• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Kepentingan Elite

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 45-50)

Pelbagai kendala terhambatnya perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepri termasuk masalah penunjukkan gubernur caretaker menurut amatan awam yang selalu disebutkan adalah, pertama, masalah penolakan Kabupaten Natuna. Kedua, persoalan keabsahan keberadaan Bupati Kepulauan Riau. Ketiga, berkisar pada persoalan status Pulau Batam. Dalam konteks ini mari kita cermati lebih spesifik-kritis, apa benar ketiga persoalan itu yang menjadi faktor signifikan-dominan terganjalnya perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepulauan Riau?

Persoalan pertama menyangkut penolakan Kabupaten Natuna yang selama ini dijadikan pengabsahan oleh pemerintah pusat dinilai sudah tidak memiliki relevansi terhadap perwujudan teknis Provinsi Kepri. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika penolakan tersebut berlatarbelakang elitis, bukan aspiratif. Artinya penolakan dilandasi atas persoalan elite politik Kabupaten Natuna khusus terkait isu politik uang ketika suksesi kepala daerah. Adanya isu intervensi politik kekuasaan dari provinsi yang banyak diekpose media massa adalah bagian dari skenario penghambatan yang bertendensi elitis. Dan ini dapat diklasifikasi menjadi fenomena kepentingan elite, bukan aspiratif. Kemudian untuk menutupi agar penghambatan ini bukan bertendensi elitis, didistorsi dengan persoalan ekonomi bagi hasil sumber daya alam [SDA]. Oleh karena itu bertitik tolak atas argumentasi ini persoalan pertama sesungguhnya tidak ada relevansi langsung dengan perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau.

Kedua, persoalan keabsahan kepala daerah dalam suksesi yang melibatkan elite dan tokoh perjuangan Provinsi Kepri juga

sudah tidak relevan untuk diabsahkan terhambatnya perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau. Sebab perjuangan Provinsi Kepri dengan masalah suksesi Bupati Kepri adalah dua hal yang sangat berbeda. Kemudian kedua masalah itu yang ‘seolah-olah’ menjadi integratif disebabkan kebetulan salah seorang yang ‘dianggap’ tokoh perjuangan Provinsi Kepri adalah juga terkait langsung dengan persoalan suksesi Bupati Kepri. Percampuran aduk inilah yang selama ini telah mendistorsi perjuangan kolektif Provinsi Kepri. Sehingga persoalan suksesi Bupati Kepri seolah-olah menjadi penghambat perwujudan teknis pelaksanaan Provinsi Kepri. Padahal sekali lagi, persoalan ini merupakan fenomena kepentingan elite yang dibelokkan menjadi permasalahan kolektif perjuangan.

Ketiga, persoalan status Pulau Batam. Secara kebetulan Pulau Batam yang akan dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Kepri sementara, sampai saat ini masih mengalami kendala terhadap persoalan status maupun pembagian kewenangan. Sesungguhnya jika dicermati lebih teliti persoalan stutus Pulau Batam maupun pembagian kewenangan merupakan kesalahan desain kekuasaan pemerintah lama. Jadi menjadi tidak signifikan jika persoalan ini dibasahkan menghambat perwujudan teknis Provinsi Kepri. Sebab penunjukkan gubernur caretaker merupakan solusi temporer untuk mengantisipasinya. Hanya saja terkait siapa yang ditunjuk untuk menjadi gubernur caretaker, sekali lagi juga lebih bertendensi elitis!

Provinsi Politik Elite

Kalau dicermati berdasarkan pelbagai argumentasi yang selalu dijadikan pembenaran penghambatan perwujudan teknis Provinsi Kepri mengedepankan tendensi kepentingan politik elite

berbanding aspirasi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu agar perwujudan teknis Provinsi Keperi tidak terkesan ‘proyek politik elite’ dan menjadi perjuangan politik kolektif seluruh masyarakat Kepulauan Riau di mana pun berada, paling tidak ada beberapa agenda penting yang perlu mendapat pertimbangan.

Pertama, masyarakat harus menyadari dan dapat memahami konfigurasi konflik politik di Kepulauan Riau yang selalu menjadi pembenar sebagai penghambat perwujudan teknis Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian sejauh mana kebenaran pembenar itu dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan argumentasi yang aspiratif? Oleh karena itu guna kepentingan ke depan memang merupakan tanggung jawab semua pihak untuk memperbanyak kelompok pemikir [think-thank] yang tumbuh dari bawah (aspiratif). Sehingga tidak lagi terjadi pembelokan terhadap informasi—yang seharusnya aspiratif menjadi elitis. Seorang elite tidak selalu mengklaim sebagai tokoh ‘tunggal perjuangan’, kemudian tidak menjadikan persoalan individu didistorsi seolah-olah kepentingan kolektif perjuangan.

Kedua, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan momen politik pemilihan umum [Pemilu] untuk membangun basis perjuangan baru dalam perwujudan teknis Provinsi Kepri. Pemilihan umum kali ini dapat menjadi cek kosong bagi masyarakat Kepulauan Riau untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah secepatnya mengaplikasikan Provinsi Kepulauan Riau. Artinya pemilu dapat diabsahkan masyarakat untuk menuntut sikap konsisten pemerintah. Ini misalnya persoalan pembentukan Komisi Pemilihan Umum [KPU] Provinsi Kepulauan Riau yang mandiri, tidak lagi di bawah Provinsi Riau. Sebab ini terkait

langsung dengan persoalan suksesi Gubernur Kepri definitif nantinya.

Ketiga, men-deadline pemerintah pusat dengan kepastian hukum yang jelas dan tegas. Artinya pengalaman masa lalu terkait ketidakkonsistennya pemerintah dalam masalah Peraturan Pemerintah [PP] tidak terulang kembali. Ini misalnya saja PP hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam sebagaimana yang diamanatkan UU No.53 Tahun 1999 sampai saat ini entah hilang ke mana?

Yang pasti jika pemerintah pusat masih terus mendramatisir dipastikan kekuataan kolektif politik masyarakat akan terulang kembali. Jangan sampai peristiwa penolakan besar-besaran terhadap Pemberlakuan PPN dan PPnBM di Pulau Batam berlangsung lagi. Mari berjuang. ***

ALAM sudut pandang kajian ekonomi politik hukum,

Kepulauan Riau [yang dimaksud Kepri meliputi beberapa kabupaten termasuk Batam] sebagai daerah perbatasan memiliki konsekuensi negatif dengan berbagai deraan yang tak kunjung usai. Sejak reformasi digulirkan yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter Soeharto dengan multilevel krisisnya tak banyak mengalami perubahan signifikan positif. Yang mengedepan justru munculnya konflik baru yang direpresentasikan [diwakili] dengan tampilnya arogansi daerah [atas nama otonomi] berhadapan dengan pusat [atas nama sentralisasi].

Bergumulnya dua kekuatan ini menyebabkan tidak produktifnya perkembangan pembangunan Kepulauan Riau sebagai daerah perbatasan. Kata perbatasan yang selalu disebut dengan istilah strategis--hanya merupakan retorika: mudah diucapkan yang tak pernah diimplementasikan. Sampai sejauh ini belum ada gagasan besar yang secara khusus mendesain pembangunan Pulau Batam sesuai format sebagai daerah strategis yang letaknya di perbatasan.

Tampaknya selama ini desain pembangunan selalu disejalankan dengan kepentingan siapa yang berkuasa. Sehingga keuntungan apa yang didapat dari Kepulauan Riau jika berbagai

kebijakan dibuat termasuk pembentukan Provinsi Kepulauan Riau dan UU FTZ, tidak terlepas dari berbagai kepentingan.

Tulisan ini diangkat guna mendiskusikan sebagai refleksi awal bagaimana terjadinya tarik-ulur perjuangan Provinsi Kepulauan Riau beserta ketidakpastian hukum di Pulau Batam sambil menunggu UU FTZ yang tak kunjung dating.

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 45-50)

Dokumen terkait