nama yang ditempel berurutan sesuai abjad. Nomor absensi dan nomo ujian juga tertera di papan itu. Telunjukkan nama dar A hingga ke S. kulihat namaku dengan nomor urut 21. Di sebelah kanan, namaku tertulis –LULUS-

Hilang sudah rasa tegangku. “Alhamdulillah,” bisikku sambil menelengkupkan kedua tangan ke muka.

Sebentar lagi aku akan jadi murid SMP tegasku dalam hati. (Rumah di Seribu Ombak: 265).

commit to user

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Samii telah lulus sekolah. Sehinga Samii menjadi murid SMP.

Selain pendidikan di sekolah terdapat juga pendidikan di madrasah.

Sejak kecil, ibuku memang mendidikku dalam agama dan aturan-aturan Islam. Ia mengajari melalui berbagai cara. Selain memasukkan aku dan kakakku ke Madrasah Dinniyah, ia juga mengajari kami melalui obrolan-obrolan lepas menjelang tidur. (Rumah di Seribu Ombak: 49).

Kuitipan di atas menjelaskan bahwa penanaman pendidikan agama terhadap anak dimulai sejak kecil. Penanaman pendidikan agama juga dilakukan dengan memasukan anak sekolah di Madrasah. Selain pendidikan di madrasah terdapat juga pendidikan di pesantren untuk belajar agama.

Menurut Ustaz, ia berkali-kali ikut qiraah saat masih muda dan belajar agama di pesantren Banyuwangi. Setiap tutup masa belajar, murid-murid pesantren Banyuwangi mengikuti qiraah, tingkat kabupaten. Bagi murid-murid pesantren, acara ini dijadikan pembuktian diri bahwa mereka sudah siap jadi santri dan berhak mempelajari ilmu Fiqih lebih dalam lagi. Seperti ingin mengulang pengalamannya, Ustaz berniat menyertakan kami ke lomba qiraah se-Kabupaten Buleleng… (Rumah di Seribu Ombak: 46).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Ustaz saat masih muda belajar agama di pesantren Banyuwangi. Saat tutu masa belajar, murid-murid pesantren bnyuwangi mengikuti qiraah, tingkat kabupaten. Acara tersebut dijadikan pembuktian diri untuk siap menjadi santri dan berhak mempelajari ilmu Fiqih lebih dalam.

Selama bulan Ramadhan anak-anak belajar mengaji di masjid setelah selesai shalat tarawih.

Murid pengajian yang jumlahnya 17 datang dari kampung Kalidukuh dan Kaliasem, desa terdekat. Bagi kami, yang rata-rata berusia sepuluh sampai sebelas tahun, mengaji setelah tarawih di masjid selama Ramadhan merupakan kegiatan yang menyenangkan… (Rumah di Seribu Ombak: 45).

commit to user

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 148-153)