• Tidak ada hasil yang ditemukan

D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan I Setelah Diamputasi

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

IV.1. D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan I Setelah Diamputasi

Pasca kecelakaan terjadi, HK mengalami berbagai macam perubahan baik itu berupa perubahan fisik, psikologis, maupun perubahan pada

harus kehilangan seluruh kaki kirinya yang terkena luka parah, HK juga harus kehilangan beberapa anggota tubuh bagian dalam khususnya disekitar perut.

Bagian perut HK memang mendapat hantaman keras dari truk container yang menabraknya, akibatnya organ bagian dalam seperti limpa harus diangkat dari tubuh HK. HK juga mengalami luka robek dibagian hatinya. Bagian usus HK juga tidak bekerja dengan baik. Oleh karena itu, selama 3 bulan setelah kecelakaan HK harus buang air besar melalui perutnya.

“Ada perut. Kan limpa dibuang. Hati, katanya hatinya robek, udah dijahit. Kan dulu BAB (Buang Air Besar)-nya di sini (menunjukkan bagian perutnya). Kok di sini gitu yaa heran-heran lah kak. Bingung. Kok kayak gini aku?. Bisa kayak gini? Bingung kok bisa kayak gini. Sedih yaa tapi gimana, udah dari atas.”

(WI-HK/b.163-168/hal.8)

Setelah 2 bulan kecelakaan tersebut terjadi, HK baru mengetahui kondisi dirinya. Tentunya HK kaget melihat apa yang terjadi dengan tubuhnya. HK heran mengapa luka yang dideritanya sangat parah sampai menyebabkan organ tubuh bagian dalam dan luarnya rusak. Semakin HK tahu luka-luka yang terukir ditubuhnya, semakin HK bertanya-tanya akan kondisinya.

“Kok bolong gini, kok jadi kayak gini. Orang nengok perut, loh kok banyak kali ukiran, gitu kak. Banyak jahitan, dulu ga kayak gini. Bingung juga kadang. Datang ke sini kan, kayak gini aku jadinya, jadi kurus kali. Kok kayak gini aku… Nengok kaca, lah kok jadi kayak gini, lah ga kayak aku dulu…”

HK juga mengalami perubahan psikologis setelah kecelakaan. Kecelakaan yang merengut hal-hal berharga dari HK tentunya memunculkan berbagai macam gejolak emosi pada diri HK. Seperti perilaku aneh HK selama di rumah sakit. Ia kerap kali berteriak menggunakan kata-kata kasar. Dirinya tidak tahu dan tidak ingat mengenai apa yang terjadi.

“Ga tahu, ga ingat pun, kak. Di ruang 8 cuma ingat kipas angin, ada orang sebelah bawa kipas angin. Orang sebelah kan jerit-jerit aja, cuma itu yang ingat. Kalau kawan datang yaa tahu, cuma katanya kok, katanya sering nyakari orang itu katanya.”

(WI-HK/b.105-109/hal.6)

“Kadang-kadang itu kan sebelah kan ribut, kak. Jerit-jerit aja. “Diam kau” gitu, kak.”

(WI-HK/b.901-902/hal.42)

Perasaan sedih yang mendalam dirasakan HK. Kehilangan salah satu anggota tubuh yang membuatnya tidak lagi sempurna ditambah kehilangan seorang ibu semakin menambah kesedihan HK. Dirinya tidak pernah membayangkan sebelumnya akan mengalami kejadian tersebut.

“Yaa nangis, sedih, kak. Campur lah, kak. Hilang gini-gini. Kok bisa hilang kenapa? Hilangnya seberapa? Yaa tanya-tanya juga, kak. Pertama kan segini”

(WI-HK/b.153-157/hal.8)

“Perasaan sedih itu masih, kak. Kenapa gini, kenapa gini. Kalau bisa tuh jangan pergi, jangan itu. Menyesal. Kalau ga pergi kan ga kayak gini Mamaknya. Mamak aku ga meninggal kayak gitu. Gitu, kak. Aturan jangan pergi.”

Setelah 3 bulan dirawat di rumah sakit, HK kembali pulang ke rumahnya. Tetapi sesampainya HK di rumahnya, ia dihadapkan dengan berbagai macam perubahan lagi seperti perubahan kegiatan sehari-hari. HK mengaku bahwa sebelum kecelakaan terjadi dan ia masih memiliki dua kaki, ia bertugas untuk membersihkan halaman rumahnya setiap hari. Namun setelah kakinya diamputasi HK hanya bisa duduk diam menonton atau bermain bersama kucing ataupun keponakannya. Hari-harinya yang terasa kian kosong karena tidak banyak melakukan kegiatan membuat HK tidak jarang teringat dengan kecelakaan dan segala kehilangan yang terjadi padanya.

“...Kalau udah sendiri itu baru ingat. Pikirannya langsung kesitu, kak. Kok hilang kakiku...”

(WI-HK/b.350-352/hal.17)

HK juga tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Keterbatasan yang dimilikinya membuat HK harus bergantung kepada kakaknya. Ia harus dibantu untuk makan, mandi, berpakaian, bahkan untuk berjalan.

“...Kadang yaa sedih juga, kak. Kencing dibantu, ini dibantu, mandi dibantu. Biasanya kan dulu enggak. Kadang pingin nyapu halaman juga, dulu kan tugasnya nyapu halaman...”

(WI-HK/b.319-326/hal.15)

Perubahan-perubahan yang terjadi membuat HK tidak bisa menerima dirinya yang sudah kehilangan kaki kirinya. HK merasa minder dengan kondisinya yang tidak lagi sempurna. HK lebih senang menghabiskan

waktunya di rumah daripada harus keluar rumah. Walaupun bosan, HK menganggap hal tersebut masih lebih baik daripada bertemu orang-orang dan melihat bagaimana cara orang-orang tersebut memperhatikannya.

“Kalau siang-siang gini keluar-keluar malu nanti ditengoki. Kalau kerumah kawan orang-orang sini aja ya bisa.”

(WII-HK/b.316-318/hal.15)

Kesedihan dan rasa minder yang dirasakan HK diakuinya akan berkurang apabila dirinya tidak sedang sendirian. Dukungan dari keluarga dan teman-teman yang selalu menemaninya dan mengajaknya berbicara membuatnya lupa dengan kondisinya. Mereka juga memberikan motivasi- motivasi yang sangat membantu HK untuk tidak terlalu memikirkan kondisi dirinya dan membuat HK berbalik memotivasi dirinya sendiri.

“Pertama bingung, kak. Tapi lama-lama kan banyak orang ngasih motivasi, sabar aja, gini-gini… Kan Allah ngasih cobaan, pasti ada jalannya. Udah, kak. Baru, mau apa orang ngomong.”

(WI-HK/b.30-33/hal.2)

“Gara-gara kawan-kawan datang, ya udah, hilang gitu aja. Udah nengok yang bawah lebih dari aku pun ada, yang di bawah kayaknya semangat, masa aku enggak?”

(WII-HK/b.56-58/hal.3)

Perlakuan orang-orang disekitarnya seperti keluarga dan teman-teman HK yang masih sama seperti sebelum HK diamputasi membuat HK lebih bersemangat untuk mempelajari banyak hal agar tidak selalu bergantung dengan orang disekitarnya. HK mulai melatih dirinya untuk berjalan dengan tongkat dan belajar melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain.

Tak jarang selama belajar HK merasa takut dan letih karena kekurangannya yang membuat ia tidak bisa maksimal dalam melakukan sebuah kegiatan, seperti mandi. Namun, HK tidak pernah berhenti belajar sampai akhirnya saat ini dirinya mulai terbiasa berjalan dengan tongkat dan melakukan aktifitas sendiri tanpa bantuan orang lain.

“Ya mandi udah bisa sendiri. Keramas, jebar-jebur lagi, kak.” (WIII-HK/b.711-712/hal.33)

“Enggak. Ya bisa, kak. Ga pakai tongkat pun bisa, pegangan. Mandi ya berdiri kayak biasa. Ya sudah biasa, kak. Kan udah lama ga mandi sih.”

(WIII-HK/b.714-716/hal.33)