• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jam Kerja dan Pengupahan

prinsipal subkontraktor Kontribusi

4.5.1 Jam Kerja dan Pengupahan

4.5 A p a k a h S u b k o n t r a k t o r d a n B u r u h n y a Tereksploitasi?

Konsep eksploitasi biasanya dihubungkan dengan konsep pembagian kelas, konsep relasi kepemilikan, dan kepentingan kelas. Suatu hubungan sosial disebut bersifat eksploitatif jika hubungan tersebut membahayakan dan tidak adil bagi pihak yang dieksploitasi (Wright, 1997)

14

40 jam seminggu…. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat kelebihan waktu kerja yang dibebankan subkontraktor kepada buruh. Hal itu jelas merupakan pelanggaran atas hak buruh.

Berkaitan dengan upah, buruh tetap memperoleh Rp 100.000,00/minggu. Untuk buruh harian, mereka memperoleh Rp 50.000,00 sedangkan buruh borongan memperoleh sekitar Rp 60.000,00/minggu. Jika rajin dan banyak order, buruh borongan dapat memperoleh Rp 80.000,00 tiap minggunya. Setiap bulannya, dengan demikian, buruh tetap memperoleh Rp 400.000,00; buruh harian Rp 200.000,00; sedangkan buruh borongan berkisar Rp 240.000,00 s.d. Rp 320.000,00 tiap bulannya. Hasil survei kebutuhan hidup minimum (KHM) untuk kota/kabupaten di Jawa Barat adalah sebesar Rp 488.756,00 untuk lajang. Berdasarkan hasil survei tersebut, dibandingkan dengan upah yang diperoleh buruh informal, maka upah buruh--baik harian maupun borongan--masih jauh di bawah KHM. Yang paling mendekati KHM adalah buruh tetap, yaitu Rp 400.000,00 tiap bulan.

Di sini terlihat adanya kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan minimum buruh dari pekerjaannya padahal waktu yang harus dicurahkan buruh melampaui standar umum yang telah ditetapkan. Kemudian, apakah nilai kelebihan waktu kerja yang dimiliki buruh menjadi keuntungan subkontraktor atau prinsipal? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu bagaimana kondisi subkontraktor.

Keuntungan yang diperoleh subkontraktor dari kegiatan produksi di unit usahanya relatif sedikit (tidak

Komponen kebutuhan hidup minimum terdiri atas 43 butir sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep-81/Men 1995. Kebutuhan hidup minimum yang disurvei adalah KHM untuk lajang. (Dikutip dari Analisis Penetapan Upah Minimum kota/kabupaten Tahun 2003 di Jawa Barat oleh Ari Hendarmin, SH., M.M., Wakil Ketua Apindo Jawa Barat. KHM dibagi menjadi empat kelompok yang terdiri atas makanan dan minuman, perumahan dan fasilitas, sandang, dan aneka kebutuhan … mencakup juga kebutuhan nonfisik,

15

lebih besar dari keuntungan pedagang bensin dua tak). Subkontraktor memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukannya dalam bentuk keuntungan bersih dari selisih pembayaran kain oleh prinsipal dengan biaya produksi yang dikeluarkannya. Biaya produksi meliputi pengeluaran biaya untuk onderdil mesin, biaya listrik, dan upah/imbalan karyawan. Upah yang diperoleh subkontraktor dari prinsipal adalah Rp 300,00 per meter kain yang dihasilkan oleh subkontraktor. Besaran upah seharga Rp 300,00 tersebut masih terbagi-bagi untuk pengeluaran biaya onderdil mesin, listrik, dan upah/imbalan karyawan. Bahkan tidak jarang subkontraktor mengalami kerugian karena harus menutup biaya untuk pembayaran listrik serta onderdil mesin yang melambung tinggi. Di samping itu, setiap tahunnya subkontraktor harus meminjam uang pada prinsipal untuk membayar uang THR buruh-buruhnya. Pengembalian pinjaman uang tersebut kepada prinsipal dibayarkan melalui potongan sebesar Rp 30,00 dari upah

maklun tiap meter kain yang dihasilkan oleh subkontraktor. Kondisi itulah yang menjadikan subkontraktor tidak dapat memberikan upah yang tinggi kepada buruh sebagaimana besarnya upah yang diterima buruh di sektor usaha formal. Posisi sulit tersebut dimaklumi oleh buruh-buruhnya meskipun di satu sisi mereka pun mengeluh dan ingin mendapatkan upah yang mencukupi.

Dalam rantai pelaku produksi, pada setiap transaksi yang disepakatinya subkontraktor pun harus menanggung risiko adanya gagal produksi dan kemungkinan harus mengganti biaya produksi yang sudah dikeluarkan oleh prinsipal. Risiko tersebut cukup besar karena buruh seringkali melakukan kecurangan kerja dengan mengubah

pik kain untuk memperbanyak jumlah perolehan kain, sehingga berakibat kain yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar kualitas yang sudah disepakati oleh subkontraktor dan prinsipal. Risiko lainnya yang harus dihadapi subkontraktor adalah ketidakpastian akan keberlangsungan order dari prinsipal.

Boks 4.7

Berikut ini pendapat dari tiga orang buruhyang disetujui oleh rekan-rekan mereka--tentang kecilnya pengupahan dan ungkapan empati terhadap subkontraktor, di satu kesempatan diskusi informal di sela-sela jam istirahat.

Pak Sardi (staf persiapan): Sebetulnya meskipun tidak bekerja di pabrik besar, kami merasa beruntung karena tinggal di rumah sendiri. Sedangkan buruh untuk pabrik besar yang kebanyakan orang dari luar desa harus mengontrak rumah. Contohnya, tetangga saya seringkali menunggak pembayaran kontrakan rumah.

Bu Edah (buruh tenun/borongan): Iya, lagi pula uang banyak atau uang sedikit sama saja, karena pengeluaran biasanya disesuaikan dengan jumlah uang yang dimiliki, baik orang kaya maupun miskin. Semakin besar pendapatan semakin banyak pengeluaran, dan sebaliknya.

Bu Anah (buruh tenun/borongan): Pekerja seperti kami lebih beruntung karena yang dipikirkan hanyalah pekerjaan dan bagaimana bisa menghasilkan kain lebih banyak. Berbeda dengan pemilik pabrik yang harus memikirkan mesin yang rusak, tidak adanya kiriman benang, pembayaran listrik dan tunggakan, upah untuk para pekerja.

Pak Sardi: Pokoknya bakalan sulit tidur karena begitu banyak yang harus dipikirkan.

Bu Edah: Betul, mendingan kita karena masih bisa tidur nyenyak (diiringi tawa dan anggukan setuju dari rekan-rekannya yang lain).

Diskusi ini dihadiri oleh semua buruh shift siang PT. X (kecuali mandor) yang

16 16

166

Kondisi tempat kerja yang tidak sehat bisa langsung terlihat pada saat kita memasuki pabrik subkontraktor. Hal ini diakibatkan oleh minimnya penerangan, lantai dan mesin tenun yang kotor (oleh minyak pelumas, debu), serta suara mesin tenun yang memekakkan telinga. Kondisi ini tidak ditunjang dengan fasilitas masker maupun penutup telinga. Padahal, berdasarkan ketetapan Menaker, batas kebisingan di tempat kerja--yang memberlakukan jam kerja lebih atau sama dengan delapan jam--tidak boleh lebih dari 85 desibel. Sedangkan suara mesin tenun yang digunakan oleh subkontraktor lebih bising daripada mesin kendaraan bajaj yang diperkirakan mencapai 91 desibel. Berdasarkan hasil survei di Jakarta, 75% supir bajaj mengalami gangguan pendengaran. Jadi, bisa diperkirakan bahwa kondisi buruh tenun subkontraktor bisa lebih parah. Menurut Soepardi dan Iskandar (2001), seseorang yang bekerja di lingkungan bising seperti itu, terutama yang telah bekerja lebih dari lima tahun, kemungkinan besar bisa terkena penyakit tuli syaraf koklea yang tidak bisa disembuhkan.

Tetapi tampaknya buruh tidak begitu peduli tentang kemungkinan tuli tersebut, dan malah mengatakan “Moal, da tos biasa” (Tidak, karena sudah biasa). Alasan tersebut membuat mereka tidak berupaya untuk menuntut fasilitas perlindungan untuk telinga. Belum lagi benang yang mengeluarkan debu ketika sedang ditenun padahal debu tersebut mengganggu pernapasan buruh dan dapat menyebabkan batuk-batuk. Kecelakaan kerja lain yang memungkinkan terjadi adalah terkena lontaran toropong (bagian dari alat tenun), dan memang pernah dialami oleh buruh.

RELASI BURUH-MAJIKAN DI SEKTOR INFORMAL

4.5.2 Kondisi Kesehatan Buruh dan Risiko Kecelakaan