• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemandirian Lokal

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 84-137)

Pasca suksesi kepala daerah adalah momen paling manis membuat ‘Cetak Putih’ pembangunan Riau Kepulauan yang tidak hanya terfokus Pulau Batam. Rancang bangun berkaitan suksesi oleh karena para pemimpin terpilih merupakan tokoh lokal yang akan membangun Riau Kepulauan ke depan. Jangan berharap pada pemerintah pusat yang selama ini memang tidak memiliki ‘rancang bangun jelas di kawasan yang strategis ini. Desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan kesempatan bagi putra terbaik daerah menunjukkan eksistensinya mengabdi pada negerinya. Inilah yang disebut dengan Kemandirian Lokal. Kemajuan Singapura yang sesungguhnya ‘takut’ berkompetisi [secara geo-ideologis] dengan Riau Kepulauan menjadi bahan kajian signifikan merancang-bangun kawasan ini.

Bagi para pemimpin ‘muda lokal’ yang patut dipahami bahwa wilayah [semua] gugus pulau yang terdiri atas gugus pulau meliputi, Kepulauan Lingga, Kepulauan Natuna, Kepulauan Anambas dan Kepulauan Riau adalah induk dari Riau Kepulauan. Ke semua gugus pulau ini personifikasi negara kecil nan elok atau refleksi Singapura. Dalam bahasa lainnya setiap kepala daerah dapat disandingkan atau sebanding dengan Perdana Menteri Singapura. Wahai pemimpin muda Riau Kepulauan, tunggu apalagi. Tunjukkan kemandirian lokal kita. Mari membangun! ***

ALAU boleh diperbandingkan antara Pulau Batam dan

Pulau Singapura secara geografis 185 tahun yang lalu dapat dipastikan tak ada perbedaan signifikan antara keduanya. Dan bila ditanya kepada Sir Thomas Stamford Raffles: mengapa lebih memilih Singapura berbanding Batam untuk dibangun dan dikembangkan ketika itu, tentu saja Raffles yang tahu jawabannya!

Saya bukan Raffles. Tetapi jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya: mengapa Raffles memilih Singapura, mengapa tidak Batam, menurut Saya di sanalah letaknya visi Raffles sebagai seorang pemimpin yang visioner [memandang ke depan]. Jadi lebih pada visinya, bukan asal muasal negerinya, Inggris atau Belanda yang sama-sama Barat.

Negeri asal bukanlah satu-satunya pembenar yang selalu menjadi tolak ukur akan keberhasilan. Malaysia dan Singapura berkembang dan maju, bukan kerana dijajah Inggris. Kedua negeri tetangga ini lebih maju dan berkembang daripada negeri kita, karena visi pemimpinnya. Yang ini, anak kecil pun tahu.

Sebaliknya Indonesia yang kacau-balau ini, bukan karena dijajah Belanda, melainkan kerana visi pemimpinnya. Namun masalahnya mengapa Belanda yang selalu menjadi kambing-hitam? Dan kalau alasan yang ini: maaf, hanya profesor yang tahu!

Negeri asal penjajah selalu saja menjadi tolak ukur ketertinggalan kita. Padahal ketertinggalan menunjukkan sebatas

itulah sesungguhnya kualitas visi kepemimpinan seorang pemimpin yang dimiliki negeri ini. Mereka lebih mengedepankan ‘memelihara’ kekuasaan, memperkaya diri, keluarga dan kelompok daripada membangun dan menyejahterakan bangsanya.

Belajar dari ketertinggalan negeri ini dan keberhasilan sementara Singapura, menurut hemat Saya dapat menjadi tolak ukur bagaimana meramal Batam menjelang lima tahun ke depan? Bagaimana meramalnya, dapat dihampiri dari tiga pendekatan.

Pertama, berdasarkan pendekatan struktural. Secara struktur

jika dilihat dari sisi keberadaan institusi [lembaga] penyelenggara pemerintahan, tertib hukum dan perundangan serta status kawasan yang aneh [tak dapat didefinisikan, rancu dan tak jelas] merupakan persoalan struktural yang kronis dan sangat akut.

Dari sisi institusional [kelembagaan], masalah kewenangan penyelenggara pemerintahan yang selalu tabu untuk diangkat ke tingkat yang lebih transparan justru bagai momok dan sangat menakutkan. Semua lupa kalau ianya adalah bagai bom waktu: yang kapan saja dapat meledak!

Begitu pula kondisi tertib hukum dan perundang-undangan yang saling tumpang tindih: menunjukkan ketidakpastian. Ini juga tak pernah dengan transparan dijelaskan. Pemerintah selalu beralasan demi menjaga kesinambungan investasi asing. Padahal ianya bagai ‘bom hidrogen’: sekali meledak, walaupun tak tampak, tapi ribuan yang mati! Kemudian status kawasan yang aneh dan ambigu [mendua] yang katanya selalu menyebabkan perasaan was-was, baik pengusaha lokal maupun investor asing. Khabarnya status kawasan yang aneh ini tak lagi menjadi isu penting bagi perjuangan..

Kalau boleh disimpulkan sesungguhnya secara struktural Pulau Batam sudah hilang akibat tak jelas! Kata orang bijak: yang jelas adalah ketidakjelasan itu sendiri! Di dalam belantara ketidakjelasan ini yang sangat berbahaya adalah munculnya penjastifikasian terhadap pelbagai tindakan. Dalam sudut pandang ekonomi politik hukum ketidakjelasan berpotensi sebagai pembenaran melakukan perburuan rente ekonomi. Peluang konspirasi antara aparat dan ‘penjahat pengusaha’ [baca: ‘pengusaha hitam’+ tak dapat dihindarkan. Jabatan akan menjadi komoditi yang sangat berharga untuk disewakan dalam memperoleh kompensasi [imbal jasa]. Ini sangat kronis dan berbahaya!

Kedua, gaya kepemimpinan elite lokal. Kekacauan struktur

berpotensi melahirkan [memproduksi] kepemimpinan elite yang korup, anti kritik dan otoriter. Gaya kepemimpinan model ini dalam menghadapi kritik dan masukan akan mengedepankan ‘KUHP’ *kasih uang habis perkara+. Akibatnya setiap kebijakan yang diambil bukan dilihat berdasarkan implikasi yang ditimbulkan [berbahaya atau tidak bagi lingkungan], melainkan berdasarkan penerimaan ‘fee’ *rente ekonomi+ yang akan didapat.

Ketiga, persaingan geografis. Persaingan geografis [letak

wilayah] akan sangat menentukan kemajuan Pulau Batam masa depan. Yang selalu salah dipahami dan diabaikan selama ini jika letak wilayah dinilai bukan merupakan keunggulan sebagai sumber daya yang dimiliki.

Cara pandang yang salah kaprah ini telah membutakan mata para petinggi di negeri ini. Posisi geografis tidak pernah menjadi pertimbangan dalam mengambil dan menetapkan kebijakan. Yang

dikedepankan justru orientasi ‘fee’ *rente ekonomi+ yang akan diperoleh dari setiap produk kebijakan yang dikeluarkan. Dalam bahasa ekonomi politik hukum yang selalu muncul adalah: berapa yang saya dapat, bukan apa implikasi kebijakan bagi kepentingan bangsa dan negeri ini ke depan?

Raffles benar! Ia adalah pemimpin visioner. Ia tahu Pulau Batam akan kacau, tak jelas dan aneh! Ia memilih Singapura. Ia menukar Bengkulu dan Riau [baca: Pulau Batam] dengan Belanda, bukan karena sumber daya alamnya. Ia memilih Singapura, karena di sana ada masa depan: letak yang strategis.

Dalam bahasa yang sederhana: bagaimana meramal masa depan Batam, ketiga-tiga pendekatan ini adalah garasinya. Selagi kekacauan struktur tak tertanggulangi, gaya kepemimpinan elite yang anti kritik dan mengedepankan ‘KUHP’, ditambah status Batam yang aneh, hanya satu pesan buat para elite di negeri ini: the

ERHELATAN akbar dalam memilih pemimpin [baca:

presiden], baru saja usai. Sebagai rakyat, siapa pun presiden terpilih nantinya bukanlah persoalannya. Sebagai rakyat yang tinggal di kawasan perbatasan yang menjadi persoalan adalah apabila pemimpin terpilih ini tidak memahami betapa krusialnya kawasan ini bagi pembangunan Indonesia di masa depan?

Besarnya harapan kepada seorang pemimpin bagi anak negeri ini dilatarbelakangi jika selama ini belum ada gagasan cemerlang yang berhasil mendesain model pembangunan yang tepat bagi kawasan perbatasan ini. Yang ada kawasan yang perbatasan dengan negeri Singapura ini hanya dianggap sebagai ladang perburuan rente ekonomi saja. Sehingga pembangunan di kawasan ini tidak menjadi lebih produktif, melainkan penuh dinamika konflik politik yang sangat melelahkan.

Oleh karena itu pemilihan pemimpin dalam membangun kawasan perbatasan Riau Kepulauan [Rikep], memiliki hubungan kausalitas yang inheren [melekat] antara pemimpin, data dan negeri tetangga Singapura. Ada yang menarik untuk dicatat khususnya perihal keterkaitan pemimpin, data dan hubungan antara Indonesia-Singapura. Walaupun sudah menjadi sohib sejak gagasan awal berdirinya ASEAN tahun 1967, namun kedua-dua negeri ini tidak saling mempercayai. Kedua-dua negeri ini terbelit persoalan akurasi penyajian data.

Beberapa waktu lalu penyajian data menjadi tema krusial. Ia bukan data intelijen berhubungan Jamaah Islamiah (JI) atau teroris di Selat Melaka. Ia berkaitan data perdagangan. Data yang mengandung eksklusivitas sekaligus sensitivitas. Eksklusif, kerana kalangan tertentu saja yang tahu. Sementara sensitif datanya menyangkut kepentingan penguasa. Misalnya data yang berhubungan jumlah ‘tanah air Indonesia’ yang selama ini sudah ‘dijual’ dan menjadi ‘tanah air Singapura’.

Mengapa perihal data perdagangan Singapura menjadi tema menarik untuk diperbincangkan dalam setting pemilu presiden? Ini disebabkan publik dinilai baru mengetahui jika data perdagangan antara Singapura-Indonesia tersebut sejak 1974 selalu dirahasiakan! Sebab datanya berbungaan langsung menyangkut kepentingan klan penguasa tertinggi dan pengusaha yang berlindung di belakang kekuasaannya. Sebagaimana dilansir dipelbagai media masa jika kerahasiaan yang dilakukan sejak tahun 1974 adalah atas sepengetahuan dan kesepakatan perdagangan dengan penguasa tertinggi negeri ini.

Sebagaimana berita yang dilansir Koran Tempo, Senin (26/1), Memperindag Rini Suwandi mengatakan pemerintah Singapura sejak dulu merasa tidak berhak mempublikasi data perdagangan antar kedua-dua negara. Sebab kedua-dua negeri itu terikat perjanjian yang disepakati para pemimpinnya. Data perdagangan itu akhirnya hanya dikirim secara ‘rahasia’ ke pihak-pihak tertentu di pemerintahan. Namun setelah ditelaah ternyata menurut Rini, departemennya tidak pernah menemukan surat perjanjian antara Indonesia-Singapura yang menyebutkan bahwa data perdagangan Indonesia-Singapura tidak boleh dipublikasikan secara

internasional. Karena itu Rini menduga perjanjian ini hanya dibuat secara lisan. Dia lantas meminta mempubliksikan data perdagangan secara terbuka dan transparan.

Menanggapi pernyataan Memperindag Indonesia, Pemerintah Singapura membantah tuduhan telah ‘menyembunyi-kan’ data perdagangan. Indonesia merupakan mitra dagang nomor enam bagi Singapura. Melalui suratnya kepada Menperindag Indonesia, Menperindag Singapura, George Yeo mengatakan, selama 29 tahun pemerintah Singapura selalu mengirimkan data perdagangannya dengan Indonesia melalui duta besarnya di Jakarta. Data itu lalu dikirm ke Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinatior Bidang Ekonomi dan Keuangan serta Menteri Perindiustrian dan Perdagangan.

Menurut Yeo, keputusan untuk tidak mempublikasikan data perdagangan merupakan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Singapura pada tahun 1974. Menanggapi polemik antara Memperindag Indonesia dan Singapura, Duta Besar RI di Singapura, Moch Selamet Hidayat sebagaimana dilansir Kompas, Kamis (29/1) mengatakan, ‚Pemerintah Indonesia tidak pernah dan tidak akan menekan pemerintah Singapura untuk membuat kerja sama perjanjian ekstradisi dan statistik perdagangan (trade

statistics). Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia hanya

langkah diplomasi di era transparansi dan keterbukaan sekarang ini.‛ ‚Jalaur-jalur yang kita gunakan tetap jalur diplomatik. Ini kebutuhan bangsa Indonesia atas tuntutan akuntabilitas terhadap masyarakat. Keliru jika ada pemahaman opini publik kita menekan pemerintah Singapura.‛

Belajar dari pelbagai polemik ini dan hubungannya dengan seorang pemimpin, data dan Singapura, ada tiga pertanyaan yang perlu dicermati. Pertama, mengapa kesepakatan data perdagangan hanya dilakukan secara lisan? Kita boleh menduga bila cara-cara itu hanyalah ‘kambing congek’ untuk kepentingan penguasa. Sampai saat ini kita tidak tahu secara percis sesungguhnya berapa jumlah investasi mantan penguasa Orde Baru dan kroninya yang berada di negeri Singa tersebut? Kemudian berapa jumlah uang yang disimpan di sana?

Kedua, mengapa data perdagangan harus dirahasiakan?

Dalam soal kerahasiaan logika kita sebagai ‘orang awam’ akan mengatakan jika kerahasiaan hanya ‘aqal-aqalan’ untuk saling menutupi kepentingan kedua-dua belah pihak saja. Misalnya pemerintah Singapura tidak akan terekspos jumlah kuantitas pasir laut yang telah diekspor baik legal maupun ilegal serta pelbagai komoditas strategis lainnya. Sementara bagi kepentingan rezim lama tidak akan dapat diidentifikasi jumlah kekayaan yang ‘dijarah’ dari negara? Oleh karena itu bila pemimpin yang terpilih nanti tidak menyadari keadaan ini dipastikan ke depan ‘hidup-matinya’ Riau Kepulauan khususnya dan Indonesia umumnya, akan tetap ‘dikendalikan’ Singapura!

Ketiga, apa implikasinya jika data perdagangan dipublikasi ke

masyarakat secara transparan? Dalam sistem reformasi kekuasaan dengan mengedepankan transparansi, publikasi data perdagangan akan memperlihatkan seberapa besar jumlah ‘fee’ dalam setiap transaksi ekonomi antara Indonesia-Singapura? Kemudian siapa saja pejabat yang telah menerima dan seberapa besar jumlahnya?

Belajar dari ketiga persoalan ini tentu saja hikmah yang dapat ditarik adalah bahwa pemimpin terpilih harus berani membongkar perilaku busuk para pemburu rente ekonomi politik hukum yang ‘menjual negara’ atas nema kerahasiaan dan membuka dialog perjanjian ekstradiksi Indonesia-Singapura. Di sini sesungguhnya keterkaitan langsung hubungan antara pemimpin, data dan Singapura. ***

‘Jika Uni Soviet yang dirujuk, maka Gubernur Provinsi Riau Kepulauan tak dapat disandingkan dengan PM Singapura. Namun jika Uni Eropa yang menjadi rujukannya, jelas Gubernur Provinsi Riau Kepulauan patut

disejajarkan dengan PM Singapura.’ ***

ENYANDINGKAN antara Uni Soviet saat keruntuhannya dengan Uni Eropa di saat kebangkitannya adalah sangat aktual dan kontekstual memahami fenomena pembangunan di kawasan perbatasan yang bernama Riau Kepulauan [RIKEP]. Berdasarkan realitas filosofisnya, Riau Kepulauan yang merupakan kumpulan dari pelbagai gugusan pulau-pulau [kepulauan] seperti Kepulauan Karimun [KEPKAR], Kepulauan Riau [KEPRI], Kepulauan Lingga [KEPLING], Kepulauan Anambas [KEPAN], dan Kepulauan Natuna [KEPNA] adalah personifkasi kegagalan Uni Soviet yang secara sekaligus juga kejayaan Uni Eropa saat ini. Belajar dari kedua uni tersebut sesungguhnya Riau Kepulauan merupakan Uni Kepulauan yang dalam konteks aktualnya identik dengan Uni Eropa.

Runtuhnya Uni Soviet yang selalu diklaim sebagai kegagalan komunisme sementara keberhasilan Uni Eropa selalu diasosiasikan dengan kemenangan kapitalisme adalah sangat tidak relevan jika dijadikan rujukannya. Hanya saja dalam konteks ini, aktualitas dan

kontekstualitasnya terletak pada terjadinya fenomena perluasan geografis dan penyempitannya dalam wawasan benua [kontinental], bukan kepulauan.

Memahami fenomena penyempitan dan perluasan pada kedua uni tersebut dalam konteks pembangunan Provinsi Riau Kepulauan memiliki arti penting strategis ke depan. Pengertian strategis dapat diartikan dalam pemahaman jika pada setiap gugus pulau-pulau [kepulauan] itu memiliki potensi keunggulan yang berbeda.

Oleh karena itu, sisi kontradiksi antara Uni Soviet dan Uni Eropa yang menarik untuk ditelaah, walaupun secara geografis kedua uni di mana yang satu *Uni Soviet+ ‘bercerai’ dan yang lainnya [Uni Eropa] bersatu, tetapi keduanya masih terletak dalam satu benua [kawasan]. Sementara Riau Kepulauan yang setiap kabupaten/kota dipisahkan oleh laut antara satu dengan yang lainnya, sedang dalam proses penyatuan [unifikasi] dalam geo-politik administratif yang disebut dengan Provinsi Riau Kepulauan [maaf, jika tidak menggunakan istilah Kepulauan Riau].

Dalam konteks ini istilah berpisah dan bersatu adalah kata kunci yang seharusnya mengilhami sisi filosofis pembangunan Riau Kepulauan masa depan. Artinya kekuatan sisi geografis yang merupakan bagian dari pelbagai gugus kepulauan dapat dijadikan sebagai basis bagi membangun keunggulan prioritas berdasarkan karakteristik gugus kawasannya masing-masing.

Yang dalam sisi implementasinya desain rencana pembangunan selalu disejalankan berdasarkan karakteristik spesifikasi gugus pulau-pulaunya [kepulauan]. Misalnya, Kepulauan Karimun dengan prioritas pembangunan berbasis industri perkapalan. Kepulauan Riau [Pulau Bintan] dengan

berbasis industri pariwisata dan perikanan. Sementara Pulau Batam dengan basis industri manufakturnya, begitu pula dengan gugus pulau-pulau lainnya seperti Natuna dengan berbasis industri gasnya, Anambas dan Lingga dengan berbasis industri lainnya.

Guna mendukung bagaimana menyinkronkan pembangunan antara gugus berdasarkan basis keunggulan yang berbeda diperlukan kepiawaian pengambil kebijakan dalam mendesain rencana strategis *renstra+. Pengalaman ‘kegagalan’ master plan pembangunan Pulau Batam dengan hasil akhir yang kontradiksi, Visi Riau 2020 beserta master plan-nya, dan RTRW kabupaten/kota dengan segala dinamika perubahannya adalah rujukan yang sangat penting.

Belajar dari pelbagai sisi negatif terhadap rencana desain pembangunan dengan keunggulan gugus pulau yang kita miliki benang merah yang dapat diambil adalah sebagai dasar argumentasi jika Gubernur Riau Kepulauan sudah patut disejajarkan dengan Perdana Menteri [PM] Singapura. Menggunakan logika gugus pulau ini sebagai pendekatannya didasarkan pada luas dan potensi wilayah strategis yang dimiliki. Kalau dicoba dibandingkan dalam konteks gugus pulau tersebut maka Pulau Singapura yang hanya memiliki luas 600 km2 yang tanpa gugusan pulau besar lainnya sangat jauh berbanding wilayah Provinsi Riau Kepulauan dengan luasnya 8.000 km2 beserta gugus pulau besar dan kecil yang mendukungnya.

Berdasarkan keunggulan luas dan gugus pulau-pulau inilah seharusnya melandasi bangkitnya kesadaran terhadap konsep yang mengedepankan ‘persaingan’. Jadi tidak lagi mengedepankan prinsip ‘komplementari’ yang memposisikan Riau Kepulauan

selalu berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya di hadapan Singapura.

Selain itu yang sangat penting adalah jika sisi filosofis keunggulan gugus pulau-pulau menjadikan tidak lagi relevan menggunakan teori balon dalam menyandingkan pembangunan Riau Kepulauan [Pulau Batam] dengan Singapura. Sebab kini balon itu sudah pecah, hancur berkeping dan berkecai-macai!

Pengalaman Malaysia membangun Pelabuhan Pasir Gudang di Johor Bahru yang dapat mengabil-alih [memindahkan] perusahaan yang berbasis di Singapura ke Johor dengan prinsip

social opportunity cost [pengambil-alihan keuntungan dari posisi

sebagai lokasi ekport dan import tanpa Singapura] adalah rujukan strategis dalam membangun gugus pulau itu. Artinya pelbagai gugus pulau-pulau yang kita miliki dapat dijadikan sebagai pelabuhan eksport-import yang siap ‘bersaing’ dengan Singapura.

Kalau boleh disimpulkan berdasarkan logika dan argumentasi yang dikemukakan, dalam bahasa yang sederhana sesungguhnya dapat dicermati sejauh mana relevansi aktual dan kontekstualnya cuplikan kalimat pengantar di atas, mengapa: Gubernur Riau Kepulauan patut disejajarkan dengan Perdana Manteri (Singapura? Ini tentu saja jika Uni Eropa yang menjadi rujukannya.

Namun jika Uni Soviet menjadi rujukannya yang terjadi pastilah kebalikannya. Ini disebabkan bukan mustahil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau yang semula merupakan bagian dari Provinsi Riau, menandai babak baru bila provinsi yang kaya minyak itu sesungguhnya berpotensi dipecah menjadi empat provinsi besar: Provinsi Riau Daratan [Ridar], Riau Pesisir [Ripes], Riau Kepulauan [Rikep] dan Riau Kepulauan Tujuh [Riket]. ***

EORANG teman mengatakan kepada saya kalau ‘kebodohan’ telah mendekati titik nadir yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa di negeri ini! Walaupun argumentasi yang dikemukakan seorang teman itu masih diragukan akurasi datanya, tetapi boleh jadi ada benarnya juga.

Menurut pengamatannya Singapura membeli saham pelbagai perusahaan besar [Indosat, Telkom dan lain-lain mungkin sebentar lagi pulau-pulau di sekitar Riau Kepulauan] di Indonesia, dananya bukan murni berasal dari Singapura. Modal pembelian pelbagai saham perusahaan yang sudah go public itu menurut dia, merupakan akumulasi uang ‘orang Indonesia’ yang disimpan dipelbagai bank di Singapura. Walhasil uang orang Indonesia untuk menguasai perusahaan Indonesia, sementara pemilik perusahaan adalah negara Singapura. Begitulah kira-kira esensi argumentasinya kalau boleh disederhanakan.

Walaupun tidak begitu percaya tetapi saya juga tidak berani membantahnya begitu saja, tanpa argumentasi serupa. Apalagi seorang teman itu tidak pernah memberikan data akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sementara saya pun tidak dapat membantahnya. Sebab kendati akurasi dan keilmiahan belum dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak argumentasinya masih dapat diterima akal sehat. Logika ekonomi politik hukum Saya akan mengatakan: boleh jadi ada benarnya pendapat itu. Apalagi jika argementasinya didasarkan dalam soal penataan kebijakan.

Berbincang antara Singapura dan Indonesia [baca: Pulau Batam] bila dikaitkan perihal penataan kebijakan, tentu saja kata kuncinya terletak pada masalah konsistensi! Pengalaman pembangunan Pulau Batam membuktikan apa yang menjadi argumentasi seorang teman, walaupun tidak mutlak, ada benarnya. Betapa tidak jika uang, uang kita, perusahaan, perusahaan kita: mengapa yang memiliki dan mengendalikan perusahaan tersebut orang lain? Proses apakah namanya itu?

Kita pasti sepakat jika dikatakan tidak ada perbedaan signifikan antara Singapura dan Pulau Batam, paling tidak berdasarkan potensi geografisnya: sama-sama strategis. Begitu pula sebaliknya terdapat satu perbedaan maha penting antara Pulau Batam dan Singapura yakni dalam soal penataan kebijakan. Singapura amat sangat konsisten dalam masalah penataan kebijakan, sementara Pulau Batam terjadi sebaliknya, selalu amat tidak konsisten: berubah-ubah alias tidak jelas!

Terkait dengan perbedaan ini ada yang sangat sulit diterima akal sehat. Kesulitan ini Saya menyebutnya dengan politik pembodohan. Kita dibodohkan dengan konsepsi letak yang strategis. Sementara seberapa besar potensi letak strategis yang dimiliki Pulau Batam sejauh ini tidak pernah diterjemahkan sebagai sumber daya potensial. Dalam promosi, kelaziman yang muncul selalu menyebutkan Pulau Batam hanya dengan buruh murah dan fasilitas insentif bebas pajak [pajak yang mana pun tak jelas!]. Ketika fasilitas itu dicabut seolah-olah kita lupa bahwa semua kelebihan hanya terletak pada masalah insentifnya saja.

Sesungguhnya politik pembodohan telah menempatkan kita sepanjang masa dalam ketidakpastian. Letak sebagai kawasan

strategis dalam praktiknya hanya menjadi sumber daya yang tidak pernah dipikirkan. Tradisi pembodohan politik terkait kebijakan dengan budaya ‘menjual kekayaan alam’ *baca: Tanah Air+, tak pernah berhenti. Dalam konteks ini pula konon kabarnya, Prof Tabrani Rab mantan Presiden ‘Riau Merdeka’ pernah berdiri di atas Pulau Sentosa, Singapura menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI yang ke….? Menurut dia, di atas pulau wisata yang hebat itu, terdapat ribuan kubik pasir Riau yang notabene adalah bagian dari Tanah Air kita: Indonesia Raya!

Sesungguhnya istilah pembodohan politik dengan politik pembodohan memiliki perbedaan definisi yang sangat tipis. Kedua konsepsi ini amat sulit diperbedakan. Pembodohan politik adalah proses pembodohan berdasarkan fenomena struktur kekuasaan. Dalam bentuk derivasinya [turunannya], pembodohan ini telah menghasilkan pelbagai bentuk pembodohan, misalnya pembodohan politik yang menghasilkan konsepsi masa mengambang [floating mass] era Orde Baru, pembodohan struktural yang menghasilkan kemiskinan dan lain sebagainya. Sementara dalam tataran teknisnya pembodohan politik telah menghasilkan produk kebijakan yang gampang mengekspor semua sumber

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 84-137)

Dokumen terkait