• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

IV.1. D.2 Tahapan Penerimaan Diri

1. Kebencian/Keengganan ( Aversion )

Setelah mengetahui bahwa dirinya kehilangan kaki kiri dan kehilangan seorang ibu, tentunya HK merasa sedih. Dirinya yang memiliki kekurangan

membuatnya merasa tidak berdaya melakukan apapun. Kehilangan ibunya juga menjadi salah satu pemicu sedih bagi HK. Tak jarang HK merasa dirinya yang tidak lagi sempurna akan lebih enak apabila ada seorang ibu yang merawatnya.

“Pertama kali yaa sedih, kak. Kok bisa hilang, nanti ga bisa ngapa- ngapain. Gini-gini, ntah ke mana gitu nanti ga bisa jalan-jalan lagi, ga kayak biasa.”

(WI-HK/b.22-24/hal.2)

“Dua-duanya, kak. Mamak lah, kalau ada mamak kan lebih enak. Kok mamak ku lah yang meninggal? Kan mendadak juga, orang masih ngomong-ngomong, masih ketawa-ketawa. Tiba-tiba ya ga ada, kadang ya gitu lah.”

(WII-HK/b.138-142/hal.7)

Perasaan sedih akan kehilangan salah satu anggota tubuhnya dan juga kehilangan ibunya membuat HK merasa benci dan dendam terhadap hal-hal yang dirasanya merupakan penyebab dirinya menjadi seperti sekarang. Diawal ketika dirinya mengetahui ketidaksempurnaannya akibat menjadi korban kecelakaan di mana sebuah truk menabrak dirinya, HK sempat merasa benci terhadap supir truk. Bahkan HK juga benci dengan hanya melihat truk-truk dengan model yang sama. HK juga benci terhadap mantan pacarnya yang meninggalkan dirinya hanya karena kondisi dirinya. Dirinya tidak percaya bahwa hubungan yang sudah lama berlangsung bisa berakhir hanya karena mantan pacarnya yang tidak bisa menerima kondisinya yang tidak lagi sempurna.

“Itu, yaa anak itu (mantan pacar HK), kak. Benci aja. Percuma kalau udah lama hubungannya kayak gitu. Cuma nengok dari fisik. Nengok

cuma sekali, terus disuruh nengok alasannya yang ini lah, sibuk ujian, bulan-bulan 4 itu apa ujian semester, kak?”

(WI-HK/b.288-292/hal.14)

“Yaa dendam, kak. Maunya dia tu (supir truk) kayak gitu, kayak aku juga. Gara-gara dia Mamak-ku meninggal. Kadang gitu, kak. Gara- gara dia aku kayak gini. Jengkel juga. Tapi kata Wawa‟ (paman korban) ga usah dendam, nanti jalannya itu hidupnya ga tenang. Iya- iya aja, kak. Tapi dalam hatinya masih ada juga rasa kayak gitu, gara- gara dia…”

(WI-HK/b.393-399/hal.19)

“Yaa kadang-kadang kalau ngeliat truk itu dam truk benci, kak. Maunya dimusnahkan aja.”

(WII-HK/b.14-15/hal.1)

Perasaan benci juga dirasakan apabila ada orang-orang yang bereaksi berlebihan menanggapi kondisi kecacatannya. HK benci apabila ditanya terlalu mendalam atau diperhatikan oleh orang-orang. Reaksi orang yang berlebihan dan kerap kali memperhatikan dirinya membuat HK merasa minder dengan kondisinya sekarang. HK menghindari bertemu orang-orang dengan cara tidak mau keluar apabila disiang hari. HK tidak percaya diri, saat dirinya sudah mulai berkenalan dengan orang bahkan sampai menjalin hubungan pacaran, HK tidak ingin pacar barunya tersebut datang ke rumahnya. HK mengatakan bahwa dirinya malas untuk bertemu sekarang dan ingin bertemu apabila nanti ketika HK sudah memasang kaki palsu.

“Ada, kak. Kadang nengoki, ya aku tengoki gantian. Enak aja orang ini. Mau ditengoki gantian pun. Betingkah kau, aku dulu juga kayak kalian kok. Kadang kalau ditengoki kan, ditengoki gantian. Kalau dia orangnya baik nanyai ya udah dijawab. Kok bisa?, iya, kecelakaan, gini, gini, gini.”

“Yaa, kadang ngerasa minder juga, kak nengok orang, nanti kalo gabung aku ga ada kakinya, kan pernah juga lah. Pokoknya nengok TV, itu ada kakinya.”

(WI-HK/b.76-78/hal.4)

“Paling nunggu pasang kaki palsu, lah, kak. Biar bisa percaya diri lagi, gaya lagi, ini lagi gitu, kak. Cantik lagi lah kayak dulu. Pingin gitu, kak.”

(WI-HK/b.576-578/hal.27)

Saat HK sedang sendiri, tidak jarang HK ingin mengulang waktu agar dirinya tidak pergi pada hari di mana kecelakaan terjadi. HK menyesali segala hal yang terjadi pada dirinya mulai dari kehilangan sang ibu sampai menyesali ketunaan yang dimilikinya saat ini. Penyesalan-penyesalan itu sempat membuat HK marah pada dirinya sendiri dengan menyalahkan dirinya yang tidak seharusnya pergi pada hari itu.

“Kalau bisa tuh jangan pergi, jangan itu. Menyesal. Kalau ga pergi kan ga kayak gini Mamaknya. Mamak aku ga meninggal kayak gitu. Gitu, kak. Aturan jangan pergi.”

(WI-HK/b.194-197/hal.10)

“Kok bisa kayak gini? Kadang ingat-ingat kejadiannya. Aturan aku ga usah pergi. Aturan aku perginya jangan tanggal 19, tanggal 18 aja. Yaa gitu juga, lah. Kayak gini, kan, ga kayak gini juga aku. Yaa begitu juga, kak. Bingung. Kalau tahu kecelakaan gitu yaa ga mau.”

(WI-HK/b.379-383/hal.18)

Penyesalan-penyesalan itu semakin membuat HK merindukan dirinya yang dulu. HK rindu untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang dulu dilakukannya. Kepergian ibunya juga membuat HK rindu kebersamaannya dengan sang ibu.

“Iya, hilang. Biasa malam Minggu Mamak kayak gini, gini, gini. Kangen juga masa-masa dulu. Kangen bulan puasa tahun kemarin, kangen, masih ada orang tuanya. Buka-buka bareng kawan sekolah sama kawan rumah, kangen. Pingin ngulang tapi yaa kayak gimana. Pingin tarawih, ga bisa jalan yaa gimana.”

(WI-HK/b.509-514/hal.24)

Kejadian kecelakaan yang menimpa HK hingga menyebabkan HK harus mengamputasi kaki kirinya membuat HK merasakan dan menjalani hari-hari baru. Selain membiasakan diri dengan keterbatasannya, HK juga sempat bertemu dengan orang-orang tunadaksa lain saat ingin mengurus kaki palsu atau hanya sekedar check up. HK mengatakan dirinya merasa „gila‟, hal tersebut dimaksudkan dirinya yang merasa tidak nyaman dengan orang-orang baru disekitarnya, terlebih lagi karena kondisi mereka sama dengan dirinya. HK juga tidak menyangka bahwa banyak orang yang kondisinya sama dengan dirinya, bahkan tak jarang lebih parah daripada dirinya.

Ya gila gitu, kak. Aku kok di sini. Aturan aku kuliah, kok aku di sini. Gitu, kak. Kok gini aku… Banyak lah, kak. Gila lah, kak, nengoknya pun gila. Rame.”

(WIII-HK/b.750-757/hal.35)

Kejadian kecelakaan yang traumatik dan menimbulkan perasaan yang beragam membuat HK sulit untuk menerima dirinya dengan keterbatasannya. Hal tersebut ditunjukkannya pada saat seorang tetangga menebutnya cacat, HK mengatakan bahwa dirinya paling benci disebut seperti itu. Bahkan saat HK sudah mempunyai pacar baru, HK tidak

mengatakan bahwa kaki kirinya sudah diamputasi pada pacar barunya tersebut. Dia hanya memberi tahu bahwa kakinya patah akibat kecelakaan yang terjadi pada dirinya.

“Kadang pun pingin kenapa aku jadi aku, kalau bisa aku jangan jadi aku. Ga mau jadi kayak gini. Maunya jadi orang lain. Kenapa hanya sama aku. Kenapa bisa kayak gini, yaa gitu-gitu lah.”

(WI-HK/b.518-521/hal.24)

“Kemarin siapa yaa, ada, kak. Bapak-bapak entah siapa. Meskipun cacat jangan gini, yaa. Benci kali aku dibilangin cacat. Kan cacatnya karena kecelakaan, ga dari lahir. Jengkel yaa kayak mana, masa dibilangin cacat.”;

(WI-HK/b.828-832/hal.39)

Ketidakmampuan HK untuk menerima kondisinya membuat HK sulit untuk menggambarkan dirinya sendiri. HK sangat sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan sifatnya. HK tidak sepenuhnya mengetahui bagaimana dirinya, apa kelebihan dan kekurangan dirinya. Dirinya hanya menjawab berdasarkan apa yang orang katakan padanya. Hal ini membuat pembentukan identitas diri yang terjadi pada remaja HK terganggu.

“Justru itu HK bingung, kak, diri HK itu kayak mana.” (WII-HK/b.943/hal.44)

“Kelebihannya apa yaa. Bingung, kak, itu masih bingung.

Kelebihannya apa?? Katanya sih semangat, ga pantang menyerah. Kurasa kayak gitu lah, kak (tertawa). Kekurangannya apa kekurangannya yaa. Entah apa pun, kak, kekurangannya. Kalau ditanya gitu, kak, ga tahu apa kekurangannya.”