• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kronologis Permasalahan

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 62-68)

masyarakat terhadap pemberlakuan kebijakan PPN dan PPnBM di Pulau Batam.

Kronologis Permasalahan

Mencoba menganalisis serta menelusuri problematika pembangunan pulau Batam dalam konteks mencari kronologis permasalahan penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemberlakuan PPN dan PPnBM menurut pengamatan Saya terdapat dua hal penting. Pertama, akibat ketidakjelasan status Pulau Batam. Kedua, belum ada kajian komprehensif yang melandasi pembuatan kebijakan ini.

Pertama, perlu atau tidak ‘kawasan berikat’ daerah industri Pulau Batam mendapatkan perlakuan PPN dan PPnBM dengan terbitnya PP No.39 Tahun 1998, penundaan dan kemudian pemberlakuan kembali *PP No.63 Tahun 2003+ tentang, ‚PPN dan PPnBM di ‘kawasan berikat’ daerah industri Pulau Batam,‛ yang

secara bertahap berdasarkan komoditas tertentu, disebabkan akibat ketidakjelasan status Pulau Batam. Ketidakjelasan ini pula yang membawa pengaruh terjadinya perbedaan persepsi akan arti penting perlu atau tidaknya PPN dan PPnBM tersebut diberlakukan.

Dalam hal ketidakjelasan status Pulau Batam dalam dilihat dengan munculnya istilah FTZ enclave. Ketidakjelasan itu selalu ditafsirkan oleh jika awam jika di Pulau Batam konsep perdagangan bebas antara teori dan praktiknya berbeda. Yang selalu mengedepan orang selalu mengatakan kalau secara de facto Pulau Batam adalah FTZ. Sementara secara de jure ia merupakan kawasan berikat [bonded zone]. Dalam konteks ini tentu saja pertanyaan yang muncul adalah: apa sesungguhnya perbedaan esensi antara konsep bonded zone dengan FTZ enclve? Yang namanya FTZ, tidak pas disandingkan dengan konsep enclave? Sementara pada sisi ketidakjelasan lainnya sudah bukan rahasia umum lagi terkait dualisme struktur kekuasaan yang terdapat di Palau Batam tanpa aturan perundang-undangan yang mengambang.

Dalam hal ketidakjelasan ini tentu saja pertanyaan kita adalah, apakah sesungguhnya ini merupakan hasil kerja pemerintah yang berbeda antara masa lalu dengan pemerintah hari ini? Sehingga produk kebijakan pemerintah masa lalu tidak identik dengan pemerintah hari ini? Atau, ia berjalan sendiri-sendiri, pemerintah masa lalu tidak identik dengan pemerintah hari ini, reformasi)? Jika pemerintah hari ini akibat kesalahan produk kebijakan pemerintah masa lalu, ingin memotong mata rantai, bukan masalah bagi masyarakat. Hanya saja persoalannya

mengapa masyarakat yang selalu menjadi bulan-bulanan efek dari kebijakan? Di mana telaknya tanggung jawab pemerintah?

Oleh karena itu yang diharapkan tentu kearifan pemerintah untuk melihat realitas bahwa Pulau Batam hari ini merupakan bagian dari Pulau Batam masa lalu berdasarkan kontinuttias permasalahannya. Sebab apabila pemerintah hari ini mau bercermin pada kesalahan masa lalu, tentu saja setiap kebijakan yang ingin diproduksi harus terlebih dahulu dikomunikasikan dengan masyarakat. Janganlah menjadikan keadilan ataupun penyeludupan sebagai pengabsahan sebuah produk kebijakan yang sesungguhnya tidak populis. Sebab dalam konteks produk kebijakan ini--yang lebih penting adalah pemerintah terlebih dahulu mempersiapkan infrastruktur mentalitas aparat yang tidak korup, berbanding mengambinghitamkan keadilan tetapi menyengsarakan masyarakat.

Kedua, belum ada kajian komprehensif yang melandasi

penerbitan kebijakan. Belum adanya kajian komprehensif berkaitan penerbitan PP No.39 Tahun 1998 tentang, ‚Pemberlakuan PPN dan PPnBM di kawasan berikat daerah industri Pulau Batam,‛ merupakan landasan yang asas menjadi faktor pendorong penolakan kebijakan berkenaan. Berdasarkan pengamatan Saya diketahui bahwa dalam kajian yang melandasi penerbitan kebijakan PPN dan PPnBM di Pulau Batam terkesan pragmatis hanya berasaskan untuk kepentingan siapa kajian bersangkutan dibuat. Sehingga beberapa hasil kajian berkenaan kebijakan PPN dan PPnBM di Pulau Batam, ada kesan jika pemerintah hanya mengikuti kemauan IMF tanpa pemeriksaan terlebih dahulu

termasuk mengikusertakan masyarakat Pulau Batam dalam program kajian berkenaan.

Oleh karena itu tanggapan spontan penolakan kebijakan menujukkan bahwa pemerintah sangat tergantung pada IMF tanpa memperhatikan langsung kesalahan pemerintah sendiri terhadap perancangan kebijakan pembangunan di Pulau Batam pada waktu sebelum pergantian pemerintahan [kepemimpinan] terdahulu. Penerbitan kebijakan perlakuan PPN dan PPnBM, Saya menilai akibat ketidakpahaman pemerintah akan permasalahan yang riil di Pulau Batam ditambah dengan ketakmampuan pemerintah memahami kebijakan pemerintah sebelumnya.

Persoalannya selama ini, pengkajian terhadap sebuah kebijakan yang akan diterbitkan bukan menjadi hal penting bagi pemerintah. Namun apa yang terpenting adalah kebijakan bersangkutan dikeluarkan dahulu, sementara tanggapan di lapangan menjadi persoalan yang tidak integratif. Masa transisi yang dimulai sejak krisis keuangan 1997 kemudian jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto pada Mei 1998 merupakan pelajaran berharga atas terjadinya perbedaan orientasi masyarakat bagi kajian mamang penting untuk dilakukan terkait kebijakan yang akan diterbitkan. Reformasi merupakan titik tolak jika masyarakat wajib dilibatkan dalam sebuah kebijakan yang akan diterbitkan.

Selama ini berdasarkan data yang penulis temukan paling tidak sudah ada tiga kajian yang dilakukan lembaga terpisah berkaitan kebijakan perlakuan PPN dan PPnBM di Pulau Batam. Kajian pertama dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia [LPEM UI], Biro Pusat Statistik

[BPS] dan Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [PEP-LIPI].

Ketiga-tiga kajian yang dilakukan lebih bersifat insedentil, tergantung masing-masing instansi yang memberi proyek walaupun tim pada masing-masing lembaga penelitian selalu mengatakan independensinya. Oleh karena itu persoalan terima atau tidaknya pemberlakuan sangat tergantung dari bagaimana pemerintah memberikan keyakinan berdasarkan objektivitas dan independensi yang mengikutsertakan semua komponen bersangkutan. ***

EMBANGUNAN Pulau Batam sebagai kawasan industri

pada asasnya dilakukan melalui proses yang panjang, terencana serta memiliki arti strategis ke depan. Dalam perjalanannya, pembangunan yang dilakukan itu, dapat diklasifikasi menjadi beberapa periode (fase). Pembentukan kawasan industri di Pulau Batam, dimulai pada tahun 1971-1976, Periode Persiapan dilanjutkan tahun 1976-1978 Periode Konsolidasi. Setelah itu, tahun 1978-1998, Periode Pembangunan Sarana dan Prasarana serta Penanaman Modal.

Sementara itu sejak tahun 1998 sampai saat ini, Periode Pengembangan Sarana dan Prasarana dan Penanaman Modal. Dalam fase ini, perhatian pembangunan lebih besar ditujukan pada kesejahteraan rakyat dan bagaimana melakukan perbaikan terhadap iklim investasi. Selain itu, kebijakan pembangunan berupaya mengakselerasi terwujudnya Pulau Batam sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata, di samping memberikan penekanan yang lebih besar terhadap pembangunan masyarakat [community development]. Hanya saja dalam agenda perjalanannya, tanpa diduga telah terjadi perubahan skenario yang semula digunakan untuk basis logistik Pertamina, akibat krisis [mega skandal korupsi dekade 1970-an di Pertamina], karena letaknya strategis Pulau Batam didesain menjadi daerah industri, alih kapal, pariwisata dan diberi berbagai fasilitas istimewa lainnya, seperti bebas pajak.

Tulisan ini tidak berpretensi menyoroti skenario Pembangunan Pulau Batam dijalankan secara fisik, tetapi lebih tertumpu pada keberadaan Badan Perencanaan Pembangunan Pulau Batam yang disebut dengan Otorita Batam dalam refleksi pasca sentralisasi kekuasaan rezim Orde Baru menjadi substansi atau tidak kehadirannya.

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 62-68)

Dokumen terkait