• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Relasi Kerja Subkontrak

Anne Friday Safaria

4.3.1 Latar Belakang Relasi Kerja Subkontrak

142

produksi kain bodasan, relasi-relasi kerja yang terbentuk di dalamnya mempunyai tiga latar belakang yang berbeda, yang meliputi adanya proses transformasi majikan menjadi buruh, transformasi buruh menjadi majikan, dan intervensi pemerintah. Ketiga latar belakang tersebut merupakan representasi bahasan mengenai industri kecil tekstil subkontrak (maklun) yang berhubungan dengan dua prinsipal yang berbeda, yaitu yang satu terikat oleh hubungan kontrak tidak tertulis (informal) dan satu lagi mewakili hubungan kontrak tertulis (formal). Hubungan kontrak formal tidak-serta merta membuat hubungan subkontraktor dengan buruhnya menjadi formal pula.

Pada tahun 1960-an seorang pria WNI keturunan Cina (di Majalaya biasa disebut “babah”) bernama Aseng mengawali karirnya sebagai pembeli dan pedagang kain kecil-kecilan. Dengan sepedanya ia menyusuri jalan-jalan di Majalaya untuk menemui produsen-produsen kain sarung setempat. Dalam industri tekstil saat itu, ia berperan sebagai pembeli langsung hasil produksi kain para produsen pribumi. Kain-kain tersebut kemudian dijual ke luar Majalaya. Beberapa saat kemudian ia telah menjadi pelanggan tetap dari beberapa produsen. Lambat laun “babah” tersebut menyediakan juga bahan baku dan pinjaman modal ketika melihat usaha para produsen mulai mengalami kemunduran karena kesulitan mengakses pasar, bahan baku, dan memobilisasi modal (mengatur pemasukan dan pengeluaran modal). Produsen pribumi yang semula berada pada posisi majikan berubah menjadi buruh bagi pengusaha Cina yang beralih posisi menjadi pihak yang menentukan kegiatan produksi, sebagaimana dikatakan Pak Asep (salah satu staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan) di bawah ini.

4.3.1.1

RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL

Kasus “Transformasi Majikan Menjadi Buruh Upahan”

They control the supply materials and the marketing channels under the system of wage-weaving (maakloon system), and thus the weaving industry itself in the region. Mereka mengontrol pasokan bahan baku dan pasar di bawah sistem maklun, dan juga industrinya sendiri di wilayah tersebut. (Matsuo, 1970: 67)

11

Pada awal kerja sama, subkontraktor --tiga perusahaan tenun bodasan di Sukamukti dan Padamulya yang sama-sama menerima order dari Aseng-- masih merasakan hubungan kemitraan yang setara dengan prinsipal. Bahkan menurut pengakuan mereka, hubungan yang terjalin ketika itu bagaikan teman dekat. Akan tetapi, lambat laun usaha prinsipal berkembang dengan pesat sebagai usaha dagang, sekaligus juga sebagai perusahaan manufaktur (produksi) sehingga subkontraktor yang telah lebih dahulu bergerak di bidang manufaktur semakin tidak mampu bersaing karena terbiasa tergantung pada prinsipalnya. Ketergantungan ini merupakan akibat dari terisolasinya subkontraktor dari pasar dan bahan baku. Prinsipal kemudian mulai menawarkan jasanya untuk membantu subkontraktor melalui kerja sama yang disebut

maklun (hubungan subkontrak komersial dan industrial)

Dengan pergantian status ini, jenis komoditas pun mengalami pergantian dari produksi sarung menjadi produksi kain bodasan (jenis komoditas yang merupakan bagian dari proses produksi prinsipal). Hubungan dengan subkontraktor juga didelegasikan kepada orang kepercayaannya. Pada tahap tersebut hubungan pertemanan antara prinsipal dengan subkontraktor (hubungan yang bersifat personal)semakin memudar; yang tertinggal adalah hubungan profesional yaitu hubungan

Maklun itu gayanya aja punya pabrik padahal hanya

buburuh kepada pengusaha Cina. Sebetulnya akan lebih untung kalau mereka menjual bensin dua tak.

Boks 4.1

Awalnya Pak Deni adalah pemilik pabrik tenun kain sarung di desa Padamulya, Majalaya. Tetapi, kemudian lambat laun produksi sarungnya mengalami penurunan permintaan. Akhirnya, ia ditawari untuk menjadi

maklun kain bodasan bagi Koh Aseng (prinsipal) yang awalnya adalah

pihak pembeli dan sekaligus pemasar produksi sarungnya. Pak Deni merasa diuntungkan dengan alasan tidak perlu susah payah mencari pasar dan menghindari risiko kerugian.

pusat-cabang atau disebut juga hubungan antara “dunungan-kuli” (istilah bahasa Sunda untuk “majikan-buruh upahan”). Demikian juga secara istilah, “maakloon” berarti upah produksi. Maka, dalam relasi buruh-majikan yang berkembang kemudian sedikit sekali melibatkan relasi sosial yang bersifat personal, meski hubungan yang dibina berdasarkan kontrak informal. Hal ini ditegaskan pula oleh Keppy (2001: 252): Several key actors within the industry passed away in the second half of the 1970s, terminating many long lasting personalised relationships between the indigenous and hokchia industrialists, and local officers and bureaucrats (Beberapa aktor kunci dalam industri wafat pada pertengahan tahun 1970-an, mengakhiri hubungan personal yang telah terbina lama antara industrialis pribumi dan keturunan Cina, polisi lokal, dan birokrat).

Mulanya, Pak Cecep adalah buruh di salah satu pabrik prinsipal (yang merupakan keturunan Cina juga). Menurut pengakuannya, saat itu hubungan dengan majikan sangat dekat. Bahkan karena dekatnya hubungan tersebut, sang majikan berbaik hati menawarkan kerja sama dengan buruhnya. Dari kerja sama itu prinsipal memberikan kredit mesin (tenun, malet, hani/pengkanji), ongkos produksi, dan upah borongan kepada subkontraktor. Sementara itu “sang buruh” alias subkontraktor menyediakan tempat produksi dan tenaga kerja. Subkontraktor menjadi majikan untuk usaha yang dijalankannya berdasarkan kerja sama dengan prinsipal seperti terungkap dari kutipan berikut ini.

144

RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL

Gambaran di atas sesuai dengan apa yang telah dianalisis oleh Imrie (1986, dalam Keppy, 2001:9), bahwa hubungan kerja sama subkontrak dilakukan perusahaan demi fleksibilitas yang di antaranya memungkinkan prinsipal untuk memobilisasi cadangan atau kelebihan mesin tanpa harus mendirikan cabang atau pabrik baru.

Dari kedua latar belakang tersebut terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara prinsipal dan subkontraktor bersifat informal dan hal tersebut berlanjut hingga sekarang meskipun secara hukum keduanya telah menjadi perusahaan formal (tercatat secara sah sebagai badan usaha). Subkontraktor menjadi majikan ketika berhadapan dengan buruh-buruhnya tetapi ketika berhadapan dengan prinsipal, ia hanyalah bawahan yang diatur oleh majikan dalam hal pelaksanaan kegiatan produksi (penentuan jenis, standar kualitas dan kuantitas komoditas yang dihasilkan), pasar, ongkos, dan upah produksi. Studi Keppy membuktikan bahwa bagi kontraktor (istilah lain untuk prinsipal) sebagai “majikan yang sesungguhnya,” sistem

Boks 4.2

Pak Cecep adalah pemilik salah satu perusahaan kecil tekstil (maklun) di desa Sukamukti, kecamatan Majalaya. Awalnya ia bekerja sebagai montir di sebuah pabrik tenun. Majikan tempatnya bekerja pada saat itu menjadi maklun PT Y. Sejak saat itu ia banyak mengamati cara usaha di bidang tekstil. Menurut keterangannya, ia mengenal baik Koh Aseng (pemilik PT Y) sejak usahanya masih kecil dan masih bersepeda bila pergi ke mana-mana. Setelah keluar dari pekerjaannya sebagai montir, Pak Cecep mulai

membuka usaha maklun yang menghasilkan produksi kain bodasan (kain

setengah jadi) dengan menyewa rumah (bangunan) dan mendapat

pinjaman mesin dan order dari PT Y. Pak Cecep memulai usaha

pertamanya dengan 15 unit mesin dengan merek Sakamoto buatan Jepang yang dibelinya seharga 4 juta rupiah per unit, sementara kesepakatan yang ada hanya lisan. Namun, pada penandatanganan kuitansi pembayaran dengan Koh Aseng, setiap unit mesin dihargai Rp 5,25 juta. Menurutnya, hal itu memperlihatkan bahwa pengusaha Cina selalu ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam penjualan mesin tenun tersebut, Koh Aseng sudah memperoleh keuntungan sebanyak Rp 1,25 juta untuk setiap mesin. Pembayaran mesin dicicil/dikredit melalui pemotongan upah hasil produksi.

subkontrak adalah jalan efektif untuk menghindari regulasi yang mengatur suatu badan usaha.

Sebagian hubungan produksi subkontrak terjadi akibat adanya campur tangan (intervensi) pemerintah, melalui Keppres No. 14 tahun 1979 yang memunculkan istilah anak angkat-bapak angkat. Keppres itu kemudian disempurnakan UU RI No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Peraturan Pemerintah RI No. 44 tahun 1997 tentang Kemitraan. Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial, “para pengusaha besar” diketuk nuraninya untuk bersama-sama dengan pemerintah mengemban tanggung jawab moral untuk membantu para pengusaha kecil.

Oleh karena itu, para pengusaha besar berduyun-duyun melakukan kontrak formal dengan pengusaha kecil di bawah naungan program kemitraan. Terdapatnya sejumlah pengusaha besar di era Orde Baru yang mendapatkan “privilege” (hak-hak istimewa dari pemerintah dalam memperlancar kegiatan ekonominya), pada akhirnya menimbulkan kecemburuan beberapa pihak. Hal ini kemudian membuat sebagian pihak tersebut melihat program kemitraan yang berlangsung sebagai strategi pengusaha dan pemerintah untuk meredam kecemburuan pihak-pihak yang tidak mendapatkan hak istimewa. Salah seorang yang mengungkapkan hal ini adalah Pak Nono yang secara resmi bertindak sebagai mediator antara subkontraktor dengan prinsipal.

146

RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL

4.3.1.3 Kasus “Menjadi Majikan karena Intervensi Pemerintah”

Kemitraan: adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

12

Subbab ini akan menguraikan hal-hal dalam relasi produksi yang mempengaruhi relasi buruh-majikan, yaitu bentuk relasi produksinya, tingkat independensi usahanya (hirkup atau total), dan berdasarkan jenis hubungan subkontraknya (komersial atau industrial). Hal-hal tersebut merupakan gambaran umum hubungan produksi subkontrak di Majalaya.

Berdasarkan latar belakang relasi kerja subkontrak-prinsipal di Majalaya, dapat disimpulkan bahwa pola relasi produksinya terbagi menjadi dua. Pertama, relasi produksi subkontrak yang terbentuk atas kesamaan kepentingan secara fungsional antara kedua belah pihak. Relasi ini biasanya terbentuk dari proses kegiatan ekonomi itu sendiri. Pola relasi ini diwakili oleh dua kasus pertama (gambar 4.1). Menurut definisi pemerintah (seperti yang dikutip oleh Rustiani dan Maspiyati, 1996:13), hubungan tersebut disebut juga “keterkaitan ekonomi secara

Boks 4.3

Pak Nono adalah pegawai honorer salah satu instansi pemerintah, yang bertugas sebagai penghubung dan penyedia surat kontrak antara prinsipal BT (salah satu perusahaan besar yang mendominasi bisnis pangan di

Indonesia) dengan usaha-usaha tenun bodasan di Majalaya. Ia secara

resmi mendapatkan upah dari BT dan seperti yang diakuinya upah tersebut sangatlah kecil (Rp 200.000,00 per bulan). Oleh karena itu, ia mempunyai pekerjaan sampingan sebagai makelar benang. Menurutnya, BT menjadi 'bapak angkat' dengan terpaksa karena adanya aturan pemerintah tentang kemitraan dan takut dituding terlalu memonopoli perekonomian nasional. Bukanlah rahasia lagi bahwa sejak Orde Baru hingga sekarang BT terkenal sebagai salah satu perusahaan swasta yang memonopoli dunia usaha nasional, terutama pangan, karena dekat dengan panguasa di masa Orde Baru.