Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
OLEH:
HANA ZAFIRAH ARDANI
091301009
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
skripsi saya yang berjudul:
“Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas”
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil
karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya
bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Januari 2014
Hana Zafirah Ardani
Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Hana Zafirah Ardani dan Indri Kemala Nasution
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penerimaan diri remaja
tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Penerimaan diri adalah kondisi dimana
seseorang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan maupun
pikiran yang ada pada dirinya dan mampu merangkul apapun yang muncul atau
ada pada dirinya tersebut dari waktu ke waktu (Germer, 2009). Partisipan pada
penelitian ini adalah 2 orang remaja perempuan yang mengalami kecacatan fisik
setelah menjadi korban sebuah kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Wawancara
mendalam digunakan sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedua partisipan mengalami kesulitan untuk menerima
dirinya yang tidak lagi sempurna. Proses penerimaan diri yang dilalui kedua
partisipan penelitian dipenuhi dengan beragam emosi yang muncul. Kedua
partisipan juga menunjukkan rasa malu ketika berinteraksi dengan orang lain.
Rasa malu tersebut membuat kedua partisipan sering mempunyai keinginan untuk
kembali dengan tubuhnya yang normal. Tahapan penerimaan diri partisipan
berbeda, partisipan 1 masih sampai tahap ketiga di mana tahapan ini ditandai
dengan keinginan partisipan 1 agar perasaan dan pikiran mengenai keinginan
untuk kembali sempurna dan kejadian kecelakaan segera hilang. Sedangkan
partisipan 2 sudah mencapai tahap keempat di mana partisipan 2 memilih untuk
tidak terlalu memikirkan mengenai pikiran dan perasaannya akan
ketidaksempurnaannya.
The Description of Self Acceptance Process on Adolescent with Physical Disabilities due to Traffic Accident
Hana Zafirah Ardani and Indri Kemala Nasution
Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe the self acceptance process on adolescent with physical disabilities due to traffic accident. Self acceptance is a condition where an individual aware that they have experienced a sensations, feelings, or thoughts inside them and be able to embrace it moment to moment (Germer, 2009). Participants of this study are two adolescents whom have physical disabilities after being a victim on a traffic accident. This study uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. In-depth interview used as a technique to collect the data. The result shows that both participants have difficulties to accept their self which no longer perfect. Both participants had been through the self acceptance process with many kind of emotions. They also showed a shame when interacted with other persons. That shame makes both participants have the desire to back with their normal body. The stage of self acceptance process on both participants are different, participant 1 is on the third stage which in this stage marked with participant 1 who wants to remove the feeling and a thought about the accident and desire to back with her perfect body. Whereas, participant 2 has reached the fourth stage which participant 2 choose not to think too much about her thought and feeling of her imperfection.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena dengan ridho,
rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan
Lalu Lintas”. Pembuatan skripsi ini dilakukan sebagai suatu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU).
Pembuatan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
beberapa pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara yang senantiasa mendukung para mahasiswa/i agar dapat
menjadi calon sarjana muda yang cerdas dan bertanggung jawab.
2. Kakak Indri Kemala Nasution, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk senantiasa membantu dan
membimbing penulis dengan sabar dalam proses pengerjaan skripsi ini.
Terima kasih banyak untuk semuanya, kak.
3. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si selaku
dosen penguji yang bersedia memberikan waktunya untuk menguji skripsi ini
dan memberikan kritik serta saran yang sangat membantu dalam
4. Ibu Aprilia Fajar Pertiwi, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik
dan Kak Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi, psikolog selaku dosen pengganti
pembimbing akademik selama 4 semester terakhir. Terima kasih Mbak Iteng
dan Kak Juli atas bimbingannya dikala galau-galau pilih mata kuliah.
5. Seluruh staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan ilmu yang sangat berharga dan membantu proses penulisan
skripsi ini. Semoga ilmu yang telah diperoleh dapat bermanfaat untuk penulis
dan masyarakat luas.
6. Seluruh staf bidang akademik, administrasi, dan perpustakaan Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam
proses administrasi selama penelitian ini berlangsung hingga selesai.
7. Papa dan mama tercinta, Arman Lingga Wisnu, S.E. dan Nur‟aini Sirait, atas
doa, dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang selama ini diberikan
sehingga membantu Hana selama proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih
banyak, pa, ma, semoga Hana akan selalu buat papa dan mama bangga. Amin.
I love you so much.
8. Kakak-kakak dan adikku tersayang, Sierra Putri Ardani, S.Sos, Sarifah
Vesselina Ardani, S.E, dan Aprilina Mora Ardani atas dukungan dan
perhatiannya pada proses penulisan skripsi ini ataupun pada keberlangsungan
hidupku di perantauan yang walaupun seringnya keliatan nyebelin tapi
benar-benar bikin sadar.
9. Dior Ragiba Fihi, S.T yang selalu ada dikala suka ataupun duka, yang bersedia
diandalin juga untuk nenangin pikiran dengan nasihat dan dukungannya.
Makasih banyak yaa, bo, atas dukungan, perhatian dan doanya. It‟s time for us
to catch another dreams!
10.My girls, Wulan, Marini, Lily, Dhiela, Qisty, Wanda, dan Farah (diurutan
berdasarkan NIM, hahaha) atas persahabatan yang dipenuhi dukungan,
perhatian, tawa, keributan, dan kasih sayang yang unik selama 4 tahun ini. I can‟t imagine how I live my life in Medan without you all, girls. I love you,
endlessly my second family!
11.Kak Lulu, Adlan, Rasydan, Kak Yuyud, Naya, Syafira, Bang Febby, Bang
Rizal, dan Bang Mashuri yang secara tidak langsung kasih motivasi yang pada
ujungnya bikin kangen untuk pulang ke rumah.
12.Seluruh teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Angkatan 2009 yang selalu memberikan dukungan dan menjadi teman diskusi
sehingga membantu penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Terima kasih juga
sudah memberi warna persahabatan, kekeluargaan, kebahagiaan, dan
kebersamaan pada kehidupan kampus selama 4 tahun ini. Semoga sukses
semuanya.
13.Kedua partisipan atas waktu dan kesediaannya untuk ikut serta dalam
penelitian ini. Tidak mudah untuk mengungkit kembali kenangan pahit kalian,
tapi kalian mampu menanganinya. Semoga bahagia, sehat, dan kesuksesan
14.Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Persatuan Tunadaksa Indonesia
(PTDI), dan panti sosial yang membantu penulis untuk bertemu dengan
partisipan pada penelitian ini.
15.Pihak-pihak lain yang mungkin namanya tidak disebutkan namun turut serta
membantu selama proses penelitian berlangsung. Terima kasih atas
bantuannya hingga skripsi ini bisa selesai.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu, penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan skripsi dengan metode penelitian kualitatif ini.
Demikian kata pengantar yang dapat disampaikan melalui tulisan ini.
Penulis mengucapkan selamat membaca skripsi yang berjudul “Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas.”
Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat
bagi semua yang membaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas
perhatian para pembaca sekalian.
Medan, Januari 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata Pengantar... i
Daftar Isi... v
Daftar Tabel... ix
Daftar Gambar... x
Daftar Lampiran... xi
BAB I: PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ……….…….. 1
I.2 Perumusan Masalah ……… 9
I.3 Tujuan Penelitian ……….………... 9
I.4 Manfaat Penelitian ……….………. 10
I.4.A. Manfaat Teoritis ……….. 10
I.4.B Manfaat Praktis ……….………... 10
I.5 Sistematika Penulisan ……….….. 11
BAB II: LANDASAN TEORI II.1 Penerimaan Diri..……….. 13
II.1.A. Definisi………..…..……… 13
II.1.B. Tahap Penerimaan Diri……… 14
II.1.C Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………..……. 16
II.1.D Dampak Penerimaan Diri……… 19
II.1.E Ciri-ciri Orang yang Menerima Dirinya………. 21
II.2 Tunadaksa ….………..……. 22
II.2.A Definisi………. 22
II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas………. 25
II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa………... 26
II.3 Remaja………...………... 27
II.3.A. Definisi Remaja………..……….. 27
II.3.B. Tugas Perkembangan Remaja……...……… 27
II.3.C. Remaja Penyandang Tunadaksa………... 28
II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas……….. 29
II.5 Kerangka Teoritis……… 34
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN III.1 Pendekatan Kualitatif………..………... 35
III.2 Metode Penelitian... 36
III.3 Metode Pengumpulan Data………..……….. 37
III.3.A. Wawancara………. 37
III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data ………... 38
III.4.A. Alat Perekam (tape recorder)………... 38
III.4.B. Pedoman Wawancara……….. 39
III.5 Subjek Penelitian………. 39
III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian……….……….. 39
III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian………..….. 40
III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian……….. 40
III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif………..………... 41
III.7 Prosedur Penelitian………..42
III.7.A. Tahap Pralapangan……….. 42
III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian………. 43
III.7.C. Tahap Pencatatan Data……… 43
BAB IV: ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
IV.1 Analisa Partisipan I... 47
IV.1.A Identitas Diri Partisipan I………. 47
IV.1.B Latar Belakang Partisipan I...……… 48
IV.1.C Observasi Saat Pengambilan Data... 50
IV.1.D Data Wawancara... 53
IV.1.D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan I Setelah Diamputasi……... 53
IV.1.D.2 Tahapan Penerimaan Diri... 58
1. Kebencian/Keengganan (Aversion)………. 58
2. Keingintahuan (Curiosity)………... 64
3. Toleransi (Tolerance)……….. 67
IV.1.E Hasil Data Partisipan I... 69
IV.1.F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan I... 75
IV.2 Analisa Partisipan II... 82
IV.2.A Identitas Diri Partisipan II………... 82
IV.2.B Latar Belakang Partisipan II... 82
IV.2.C Observasi Saat Pengambilan Data... 84
IV.2.D Data Wawancara... 87
IV.2.D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan II Setelah Diamputasi... 87
IV.2.D.2 Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II……… 92
1. Kebancian/Keengganan (Aversion)………. 93
2. Keingintahuan (Curiosity)………... 97
3. Toleransi (Tolerance)……….. 99
4. Membiarkan Perasaan dan Pikirannya (Allowing)………. 101
IV.2.E Hasil Data Partisipan II... 104
IV.2.F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan II... 108
Rangkuman Analisa Antar Partisipan... 114
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan……… 123
V.2 Saran……….. 126
V.2.A Saran Penelitian Lanjutan……… 126
V.2.B Saran Praktis………. 127
DAFTAR PUSTAKA……… 128
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Identitas Diri Partisipan I... 47
Tabel 2. Waktu Pertemuan Partisipan I... 50
Tabel 3. Jadwal Wawancara Partisipan I... 50
Tabel 4. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan I... 80
Tabel 5. Identitas Diri Partisipan II... 82
Tabel 6. Waktu Pertemuan Partisipan II... 84
Tabel 7. Jadwal Wawancara Partisipan II... 84
Tabel 8. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II... 112
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas... 34
Gambar 2 Skema Gambaran Proses Penerimaan Diri HK... 81
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rekonstruksi Data……….. 133
Lampiran 2 Pedoman Wawancara………. 222
Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Hana Zafirah Ardani dan Indri Kemala Nasution
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penerimaan diri remaja
tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Penerimaan diri adalah kondisi dimana
seseorang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan maupun
pikiran yang ada pada dirinya dan mampu merangkul apapun yang muncul atau
ada pada dirinya tersebut dari waktu ke waktu (Germer, 2009). Partisipan pada
penelitian ini adalah 2 orang remaja perempuan yang mengalami kecacatan fisik
setelah menjadi korban sebuah kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus intrinsik. Wawancara
mendalam digunakan sebagai teknik untuk mengumpulkan data. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedua partisipan mengalami kesulitan untuk menerima
dirinya yang tidak lagi sempurna. Proses penerimaan diri yang dilalui kedua
partisipan penelitian dipenuhi dengan beragam emosi yang muncul. Kedua
partisipan juga menunjukkan rasa malu ketika berinteraksi dengan orang lain.
Rasa malu tersebut membuat kedua partisipan sering mempunyai keinginan untuk
kembali dengan tubuhnya yang normal. Tahapan penerimaan diri partisipan
berbeda, partisipan 1 masih sampai tahap ketiga di mana tahapan ini ditandai
dengan keinginan partisipan 1 agar perasaan dan pikiran mengenai keinginan
untuk kembali sempurna dan kejadian kecelakaan segera hilang. Sedangkan
partisipan 2 sudah mencapai tahap keempat di mana partisipan 2 memilih untuk
tidak terlalu memikirkan mengenai pikiran dan perasaannya akan
ketidaksempurnaannya.
The Description of Self Acceptance Process on Adolescent with Physical Disabilities due to Traffic Accident
Hana Zafirah Ardani and Indri Kemala Nasution
Psychology Faculty in University of North Sumatera
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe the self acceptance process on adolescent with physical disabilities due to traffic accident. Self acceptance is a condition where an individual aware that they have experienced a sensations, feelings, or thoughts inside them and be able to embrace it moment to moment (Germer, 2009). Participants of this study are two adolescents whom have physical disabilities after being a victim on a traffic accident. This study uses qualitative approach with an intrinsic case study as the research method. In-depth interview used as a technique to collect the data. The result shows that both participants have difficulties to accept their self which no longer perfect. Both participants had been through the self acceptance process with many kind of emotions. They also showed a shame when interacted with other persons. That shame makes both participants have the desire to back with their normal body. The stage of self acceptance process on both participants are different, participant 1 is on the third stage which in this stage marked with participant 1 who wants to remove the feeling and a thought about the accident and desire to back with her perfect body. Whereas, participant 2 has reached the fourth stage which participant 2 choose not to think too much about her thought and feeling of her imperfection.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Masa remaja sering kali disebut masa transisi atau masa peralihan dari
anak-anak sebelum akhirnya masuk ke masa dewasa. Pada masa ini individu
mengalami perubahan fisik, emosi, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan
masalah-masalah (Hurlock, 1998). Sama seperti tahapan-tahapan perkembangan
lainnya, pada masa remaja juga terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus
dijalankan oleh remaja tersebut demi kesejahteraan pada tahapan tersebut maupun
pada tahapan selanjutnya. Salah satu tugas perkembangan menurut Havighurst
(1972; Hurlock, 1993) adalah remaja harus menerima keadaan fisiknya dan
menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan
bahwa dari salah satu tugas perkembangan masa remaja tersebut diharapkan
remaja menjadi bangga dengan tubuhnya agar dapat menggunakan dan
melindungi tubuhnya secara efektif dan dengan merasa puas. Tugas
perkembangan ini akan sulit dicapai apabila dihadapkan pada remaja yang kondisi
fisiknya tidak normal.
Salah satu kondisi ketidaknormalan adalah bentuk kecacatan fisik yang
disebut tunadaksa. Tunadaksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh bawaan
sejak lahir (White House Conference; 1931, Somantri, 2006). Frances G. Koening
(dalam Somantri, 2006) menjelaskan mengenai klasifikasi tunadaksa, yang salah
satunya adalah kondisi atau kerusakan traumatik seperti amputasi (anggota tubuh
dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka bakar, dan patah tulang.
Klasifikasi tunadaksa tersebut dapat terjadi pada masa remaja, karena masa ini
merupakan salah satu rentang usia yang termasuk beresiko terjadinya kecelakaan,
menurut Hurlock (1974) kecelakaan umumnya terjadi antara umur 4 sampai 15
tahun dan setelah umur 65 tahun. Selain itu, berdasarkan hasil pendataan/survey
yang dilakukan oleh Kementerian Sosial RI, terdapat beberapa jumlah korban
penyandang cacat pada 9 provinsi yakni sebanyak 299.203 jiwa dan 10,5%
(31.327 jiwa) merupakan penyandang cacat berat yang mengalami hambatan
dalam kegiatan sehari-hari (activity daily living/ADL). Dari kelompok umur, usia
18-60 tahun menempati posisi tertinggi. Kecacatan yang paling banyak dialami
adalah cacat kaki (21,86%), mental retardasi (15,41%) dan bicara (13,08%).
Bentuk kecelakaan yang kerap kali terjadi pada masa remaja adalah
kecelakaan lalu lintas. Hal ini dikarenakan perilaku tidak tertib lalu lintas atau
kebut-kebutan yang merupakan salah satu bentuk permasalahan-permasalahan
yang timbul pada masa ini (Kartono, 1986). Masalah kebut-kebutan yang
berujung terjadinya kecelakaan lalu lintas ini tidak jarang memakan korban,
dijelaskan bahwa 2 dari 5 penyebab kematian pada masa remaja dikarenakan
kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada anak usia 16 sampai 19 tahun (Papalia,
masuk dalam tahap perkembangan remaja, mungkin karena remaja cenderung
mengemudi gila-gilaan dihadapan teman-temannya (Chen, Baker, Braver, & Li,
2000).
Setiap tahunnya selalu saja ada kecelakaan yang memakan korban di
Indonesia. Korban yang berjatuhan tentunya masuk kedalam kategori ringan
sampai kategori yang berat. Pada tahun 2010, Kepolisian Republik Indonesia
mencatat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 61.606 kasus, di
mana angka tersebut naik 1,04% dari tahun 2009. Dari total kecelakaan tersebut,
terdapat 10.349 korban jiwa, 13.600 korban luka berat, dan 30.794 korban
mengalami luka ringan. Sedangkan kasus kecelakaan saat mudik 2012 mencapai
4.744 kejadian, dengan jumlah korban jiwa 779 orang. Dari jumlah itu, terdapat
62 kasus kecelakaan di jalan tol dengan korban meninggal 10 orang, luka berat 31
orang, dan luka ringan 78 orang.
Remaja penyandang tunadaksa yang dikarenakan kecelakaan lalu lintas
tentunya tidak mudah menerima kecacatannya. Sehingga, tidak mengherankan
apabila korban atau penyandangnya mengalami gejolak emosi. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Somantri (2006) bahwa individu yang baru
mengalami kondisi yang menyebabkan dirinya cacat memang lebih banyak
menunjukkan adanya gangguan emosi. Gejolak emosi ini tentunya akan lebih
kompleks apabila dialami oleh remaja yang memang kondisi emosinya masih
belum stabil, hal tersebut merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri
Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja sudah menjadi hal yang
sangat diperhatikan dan membuat remaja tersebut gelisah, hal ini dikarenakan
remaja mulai sadar bahwa penampilan merupakan hal penting dalam kehidupan
sosial (Hurlock, 1993). Pada remaja penyandang tunadaksa tentunya akan
mengalami kesulitan untuk menerima keadaan fisiknya karena kondisinya sudah
sangat jauh dari kata ideal, terlebih lagi apabila sebelumnya dia mempunyai tubuh
yang normal/ideal. Hal ini sesuai dengan pengalaman Tavip yang merupakan
seorang penyandang cacat dikarenakan tertimpa alat berat. Ia mengaku sangat
tertekan dikarenakan musibah yang menimpanya.
“Saya merasa jiwa saya menjadi begitu tertekan. Saya mulanya sehat dan tidak mengalami gangguan apa-apa, namun saat ini tiba-tiba tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam usia muda, dalam usia yang produktif, saya harus mengalami kecelakaan seberat ini. Saya menjadi begitu takut, dalam usia yang masih muda tidak terbayang dalam pikiran bahwa saya harus mengalami kelumpuhan seumur hidup. Saya menjadi sangat tertekan.”
(Tavip, penderita kelumpuhan, 15 Agustus 2012)
Kondisi fisik yang sebelumnya normal lalu berubah menjadi tidak normal
tentunya akan menimbulkan permasalahan baru pada diri remaja tersebut. Hal ini
sesuai dengan yang dikatakan oleh Patty & Johnson (1953) bahwa individu yang
sudah merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat untuk menerima ketika
dirinya dihadapkan pada keterbatasan. Anak yang baru mengalami kejadian yang
menyebabkan dirinya menyandang tunadaksa umumnya menganggap hal yang
terjadi pada dirinya merupakan kemunduran dan sangat sulit untuk menerima
Somantri (2006) menjelaskan beberapa dampak menjadi tunadaksa
berdasarkan perkembangan sosial dan kepribadian anak tunadaksa. Secara
perkembangan sosial, dijelaskan bahwa lingkungan disekitar anak tunadaksa akan
mempengaruhi konsep diri dan pergaulan sosial mereka. Anak tunadaksa yang
dihargai akan memberikan penghargaan juga terhadap dirinya, sehingga dapat
memperoleh konsep diri yang lebih baik. Namun, anak tunadaksa kerap kali
menerima ejekan dari orang-orang disekitarnya, hal ini dapat mengakibatkan
timbulnya perasaan negatif pada diri mereka yang akhirnya dapat menghambat
pergaulan sosial anak tunadaksa. Secara perkembangan kepribadian, terlihat atau
tidak terlihatnya kondisi kecacatan akan memberikan dampak pada kepribadian
anak tunadaksa, karena hal ini sangat terkait dengan gambaran tubuh (body
image) yang berkembang pada tahap perkembangan remaja. Umumnya anak-anak
tunadaksa menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan oleh Christie Damayanti dalam sebuah artikel
mengenai seorang remaja berumur 14 tahun yang bernama Ayu. Ia merasa rendah
diri sebagai penyandang tunadaksa.
“Aku, seorang yang cacat fisik, juga kadang-kadang sering merasa sedikit rendah diri, ketika lingkunganku yang baru (misalnya jika berjalan-jalan di mall), melihat dan memandangku rendah, walau biasanya hanya beberapa saat, sebelum aku bangkit lagi untuk menyemangati diriku supaya lebih merasa percaya diri”
“Ayu sering merasa rendah diri sebagai remaja yang „berkebutuhan khusus‟, sehingga Ayu hanya sering di rumah, melakukan aktifitas dan hobi sendiri, padahal remaja-remaja teman-temannya bisa berlari-lari, main sepeda dan belajar menari di desa.”
Remaja berkembang dalam dua kondisi, yaitu normatif dan non normatif.
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menjelaskan mengenai pengaruh normatif dan
non normatif dalam perkembangan manusia. Mereka menyatakan bahwa pengaruh
normatif adalah karakteristik dari sebuah peristiwa yang terjadi dengan cara yang
sama pada sebagian besar orang dalam sebuah kelompok. Sedangkan pengaruh
non normatif adalah peristiwa luar biasa yang berpengaruh besar dalam kehidupan
seseorang, hal ini nantinya akan berpengaruh pada tahapan perkembangan
individu. Contoh dari pengaruh non normatif ini seperti kematian orangtua, anak
cacat, atau terancam serangan teroris. Kecelakaan yang menyebabkan remaja
menyandang tunadaksa dapat dikatakan salah satu bentuk pengaruh non normatif,
sehingga nantinya perkembangan remaja tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Hobbs dan Horne (1975; 1988; Santrock,
2003) bahwa remaja yang mempunyai label cacat (tunadaksa) mungkin akan
merasa selamanya dianggap sebagai remaja yang terbelakang atau tidak mampu
serta ditolak, dan mereka bisa jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk
berkembang secara penuh.
Remaja penyandang tunadaksa mengalami beberapa masalah konsep diri
negatif, rendah diri, cemas, dan agresif, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dampak-dampak tersebut tentunya dapat berpengaruh pada tahapan kehidupan
remaja selanjutnya. Somantri (2006) menjelaskan bahwa keterbatasan yang
dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari
pergaulan masyarakat. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah pada kehidupan
lingkungan masyarakat mengenai peran dan ideologi yang berbeda-beda agar
dapat mengetahui mana yang paling sesuai dengan dirinya (Schultz & Schultz,
1994).
Dampak-dampak tunadaksa (Somantri, 2006) akibat kecelakaan pada
remaja seperti konsep diri yang negatif, menarik diri dari lingkungan, cemas,
rendah diri, dan agresif dapat ditanggulangi dengan kemampuan remaja tersebut
untuk bisa menerima diri mereka sebagaimana mestinya, menerima dirinya
dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Tentu saja proses
penerimaan diri ini harus timbul dari dalam diri korban sendiri. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Germer (2009) mengenai penerimaan diri yaitu
merangkul apapun yang muncul atau ada dalam diri kita, menerima dari waktu ke
waktu sebagaimana mestinya apa yang kita miliki tersebut. Lebih lanjut dijelaskan
oleh Hurlock (1974) yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu
tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik kepribadiannya, akan kemauan
untuk hidup dengan keadaan tersebut.
Proses penerimaan diri pada masing-masing orang berbeda. Seperti yang
dituliskan pada hasil penelitian Damayanti dan Rostiana (2003; Fatwa Tentama,
2010), keempat penyandang tunadaksa pasca kecelakaan yang menjadi subjek
dalam penelitian ini masing-masing membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
mencapai tahap penerimaan diri setelah kecelakaan yang dialami, sehingga
dinamika emosinya juga bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, variasi
dalam penerimaan diri seorang penyandang tunadaksa dapat dilihat pada tahapan
menyatakan bahwa ada lima tahapan penerimaan, yaitu aversion (keengganan,
kebencian), curiosity (keingintahuan akan minat), tolerance (merasa aman),
allowing (membiarkan perasaan datang dan pergi), dan friendship (melihat
nilai-nilai yang tidak terlihat).
Cepat atau lambatnya penerimaan diri seseorang dapat juga dilihat
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri tersebut.
Menurut Hurlock (1974) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya
hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang
menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh
keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik,
perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil.
Dampak dari penerimaan diri akan mengarah kepada penyesuaian diri
dan sosial yang lebih baik. Penyesuaian diri yang baik akan membuat seseorang
bahagia dan sukses. Sedangkan penyesuaian sosial yang baik akan membuat
seseorang menjadi lebih populer, menikmati kontak sosial, dan akan memiliki
kehidupan yang penuh makna (Hurlock, 1974). Selain itu, pada remaja
penerimaan akan kondisi tubuhnya juga termasuk salah satu hal yang dapat
membuat remaja tersebut bahagia (Hurlock, 1993)
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
penerimaan diri sangat dibutuhkan bagi para remaja penyandang tunadaksa karena
kecelakaan lalu lintas. Hal ini berguna agar para korban tersebut dapat
kekurangan yang dimiliki. Maka, pada penelitian ini peneliti ingin melihat
bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa dikarenakan kecelakaan lalu
lintas. Penelitian ini akan melihat tahapan penerimaan diri menurut Germer (2009)
pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan dengan melihat juga
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh
Hurlock (1974).
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah “bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa karena
kecelakaan lalu lintas?”
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses penerimaan
diri remaja tunadaksa dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Pada penelitian ini akan
dilihat pada tahapan mana subjek dalam penelitian menerima dirinya. Hal lainnya
yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh
I.4 Manfaat Penelitian
I.4.A. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi,
khususnya psikologi perkembangan mengenai permasalahan pada tahap
perkembangan remaja yang dapat mempengaruhi pemenuhan
tugas-tugas perkembangan pada tahapan tersebut. Selain itu, penelitian ini
juga bermanfaat untuk psikologi klinis, karena penyandang cacat
memiliki masalah-masalah psikologis yang apabila tidak segera
diselesaikan bisa menjadi permasalahan klinis.
b. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin
mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai penerimaan diri,
terutama pada anak berkebutuhan khusus seperti penyandang cacat
fisik.
I.4.B Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat dijadikan sebagai masukan pada penyandang tunadaksa untuk
menerima dirinya dengan keterbatasan yang dimiliki.
b. Memberikan informasi mengenai pemasalahan yang terjadi pada
remaja yang sebelumnya normal lalu menjadi penyandang tunadaksa
karena kecelakaan lalu lintas, sehingga penelitian ini diharapkan dapat
membantu memberikan solusi pada korban atau penyandangnya dalam
c. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi atau acuan bagi
kalangan yang tertarik pada kehidupan anak berkebutuhan khusus
khususnya remaja penyandang tunadaksa.
I.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai
remaja, tunadaksa, dan penerimaan diri.
BAB III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode
pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, teknik pengambilan
sampling, subjek penelitian, panduan wawancara dan observasi,
BAB IV Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan hasil data
wawancara pada partisipan penelitian. Data-data tersebut akan
dibahas sesuai dengan teori proses penerimaan diri untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, di dalamnya
dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1Penerimaan Diri II.1.A Definisi
Germer (2009) menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya
adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi,
perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu.
Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang
muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu
sebagaimana yang ada pada dirinya. Definisi menurut Hurlock (1974)
yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tingkat dimana individu
memiliki kesadaran mengenai karakteristik dirinya, mampu dan mau
hidup dengan kondisi itu. Jersild dalam Hurlock (1974) juga menjelaskan
mengenai penerimaan diri:
“The self-accepting person has a realistic appraisal of his
resorces combined with appreciation of his own worth ;
assurance about standards and convictions of his own without
being a slave to the opinions of others; and realistic assessment
of limitations without irrational self-reaproach. Self-accepting
people recognize their assets and are free to draw upon them even
shortcomings without needlessly blaming themselves” (Jersild,
dalam Hurlock 1974, hal. 434)
Berdasarkan definisi di atas, maka Jersild menyimpulkan bahwa
orang-orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistis terhadap
sumber daya yang dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaan
atas dirinya sendiri; yakin akan standar dan diri sendiri tanpa harus
dikendalikan oleh orang lain; dan memiliki penilaian realistis mengenai
keterbatasan tanpa harus mencela diri sendiri. Orang yang menerima
dirinya menyadari aset-aset yang dimiliki dan bebas untuk
menggunakannya bahkan jika aset tersebut tidak diinginkan. Mereka juga
mengetahui kelemahannya tanpa perlu menyalahkan dirinya.
Dari pernyataan beberapa tokoh di atas mengenai penerimaan diri,
maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi di
mana individu sadar akan segala yang dimilikinya dan bersedia untuk
hidup dari waktu ke waktu dengan apa yang dimilikinya tersebut baik itu
berupa kelebihan ataupun kekurangan. Individu yang menerima dirinya
akan merasakan kenyamanan pada apa yang dia miliki.
II.1.B Tahap Penerimaan Diri
Germer (2009) menyatakan bahwa proses penerimaan diri sebagai
bentuk keadaan melawan ketidaknyamanan terjadi dalam
tahapan-tahapan; ada pelunakan progresif, atau tidak ada perlawanan, untuk
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah, dan jika
hal-hal tersebut berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan
merangkul apapun yang terjadi dalam hidup seorang individu. Proses ini
biasanya berlangsung lama dan alami. Individu tidak dapat maju
ketahapan selanjutnya jika ia tidak merasa sepenuhnya nyaman pada satu
tahapan. Tahapan-tahapan penerimaan diri tersebut adalah sebagai
berikut.
Tahap 1: Aversion ─ kebencian/keengganan, menghindari, resisten
Reaksi alami pada perasaan yang membuat tidak nyaman adalah
kebencian atau keengganan. Kebencian/keengganan ini juga dapat
membentuk keterikatan mental atau perenungan─mencoba mencari
tahu bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan tersebut.
Tahap 2: Curiosity─ melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian
Pada tahapan ini individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada
hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan
yang biasanya muncul adalah “Perasaan apa ini?” “Apa artinya
perasaan ini?”“Kapan perasaan ini terjadi?”.
Tahap 3: Tolerance ─ menanggung derita dengan aman
Toleransi berarti menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan,
tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan
segera hilang.
Pada tahapan ini individu membiarkan perasaan tidak nyamannya
datang dan pergi.
Tahap 5: Friendship─merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi
Individu melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit
menimpanya. Hala ini merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan
diri.
II.1.C Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock (1974) dalam buku Personality Development
mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri,
seperti:
1. Pemahaman Diri
Pemahaman diri seseorang tidak ditentukan oleh kapasitas
intelektualnya, tapi melalui kesempatan untuk menggali potensi dalam
dirinya. Individu harus memiliki kesempatan untuk mencoba
kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain.
Pemahaman dan penerimaan diri berhubungan erat. Semakin baik
seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya, dan
sebaliknya. Kurangnya pemahaman diri dapat mengarah kepada
kesenjangan antara konsep diri yang ideal dan gambaran yang ia
terima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep diri.
2. Harapan yang Realistik
Ketika harapan seseorang untuk sebuah pencapaian bersifat
Hal ini akan berkontribusi kepada kepuasan diri yang sangat penting
dalam penerimaan diri. Harapan dapat menjadi kenyataan ketika
seseorang cukup memahami dirinya sendiri untuk dapat mengenali
keterbatasan dan kekuatannya.
3. Tidak Adanya Hambatan di Dalam Lingkungan
Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang
realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan
yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi ras, jenis
kelamin, maupun agama. Ketika hal ini terjadi, seseorang yang
mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Ketika
lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka
ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa
harapannya adalah suatu hal yang realistis.
4. Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan
Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan dari
masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang mengarah
kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah tidak adanya
prasangka terhadap individu dan anggota keluarganya; memiliki
keahlian sosial; dan mau untuk menerima kelompok.
5. Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat
Stres secara emosional dapat mengarah kepada
ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik
dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan bereaksi secara
negatif kepada orang lain.
Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan yang
terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih
rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi kepada evaluasi
sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri
yang baik pula.
6. Pengaruh Keberhasilan
Pengaruh kegagalan dapat mengarah kepada penolakan diri, dan
pengaruh kesuksesan dapat mengarah kepada penerimaan diri.
Kegagalan yang seringkali dirasakan seseorang akan membuat
kesuksesan diartikan lebih bermakna.
7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang
yang menyesuaikan diri dengan baik dapat mengembangkan sikap
yang positif terhadap hidup dan berperilaku yang mengarah kepada
penilaian dan penerimaan diri yang baik.
8. Perspektif Diri
Seseorang yang dapat melihat dirinya sama seperti orang lain
melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang baik dibandingkan
dengan seseorang yang perspektif dirinya cenderung sempit dan
terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan
9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik
Inti dari konsep diri yang menentukan penyesuaian diri seseorang
di masa depan berawal dari masa kanak-kanak. Pengasuhan secara
demokratis mengarah kepada pola kepribadian yang sehat. Selain itu
pada pengasuhan ini, peraturan-peraturan yang dijelaskan kepada anak
dapat membuat anak dihormati sebagai seorang manusia. Anak akan
belajar untuk menghormati dirinya dan bertanggung jawab untuk
mengendalikan perilakunya dengan kerangka peraturan yang telah
ditetapkan.
10. Konsep Diri yang Stabil
Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya
dengan cara yang sama sepanjang waktu. Konsep diri yang baik
mengarah kepada penerimaan diri, sedangkan konsep diri yang buruk
mengarah kepada penolakan diri. Jika seseorang mengembangkan
kebiasaan untuk menerima dirinya, maka hal itu akan menguatkan
konsep diri yang baik sehingga penerimaan diri akan menjadi suatu
kebiasaan bagi individu tersebut.
II.1.D Dampak Penerimaan Diri
Penelitian menunjukkan pengaruh yang luas dari penerimaan diri.
Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua
1. Dampak Terhadap Penyesuaian Diri
Orang dengan penerimaan diri mampu mengenali kelebihan
maupun kekurangannya. Salah satu karakteristik orang yang
penyesuaian dirinya baik adalah ia dapat mengenali dan menekankan
kelebihannya terlebih dahulu dibandingkan dengan kekurangannya.
Seseorang dengan penerimaan diri yang baik memiliki
kepercayaan diri dan self-esteem yang baik. Ia mau untuk menerima
kritikan. Ia bahkan membuat critical self-appraisals untuk
membantunya mengenali dan memperbaiki kelemahannya.
Penerimaan diri diikuti dengan personal security. Hal ini
mendorong seseorang untuk percaya bahwa ia dapat mengendalikan
permasalahan hidup dan bahwa ia diterima oleh orang-orang penting
di dalam hidupnya. Orang-orang yang menerima dirinya mampu
mengevaluasi diri secara realistis sehingga ia dapat menggunakan
kapasitas dirinya secara efektif.
Orang yang dapat menerima dirinya tidak mau menjadi orang
lain. Ia puas dengan menjadi dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan
kualitas dirinya yang baik dan menghilangkan kuailtas diri yang
buruk.
2. Dampak Terhadap Penyesuaian Sosial
Penerimaan diri seseorang diikuti oleh penerimaan oleh orang
lain. Orang-orang yang mampu menerima dirinya tertarik untuk
untuk menempatkan diri dalam pemikiran, perasaan, dan tindakan
orang lain. Hasilnya, ia akan memiliki penyesuaian sosial yang lebih
baik.
Orang-orang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada
orang lain, mengabaikan kelemahannya. Toleransi juga sejalan dengan
keinginan untuk menolong orang lain. Ia mau untuk membantu orang
lain yang memerlukan bantuannya. Secara umum, semakin seseorang
dapat menerima dirinya, ia akan lebih diterima orang lain di
kehidupan sosial.
II.1.E Ciri-Ciri Orang yang Menerima Dirinya
Ciri-ciri orang yang menerima dirinya menurut Sheere (dalam
Cronbach, 1963) adalah :
a. Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi
kehidupannya.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat
dengan orang lain.
c. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
d. Menerima pujian dan celaan secara objektif.
e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya
Berdasarkan beberapa ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah orang yang merasa dirinya
berharga dengan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta
berpikir objektif akan kritikan atau celaan yang diterimanya. Sehingga
mempunyai keyakinan untuk menghadapi kehidupannya dengan
bertanggung jawab akan setiap perilakunya.
II.2 Tunadaksa II.2.A Definisi
Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang,
dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Direktorat Pendidikan Luar
Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa
adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam
bahasa asing sering dikenal dengan istilah crippled, physically
handicapped, physically disable, dan sebagainya. Keragaman istilah yang
dikemuakakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari alasan para
ahli yang menentukan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda, tapi
secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama (Pendidikan,
2006).
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1980 tentang Usaha
Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat menyebutkan bahwa penderita
cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan
menjadi rintangan atau hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya. Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat pada bagian penjelasan menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan,
pendengaran, dan kemampuan berbicara (Raharjo, dalam Wrastari,
2003).
Menurut Mangunson (dalam Suranti, 2008) cacat fisik
didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh seperti keadaan normal.
Berdasarkan ketiga definisi di atas, cacat fisik adalah kelainan fisik dan
atau mental sehingga timbul rintangan dan hambatan yang
mengakibatkan tubuh tidak mampu berfungsi secara normal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tunadaksa yang sering juga disebut cacat fisik adalah seseorang yang
memiliki hambatan fisik yang mengakibatkan munculnya beberapa
gangguan pada fungsi tubuh, seperti gerak tubuh ataupun mental yang
tidak dapat berfungsi secara normal.
II.2.B Penyebab Tunadaksa
Suhartono (dalam Suranti, 2008) menemukan sebab-sebab cacat
fisik sebagai berikut:
1. Cacat sejak lahir karena proses kelahiran individu sudah dalam
2. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami individu bukan sejak
lahir tetapi terjadi pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan dan peperangan.
Menurut Koening (dalam Somantri, 2006), tunadaksa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi:
1. Club-foot (kaki seperti tongkat)
2. Club-hand (tangan seperti tongkat)
3. Polydctylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki)
4. Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka)
5. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan
yang lainnya)
6. Cretinism (kerdil atau katai)
7. Mycrocepalus (kepala yang kecil, tidak normal)
8. Hydrocepalus (kepala yang besar karena adanya cairan)
9. Herelip (gangguan pada bibir dan mulut)
10.Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh
b. Kerusakan pada waktu kelahiran :
1. Erb‟s palys (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau
tertarik waktu kelahiran)
2. Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah)
c. Infeksi :
1. Tuberkolosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku)
2. Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang
karena bakteri)
3. Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan)
4. Tuberkolosis pada lutut atau sendi lain
d. Kondisi traumatik :
1. Amputasi (anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan)
2. Kecelakaan akibat luka bakar
3. Patah tulang
II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas
Koening (dalam Somantri, 2006) menyebutkan bahwa salah satu
penyebab seorang individu menjadi penyandang tunadaksa adalah
kecelakaan saat berkendara yang sering dikenal dengan kecelakaan lalu
lintas (Baltus, 1983).
Hawari (1996) menyatakan bahwa pada dasarnya cacat fisik karena
kecelakaan merupakan sumber stres yang menimbulkan depresi. Orang
yang mengalami kecelakaan terkadang dihadapkan pada ketidakpastian
mengenai keadaannya, apalagi setelah dia mengetahui keadaan fisiknya
yang tidak sesuai dengan harapannya. Keadaan seperti ini bisa
menyebabkan depresi sebab dia sendiri belum siap secara mental untuk
menerima keadaannya.
II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa
Berbagai reaksi yang timbul pada tunadaksa dipengaruhi oleh
berbagai faktor (Hurlock, 1974), yaitu :
a. Usia ketika terjadinya cacat tubuh dapat mempengaruhi reaksi
individu mengenai kondisi kecacatannya. Jika cacat tubuh terjadi pada
awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik.
b. Reaksi masyarakat cenderung lebih menyenangkan pada cacat tubuh
daripada cacat mental.
c. Berat ringannya kecacatan.
d. Pengakuan adanya perbedaan.
e. Sikap sosial atau masyarakat yang berakibat pada sikap individu.
II.3 Remaja
II.3.A Definisi
Pengertian remaja menurut Papalia, Olds, dan Feldman (2007)
adalah transisi perkembangan yang dimulai dari usia 10 atau 11 tahun
hingga awal usia dua puluhan yang berhubungan dengan perubahan fisik,
kognitif, dan psikososial. Masa remaja diawali dengan dimulainya
pubertas, sebuah proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau
kesuburan – kemampuan untuk bereproduksi.
Remaja menurut Dariyo (2004) adalah masa transisi satau peralihan
dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya
perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial yang berkisar di antara usia
12-13 tahun sampai 21 tahun. Thornburg (dalam Dariyo 2004) membagi
remaja ke dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja
tengah (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-21 tahun).
Berdasarkan definisi di atas, masa remaja merupakan masa transisi
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diawali oleh masa
pubertas di usia 10 hingga 21 tahun dengan perubahan pada aspek fisik,
psikis, dan psikososial. Masa remaja juga terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu
remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir.
II.3.B Tugas Perkembangan Remaja
Pada tahap remaja, Havighurst (dalam Agustiani, 2006)
1. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia
dari kedua jenis kelamin.
2. Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial.
3. Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif.
4. Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang
dewasa lainnya.
5. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
6. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi.
7. Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk
dalam berperilaku mengembangkan ideologi.
8. Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara
bertanggung jawab.
II.3.C Remaja Penyandang Tunadaksa
Kondisi tunadaksa dapat terjadi pada siapa saja tidak terkecuali
remaja. Remaja penyandang tunadaksa akan memiliki permasalahan,
salah satunya adalah permasalahan pada gambaran tubuh (body image),
yang merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja.
Somantri (2006) menjelaskan bahwa kondisi tunadaksa yang dialami
pada remaja akan membawa pengaruh pada persepsi gambaran tubuh
mereka, hal ini merupakan bentuk permasalahan dalam perkembangan
penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menunjukkan sikap
rendah diri, cemas, dan agresif.
Hill dan Mönks (dalam Mönks dan Knoers, 1999 : hal.268),
menyatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan pada masa remaja
akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian
diri dan sikap sosialnya, oleh karena itu kondisi tunadaksa pada masa
remaja akan mempengaruhi penilaian diri remaja sedemikian rupa
sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat. Conger
(dalam Crider dkk., 1983), menyatakan bahwa cacat tubuh (tunadaksa)
yang berat akan mempengaruhi penilaian diri remaja.
II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Kondisi ketidaknormalan yang dialami oleh seorang remaja dapat
mempengaruhi perkembangan fisik dan psikisnya. Penyebab ketidaknormalan
pada seorang remaja dapat terjadi karena bawaan lahir atau karena
kejadian-kejadian selama masa hidup yang menimbulkan bekas yang tidak normal.
Walaupun kedua penyebab tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap
perkembangan kehidupan seorang remaja, namun penyebab yang dikarenakan
tidak bawaan dari lahir akan lebih buruk mempengaruhi perkembangan fisik dan
merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat menerima ketika dihadapkan
pada keterbatasan (Patty & Johnson, 1953).
Salah satu kondisi yang membuat remaja menjadi tidak normal adalah
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas dapat memakan korban jiwa dan
dapat juga meninggalkan bekas luka yang sangat parah, dalam hal ini seperti
amputasi pada salah satu anggota tubuh. Kondisi ketidaknormalan karena
amputasi ini dapat disebut cacat fisik atau tunadaksa.
Remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas akan mengalami
berbagai macam dampak dari hilangnya salah satu anggota tubuhnya tersebut.
Somantri (2006) menjelaskan dampak tunadaksa secara perkembangan sosial
dan kepribadian, di mana secara perkembangan sosial anak tunadaksa akan
memiliki konsep diri yang negatif akibat kerap kali mendapat ejekan dari
lingkungan disekitarnya. Hal tersebut dapat membuat anak tunadaksa manarik
diri dari lingkungan sekitarnya. Jika seorang remaja dibiarkan untuk tidak
bergaul dalam lingkungan sekitarnya, maka remaja tersebut akan kehilangan
kesempatan untuk bereksperimen mengenai peran dan ideologi yang
berbeda-beda yang nantinya akan disesuaikan dengan dirinya (Schultz & Schultz, 1994).
Dampak lainnya secara perkembangan kepribadian adalah anak tunadaksa kerap
kali menunjukkan sifat rendah diri, cemas, dan agresif. Hal-hal tersebut
dipengaruhi oleh terlihat atau tidak terlihatnya kecacatan yang dimiliki yang
Kecacatan yang dialami oleh remaja penyandang tunadaksa karena
kecelakaan lalu lintas harus bisa diterima oleh remaja tersebut. Penerimaan akan
dirinya yang tidak lagi sempurna ini akan membantu remaja tunadaksa lebih
mudah menjalani kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Penerimaan diri
dapat membantu penyandang tunadaksa menjalani hidupnya agar lebih bahagia
dan sejahtera walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Penerimaan diri
menurut Germer (2009) adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami
sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke
waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang
muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana
yang ada pada dirinya. Pada seorang remaja yang sedang mengalami berbagai
macam perubahan seperti fisik, mental, maupun kehidupan sosial, tentunya
penerimaan diri ini sangat dibutuhkan agar memperoleh kebahagian (Hurlock,
1993).
Seseorang yang ingin menerima dirinya akan masuk dalam sebuah
proses. Germer (2009) menjelaskan mengenai proses penerimaan diri yang
dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu tahap pertama adalah kebencian atau
keengganan (aversion), pada saat seseorang dihadapkan pada kondisi tidak
nyaman, maka orang tersebut akan merasa enggan atau benci pada hal yang
membuatnya tidak nyaman tersebut. Tahap kedua adalah keingintahuan
(curiosity), orang tersebut akan mulai untuk mencari tahu hal-hal yang berkaitan
dengan perasaan tidak nyamannya tersebut seperti ada apa dengan perasaannya,
yaitu toleransi, individu tersebut mulai mengurangi perasaan tidak nyamannya,
namun tetap mempunyai keinginan agar perasaan tersebut segera hilang. Tahap
keempat adalah membiarkan perasaan datang dan pergi (allowing), individu
membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi sebagaimana mestinya.
Tahap terakhir dari penerimaan diri adalah melihat nilai-nilai yang tidak terlihat
(friendship), individu sudah mulai beradaptasi dengan perasaan tidak nyamannya
tersebut dan mulai melihat hikmah dari kondisi atau kejadian yang memberikan
perasaan tidak nyaman terhadapnya.
Pencapaian setiap tahapan penerimaan diri dapat dibantu dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock
(1974). Untuk bisa menerima dirinya seseorang harus paham akan dirinya
sendiri. Hal tersebut merupakan faktor penerimaan diri yang oertama menurut
Hurlock (1974). Orang yang memiliki pemahaman diri akan mengetahui potensi
dalam dirinya yang dapat membantu untuk menciptakan konsep diri yang ideal
untuk dirinya. Faktor kedua adalah harapan yang realistik, di mana harapan
dengan pencapaian yang realistik akan memberikan kepuasan diri yang
berpengaruh terhadap penerimaan diri. Faktor ketiga adalah tidak adanya
hambatan di dalam lingkungan, seseorang yang tidak mempunyai hambatan
dalam lingkungannya akan lebih mudah mengetahui potensi yang ada pada
dirinya dan mudah untuk menerima dirinya. Seseorang juga akan lebih mudah
menerima dirinya apabila mendapat perlakuan yang menyenangkan dari
masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor keempat dalam penerimaan diri.
orang yang tidak memiliki gangguan emosional seperti stres akan lebih bahagia
dan dapat memberikan evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar dari
evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula. Orang yang berhasil dan
memperoleh kesuksesan akan mengarah terhadap penerimaan diri. Hal tersebut
merupakan faktor keenam penerimaan diri. Identifikasi terhadap orang yang
memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengembangkan sikap positif pada
diri seseorang yang nantinya berpengaruh terhadap penilaian dan penerimaan
diri yang baik. Faktor kedelapan adalah perspektif diri, orang yang melihat
dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya dikatakan dapat mendukung
penerimaan diri. Pola asuh dimasa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri
karena hal tersebut berkontribusi terhadap konsep diri seseorang. Faktor terakhir
adalah konsep diri yang stabil, di mana dalam hal ini seseorang yang menerima
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Pendekatan Kualitatif
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk
menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta
konteksnya.
Melihat masalah yang diangkat pada penelitian ini, yaitu penerimaan diri
remaja tunadaksa karena kecelakaan, pendekatan kualitiatif sangat sesuai untuk
digunakan agar dapat mengetahui bagaimana proses penerimaan diri tersebut.
Proses penerimaan diri pada diri individu merupakan hal yang subjektif yang
berbeda denga orang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka
proses penerimaan diri yang subjektif itu dapat terungkap. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Poerwandari (2007) bahwa dalam penelitian kualitatif,
manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.
Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat
proses penerimaan diri pada remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas
dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan faktor-faktor eksternal
maupun internal yang mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan
penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh
tentang fenomena yang diteliti.
III.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus.
Poerwandari (2007) menjelaskan mengenai kasus yaitu fenomena khusus yang
hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan
konteks tidak terlalu jelas. Kasus yang dimaksud dapat berupa individu, peran,
kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau dapat berupa bangsa. Kasus juga
dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, dan lain sebagainya. Punch (1998;
Poerwandari, 2007) menjelaskan beberapa tipe yang dapat diteliti dengan
menggunakan studi kasus yaitu individu-individu, karakteristik atau atribut dari
individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta
peristiwa atau insiden tertentu.
Pada penelitian ini tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus
intrinsik. Di mana yang dimaksud dengan studi kasus intrinsik adalah penelitian
dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian
dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan
untuk menghasilkan konsep-konsep/teori ataupun tanpa adanya upaya untuk
menggeneralisasi. Penelitian akan dilakukan dengan melihat kasus berbeda yang