• Tidak ada hasil yang ditemukan

D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan II Setelah Diamputasi

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

IV.2. D.1 Gambaran Kehidupan Partisipan II Setelah Diamputasi

Selayaknya orang yang baru dihadapan pada suatu kondisi yang mengubah hidupnya, tentunya terdapat banyak perubahan. Hal tersebut juga terjadi pada DNR. Setelah kecelakaan terjadi DNR mulai memikirkan bagaimana masa depannya kelak dan bagaimana perasaan orangtuanya menganggapi ketunaannya. DNR sangat memperhatikan perasaan orangtuanya, bahkan sebelum masuk rumah sakit DNR meminta perawat agar diizinkan menelepon orang tuanya. Mengenai perasaan khawatir dan sedih akan perasaan orangtuanya ini ia mengatakan bahwa dibanding kehilangan organ tubuh dirinya lebih sedih melihat orang tuanya yang sedih karena keadaannya.

“Sedihnya mungkin gini, tadinya kan kita terbiasa tangan dua menjadi tangan satu itu berarti kita merasa kehilangan. Tiba-tiba kondisi kita itu udah kayak gini pasti terkejut kan, setelah merasakan terkejut itu, nanti apalagi kata tetangga? Dulu dia kayak gini, sekarang dia kayak gini, ibaratnya kan udah cacat gitu, cacat mental, eh, cacat fisik yaa” (WI-DNR/b.44-50/hal.3)

“Ga ada, ga ada yang DNR lakukan. Palingan hanya nengok orangtua aja. Kayakmana sih orangtua kalau aku udah kayak gini? Palingan kalau sebelum operasi aku hanya bilang sama susternya kayak gini, Sus, aku mau bicara sama orangtuaku. Kalaupun ini jadi pembicaraan terakhir aku, aku ga apa-apa. Yang penting aku udah tenang, aku udah bicara sama orangtua aku, aku udah minta maaf, udah.”

(WI-DNR/b.109-114/hal.6)

“Jujur saja, kalau merasakan kehilangan organ tubuh itu ga terlalu sedih, tapi pada saat melihat orangtua kita yang melihat anaknya udah kayak gini, ibaratnya udah cacat, dari dia ada sampai udah ga ada lagi itu kita akan merasakan orangtua kita merasakan yang sangat-sangat pedih, kayaknya dia itu terpukul. Itu lah baru sedih. Kalau merasakan kehilangan itu enggak, itu ga terlalu.”

(WI-DNR/b.65-70/hal.4)

Dalam masa perawatan DNR sempat menunjukkan reaksi psikologis yang tidak biasa. Ia sering teriak-teriak histeris menanyakan ke mana tangannya. DNR juga kerap kali teringat dengan kejadian kecelakaan. Tidak jarang DNR akan teringat dengan kejadian kecelakaan yang dialaminya hanya dengan melihat sebuah mobil.

“Untuk histeris aku ga tau kayakmana. Kalau kita merasa kehilangan, merasa kayakmana otomatis tanpa sadar itu emang udah ketentuan. Bahkan kalau kita tidur aja kita ga tahu kapan histerisnya.”

(WI-DNR/b.459-465/hal.22)

“Aku takut naik mobil besar. Nengok container takut kali.” (WIII-DNR/b.233-234/hal.11)

Perubahan DNR setelah diamputasi terlihat jelas pada sikap ibunya. Ibu DNR tidak bisa terima dengan kondisi DNR yang tidak lagi sempurna. DNR mengatakan ibunya menjadi sedih karena tidak pernah terbayangkan oleh sang ibu bahwa anaknya yang terlahir normal sekarang menjadi cacat

karena kecelakaan yang terjadi pada DNR. DNR sempat menyesal karena dirinya yang berniat untuk membantu orang tua dengan bekerja malah mengalami kecelakaan saat sedang bertugas sehabis kerja, padahal ibunya sudah meminta agar DNR tidak usah mencari pekerjaan setelah tamat menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Kalau aku yaa… Jujur aja, kalau orangtua aku nangis di depan aku, aku paling ga bisa. Itu yang paling membuat aku sedih. Apalagi kan misalnya orangtua kayak gini, “Mamak ga pernah untuk berpikiran tangan anak Mamak itu akan jadi satu.” Sejujurnya aku sih dengar itu sedih, tapi aku mau nangis ga bisa.”

(WI-DNR/b.232-237/hal.11)

Keterbatasan yang dimilikinya membuat DNR mengalami perubahan pada kebiasaan sehari-hari. Dirinya tidak lagi dapat melakukan hal-hal yang dulu sering dilakukannya seperti mengendarai sepeda motor. Ia juga harus mulai membiasakan diri dengan melakukan segala hal menggunakan tangan kirinya seperti mandi, berpakaian, menulis, makan, memotong, dan lain sebagainya. Perubahan lainnya yang terjadi adalah sikap-sikap anggota masyarakat terhadapnya. Dengan ketidaksempurnaannya tentunya membuat orang lain bereaksi berbeda terhadap DNR, salah satunya adalah mengasihani. DNR juga tidak jarang didera dengan pertanyaan-pertanyaan orang mengenai bagaimana dirinya melakukan suatu kegiatan dengan tangan satu juga mengganggu DNR.

“Iya, ada. Banyak, banyak kali. Bahkan ada yang ngasihani aku karena aku kayak gini. Jadi aku bilang, aku ga butuh kamu kasihani. Aku juga bisa ngelakuin apa yang kamu lakuin. Itu yang aku bilang.” (WI-DNR/b.145-149/hal.7)

“Ya karena dibilang-bilang gini, kenapa kamu gini? Ga bisa ya melakukan ini ya? Gitu. Sampai ada yang bilang, jadi kamu itu mandi kayak mana? Ganti baju kayakmana? Nyuci kayakmana? Ya udah, dalam hati sampai bilang gini, emang kalau tangan satu itu ga bisa ngerjain apa-apa? Hanya bisanya ngerepotin doang? Enggak ya. Gitu juga.”

(WII-DNR/b.109-115/hal.6)

Kehidupan DNR berubah pergaulan DNR juga berubah drastis. Dirinya yang sebelumnya mempunyai banyak teman dan sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya berubah karena teman- temannya menjauhi dirinya dikarenakan kecacatannya. DNR tidak pernah bertanya mengenai alasan teman-temannya yang meninggalkannya dikala susah karena ia merasa hal itu tidak penting. Ia berpikir dengan ditinggalkannnya dirinya oleh teman-temannya tanpa alasan, berarti DNR tahu teman seperti apa yang dimilikinya dahulu.

“Kalau sama teman-teman sih dulu jujur aja, akrab. Banyak yang, pada saat kita kayakmana gitu banyak yang lebih perhatian ke kita gitu, yang gimana, banyak dekat ke kita, sebelum kejadian. Keluarga sih sampai sekarang juga ngasih motivasi. Tapi kalau teman-teman aku sekarang kayaknya udah pada berubah semua. Aku bilang kan, aku kecelakaan. Tangan aku diamputasi gini, gini, gini. Cuma ditanggapi, kok bisa? Di mana? Di Pancur Batu. Gini, gini, gini. Udah, satupun mereka ga ada yang datang. Cuma dulu teman dekat aku. Ya udah, seminggu kemudian udah ga nongol lagi batang hidungnya.”

(WII-DNR/b.145-156/hal.7)

Perubahan akan sikap keluarga juga dirasakan DNR. Hanya saja kali ini perubahan itu membawa kebahagiaan pada DNR. Ia mengaku bahwa

pasca kecelakaan keluarganya jadi lebih peduli dan perhatian kepadanya. Baik ibu, bapak, kakak, atau adiknya sangat memperhatikan DNR. DNR mengaku dahulu sebelum kecelakaan terjadi yang sampai membuatnya kehilangan tangan kanan, dirinya sering bertengkar dengan ibunya. DNR juga anak yang jarang berada di rumah.

“Makin dekat. Bahkan, orangtua DNR, eh, keluarga DNR itu fokusnya ke DNR aja. Kalau ke yang lain enggak.”

(WIII-DNR/b.2-4/hal.1)

“Senang, senang banget lah malahan. Dulukan kayaknya biasa-biasa

aja. Sayang sih sayang, tapi kan ga dinampakkan. Sekarang sayangnya itu dinampakkan. Bahkan aku itu kayak orang yang paling dipedulikan gitu, yang lain enggak.”

(WIII-DNR/b.6-10/hal.1)

Kepedulian keluarga yang memberikan kasih sayang dan motivasi membuat DNR semakin kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan dengan keterbatasannya. DNR menganggap keluarga adalah semangat hidupnya.

“Iya. Keluarga itu semangat hidup aku. Tanpa keluarga aku sekarang ga berarti apa-apa. Itu, karena tujuan aku satu, hanya membahagiakan keluarga aku. Dekat keluarga itu lebih enak. Keluarga itu akan selalu gimana-gimana, kalau ada masalah keluarga yang akan selalu ngebantu kita, cari jalan keluarnya.”

(WIII-DNR/b.512-517/hal.24)

“Mereka itu selalu bilang gini kan, “Jangan karena kayak gini kamu itu selalu di rumah terus, jangan. Tengok itu contohnya kayak di sebelah rumah ayah, dia kakinya ga ada tapi dia mau berusaha, mau jualan. Apapun yang dilakukan dia mau. Itu jadi motivasi kamu.” Dulu juga ada teman Mamak, kecelakaan. Kontak gitu kan, “Tu tangannya dua-dua ga ada. Kakinya cuma satu yang ada. Rupanya dia bisa ngidupin mancis.” Itulah, itu yang jadi motivasi aku.”

Dukungan dari keluarga itu pula yang membuat DNR mulai belajar melakukan aktivitas sehari-hari dengan keterbatasan yang dimiliki.

“Belajar nulis aja di rumah kakek. Pulang dari rumah sakit langsung sorenya itu dikasih buku. Kan kakak DNR sepupu kan ada yang guru, langsung dibilangnya, “Ini coba kau belajar nulis.” Langsung belajar nulis. Pertama tulisannya jelek kali. Ga pandai. Pegang pulpen pun gemetar, jelek kali.”

(WIII-DNR/b.326-331/hal.15)

Saat ini DNR sudah terbiasa dengan kondisi ketunaannya. Untuk mengisi hari-harinya, ia berjualan bahan-bahan dan keperluan memasak di rumah kerabatnya. Pekerjaan ini dilakukannya dengan baik, DNR mampu melayani pelanggan dengan keterbatasan yang dimilikinya. Kehidupan dengan anggota keluarga dan lingkungan sosialnya pun semakin membaik. Diakui DNR bahwa ibunya masih belum bisa menerima kondisinya, namun DNR tidak mau terlihat sedih dihadapan ibunya karena takut sang ibu semakin sedih menanggapi DNR. DNR juga tidak mau terlihat sedih dihadapan orang lain karena tidak mau dianggap sepele.