• Tidak ada hasil yang ditemukan

produksi yang berbeda satu sama lain, ditambah dengan struktur sosial dan kebudayaan masyarakat setempat yang turut mewarnai corak relasi-relasi yang terjadi di antara para pelaku produksinya.

Relasi buruh-majikan yang terbentuk pada masyarakat nelayan ini dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor yang dilihat sebagai faktor internal dalam relasi produksi adalah komoditas yang dihasilkan, penggunaan teknologi, proses produksi, penggunaan tenaga kerja, sistem kerja, kategori-kategori buruh dan majikan, serta relasi-relasi yang terjalin antara buruh yang satu dengan buruh lainnya dan antara buruh dengan majikannya.

Adapun faktor yang bersifat eksternal adalah adanya relasi-relasi sosial di antara para pelaku produksinya. Relasi-relasi sosial ini terkait dengan struktur sosial masyarakat setempat. Beberapa aspek yang akan dilihat dalam relasi-relasi sosial ini adalah kondisi domestik buruh, kedudukan dan peranan sosial buruh dalam masyarakat, serta relasi-relasinya dengan anggota masyarakat lainnya.

Ada beberapa aspek yang diasumsikan sebagai bagian dari relasi buruh-majikan pada masyarakat nelayan.

Pertama, pertukaran sumber daya antara buruh dengan majikan. Aspek pertukaran ini dioperasionalkan sebagai tugas kerja dan sistem bagi hasil yang berlaku dalam masyarakat nelayan ini. Kedua, aspek kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kesepakatan ini tercermin dalam pranata-pranata sosial lokal yang mengatur relasi kerja dan relasi sosial di antara masing-masing pelaku produksi. Ketiga, proses pembentukan relasi buruh-majikan tersebut, dilihat dari mekanisme perekrutan buruh.

Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam relasi buruh-majikan pada masyarakat nelayan adalah bahwa relasi produksi yang ada terkait erat dengan relasi-relasi sosial yang telah terjalin dan merupakan relasi-relasi klien (Scott, 1983). Terbentuknya relasi patron-klien pada masyarakat nelayan ini didasarkan pada pola

RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL

37

pendapatan ekonomi masyarakat nelayan yang tidak pernah teratur, dan berpengaruh pada pola pendapatan rumah tangga buruh nelayan sehingga memunculkan ketergantungan buruh kepada majikannya. Relasi ini cenderung memberi aspek perlindungan dan jaminan sosial bagi buruh-buruh nelayan di Kamal Muara.

Kampung nelayan Kamal Muara terletak di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Berbeda dengan wilayah lainnya di Jakarta yang sebagian besar mengandalkan kehidupan ekonomi mereka dari sektor jasa dan industri, Kamal Muara mengedepankan sektor produksi perikanan. Hal ini ditunjang oleh letak geografisnya yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Wilayah Kamal Muara terbagi atas tiga rukun warga (RW). Sekitar 74,2% dari penduduknya menempati wilayah RW 01, yang merupakan pusat ekonomi perikanan Kamal Muara. Sekitar 57,9% penduduk yang tinggal di RW 01 ini bekerja sebagai nelayan dengan mengandalkan sumber daya dari laut (Data Penduduk RW 01 Kamal Muara, 2001).

Penggunaan lahan di Kamal Muara terdiri atas lahan untuk pemukiman penduduk, empang-empang, dan beberapa lahan yang digunakan sebagai tempat produksi pengasinan ikan. Jalan raya Kamal membelah wilayah Kamal Muara dan memisahkan pemukiman penduduk dengan Kali Kamal dan empang-empang. Jalan raya Kamal tersebut berakhir di TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Di sepanjang jalan raya Kamal yang menuju ke arah TPI tersebut berjejer toko-toko dan warung-warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari dan perlengkapan-perlengkapan untuk produksi perikanan. Permukiman penduduk terletak di belakang warung-warung tersebut.

Dilihat dari segi sosial, Kamal Muara merupakan suatu wilayah yang heterogen dengan latar belakang penduduknya berasal dari beragam etnis. Penduduk aslinya berasal dari etnis Betawi, sedangkan para pendatang sebagian besar berasal dari etnis Bugis/Sulawesi Selatan, Jawa, Sunda, Bima, dan daerah-daerah lainnya di

Indonesia. Di antara etnis-etnis kaum pendatang tersebut, yang paling banyak adalah pendatang dari etnis Bugis.

Migrasi pertama orang Bugis ke Kamal Muara terjadi sekitar tahun 1960-an. Salah satu faktor pendorongnya adalah pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Pemberontakan tersebut menimbulkan kondisi tidak aman pada masyarakat setempat dan mendorong sebagian warganya untuk mengungsi ke daerah lain. Salah satu daerah tujuan pengungsian mereka adalah daerah-daerah yang ada di pantai utara pulau Jawa dan Sumatera yang mereka anggap sebagai wilayah yang aman, dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar warga etnis Bugis yang mengungsi ke Pulau Jawa, khususnya di pesisir pantai utara Jakarta tersebar di beberapa wilayah, di antaranya di Muara Baru, Dadap, dan Kamal Muara. Di Kamal Muara, mereka mendiami wilayah RW 01 bagian Utara, tepatnya di RT 001 dan RT 002. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai nelayan tradisional. Sektor produksi perikanan yang banyak diminati oleh para nelayan Bugis di sini adalah perikanan bagan.

Permukiman orang Bugis terkonsentrasi di sebelah Utara TPI yang berbatasan langsung dengan laut, sehingga tidak aneh bila melihat tempat tinggal mereka berbentuk rumah panggung, yang dibangun sebagai antisipasi apabila air laut pasang. Bangunan demikian terlihat menonjol di RT 001 dan RT 002, yang oleh penduduk Kamal Muara pada umumnya sering disebut sebagai “Kampung Bugis”. Desain rumah mereka, yang bercorak tradisional Bugis, berbentuk rumah panggung dengan bahan-bahan dasar sederhana seperti kayu untuk dinding rumah dan seng untuk atapnya. Ruang di bawah rumah tersebut terkadang dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kendaraan bermotor atau sebagai gudang tempat menyimpan perlengkapan pernelayanan. Tradisi budaya masyarakat Bugis di wilayah ini tampaknya terpelihara dengan baik. Mereka tetap melaksanakan upacara-upacara tradisional Bugis dalam upacara-upacara pernikahan, khitanan, maupun upacara

sedekahan laut.

Adapun penduduk dari etnis Betawi, banyak yang menempati wilayah Kamal Muara bagian selatan. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pedagang, membuka usaha warung atau toko, atau menjadi sopir angkutan umum. Jarang sekali ditemukan orang Betawi yang berprofesi sebagai nelayan. Beberapa yang terjun dalam sektor perikanan hanya bekerja sebagai pedagang ikan, atau berjualan bahan bakar minyak untuk kebutuhan produksi nelayan bagan. Selain orang Betawi, banyak penduduk dari etnis lain yang menjadi pedagang atau membuka usaha warung kecil-kecilan. Akan tetapi, warung atau toko yang berskala besar biasanya dimiliki oleh warga keturunan Cina. Pola permukiman seperti di atas selain menjadi karakteristik kelompok-kelompok etnis tadi, juga mencirikan mata pencaharian yang ditekuni penduduknya. Penduduk yang tinggal dekat pantai sebagian besar bekerja sebagai nelayan; penduduk yang tinggal di pinggiran jalan raya Kamal membuka usaha warung atau toko dan penduduk yang berprofesi sebagai pedagang atau buruh-buruh nelayan sebagian besar tinggal di permukiman yang jauh dari jalan raya, masuk ke gang-gang kecil di sepanjang jalan raya Kamal.

Ada sebagian penduduk yang tidak tinggal di kawasan permukiman, melainkan di perahu-perahu. Mereka adalah para nelayan yang menekuni sektor produksi jaring tongkol dan sebagian besar datang dari daerah Pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Mereka tinggal di sana hanya untuk bekerja pada pemilik perahu di Kamal Muara, sehingga mereka tidak mempunyai tempat tinggal tetap di Kamal Muara. Para nelayan jaring tongkol ini biasanya beroperasi di laut menghabiskan waktu sekitar 12 minggu. Setelah itu mereka mendarat sekitar 2-3 hari untuk mengisi bahan bakar dan melengkapi keperluan lainnya sebelum berangkat melaut lagi.

Kedekatan secara fisik atau kedekatan tempat tinggal secara tidak langsung mempengaruhi relasi antarindividu dalam relasi produksi khususnya dalam konteks relasi

39