• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daerah Istimewa

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 146-163)

Bagaimana meminimalisir rivalitas atas nama kewenangan sebagai langkah antisipasi [siapa yang berkuasa] dapat diupayakan melalui gagasan pembentukan Pulau Batam sebagai Daerah Istimewa [Daerah Khusus, seperti Aceh, Papua, Jokjakarta dan Jakarta]. Pilihan tersebut dianggap strategis mengingat setidaknya terdapat empat pertimbangan.

Pertama, terlalu banyak dan seringnya produk maupun

perubahan kebijakan di Pulau Batam. Kenyataan ini sesungguhnya mencitrakan inkonsistensinya pemerintah pusat. Kedua, dominasi sentralisasi kekuasaan yang dibuktikan banyaknya kebijakan yang lahir berbentuk Keppres sepanjang sejarah pembangunan Pulau Batam sebagai kawasan berikat [bonded zone]. Ketiga, Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan kekuatan penetrasi ekonomi Singapura. Kedudukan ini dapat menjejaskan ketergantungan ekonomi Pulau Batam dengan Singapura secara absolut. Terjadinya

tarik menarik yang menyebabkan posisi Pulau Batam pada kedudukan tidak menggembirakan. Secara ekonomi Pulau Batam terintegrasi [tergantung] pada Singapura, sementara secara politik diikat ke pusat [otonomi setengah hati]. Oleh karena itu RUU Daerah Istimewa Batam dapat memberikan justifikasi perlunya diberlakukan kebijakan sistem dua mata uang [double currency

system]

Keempat, tumpang tindihnya [overlafing] struktur kekuasaan

dengan dua badan kewenangan penyelenggara pembangunan di Pulau Batam. Walaupun secara teori, legitimasi pemerintahan daerah didukung UU, namun realitasnya keberadaan Otorita Batam yang hanya berdasarkan Keppres lebih mendapat tinggi di mata pemerintah pusat. Ini disebabkan Otorita Batam adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Berdasarkan keempat argumentasi ini paling tidak dapat menjadi wacana awal betapa signifikannya gagasan dalam mengusulkan draf RUU Pulau Batam sebagai Daerah Istimewa [otonomi khusus] sebelum proses final penyusunan UU FTZ [yang secara diam-diam diakui atau tidak telah terjadi deal politik yang tidak kondusif). Ke depan RUU Istimewa Pulau Batam akan menjadi payung dari pelbagai produk kebijakan yang ada selama ini. Mari berjuang. ***

ELBAGAI ucapan selamat, syabas, gembira dan perasaan

haru-biru menandai hari di ‘Proklamirkannya’ Provinsi Riau Kepulauan, Kamis 1 Juli 2004. Sebagai provinsi termuda yang letaknya di perbatasan, Riau Kepulauan [RIKEP] memiliki karakter yang unik dan spesifik. Keunikan dan kespesifikannya paling tidak ditandai dua hal. Pertama, kelahirannya yang sangat kontroversi. Kedua, merupakan satu-satunya kabupaten [baca: Kepulauan Riau] di Republik Indonesia ini yang menanggung beban sangat berat akibat pelbagai kebijakan sentralistis pemerintah pusat.

Tulisan ini tidak berusaha untuk menelaah lebih jauh indikator unik dan spesifik itu. Saya meyakini tanpa penelaahan pun kita semua sudah mahfum: apa yang dimaksudkan dengan indikator unik dan spesifik tersebut.

Dalam hubungannya menyambut hari yang bersejarah tidak salah kiranya tulisan ini sebagai sumbang saran terhadap arti penting penunjukkan caretaker dan peresmiannya bagi masa depan provinsi dengan beragam gugus pulau ini.

Ditunjuknya caretaker Gubernur Provinsi Riau Kepulauan dan peresmian pembentukan Provinsi Riau Kepulauan yang sudah lama tertunda sesungguhnya merupakan langkah pembuka [starting point] bagi berhasil atau tidaknya pembangunan provinsi termuda yang letaknya di perbatasan ini. Sebagai langkah pembuka pelantikan dan pembentukan provinsi ini memiliki empat pilar

P

penting terkait peran ‘caretaker’ dalam mengemban ‘amanah’ pemerintah pusat tersebut.

Petama, kepastian hukum. Pelantikan caretaker gubernur dan

peresmian pembentukan Provinsi Riau Kepulauan ini merupakan langkah pembuka terhadap komitmen pemerintah pusat untuk membangun kepastian hukum [law enforcement] yang selama ini menjadi tanda tanya besar khususnya bagi investor asing. Kepastian hukum merupakan substansi solusi terhadap pelbagai persoalan yang selama ini membelenggu kawasan perbatasan ini. Kepastian hukum adalah kata kunci jawaban terhadap keluhan investor untuk masuk atau ke luar dari wilayah ini. Oleh karena itu pelantikan caretaker mengharuskan investor [khususnya asing] tidak lagi memiliki alasan untuk tidak masuk atau justru ke luar.

Dalam konteks sebagai pilar membangun kepastian hukum itu transparansi harus menjadi prioritas. Ini penting khusus berhubungan dengan kebijakan alokasi lahan, data ekspor-impor, data investor yang masuk dan ke luar, alokasi (si) pemilik lahan dan sumber-sumber pembiayaan [non bugeter] yang tidak terdeteksi dan di luar jangkauan pertanggungjawaban publik.

Kedua, penetrasi konflik pusat-lokal. Peran caretaker dapat

menjadi elaborator [penghubung dan penengah] pelbagai konflik politik sebagai akibat kebijakan pusat yang sentralistik. Banyaknya kebijakan pusat yang diperoduksi secara sentralistik di Riau Kepulauan [baca: Pulau Batam] menyebabkan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah [pusat-lokal] menjadi tidak harmonis. Pelbagai kebijakan yang diproduksi pemerintah pusat dalam setting politik yang sentralistik harus diakomodir dengan setting politik yang desentralistik. Dalam konteks ini sebagai elaborator, peran strategis dari caretaker adalah

mengelaborasi konflik tersebut menjadi lebih elegan dan akomodatif. Ini misalnya terkait dengan keberadaan Otorita Batam. Sebagai produk sentralistik dalam setting desentralistik saat ini, sangat mendesak bagi lembaga/badan ini untuk dicarikan kepastian sebagai basis legitimasi legalitasnya. Ini disebabkan kehadiran lembaga ini memiliki keterkaitan dengan produk RUU FTZ yang masih menggantung. Dalam membangun struktur kekuasaan yang baik, caretaker ditantang secara tegas untuk mencari solusi mau di bawa ke mana lembaga atau badan itu.

Ketiga, penetrasi intervensi kekuasaan lokal-pusat. Yang

merupakan pilar penting terkait peran caretaker ialah mengakomodir intervensi kepentingan elite pusat akibat undangan elite politik lokal. Pengalaman konflik politik adanya intervensi elite pusat akibat undangan elite lokal menyebabkan pembangunan di kawasan strategis ini tidak produktif. Ini seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga. Dalam konteks ini, hendaknya terkait masalah yang menyangkut kekuasaan di Riau Kepulauan dengan piawai dapat diambil-alih atau menjadi tanggung jawab caretaker. Ini misalnya terkait masalah kepemimpinan di Kabupaten Kepulauan Riau dan masalah ‘money politic’ di Kabupaten Natuna.

Saya meyakini jika semua pihak di Kepulauan Riau tidak menginginkan lagi intervensi yang dapat mengundang konspirasi politik tingkat tinggi. Artinya tentu saja sebagaimana berita yang dilansir di harian ini yang berjudul, ‚Ansar: Gubri Main Belakang‛, [Batam Pos, 2/7], tidak lagi terjadi. Kekompakan dan solidaritas antara petinggi di negeri ini yang diperankan pemimpin kabupaten/kota termasuk petinggi di DPRD-nya sangat tergantung dari peran caretaker. Oleh karena itu isu-isu yang tidak produktif,

dan berpotensi pemicu konflik antar pemimpin daerah, hendaknya tidak lagi digunakan sebagai ‘kartu trup’ untuk menekan yang satu kepada yang lain.

Keempat, mensejalankan pembangunan ekonomi dan sumber

daya manusia [SDM]. Pilar keempat merupakan daya dukung [pembuka] bagi keberhasilan pembangunan Riau Kepulauan masa depan dengan mensejalankan [menduetkan] pembangunan ekonomi dan SDM. Ketertinggalan kawasan ini menurut Saya adalah akibat terlambat beberapa langkah belajar dari sejarah keberhasilan negeri tetangga [Malaysia dan Singapura] dalam membangun ekonomi dan SDM. Hukum sejarah yang mengajarkan bahwa tanpa pembangunan SDM yang tangguh tidak pernah diperoleh keberhasilan pembangunan ekonomi, menempatkan begitu strategisnya peran caretaker.

Jepang negeri yang kalah perang dan minus sumber daya alam dapat bangkit kembali karena pembangunan sumber daya manusianya. Hanya saja banyak pula negeri yang tanpa sumber daya alam tidak semaju Jepang. Artinya kemajuan SDM dan pembangunan ekonomi ibarat satu mata uang yang dilihat dari dua sisi: walaupun berbeda, tetapi tetap satu.

Saya meyakini dan kita pasti sependapat jika ‘amanah’ pemerintah pusat tersebut tidak harus dipikul sendirian oleh seorang caretaker. Dalam bahasa solidaritasnya: sesungguhnya keberhasilan pembangunan Riau Kepulauan di masa depan merupakan tanggung jawab kita semua sebagai ‘anak negeri’. Seperti kata orang bijak: ‘di mana langit dijunjung di situ bumi di pijak’. ***

ALAUPUN ditarik kemudian terus diulur-ulur

[tarik-ulur], akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputeri menunjuk Ketua Otorita Batam [OB] saat ini, Ismeth Abdullah menjadi Caretaker Gubernur Provinsi Riau Kepulauan [Rikep]. Di tengah ketidakpastian dalam setting politik transisi sesungguhnya sedari awal penunjukannya sudah dapat diprediksi. Pertimbangan lain-lain yang dianggap oleh sejumlah kalangan sangat menentukan misalnya dukungan arus bawah menjadi tidak signifikan lagi. Sebab dari dulu jika saja Presiden Megawati menunjuk ‘siapa saja’ yang ‘diinginkan’ untuk menjadi caretaker Gubernur Provinsi Rikep bukanlah sesuatu yang melanggar aturan. Hak prerogratif yang dimiliki presiden merupakan legitimasi rujukannya.

Apalagi pengalaman suksesi kepala daerah [gubernur] di republik ini memperlihatkan, jangankan seorang caretaker [penjabat sementara], gubernur hasil pilihan demokratis pun kalau tidak mendapat ‘restu’ *‘direstui’+ oleh presiden, pelbagai argumentasi peraturan penolakannya dapat saja diciptakan.

Berdasarkan argumentasi itu sesungguhnya pasca ditunjuknya Caretaker Gubernur Provinsi Rikep, tidak arif jika diangkat lagi isu seputar persoalan suka atau tidak suka, lokal atau bukan lokal dan dukung atau tidak mendukung yang justru dapat menghambat produktivitas pembangunan di kawasan perbatasan ini. Oleh karena itu ke depan dengan ditujuknya caretaker ini,

menurut hemat saya dapat dicermati hikmahnya berdasarkan tiga kepentingan signifikan.

Pertama, penunjukkan Caretaker Gubernur Provinsi Riau

Kepulauan berdasarkan dari perspektif kepentingan internal [pribadi] caretaker [penjabat]. Penunjukkan tersebut dapat dilihat sebagai bagian uji coba terhadap gaya kepemimpinan yang lebih mengedepankan isu profesionalitas berbanding isu ‘suka atau tidak suka’.

Artinya gaya kepemimpinan yang mengedepankan isu profesional adalah penangkal mujarab terhadap isu lokal bukan lokal. Dalam implementasinya gaya model ini dapat dipraktikkan khusus dalam pemilihan terhadap siapa [orang-orang] yang akan menduduki jabatan tertentu. Misalnya khusus penunjukkan yang akan menjadi pimpinan dalam lingkup dinas-dinas atau badan-badan tersebut, tidak didasarkan kepada ‘itu orang si A atau orang si B. Dalam konteks penempatan jabatan inilah sesungguhnya secara internal seorang Caretaker dapat diuji gaya kepemimpinannya. Yang dalam bahasa manajemen konflik ‘rekonsiliasi’ adalah kata kuncinya. Sementara upaya rekonsiliasi itu dapat dilakukan ketika penyusunan struktur organisasi tata laksana [SOT]. Inilah sesungguhnya peletak dasar terhadap arti penting [hikmah] dari penunjukkan itu.

Kedua, bahwa hikmah penunjukan caretaker dapat dilihat

berdasarkan perspektif kepentingan kawasan. Dalam konteks pembangunan kepentingan kawasan, Caretaker Gubernur Provinsi Riau Kepulauan perlu memperhatikan: [1] bahwa dengan menggunakan referensi sejarah perlu menempatkan kejayaan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan dunia di masa lalu [Singapura

hari ini]. Sejarah memperlihatkan bahwa sebelum Singapura menjadi salah satu pusat perdagangan dunia awal abad ke-16, Riau- Lingga sudah terlebih dahulu menjadi pusat perdagangan di selat Melaka.

Titik balik sejarah kejayaan Riau-Lingga dapat menjadi momentum Pembangunan Provinsi Riau Kepulauan pada masa depan. [2] bahwa letak Provinsi Riau Kepulauan sebagai kawasan strategis selain dapat menjadi quo vadis perjuangan juga merupakan inspirasi dalam membangun paradigma baru bahwa Riau Kepulauan sesungguhnya adalah representasinya Indonesia di bidang ekonomi sebagaimana Pulau Bali di bidang wisata. [3] bahwa kacaunya struktur kekuasaan akibat sistem kepemimpinan yang otoriter Orde Baru menjadi pelajaran berharga dalam penataan Provinsi Riau Kepulauan pada masa depan.

Isu demokrasi yang mengedepankan betapa pentingnya desentralisasi pemerintahan [konsep otonomi daerah] adalah inspirasi serta tekad pemimpin [Caretaker] untuk mampu dan ‘berani’ bersaing dengan Singapura. [4] bahwa betapa pentingnya pembangunan sumber daya manusia [SDM] di bidang pendidikan menjadi skala prioritas dalam pelbagai kebijakan.

Menurut hemat penulis pelbagai keterbelakangan dan ketertinggalan yang dialami negeri ini akibat kelalaian serta mengabaikan betapa pentingnya sektor pendidikan. Pulau Penyengat dengan Raja Ali Haji, seharusnya menjadi inspirator sekaligus tonggak perjuangan yang menjadikan bahasa Melayu Riau [Riau Kepulauan, maksudnya] menjadi bahasa Indonesia.

Ketiga, hikmah yang dapat diambil dari penunjukkan

gagasan strategi pembangunan Riau Kepulauan. Dalam bahasa perjuangan politik kekuasaan sesungguhnya gagasan tersebut dapat diperjuangkan oleh caretaker melalui, [1] Pembentukan Pulau Batam sebagai Daerah Khusus. [2] Merealiasikan gagasan Provinsi Riau Kepulauan [Rikep] sebagai Provinsi Istimewa, seperti Aceh, Papua, Jokjakarta dan Jakarta.

Dalam konteks memahami betapa urgensinya hikmah ini karena dilandasi tiga pertimbangan, [1] Bahwa sudah terlalu banyak dan seringnya produk maupun perubahan kebijakan di Pulau Batam khususnya dan Riau Kepulauan umumnya. Kenyataan tersebut sesungguhnya mencitrakan inkonsistensinya pemerintah pusat. [2] Bahwa selama ini di Riau Kepulauan terjadi dominasi sentralisasi kekuasaan yang dibuktikan banyaknya kebijakan yang lahir berbentuk Keppres sepanjang sejarah pembangunan Riau Kepulauan sebagai wilayah perdagangan bebas

[free trade area]. [3] Riau Kepulauan yang berbatasan langsung

dengan kekuatan penetrasi ekonomi Singapura. Kondisi ini, menunjukkan tingginya ketergantungan ekonomi Riau Kepulauan dengan Singapura secara absolut. Oleh karena itu sebagai penetrasi ketergantungan ekonomi Singapura khususnya, apreasiasi dollar Singapura terhadap rupiah, Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Istimewa Riau Kepulauan adalah jastifikasi perlu diberlakukan kebijakan sistem dua mata uang [double currency

system], misalnya. [4] Bahwa adanya tumpang tindih [overlafing]

struktur kekuasaan dengan dua badan kewenangan penyelenggara pembangunan khusus di Pulau Batam, dapat dielaborasi dengan cara moderat dan elegan.

Berdasarkan ketiga hikmah yang dapat diambil ke atas ditunjuknya Caretaker Gubernur Provinsi Riau Kepulauan, paling tidak dapat menjadi wacana awal betapa pentingnya melupakan masa lalu dengan konflik politik yang runyam untuk menatap masa depan yang lebih progresif dan inovatif. ***

EORANG teman mengatakan kepada Saya kalau ia baru saja

mendengarkan bisik-bisik tentang siapa yang akan menjabat sebagai caretaker Gubernur Kepri? Berdasarkan dari hasil bisik-bisik yang didengarnya, Caretaker Gubernur Kepri tak lama lagi akan dilantik? ‘Pokoknya masih dalam bulan ini juga?’ Wah, ini berita menarik. Lalu Saya tanyakan kepadanya, ‘dari mana sumbernya?’ Menurut dia, namanya juga bisik-bisik alias tak jelas asal sumber berita itu. Tak dapat dipertanggungjawabkan. Hanya isu!

Saya mengatakan kepadanya kalau soal bisik-bisik di dalam dunia politik itu sudah lumrah. Jangan dipedulikan! Namanya juga bisik-bisik. Kata orang, bisik-bisik itu equivalent dengan gosip!

Teman itu tetap saja meyakinkan saya. Oleh karena itu walaupun hanya bisik-bisik, memandang substansi isi bisikannya, membuat Saya tergoda juga untuk mengkerutkan kening. Sebab persoalannya bukan perihal siapa yang akan menjadi [baca: dilantik] sebagai Caretaker atau penjabat Gubernur Kepri. Melainkan apa sesungguhnya disebalik peristiwa terkait tarik-ulur [baca: ditarik dan tetap diulur-ulur] pelantikan itu? Sebab di dalam belantara perburuan kekuasaan, pertanyaan yang selalu mengemuka bukan lagi pada siapanya [baca: orangnya], tetapi lebih bagaimana cara mendapatkannya?

Rupanya teman saya tadi mulai tahu, kalau di dalam ‘berburu kekuasaan’ yang dipentingkan bukan lagi siapa, jabatannya apa

dan bagaimana kualitas kepemimpinannya. Yang lebih penting, tentu saja kekuatan jaringan lobi yang dibangun, dana yang dimiliki dan sejauh mana informasi lawan politik dapat dikuasai. Ini adalah bagian instrumen bagaimana berburu kekuasaan. Sedangkan kualitas, visi dan kesungguhannya, nanti dulu! Ia memang perlu, tetapi tidak signifikan di dalam perburuan itu! Apa benar?

Di harian ini, Kamis [3/6], sudah dilansir berkaitan SK MENDAGRI tentang pengangkatan Plt Sekda Provinsi Kepri. Artinya menurut pemerintah pusat yang lebih penting Plt Sekdanya daripada caretaker gubernurnya. Kalau boleh saya menafsirkan jika fakta ini membuktikan kebenaran teori dalam berburu kekuasaan yang lebih mengedepankan bagaimana cara mendapatkannya berbanding netralitasnya. Apalagi di harian ini sebelumnya sudah santer disebut-sebut hanya 2 nama yang diusulkan sebagai calon caretaker Gubernur Kepri yakni, Ismeth Abdullah, Ketua Otorita Batam, dan Rusli Zainal, Gubernur Riau saat ini. Tetapi, pada berita yang lain, eh, tiba-tiba muncul satu nama lagi, Thamsir Rahman, Bupati Indragiri Hulu [INHU] saat ini.

Berkaitan siapa yang lebih berpotensi menjadi caretaker, Saya tidak ingin berspekulasi? Yang jelas fakta selalu membuktikan bila logika politik [baca: kekuasaan] selalu berseberangan dengan logika awam. Boleh jadi orang awam menilai si A berpeluang besar menjadi Caretaker. Namun merujuk dari konvensi calon presiden Partai Golkar merupakan pelajaran berharga jika logika awam selalu berseberangan dengan logika kekuasaan. Ketua Golkar waktu itu sudah dijagokan. Selain ia sudah lepas dari belenggu hukum terkait korupsi, secara resmi ia juga sudah mendapat

dukungan dari DPP Golkar. Tentu saja secara awam peluangnya sangat besar. Tetapi fakta kekuasaan memenangkan Wiranto. Siapa yang menduga? Itulah logika kekuasaan, fluktuatif, sukar ditebak, penuh misteri dan irasional!

Belajar dari pengalaman konvensi Partai Golkar, tentu saja masyarakat Kepri [baca: Batam] tidaklah perlu hanya mendominasikan satu orang. Apalagi ianya sudah didukung lobi, jaringan dan dana yang kuat. Kalau boleh jujur, kita akan sepakat bila pelbagai indikator itu akan berbanding lurus terhadap seseorang yang akan menjadi Caretaker ?

Jangan marah bila kali ini prediksi kita [baca : saya dan Anda] salah. Walaupun aqal sehat Saya meyakini bahwa lobi, jaringan dan dukungan dana sangat menentukan, sejarah terbentuknya Provinsi Kepri sangat spesifik. Sejarahnya pelik dan penuh kerancuan. Ia nasibnya sama dengan status negeri ini, tak jelas!

Oleh karena itu berkaitan orang yang akan menduduki jabatan caretaker Gubernur Kepri sesungguhnya merupakan ‘cek kosong’ yang diberikan masyarakat Kepri kepada pemerintah pusat. Pemberian ‘cek kosong’ itu berdasarkan tiga argumentasi.

Pertama, berdasarkan latar belakang politik kekuasaan

pembentukan Provinsi Kepri yang lebih mengedepankan seperatisme *disintegrasi local+ yang menjadikan ‘Riau Merdeka’ sebagai isu sentral pendiriannya. Upaya perjuangan masyarakat Kepri yang diwakili pelbagai lembaga formal maupun informal sudah menghabiskan baik tenaga, dana dan perasaan, dinilai tidak signifikan oleh pemerintah pusat berbanding masalah separatisme ‘Riau Merdeka’. Sehingga Provinsi Kepri ‘direstui’ pendiriannya oleh pemerintah pusat bukan atas nama perjuangan, melainkan

atas dasar kekhawatiran perpecahan wilayah Indonesia. Oleh karena itu sangat wajar jika setelah ‘direstui’, pemerintah pusat seolah-olah mengabaikan isu Caretaker. Sebab isu separatisme sudah selesai.

Kedua, pola perjuangan pembentukan Provinsi Kepri yang

dilandasi atas semangat destruktif geografis [perbalahan kawasan] antara isu Riau Kepulauan dan Riau Daratan. Tidak adanya rekomendasi DPRD Riau dan Gubernur Riau yang menjadi prasyarat administrasi pemekaran wilayah provinsi, merupakan faktor pendorong yang dijadikan argumentasi pemerintah pusat untuk tidak peduli terhadap isu Caretaker Gubernur Provinsi Kepri.

Ketiga, intervensi kepentingan elite politik pusat akibat

undangan elite lokal [elite lokal tidak kompak dan terperagmentasi]. Argumentasi ini selalu dijadikan legitimasi pemerintah pusat untuk tidak secepatnya menunjuk Caretaker Gubernur Kepri. Dampak undangan elite lokal ini menjadikan elite pemerintah pusat ‘asyik bermain’ di arena politik Kepri yang dinilai banyak mendatangkan keuntungan finansial [ekonomi politik hukum] secara individual. Kasus korupsi dana APBD Kabupaten Kepri yang ‘diarahkan’ untuk kepentingan perjuangan Provinsi Kepri adalah contoh nyata.

Atas dasar argumentasi itu rasa-rasanya sungguh, lobi, jaringan dan dukungan dana yang kuat saja, taklah cukup. Dan nanti kalau pun nama Thamsir Rahman yang akan menjadi Caretaker, itu jelas bukan karena hasil lobi, jaringan dan dukungan dana kuat pada level elite di tingkat pusat. Paling tidak, ianya

menunjukkan bahwa di antara tiga dari argumentasi di atas salah satunya mengena sasaran.

Barangkali, Thamsir hanya ‘kuda hitam.’ Agaknya kebalikan dari ungkapan, ‚Gajah bertarung dengan harimau, pelanduk yang menang?‛ Jadi yang menang? Tentu saja yang didukung arus bawah dan para petinggi wilayah [baca: kabupaten/kota dan DPRD)? Apa benar? Ah, ini baru prediksi. ***

ALAUPUN dalam pembentukannya Provinsi Kepulauan Riau [Kepri] mengalami proses pro-kontra yang sangat panjang dan melelahkan, tidak seharusnya pembangunan Provinsi yang memiliki karakteristik unik ini terus didera rasa pesimistik. Mulai dari konflik politik, pro-kontra, klaim siapa yang paling berjasa, mengedepannya semangat primordialisme yang menyebabkan pembangunan Provinsi Kepulauan Riau tidak produktif ini sudah saat dikubur dalam-dalam.

Sebagai kawasan yang letaknya di perbatasan seharusnya pelbagai persoalan yang bertendensi hanya mengejar kepentingan segelintir orang yang sampai mengundang masuknya intervensi kekuasaan luar di negeri ini merupakan prasyarat mutlak untuk dikesampingkan. Paling tidak itulah upaya strategis ke depan dalam mencari solusi bagaimana menata ulang pembangunan provinsi ini di masa depan.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk mengabaikan begitu saja pelbagai persoalan yang mengemuka tersebut. Walaupun terkesan ideal, paling tidak kepentingan individual tidak dapat dihilangkan, tetapi dengan dilandasi niat baik per individual akan mengakumulasi menjadi niat baik kolektif. Di atas landasan niat

baik kolektif itu dapat dijastifikasi bahwa perjuangan dan pembangunan Provinsi Kepri di masa depan merupakan milik dan tanggungjawab semua masyarakatnya.

Di atas landasan tanggung jawab inlahi ingin dimulai dengan mempertanyakan, kembali [quo vadis] sesungguhnya untuk apa jerih payah dengan pelbagai onak dan durinya perjuangan Provinsi Kepri perlu dilakukan? Kedua, setelah perjuangan dilakukan, bagaimana menatanya dalam menghadapi pesaingan konsepsi kawasan strategis? Ketiga, strategi apa yang perlu dilakukan untuk memenangkan persaingan tersebut?

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 146-163)

Dokumen terkait