• Tidak ada hasil yang ditemukan

F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan II

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

IV.2. F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan II

Perubahan fisik yang juga memberikan perubahan psikologis, aktifitas sehari-hari, dan sikap-sikap orang-orang dilingkungan sekitar membuat DNR sulit untuk menerima dirinya. Dirinya yang sebelumnya pernah merasakan kehidupan dengan tubuh yang normal akan merasa bahwa kecacatan yang dialaminya merupakan kemunduran dan sangat sulit untuk menerima kondisi tersebut (Somantri, 2006).

Untuk dapat menerima kecacatan dan menjalani kehidupan dengan keterbatasannya, DNR melalui beberapa tahapan penerimaan diri. Kecelakaan yang telah terjadi selama 2 tahun tidak lantas membuat DNR sudah menerima dirinya yang cacat. Menurut Damayanti dan Rostiana (2003; Tentama, 2010) penyandang tunadaksa karena kecelakaan memang membutuhkan waktu lama untuk menerima kondisinya dan penerimaan ini sangat tergantung pada diri seseorang tersebut.

Dalam proses penerimaan dirinya DNR mengawali dengan perasaan sedih akan kondisi fisik yang tidak lagi sempurna. Rasa marah juga muncul sebagai bentuk kekesalan kepada teman-temannya yang meninggalkannya karena dirinya tidak lagi sempurna. Hal ini merupakan salah satu bentuk kebencian dan keengganan akan kondisi tidak nyaman yang dirasakan menurut Germer (2009).

DNR juga menunjukkan rasa sedih ketika orang-orang mengasihaninya dan rasa minder serta malu untuk bertemu dengan orang

lain. Hal-hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Somantri (2006) bahwa anak yang mengalami kecacatan fisik atau tunadaksa akan menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Reaksi yang sangat menonjol pada DNR adalah kekhawatiran dan kesedihannya memikirkan tanggapan orang tuanya dengan kondisi ketunaannya. Hal ini menarik karena dibanding sedih akan kehilangan tangannya, DNR lebih sedih melihat orang tuanya yang sedih melihat kondisinya. DNR menganggap bahwa keluarga adalah segalanya untuk dirinya. Maka, saat ia dihadapkan pada kondisi kecacatan yang mana tidak hanya dirinya tetapi lingkungannya pun akan sulit untuk menerima kondisi tersebut, ia merasa cemas untuk tidak diterima oleh lingkungannya yang dalam hal ini adalah keluarganya. Hal ini dapat dikatakan bentuk kecemasan pada anak tunadaksa yang dikatakan Somantri (2006).

Bentuk keengganan atau kebencian lainnya yang terlihat pada DNR adalah ketidaknyamanannya pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisi dirinya dan yang meremehkannya. Sehingga, diawal kehidupannya pasca kecelakaan DNR kerap kali menyendiri. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Somantri (2006) bahwa keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan.

DNR memasuki tahapan kedua penerimaan diri ketika ia memikirkan masa depan yang akan dijalani dengan kecacatan pada tubuhnya. Ia juga mulai belajar untuk bisa melakukan hal-hal yang dulu dilakukannya dengan

dengan penyandang cacat fisik lainnya, ia ingin tahu bagaimana cara orang tersebut bisa semangat dan tidak malu dengan kecacatannya. Perilaku- perilaku tersebut merupakan bentuk rasa ingin tahu akan hal-hal yang dirasa perlu diperhatiakan menurut Germer (2009). DNR berpikir daripada ia hanya menyendiri merenungi kondisinya yang tidak lagi sempurna, lebih baik ia mulai berpikir untuk kehidupannya dimasa yang akan datang. Ia tidak ingin terus-menerus melihat orang tuanya sedih dan bergantung pada mereka. Hal ini merupakan hal yang wajar karena mengingat bahwa DNR masih pada tahap perkembangan remaja, di mana ketidaktergantungan terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja (Havighurst, 1972; Agustiani, 2006)

Kemampuan DNR yang sudah bisa melakukan beberapa kegiatan dengan keterbatasannya membuat DNR terbiasa dengan hidup dengan kecacatannya. Terkadang DNR masih merasa sedih dengan pikiran mengenai kondisinya dan menanggapi reaksi orang terhadapnya berusaha melawan perasaan tersebut dengan menguatkan dirinya. Ia tidak pernah mengeluhkan apa yang terjadi pada dirinya. DNR juga berusaha untuk tidak terlihat sedih dihadapan orang. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa DNR berada pada tahap ketiga penerimaan diri. Menurut Germer (2009) individu yang mencapai tahap ketiga penerimaan diri ditandai dengan kemampuannya menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang.

Setelah 2 tahun kecelakaan terjadi DNR sudah nyaman hidup dengan keterbatasan yang dimiliki. Ia bahkan mampu menghibur ibunya yang masih suka sedih melihat kecacatan DNR. Saat ini DNR sudah mencapai tahap keempat penerimaan diri di mana ia sudah mampu membiarkan perasan dan pikiran mengenai kecacatan dan tanggapan orang mengenai kecacatannya. Seiring berjalannya waktu, proses penerimaan diri akan ketunaannya semakin membaik. Sejalan dengan yang dinyatakan Somantri (2006) bahwa seseorang yang baru mengalami ketunaan semakin lama ia mengalaminya maka ia akan dapat menerima ketunaan yang dideritanya.

Faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri DNR adalah tidak adanya hambatan dari lingkungan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi (Hurlock, 1974). Pada DNR tidak ditemukan diskriminasi karena orang-orang disekitar DNR seperti keluarga selalu mengatakan bahwa DNR bisa melakukan apa yang orang normal lakukan. Dukungan ini juga yang membuat DNR memberi pengakuan sendiri terhadap dirinya bahwa ia bisa melakukan hal yang orang normal lakukan, maka tidak ada perasaan terdiskriminasi pada dirinya. Hal ini dikarenakan ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis (Hurlock, 1974).

Tabel 8. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II

No. Tahapan Penerimaan Diri Gambaran Tahapan Penerimaan Diri

1. Kebencian/ Keengganan (Aversion)  Khawatir dan sedih dengan tanggapan orangtua mengenai ketunaannya.

 Marah dengan teman-teman yang meninggalkannya.

 Merasa malu dan minder dengan ketunaannya.

 Sedih menanggapi orang-orang yang mengasihaninya.

 Tidak suka dianggap remeh.

 Tidak nyaman untuk menceritakan kembali mengenai kecelakaan.

 Menyendiri dan merenung jika pikiran yang menyangkut kondisinya datang.

 Menginginkan dirinya yang dulu. 2. Keingintahuan (Curiosity)  Memikirkan masa depan yang akan

dilalui dengan ketunaannya.

 Belajar melakukan kegiatan dengan keterbatasannya.

 Bertanya-tanya tentang bagaimana orang-orang dengan kondisi yang sama dengannya bisa semangat dan tidak malu. 3. Toleransi (Tolerance)  Pasrah dengan kondisi ketunaannya.

 Terbiasa dengan kehidupan pasca ketunaannya.

 Menguatkan diri untuk menghadapi tanggapan orang mengenai ketunaannya.

 Tidak ingin terlihat sedih dihadapan orang dan berharap pikiran yang membuatnya sedih segera hilang.

 Mencari kegiatan untuk menghilangkan pikiran menyangkut kondisinya.

4. Membiarkan perasaan dan pikirannya (Allowing)

 Nyaman dengan hidupnya sekarang.

 Tidak peduli dengan orang yang memperhatikan dirinya dengan ketunaannya.

 Menghibur sang ibu dan bersikap baik pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisinya.

 Masih mempunyai keinginan untuk bisa seperti dulu, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.

Mengalami kecelakaan lalu lintas pada tahun 2011 diusia 17 tahun

Sedih, khawatir dengan perasaan orang tua, mencemaskan masa

depan, minder, tidak suka dikasihani dan dianggap remeh.

Faktor-faktor yang Tunadaksa Seluruh tangan kanan diamputasi Kebencian/Keengganan (Aversion)

- Khawatir dan sedih mengenai

kondisi fisik dan tanggapan orang tua pada kecacatannya.

- Marah pada teman-teman yang

meninggalkannya.

- Minder dengan kondisinya dan

sedih bila dikasihani.

- Tidak mau dianggap remeh.

- Tidak nyaman menceritakan

soal kecelakaan.

- Menyendiri saat sedih dan menginginkan dirinya yang dulu dengan kondisi fisik sempurna. Keingintahuan (Curiosity) - Memikirikan masa depannya. - Belajar melakukan kegiatan sehari-hari dengan keterbatasannya. - Bertanya-tanya bagaimana seseorang yang cacat bisa semangat dan tidak malu dengan kecacatannya. Toleransi (Tolerance)

-Pasrah dengan kecacatan

dan terbiasa hidup dengan keterbatasannya.

-Menguatkan diri untuk

menghadapi tanggapan orang lain.

-Tidak ingin menunjukkan

kesedihannya dan berharap pikiran-pikiran mengenai kecacatannya degera hilang.

-Mencari kegiatan untuk

menghilangkan pikiran mengenai kondisi fisiknya.

DNR

Tahapan Penerimaan

Diri

Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan Membiarkan Perasaan

dan Pikirannya (Allowing)

- Nyaman hidup dengan

keterbatasannya dan tidak peduli pada tanggapan orang.

- Menghibur sang ibu yang

masih belum menerima kecacatannya dan bersikap baik kepada orang-orang yang penasaran dengan kondisi fisiknya.

- Masih mempunyai keinginan

untuk mempunyai tubuh yang sempurna, tetapi memilih tidak terlalu memikirkannya.

Rangkuman Analisa Antar Partisipan

Berdasarkan analisa pada masing-masing partisipan yang telah dilakukan sebelumnya, maka pada tabel berikut akan dengan lebih ringkas rangkuman gambaran proses penerimaan diri antar partisipan.

Tabel 9. Rangkuman Analisa Antar Partisipan

NO. Proses

Penerimaan Diri Partisipan I Partisipan II

1. Perubahan Pasca Amputasi

HK mengalami perubahan fisik seperti kehilangan kaki kiri dan beberapa anggota tubuh seperti limpa yang membuat HK kaget dan tidak percaya dengan apa yang terjadi dengannya.

Kecacatan juga membuatnya tidak lagi bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Ia memerlukan bantuan seseorang untuk merawat dirinya.

Perubahan fisik dan kecelakaan yang merengut nyawa ibunya membuat HK mengalami perubahan psikologis seperti bertingkah aneh, histeris, murung dan sedih.

DNR kehilangan tangan kanannya setelah kecelakaan lalu lintas yang dialaminya.

Kecacatan yang dimilikinya membuat DNR menunjukkan perubahan psikologis seperti sedih, menjadi khawatir

tentang perasaan orang tua dan juga penyesalan krn tidak menikuti omongan orang tua.

DNR mengalami perubahan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, berpakaian, makan, menulis, dan lain sebagainya.

Sikap orang-orang disekitar lingkungan DNR juga

berubah. DNR dijauhi teman- temannya, dikasihani dan didera pertanyaan-pertanyaan mengenai kecacatan oleh orang-orang yang melihatnya.

Perubahan juga terjadi pada sikap keluarga DNR. Keluarga DNR menjadi lebih perhatian dan peduli terhadap DNR. DNR merasa kepentingannya selalu didahulukan dibanding kakak dan adiknya.

2. Tahap Pertama Penerimaan Diri: Aversion

Merasa sedih dan tidak

berdaya dengan kejadian yang menimpa dirinya.

Benci dan dendam terhadap

Khawatir dan sedih dengan tanggapan orangtua mengenai ketunaannya.

hal-hal yang dirasa membuat dirinya kehilangan kaki.

Benci terhadap orang-orang yang bereaksi berlebihan terhadap kondisinya.

Minder dengan kondisinya.

Menyesali kejadian yang menimpanya.

Merindukan dirinya yang bisa beraktifitas normal.

Merasa tidak nyaman ketika berkumpul dengan orang yang kondisinya sama dengan dirinya.

Menyatakan belum bisa menerima kondisinya saat ini.

Tidak bisa menggambarkan dirinya sendiri.

yang meninggalkannya.

Merasa malu dan minder dengan ketunaannya.

Sedih menanggapi orang- orang yang mengasihaninya.

Tidak suka dianggap remeh.

Tidak nyaman untuk menceritakan kembali mengenai kecelakaan.

Menyendiri dan merenung jika pikiran yang menyangkut kondisinya datang.

Menginginkan dirinya yang dulu.

3. Tahap Kedua Penerimaan Diri: Curiosity

Menanyakan dan mencari tahu mengenai kecelakaan.

Bertanya-tanya hal yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan kondisi

tubuhnya tidak lagi sempurna.

Khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi di masa depannya.

Ingin menumbuhkan rasa percaya diri.

Memotivasi diri dengan membandingkan dirinya dengan orang yang kondisinya di bawah dia.

Memikirkan masa depan yang akan dilalui dengan

ketunaannya.

Belajar melakukan kegiatan dengan keterbatasannya.

Bertanya-tanya tentang bagaimana orang-orang dengan kondisi yang sama dengannya bisa semangat dan tidak malu.

4. Tahap Ketiga Penerimaan Diri: Tolerance

Sudah terbiasa dengan kondisinya sekarang.

Merasa biasa saja dengan kondisinya saat ini dan memilih untuk menjalaninya saja.

Malas untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya dan ingin

menghilangkan perasaan tersebut.

Menyibukkan diri saat pikiran

Pasrah dengan kondisi ketunaannya.

Terbiasa dengan kehidupan pasca ketunaannya.

Menguatkan diri untuk menghadapi tanggapan orang mengenai ketunaannya.

Tidak ingin terlihat sedih dihadapan orang dan berharap pikiran yang membuatnya sedih segera hilang.

mengenai kondisinya datang.

Menyatakan yang berubah pada dirinya hanyalah kondisi fisiknya.

Senang apabila kondisinya semakin membaik.

Tidak terlalu peduli mengenai perasaannya terhadap supir dan mantannya.

Mulai berhubungan dengan orang-orang baru. menghilangkan pikiran menyangkut kondisinya. 5. Tahap Keempat Penerimaan Diri: Allowing

(Belum sampai pada tahapan ini)

Nyaman dengan hidupnya sekarang.

Tidak peduli dengan orang yang memperhatikan dirinya dengan ketunaannya.

Menghibur sang ibu dan bersikap baik pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisinya.

Masih mempunyai keinginan untuk bisa seperti dulu, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. 6. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri: Tidak Adanya Hambatan dalam Lingkungan

Dalam mempelajar aktifitas sehari-hari lingkungan turut membantu seperti keluarga HK yang perlahan-lahan

membiarkan HK untuk mandi sendiri. Lingkungan disekitar HK seperti keluarga, teman, dan tetangga tidak merubah sikapnya terhadap HK.

Keluarga mendukung DNR dalam mempelajari kegiatan- kegiatan layaknya orang normal.

7. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri: Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan

Keluarga dan teman-teman HK selalu ada untuk HK dan selalu memberikan motivasi kepada HK.

IV.3 Pembahasan Antar Partisipan I dan II

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa baik partisipan I maupun partisipan II sama-sama mengalami perubahan fisik, psikologis, dan perubahan dalam aktifitas sehari-hari. Tetapi, pada partisipan II terjadi perubahan dalam lingkungan sosial dan pergaulannya. Partisipan II yang dikasihani oleh orang-orang disekitarnya dan dijauhi oleh teman-temannya ini merasa sedih dan marah akan hal tersebut. Lain halnya yang terjadi dengan partisipan I, diawal kehidupannya setelah menjadi cacat orang-orang disekitarnya selalu memotivasinya. Selain itu, partisipan II juga mengalami perubahan pada sikap keluarga kepada dirinya yang setelah dirinya menjadi cacat keluarga partisipan II sangat peduli dan perhatian kepadanya. Hal ini menghibur hati partisipan II. Sedangkan partisipan I harus dihadapkan oleh kematian ibunya yang menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas itu. Maka partisipan I tidak hanya mengalami kehilangan pada salah satu anggota tubuh tapi juga kehilangan sang ibu. Perubahan-perubahan ini memunculkan beberapa macam emosi yang mengganggu kehidupan para partisipan dalam penelitian ini. Somantri (2006) menyatakan bahwa individu yang baru mengalami kondisi yang menyebabkan dirinya cacat memang lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi.

Pada tahapan penerimaan diri, kedua partisipan juga mengalami hal-hal yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan bahwa setelah 7 bulan kecelakaan lalu lintas terjadi partisipan I baru mencapai tahap ketiga dari penerimaan diri yaitu toleransi, sedangkan partispan II yang sudah dua tahun

hidup dengan keterbatasannya berada pada tahap keempat penerimaan diri yaitu membiarkan perasaan dan pikiran yang tidak nyaman tersebut.

Pada tahap pertama yaitu kebencian atau keengganan (aversion) kedua partisipan sama-sama merasakan sedih karena kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Namun rasa sedih yang mendalam ditunjukkan oleh partisipan I karena ia juga kehilangan sang ibu. Hal ini juga yang membuat partisipan I memakan waktu 5 bulan pada tahapan pertama ini. Kesedihan akan kehilangan yang dialami juga membuat partisipan I menyesali apa yang sudah terjadi padanya. Sedangkan pada partisipan II rasa sedih yang dirasakan karena kehilangan tangan kanannya bercampur dengan rasa khawatir akan tanggapan orang tua mengenai dirinya yang tidak lagi sempurna. Kekhawatiran dan kesedihan akan melihat reaksi orang tuanya ini membuat partisipan II berusaha untuk tegar menghadapi kehidupan yang berketerbatasan sehingga tidak pernah menyesali apa yang terjadi padanya. Namun, kedua partisipan tetap merindukan masa-masa dimana dirinya bertubuh normal.

Reaksi yang sering terlihat pada individu yang merasakan ketidaknyamanan adalah kebencian atau keengganan akan hal tersebut (Germer, 2009). Pada kedua partisipan perasaan tidak nyaman akan kecacatannya itu memunculkan rasa marah dan benci. Rasa marah dan benci ini mempengaruhi kehidupan sosial kedua partisipan. Kedua partisipan merasa minder dan malu akan kondisinya. Hal ini dikarenakan kedua partisipan tidak suka dengan tanggapan orang-orang dilingkungan sekitarnya yang menganggap remeh ataupun memberikan perhatian berlebihan seperti mengasihani atau bertanya-tanya kepada mereka. Hal ini sesuai

dengan yang dikatakan Somantri (2006) sebagai dampak penyandang tunadaksa (cacat fisik) secara perkembangan sosial, yang salah satunya adalah lingkungan disekitar anak tunadaksa akan mempengaruhi pergaulan sosial mereka. Keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat.

Berbeda dengan partisipan I, pada tahap pertama ini partisipan II suka menyendiri apabila perasaan dan pikiran mengenai kecacatannya datang. Hal ini dikarenakan partisipan II yang tidak ingin menambah kesedihan orang tuanya apabila melihatnya meratapi nasipnya yang tidak lagi sempurna.

Keberhasilan kedua partisipan untuk melewati tahap pertama tidak terlepas dari peranan keluarga ataupun lingkungan sekitarnya yang selalu memberikan motivasi. Akibat motivasi tersebut kedua partisipan tidak menemui hambatan untuk belajar menjalani kehidupan dengan keterbatasan masing-masing. Lingkungan yang mendukung seseorang untuk memperoleh keberhasilan akan memberikan keyakinan pada orang tersebut bahwa pencapaian akan sesuatu hal yang diinginkan adalah hal yang realistis (Hurlock, 1974).

Dukungan dan motivasi yang diberikan membuat kedua partisipan memasuki tahapan kedua penerimaan diri yaitu keingintahuan (curiosity). Menurut Germer (2009) rasa ingin tahu ditunjukkan dengan memiliki pertanyaan- pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Akibat dukungan yang diberikan, pada tahapan ini kedua partisipan menunjukkan rasa keingintahuan terhadap cara melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan keterbatasan yang dimiliki. Maka, kedua partisipan pun mulai mempelajarinya.

Selanjutnya pada partisipan I, ia memperlihatkan rasa ingin tahunya mengenai terjadinya kecelakaan dan mengapa ia harus kehilangan beberapa anggota tubuh. Hal ini dikarenakan partispan I yang tidak ingat mengenai kecelakaan. Berbeda dengan partisipan II, ia tidak pernah bertanya-tanya mengenai kecelakaan karena pada saat kecelakaan terjadi partisipan II dalam keadaan sadar.

Hal-hal yang perlu diperhatikan lainnya menurut kedua partisipan adalah mengenai masa depan. Kedua partisipan mengkhawatirkan bagaimana jika nanti mereka akan menikah dan mempunyai anak. Diusia mereka yang masih remaja merupakan hal yang wajar untuk berpikiran mengenai perkawinan dan kehidupan berkeluarga, karena itu merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang dinyatakan Havighurst (dalam Agustiani, 2006). Kekhawatiran perihal bagaimana sikap pasangan akan kecacatan yang dimiliki pada kedua partisipan juga merupakan hal yang wajar. Menurut Hastuti (2012) penyandang tunadaksa memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan. Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Kecemasan ini juga sesuai dengan yang dinyatakan Somantri (2006) sebagai dampak anak tunadaksa yang menunjukkan perasaan rendah diri, cemas, dan agresif.

Tahap ketiga penerimaan diri ditandai dengan individu menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang (Germer, 2009). Pada tahap ini baik

partisipan I maupun partisipan II merasa sudah terbiasa dengan kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Perasaan dan pikiran mengenai keinginan untuk kembali sempurna atau tentang kecelakaan kerap kali datang kepada kedua partisipan, maka pada saat hal itu terjadi kedua partisipan memilih untuk mencari kesibukan agar tidak terlalu memikirkan hal-hal tersebut. Menguatkan diri juga dipilih partisipan II sebagai cara untuk menghadapi orang-orang yang mengasihani atau memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai kecacatannya.

Pada partisipan I dirinya masih berada dalam tahap ketiga penerimaan diri dikarenakan partisipan I masih belum mau dan merasa mampu untuk hidup dengan keterbatasannya. Hal ini terlihat dengan ketidakinginan partisipan I untuk bertemu dengan pacar barunya dan bahkan mengatakan bahwa ia menjadi korban kecelakaan yang mengalami patah tulang. Pernyataan partisipan I ini menguatkan bahwa dirinya masih belum ingin dianggap sebagai orang yang memiliki cacat fisik. Tidak hanya menolak untuk bertemu dengan pacar barunya, partisipan I juga belum berani untuk bepergian disiang hari, hal ini dikarenakan dirinya yang tidak ingin melihat orang-orang memperhatikan kecacatannya dengan berlebihan.

Pada tahapan keempat, individu akan mulai membiarkan perasaan dan pikiran yang membuatnya tidak nyaman itu datang dan pergi (Germer, 2009). Partisipan II sudah mencapai tahap keempat penerimaan diri ini ditandai dengan perasaan nyaman hidup dengan keterbatasannya. Partisipan II bahkan mampu menghibur sang ibu apabila sedih melihat kondisi kecacatannya. Tetapi, partisipan II masih memiliki keinginan untuk bisa kembali sempurna. Keinginan ini bisa

Partisipan II memang seorang remaja yang memperhatikan penampilan, dirinya selalu ingin terlihat menarik. Maka, saat ia bertemu dengan lawan jenis yang membuatnya tertarik lalu menyadari kondisinya yang tidak sempurna, keinginan itu akan muncul. Namun selanjutnya partisipan II akan kembali sadar diri dan memilih untuk tidak terlalu memikirkan keinginannya tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran praktis maupun metodologis yang mungkin berguna untuk penelitian yang selanjutnya mengenai proses penerimaan diri.