• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Toleransi antarumat Beragama (masyarakat) dalam Novel Rumah di Seribu Ombak

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 197-200)

commit to user B. Pembahasan

2. Sikap Toleransi antarumat Beragama (masyarakat) dalam Novel Rumah di Seribu Ombak

Sebuah karangan atau cerita selalu berkaitan atau berhubungan dengan pengarangnya. Banyak faktor yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya, misalnya latar belakang sosial budaya, riwayat hidup pengarang, falsafah hidup, dan sebagainya.

Dunia nyata seorang pengarang sedikit banyak mempengaruhi lahirnya sebuah karya. Erwin Arnada, misalnya dalam karya novelnya yang berjudul

Ruma h di Seribu Omba k berkisah tentang seputar kehidupan masyarakat yang pluralis dan toleran yang terjadi di daerah kawasan Singaraja, meliputi desa Kalidukuh, Kaliasem, Kuta, Pantai Lovina, Temukus, Sririt, Padang Bulia dan desa-desa lainnya. Nama-nama desa yang digunakan sebagai latar cerita memang benar adanya. Desa Kalidukuh dalam cerita merupakan nama samaran dari desa Kalibukbuk, Erwin Arnada menyamarkan desa tersebut karena supaya lebih etis. Diceritakan secara detail tentang keadaan desa tersebut, keadaan masyarakatnya, kepercayaan dan upacara adat serta penguasaan bahasa dan istilah-istilah yang ada di daerah setempat yang bagi masyarakat luar Bali mendengarnya sangat asing misalnya istilah upacara pitra ya dnya (upacara persembahyangan untuk memohon ampun dan penyucian diri), peda nda (pemimpin upacara keagaman bagi umat agama Hindu), pema ris huda ka ripubhaya (upacara persembahyangan dengan tujuan untuk menyucikan kembali Bali yang ternoda, dan memohon perlindungan kepada Shang Hyang Widhi Wasa), pioda lan, kelian banjar, kelia n a dat, bendesa a da t, a wig-a wig (peraturan atau hukum adat desa), kera ma, dan sebagainya.

commit to user

Erwin Armada melalui novel Ruma h di Seribu Omba k dapat dengan lancar menggambarkan seluk beluk tentang kehidupan masyarakat Singaraja yang disertai sejumlah nama-nama desa yang digunakan sebagai tempat cerita dan istilah-istilah yang terdapat di Bali karena Erwin Arnada bertempat tinggal di Bali.

Erwin Arnada menjelaskan bahwa masyarakat Hindu dan Muslim di Singaraja hidup rukun dan harmonis. Masyarakat Muslim bisa bertoleransi dengan adat dan budaya Hindu, dan sebaliknya masyarakat Hindu bisa bertoleransi dengan adat dan budaya Muslim. Hal ini sependapat dengan yang disampaikan oleh Kliot dan Waterman dalam (Mustari, 2011: 201) bahwa pluralisme menjadi lebih pluralistik ditandakan tidak hanya dengan kepelbagaian religius, etnis, budaya, dan bahasa, tetapi ia juga ditandakan dengan perbedaan kelas, status, pekerjaan.

Muara pengarang dalam penulisan novel Ruma h di Seribu Omba k yaitu persahatan antara Wayan Manik dan Samihi. Erwin Arnada menceritakan bahwa persahabatan Wayan Manik dan Samihi bukanlah persahabatan yang biasa. Mereka juga adalah representasi dari sebuah cita-cita, semangat hidup, dan keikhlasan kepada sang Pencipta.

Wayan Manik bocah yang menganut agama Hindu yang taat dengan tradisi dan kebudayaan kehinduannya sementara Samihi terlahir dari keluarga Muslim yang taat. Mereka berdua bersahabat tulus dan saling bertoleransi antar sesama. Persahatan mereka dilatar belakangi saling menolong. Samihi merupakan anak yang takut dengan laut. Berkat dukungan dan dorongan dari Wayan Manik

commit to user

akhirnya Sahimi dapat menaklukkan laut dengan pandai bermain selancar yang akhirnya mendapat beasiswa bersekolah selancar di Amerika. Saat Samihi mengikuti lomba mengaji, Wayan Manik membantu Samihi untuk belajar teknik vokal kepada orang beragama Hindu. Yang akhirnya Samihi menjuarai lomba mengaji tingkat kabupaten Buleleng. Sementara Wayan Manik mempunyai peristiwa kelam bersama Andrew pria bule. Wayan Manik merupakan korban pedofilia dari Andrew yang merupakan pria bule. Peristiwa kelam tersebut dialami Wayan Manik sudah berlangsung selama dua tahun tanpa ada yang mengetahuinya. Wayan Manik menceritakan kisah kelamnya kepada Samihi. Kemudian Samihi membantu Wayan Manik untuk keluar dari cengkeraman pria bule yang bernama Andrew. Samihi juga membantu Wayan Manik untuk kembali sekolah lagi. Melalui kisah tersebut Erwin Arnada ingin bercerita bahwa banyak anak-anak yang hidupnya kurang beruntung yaitu tidak bisa sekolah karena tidak mempunyai biaya. Dan banyak juga anak-anak Singaraja lainnya yang mempunyai peristiwa kelam. Erwin Arnada juga bercerita tentang kehidupan yaitu kehidupan anak-anak, ketulusan dalam bersahabat yang akhirnya membuahkan prestasi. Karakter yang dialami Wayan Manik memang benar nyata terjadi. Erwin Arnada melakukan riset tentang peristiwa kelam yang menimpa anak-anak Singaraja.Kejadian tersebut Erwin Arnada menjadikan gagasan utama dalam novel Ruma h di Seribu Omba k.

Melalui novel Ruma h di Seribu Omba k, Erwin Arnada menceritakan kehidupan masyarakat di Singaraja yang pluralis dan toleransi antarumat berbeda agama dengan saling menghargai dan menghormati keyakinan atau kebiasaan

commit to user

pemeluk agama lain. Hal tersebut sejalur seperti yang diungkapkan Mustari (2011: 205) pluralitas dituntut untuk bisa toleran, yaitu: memahami dan menghargai keyakinan atau kebiasaan orang lain. dengan bersikap toleran, harus dapat menerima perbedaan dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. dengan toleran harus dapat menerima adanya perbedaan antara berbagai latar belakang sosial-ekonomi, budaya.

Kehidupan antara warga asli Bali yang menganut agama Hindu dengan warga pendatang dari Sumatra yang menetap dan tinggal di Singaraja menganut agama Muslim terjalin sangat rukun dan saling membantu tanpa ada perbedaan. Harmoni masyarakat Muslim dan Hindu yang terjadi di Singaraja menginspirasi Erwin Arnada untuk menulisnya menjadi sebuah novel, yaitu novel Ruma h di Seribu Ombak.

Menurut Erwin Arnada pluralis yang terdapat di Bali merupakan dampak dari migrasi. Ketika ratusan tahun lalu pelaut Muslim mendatangi pulau Bali, daerah Singaraja-lah yang menjadi tempat yang dituju kali pertama. Hingga sekarang, pendatang Islam terus menjadi bagian dari kelompok masyarakat di Singaraja. Akibatnya berlanjutlah proses menyatunya budaya Hindu dan Islam, yang kemudian melahirkan pola masyarakat yang penuh toleransi antar pemeluk Hindu dan Islam. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Mustari (2011: 201) bahwa pluralisme itu lahir dengan cara kolonialisme atau migrasi.

Pengarang juga menceritakan peristiwa bom Bali yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2012. Peristiwa tersebut menghancurkan Kuta, Legian, yang menewaskan banyak orang dan menghancurkan bangunan di selilingnya serta

Dalam dokumen Anang Sudigdo S.841108043 (Halaman 197-200)