• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguasaan Lahan dan Tingkat Produktivitas

Keri Lasmi Sugiarti Shelly Novi H.P

3.1 Penguasaan Lahan dan Tingkat Produktivitas

4

3.1 Penguasaan Lahan dan Tingkat Produktivitas

antara perkebunan besar dengan perkebunan teh rakyat. Dengan berdirinya perkebunan-perkebunan teh besar, penduduk yang tinggal di sekitar perkebunan kemudian tertarik untuk ikut menanami lahannya dengan tanaman teh. Daya tariknya adalah tawaran dari perkebunan besar untuk membantu menyediakan bibit dan pupuk bagi petani yang mau menanami kebunnya dengan tanaman teh, kemudian hasil panen teh tersebut dibeli oleh pabrik pengolah perkebunan besar. Hubungan tersebut saling menguntungkan karena petani mendapat keuntungan dari hasil penjualan pucuk tehnya, sementara pabrik pengolah perkebunan besar memperoleh tambahan pasokan pucuk dari rakyat. Bentuk hubungan timbal balik yang saling menguntungkan ini kemudian mendorong para petani di sekitar perkebunan untuk membuka lahan-lahan perkebunan teh rakyat.

Produktivitas perkebunan teh rakyat di Ciwidey mengalami banyak pasang surut seperti halnya perkebunan-perkebunan besar. Berbagai faktor seperti kondisi sosial-ekonomi masyarakat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dan faktor alam seperti bencana alam serta iklim turut mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat produktivitas perkebunan teh rakyat. Produksi teh rakyat yang rendah terutama terjadi sebelum tahun 1970-an. Saat itu produksi teh rakyat mengalami banyak masalah, antara lain berupa rendahnya produktivitas dan kualitas pucuk teh rakyat. Petani teh juga tidak menikmati harga teh yang baik karena penjualannya dilakukan melalui perantaraan tengkulak (Business News, 1985).

Baru pada awal tahun 1970-an, pemerintah mulai memberi perhatian terhadap industri teh. Pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan produktivitas teh Indonesia melalui program bantuan untuk rehabilitasi teh negara, swasta, dan rakyat melalui Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank). Bantuan lainnya adalah program kredit sebesar $US 15 juta dari International Development Association (IDA suatu bagian dari Bank

Dunia) untuk rehabilitasi dan penanaman kembali perkebunan teh pada tahun 1971. Program bantuan dari Bank Dunia lainnya diluncurkan pada tahun 1974 sampai 1979, sebesar $US 26 juta, untuk merehabilitasi sekitar separuh dari luas tanaman teh rakyat di Jawa Barat dan sekitar 8.500 ha tanaman teh swasta. Program bantuan tersebut dilakukan juga melalui penanaman teh baru, meliputi sekitar 3.000 ha teh rakyat dan sekitar 2.000 ha untuk dilaksanakan oleh para pengusaha swasta.

Program-program itu tampak cukup memberi hasil karena beberapa tahun kemudian, produktivitas teh Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti. Selama tahun 1976-1984, laju produksi teh, baik perkebunan besar negara, perkebunan swasta, maupun kebun teh rakyat, terus mengalami peningkatan. Produksi teh meningkat dengan laju pertumbuhan 7,4% setiap tahunnya, bahkan teh rakyat berada pada kisaran 8,5% (Spillane, 1992: 58). Pengaruh dari kebijakan bantuan program pemerintah tersebut juga dirasakan oleh para petani teh rakyat di Ciwidey. Dari lima kebun teh rakyat di Ciwidey yang dijadikan kasus dalam studi ini, ditemukan dua orang petani kebun teh yang memulai usahanya melalui bantuan dan program pemerintah. Sementara tiga lainnya memulai usahanya secara mandiri melalui bantuan dari beberapa perkebunan besar swasta yang banyak terdapat di sekitar wilayah Ciwidey.

Kelima kasus usaha perkebunan teh rakyat Ciwidey yang diteliti ini memulai usaha kebun tehnya sekitar tahun 1970-an. Dengan program bantuan kredit yang berjangka waktu 10 tahun, para petani teh yang bersangkutan kini telah menikmati hasil keuntungan kebunnya karena telah melunasi seluruh kredit peminjamannya ke bank.

Situasi saat ini menunjukkan bahwa dari sisi produktivitas, perkebunan teh negara adalah yang paling produktif dibanding perkebunan-perkebunan lainnya. Pada tahun 2000 produktivitasnya mencapai sekitar 2,3 ton/ha; disusul oleh perkebunan besar swasta dengan 1,4 ton/ha; baru kemudian perkebunan teh rakyat sebesar 0,9

83

ton/ha. Gambaran serupa mengenai tingkat produktivitas perkebunan-perkebunan teh ini dapat pula dilihat dari tingkat rata-rata produksi yang ada di Kabupaten Bandung. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Kabupaten Bandung, diketahui bahwa tingkat produktivitas perkebunan teh rakyat adalah yang terendah dengan nilai 0,650 ton/ha, sementara tingkat produktivitas perkebunan negara (selanjutnya disebut PBN) mencapai 1,056 ton/ha dan perkebunan besar swasta (selanjutnya disebut PBS) sekitar 0,955 ton/ha.

Walaupun perkebunan teh rakyat lebih luas, yaitu 42% dari jumlah areal perkebunan teh di Indonesia, mereka hanya mampu menyumbang sedikit dari produksi pucuk tehnya, yaitu 21% dari seluruh produksi teh di Indonesia. Produktivitas teh rakyat ini lebih rendah jika dibandingkan dengan PBS, yang dengan luas areal 27% dari seluruh areal perkebunan teh Indonesia, namun mampu memberi kontribusi nilai produksi sebesar 25%. Apalagi dibandingkan dengan PBN yang luas arealnya mencakup 31% dari seluruh areal perkebunan teh Indonesia namun kontribusi nilai produksinya sebesar 54 % dari keseluruhan produksi teh Indonesia. Pada umumnya tingkat produktivitas perkebunan teh rakyat di berbagai wilayah di Kabupaten Bandung berkisar antara 0,6 sampai dengan 1 ton/ha. Wilayah Ciwidey sendiri memiliki tingkat produktivitas cukup baik, yaitu 1 ton/ha, dibanding beberapa wilayah lainnya.

Perkebunan teh rakyat di Ciwidey pada umumnya berlahan kecil antara 0,25 ha sampai dengan 30 ha. Kategori lahan kecil adalah 0,255 ha, lahan menengah adalah 520 ha, dan lahan besar adalah >20 ha. Pada perkebunan teh rakyat, umumnya penguasaan lahannya kecil-kecil, tetapi jumlahnya banyak dan tersebar di berbagai lokasi. Beberapa kebun yang berlahan sempit berada di antara rumah-rumah penduduk, sementara yang berlahan luas berupa hamparan tersendiri di areal perkebunan teh rakyat.

dengan perkebunan besar adalah hasil produksinya yang sebagian besar untuk pasar domestik. Dengan jumlah modal yang terbatas, petani kebun teh rakyat lebih mementingkan kuantitas. Pucuk teh dipetik dengan alat agar diperoleh pucuk lebih banyak, namun kualitasnya rendah. Pemetikan dengan tangan menghasilkan kualitas pucuk yang lebih baik, tetapi hal tersebut jarang dilakukan karena perolehan pucuk menjadi terbatas. Kualitas pucuk teh yang rendah menyebabkan harganya menjadi murah, sistem pembayarannya pun mundur. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan rendahnya pengupahan buruh.

Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang turut mempengaruhi tingkat produktivitas dan perkembangan teh di Indonesia adalah adanya pengaruh iklim dan bencana alam. Pengaruh tersebut sangat terasa pada tahun 1982 ketika Gunung Galunggung meletus. Akibat bencana alam tersebut, produktivitas teh di Jawa Barat mengalami penurunan drastis. Peristiwa yang hampir sama juga terjadi ketika musim kering yang berkepanjangan menimpa berbagai wilayah di Indonesia pada tahun 1987. Akibat cuaca dan iklim tersebut, produktivitas dan nilai ekspor teh Indonesia mengalami penurunan. Kondisi ini perlahan-lahan mulai pulih kembali seiring dengan berlalunya iklim yang tidak menguntungkan tersebut.

Skala usaha perkebunan teh rakyat juga beragam, mulai dari 0,25 ha sampai dengan puluhan hektar. Ini berhubungan dengan peran industri teh terhadap ekonomi keluarga. Petani yang memiliki lahan perkebunan yang cukup luas memandang usaha ini sebagai usaha yang menguntungkan, namun petani lainnya yang berlahan sempit menganggap kebun tehnya sebagai usaha sampingan.

Keberagaman ini juga terlihat dari status kepemilikan lahan. Ada lahan milik sendiri dan lahan sewaan. Sistem penyewaan yang dikenal dengan istilah “kontrak” ini ditemukan dalam industri teh rakyat dan menjadi salah satu cara untuk memperluas penguasaan lahan kebun teh, terutama bagi petani teh yang serius dalam mengelola usahanya, seperti kasus pak Udin berikut ini:

85

Untuk mempermudah melihat profil usaha teh rakyat, maka pada studi ini, kasus usaha teh rakyat yang diteliti dikategorikan berdasarkan skala usaha (luas lahan dan produksi pucuk teh), penggunaan tenaga kerja, dan jalur penjualan pucuk teh. Kategori usaha teh rakyat tersebut dapat dilihat dalam bagan mengenai keragaman usaha kebun teh rakyat Ciwidey.

l a h a n m i l i k s e n d i r i menyewa lahan milik orang lain lahan milik sendiri

menyewa lahan milik orang lain lahan milik sendiri

S t a t u s kepemilikan t a n a h

Kategori Skala Perkebunan Teh Kecil Luas lahan 0,25 - 5 ha 5 - 20 ha > 20 ha Menengah Besar P a b r i k pengolahan Memiliki pabrik p e n g o l a h a n s e n d i r i Keragaman Kebun Teh Rakyat Ciwidey

Tabel 3.1

Boks 3.1

Pak Udin adalah pemilik kebun teh rakyat yang luas dan sekaligus memiliki pabrik pengolahannya di Ciwidey. Ia mempunyai tanah seluas 300 ha. Awalnya ia mengontrak tanah kebun teh kepada petani-petani-petani teh dan sekaligus juga memberikan pinjaman uang kepada mereka jika mereka membutuhkan. Jika tidak dapat mengembalikan, maka tanah kebun yang dikontrakkan kemudian menjadi milik pak Udin. Hal ini menjadikan tanah pak Udin semakin luas, dan lahan petani kecil semakin menyempit. Selain itu pak Udin juga memiliki usaha di bidang perikanan, peternakan, pupuk-obat tanaman. Bahkan hampir seluruh jalur perdagangan pupuk-obat tanaman di Ciwidey adalah milik pak Udin.

Pelaku-pelaku usaha kebun teh, yaitu pemilik, mandor, dan buruh, tidak berada dalam satu wilayah yang sama. Dari lima kasus yang diteliti, ditemukan bahwa lokasi tempat tinggal semua pemilik (lima kasus) berada di Desa Alam Endah, sementara kebun-kebun mereka tersebar di berbagai daerah di luar desa dan Kecamatan Ciwidey, antara lain terdapat di Desa Cibeber, Kecamatan Ciwidey, dan di Desa Cikokok, Kecamatan Pasirjambu.

Industri teh rakyat Ciwidey terdiri atas dua organisasi kerja yang saling berhubungan, yaitu usaha kebun teh (memasok pucuk teh basah), serta usaha pabrik pengolah pucuk teh (mengolah pucuk teh basah tersebut menjadi teh kering). Pada industri teh rakyat, organisasi kerja di kebun yang memproduksi pucuk teh dan organisasi di pabrik tidak berada dalam satu struktur organisasi perusahaan yang formal. Para pelaku dalam dua organisasi produksi ini terpisah dan hubungan kerja di antara keduanya bersifat informal. Alur produksi pucuk teh dari kebun menuju pabrik pengolahan berjalan secara tidak langsung, namun melibatkan pihak-pihak perantara lain yaitu bandar dan

87

>15 hingga 100 o r a n g ( p e m i l i k , s t a f a d m i n i s t r a s i , m a n d o r , d a n b u r u h - b u r u h ) 6 s/d 15 orang (pemilik, mandor d a n b u r u h ) 2 s/d 5 orang ( P e m i l i k d a n b u r u h ) Tenaga kerja P e n j u a l a n p u c u k k e p a d a : P a b r i k pengolahan pucuk t e h m i l i k s e n d i r i / r a k y a t Perkebunan Besar S w a s t a ( P B S ) P a b r i k pengolahan pucuk t e h r a k y a t P e n g u m p u l / B a n d a r Pabrik pengolahan pucuk teh rakyat Perkebunan Besar S w a s t a ( P B S ) Sumber: pengamatan lapangan, Ciwidey, 2001