• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pengorganisasian Buruh Kebun Teh Rakyat

Keri Lasmi Sugiarti Shelly Novi H.P

PERKEBUNAN TEH RAKYAT

3.4 Potensi Pengorganisasian Buruh Kebun Teh Rakyat

Pertama, kelangkaan buruh petik di desa Cikokok dan Cisero, yang menyebabkan tidak sebandingnya jumlah permintaan dan tenaga yang tersedia, seharusnya menjadi peluang untuk meningkatkan posisi tawar buruh, dan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menuntut perbaikan kesejahteraan.

Kedua, adanya sistem buruh petik yang digilir oleh beberapa majikan (pemilik kebun), mengindikasikan: 1) adanya relasi kerja yang cukup solid antarmajikan; 2) adanya situasi 'seorang/sekumpulan buruh' menghadapi 'sekumpulan majikan', yang bisa menggambarkan 'pertempuran' tidak seimbang. Perjuangan buruh melawan satu majikan saja sudah cukup berat, apalagi jika harus berhadapan dengan banyak majikan.

Ketiga, buruh-buruh dengan kategori apa sajakah yang harus diorganisasikan?

Jika pengorganisasian dilakukan pada semua kategori buruh, maka harus diperhatikan pula jurang pemisah antara mandor (buruh yang sekaligus wakil majikan) dengan buruh jenis lainnya (buruh petik dan rawat) dalam hal kewenangan, pengupahan, dan jaminan sosial yang berbeda. Ini akan menjadi masalah jika mandor harus bersatu dengan buruh lainnya untuk melawan majikan yang jelas-jelas telah memberi keistimewaan yang menguntungkan baginya. Kemudian ditambah lagi dengan relasi kerja yang berlandaskan hubungan personal (utang budi buruh kepada majikan) yang bisa menyulitkan dalam memposisikan buruh melawan majikan.

Pengorganisasian antara majikan (pemilik kebun teh rakyat) dengan buruh-buruhnya dimungkinkan dalam upaya melawan pasar dan kebijakan pemerintah yang tidak adil. Ini berdasarkan kenyataan adanya tuntutan akan jalur pemasaran dan sistem analisis teh dengan harga yang adil dan stabil (fair trade), yang secara tidak langsung mempengaruhi pengupahan dan ketersediaan jaminan sosial bagi buruh di perkebunan teh rakyat.

a)

119

Keempat, kesejahteraan buruh. Kecilnya pengupahan dan minimnya penyediaan jaminan sosial di sebagian besar perkebunan teh rakyat merupakan hal yang jelas-jelas harus diperjuangkan. Meskipun demikian, harus diperhatikan juga karakter penguasaan lahan dan tingkat produktivitas yang berbeda antara satu kebun dengan kebun lainnya, yang menunjukkan perbedaan kemampuan majikan dalam menyelenggarakan kesejahteraan bagi buruh-buruhnya.

Kelima, adanya bibit-bibit konflik yang ditandai dengan ancaman-ancaman berhenti kerja dari buruh jika upahnya tidak dinaikkan, dan adanya kejadian buruh yang berhenti bekerja begitu saja atau pindah majikan tanpa pemberitahuan, untuk menunjukkan ketidakpuasannya. Kondisi ini tentunya menjadi tanda bahwa buruh memiliki kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakadilan, yang sekaligus juga bisa menjadi modal bagi upaya-upaya pengorganisasian.

Permasalahan yang menonjol dalam industri teh rakyat dan berpengaruh terhadap kesejahteraan buruh (terutama pengupahan dan jaminan sosial), adalah bentuk relasi buruh-majikan, tingkat produktivitas, persaingan pasar, dan kualitas pucuk teh yang rendah. Banyak faktor yang mempengaruhinya, pertama adalah faktor eksogen, berkaitan dengan iklim dan cuaca, kedua adalah faktor endogen yang berkaitan dengan jenis bibit yang bukan unggul, penanaman tanaman teh yang terlalu jarang, faktor pemeliharaan, mulai dari perawatan tanaman yang tidak menggunakan pupuk hingga proses pemetikan, cara penyimpanan dan pengangkutan pucuk teh ke pabrik pengolah, serta cara produksi dan pengolahan di pabrik pengolah.

Bagi petani pemilik kebun teh yang berlahan cukup luas, tanggung jawab pemeliharaan dan perawatan kebunnya diserahkan kepada mandor. Hal ini menyebabkan berbagai proses produksi seperti pemupukan

3.5 Kesimpulan

kebun, pengobatan dan pemberantasan hama tanaman, pemangkasan tanaman hingga proses pemetikan tidak terlalu dipentingkan kontrolnya oleh pemilik kebun. Banyak proses perawatan dan pemetikan yang dilakukan secara sembarangan yang mengakibatkan kualitas dan produktivitas pucuk rendah.

Masalah lain pada industri perkebunan teh rakyat adalah adanya kondisi persaingan antarpabrik pengolah pucuk teh rakyat. Salah satu sebabnya adalah adanya keterbatasan pasokan jumlah pucuk teh basah. Produksi pucuk teh basah di wilayah Ciwidey tidak banyak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara itu permintaan akan teh kering terus mengalami peningkatan. Teh memang menjadi salah satu komoditas perkebunan yang pangsa pasarnya baik secara domestik maupun untuk ekspor dan relatif tetap dari waktu ke waktu. Untuk itu, setiap pabrik pengolah pucuk teh membutuhkan pasokan pucuk dengan jumlah yang tetap.

Dalam kondisi demikian, salah satu faktor penting yang mempertajam kondisi persaingan pasokan pucuk terbatas adalah faktor musim misalnya saat musim kering. Faktor lainnya adalah adanya kehadiran dan keterlibatan bandar dan penampung, serta kehadiran pabrik Perkebunan Besar Swasta (PBS) yang juga menerima pucuk teh dari rakyat. Kehadiran dan peran bandar adalah untuk mempertajam persaingan karena bandar umumnya mempunyai modal yang besar, mampu memberi harga yang lebih tinggi pada petani, serta punya akses penjualan ke pabrik perkebunan besar swasta yang mampu membeli pucuk dengan harga lebih tinggi dibanding pabrik pengolah rakyat.

Kondisi persaingan tersebut menyebabkan beberapa pabrik pengolah teh rakyat serta bandar dan penampung mulai mengembangkan berbagai cara untuk memperoleh jaminan pasokan pucuk secara tetap. Dari dua kasus pabrik pengolah teh rakyat yang diwawancara, salah satu cara yang dipakai untuk menjamin pasokan pucuk adalah memperluas lahan kebun teh yang dikuasainya. Perluasan

lahan kebun milik sendiri dilakukan dengan membeli kebun-kebun teh milik petani lain, juga dengan menyewa kebun-kebun teh milik orang lain, serta dengan memanfaatkan pasokan pucuk dari kebun milik saudara-saudara atau keluarga. Seperti yang terjadi pada salah satu pabrik pengolah teh rakyat, 50 % pasokan pucuk ke pabrik pengolahnya dipasok dari kebun sendiri, kebun milik saudara-saudaranya, serta dari kebun yang disewanya.

Selain memperluas penguasaan lahan kebun teh, pihak pabrik pengolah teh rakyat sendiri dan bandar perlu mengikat pemilik kebun teh lain untuk mau menjual pucuk tehnya kepada pabriknya. Salah satu cara yang digunakan pemilik pabrik untuk “mengikat” petani kebun teh yang lain adalah dengan memberikan berbagai jenis bantuan bagi pengelolaan kebun tehnya, selain sekadar hubungan jual beli pucuk teh. Berbagai jenis bantuan yang diberikan kepada para petani kebun teh tersebut antara lain bantuan penyediaan pupuk, obat-obatan untuk hama tanaman, bantuan bibit, bantuan teknis pemeliharaan, serta bantuan pinjaman uang. Namun, berbagai jenis bantuan tersebut sifatnya bukan pemberian secara gratis, karena para petani tetap harus membeli bantuan yang berupa bahan-bahan tersebut (seperti pupuk, obat dan bibit) tetapi pembayarannya dapat dilakukan secara mencicil dengan memotong dari setiap pembayaran pucuk. Mekanisme inilah yang menyebabkan para petani kebun teh rakyat menjadi tetap terikat kepada pabrik pengolahnya. Untuk beberapa hal lainnya seperti alat kerja dan transportasi, pabrik pengolah tidak memberi bantuan apa pun dan biaya serta risikonya tetap menjadi tanggungan petani pemilik.

Sementara itu, untuk menjamin pasokan pucuk dari kebun teh milik petani lain, cara yang dikembangkan bandar antara lain dengan memberi fasilitas lain yang tidak diberikan pabrik pengolah teh rakyat, yaitu bantuan transportasi pengangkutan pucuk, penerimaan penjualan pucuk dengan harga yang lebih tinggi, serta pembayaran kepada petani teh yang tepat waktu. Bandar pun seringkali memberi bantuan pinjaman uang bagi petani-petani kebun

teh yang membutuhkannya.

Salah satu hal lainnya yang membedakan penjualan pada bandar dan pabrik pengolah teh rakyat adalah dalam hal penetapan harga pucuk. Penjualan pada pabrik selalu menggunakan sistem analisis artinya penetapan harga pembelian pucuk sangat tergantung pada kualitas pucuk tehnya. Sementara itu bandar tidak menetapkan sistem analisis, artinya bandar sudah memiliki kesepakatan awal mengenai kualitas pucuk dengan petani kebun teh. Dengan demikian, pada penjualan-penjualan selanjutnya, pucuk teh yang dijual akan tetap dihargai demikian, tanpa harus melihat kualitas pucuknya kembali. Kesepakatan ini akan tetap ada jika ada kepercayaan antara bandar dan petani pemilik teh mengenai kualitas pucuk teh yang dijual petani. Namun, jika kualitas pucuknya menurun, maka bandar pun dapat membatalkan kesepakatan tersebut.

Pada industri teh rakyat, baik pada bentuk hubungan yang semiformal maupun bentuk hubungan informal, ikatan kerja bersifat lepas, kecuali pada tingkatan mandor. Kesepakatan kerja ditentukan oleh pihak majikan. Namun demikian, kondisi di dalam hubungan buruh-majikan informal dan semiformal tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor internal yang berlangsung dalam hubungan tersebut. Faktor yang tidak kalah penting dalam hal ini adalah faktor

supply-demand tenaga kerja dan pasar makro industri teh. Pada saat terjadi kondisi over supply tenaga kerja dan tidak terdapat alternatif mata pencaharian lainnya, maka posisi tawar buruh terhadap pihak majikan semakin rendah.

Pada industri teh rakyat dengan dinamika yang menyertainya, terutama berkembangnya skala unit usaha pengolahan teh yang bersangkutan, aspek kesepakatan kerja yang bersifat lepas, kondisi pasar dan supply-demand

tenaga kerja, menciptakan kondisi yang menyebabkan rendahnya posisi tawar buruh secara individual. Pihak buruh semakin ditekan oleh pihak majikan seiring dengan semakin meningkatnya biaya produksi di kebun teh, sedangkan pihak majikan ingin tetap mempertahankan perolehan keuntungannya.

Mengenai pengorganisasian buruh informal, dari sektor perkebunan teh rakyat ini tampak ada dua potensi. Pertama, berbeda dari populasi buruh informal lain pada umumnya, tenaga buruh pemetik dan perawat tanaman teh yang terampil relatif kurang sehingga dapat meningkatkan posisi tawar mereka terhadap majikan. Kedua, data tentang konflik buruh-majikan di kebun teh rakyat menandakan ada kesadaran dan keberanian buruh untuk menentang k e t i d a k a d i l a n m a j i k a n . N a m u n d e m i k i a n , pengorganisasian buruh teh rakyat perlu memperhatikan konteks-konteks lokal relasi buruh-majikan yang ternyata beragam, agar tidak justru menjadi boomerang dan menambah sulit kehidupan mereka.

SISTEM MAKLUN