• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario Jalan Tengah

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 72-81)

Dalam masa transisi melihat Pulau Batam ke depan pada persoalan sejauh mana eksistensi kehadiran Otorita Batam dalam hubungan sistem desentralisasi, harus didahului dengan penuh kearifan dalam mengedepankan skenario jalan tengah [win-win

solutions]. Artinya perubahan bentuk Otorira Batam tidak

membawa konflikasi psikologis maupun kekuasan pada pejabat atau mantan pejabat. Sementara pada sisi lain, tidak diharapkan munculnya otoritarian di daerah yang selalu didengungkan dengan istilah ‘raja-raja kecil’.

Skenario model ini dapat ditempuh dengan mengedepankan prasyarat pada visi pembangunan Pulau Batam sebagai kawasan strategis. Yakni sejak semula Pulau Batam dikembangakan. Keberanian visi harus dipertegas kalau dahulu kita malu-malu untuk mengatakan bahwa Pembangunan Pulau Batam bukan untuk menyaingi Singapura. Kini minimal harus diazamkan dalam konteks spirit pembangunan ekonomi Pulau Batam bahwa kita harus bersaing dengan Singapura.

Oleh karena itu dalam setting politik desentralisasi keberadaan Otorita Batam wajib menyesuaikan perubahan

terhadap tatanan politik yang lebih demokratis-efektif. Yang berarti sangat diharapkan kearifan dan melihat kenyataan yang muncul secara proporsional ke arah mana Otorita Batam harus diposisikan.

Bagaimana solusinya? Hemat Saya para petinggi di Pulau Batam pasti sudah punya jawaban bagaimana mengatur Pulau Batam pasca Otorita Batam! Yang berarti perubahan struktur Otorita Batam memperlihatkan bahwa pembangunan Pulau Batam akan terus berjalan, bukan sebaliknya. ***

EBAGAIMANA diberitakan oleh pelbagai media massa di

negeri Segantang Lada ini bahwa Mantan Presiden Republik Indonesia, B.J Habibie (saat menjadi pembicara dalam silaturahmi dengan kalangan pengusaha anggota KADIN Batam), Sabtu (28/9), melontarkan wacana pembentukan Provinsi Istimewa Batam. Wacana ini penting sebagai upaya mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 25 persen, seperti pada tahun 1978 yang sekaligus menjadi pesaing kuat negara tetangga, Singapura. Ia mengusulkan Pulau Batam digabungkan dengan pulau-pulau yang dihubungkan oleh jembatan Batam-Rempang- Galang [BARELANG] menjadi daerah ‘istimewa’ yang dipimpin oleh seorang gubernur.

Menanggapi wacana yang dilontaRkan mantan ketua Otorita Batam itu baik gubernur maupun wakil gubenur Provinsi Kepri, mengatakan pembentukan Provinsi Istimewa Batam tidak mudah. Perlu dilakukan kajian termasuk mengkaji apakah pembentukan provinsi tersebut sudah layak atau belum atau sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tulisan ini sengaja mengangkat wacana provinsi istimewa ini pada konteks aktualitasnya terkait keberadaan sebuah istitusi yang berada di Pulau Batam yang terkenal dengan sebutan Otorita Batam [sekarang disebut Badan Pengusahaan Batam atau BP Batam]. Menurut hemat Saya, walaupun banyak orang boleh jadi tidak sependapat, wacana provinsi istimewa ini mengedepan oleh karena adanya ‘keistimewaan’ lembaga warisan Orde Baru ini.

Mengapa istimewa? Untuk konteks keistimewaannya itulah yang perlu diperjalas.

Sebagaimana diketahui bahwa reformasi di Indonesia khususnya reformasi hukum (undang-undang) tentang pemerintahan daerah seharusnya membawa dampak negatif terhadap keberadaan institusi birokrasi yang disebut dengan Otorita Batam. Reformasi pemerintahan daerah dapat menyebabkan dibubarkannya Otorita Batam di Pulau Batam. Tetapi yang terjadi sebaliknya jika Reformasi sistem pemerintahan daerah justru seolah-olah menambah kekuasaan Otorita Batam.

Untuk konteks Pulau Batam, Reformasi Hukum di Indonesia berakibat berlangsungnya empat perubahan penting yang berhubungan dengan keberadaan Otorita Batam. Pertama, Reformasi Hukum menyebabkan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah yang menghendaki berubahnya pola kekuasaan antara Pemerintah Pusat, Kota Batam dan Otorita Batam.

Kedua, menyebabkan perubahan Kota Batam dari Kota Administratif (tanpa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) menjadi Kota Batam [memiliki otonomi kekuasaan sendiri berdasarkan undang-undang Pemekaran Kota Batam], sebagai konsekuensinya Kota Batam memiliki DPRD. Keadaan ini menyebabkan di Pulau Batam terdapat tiga institusi yang memiliki kekuasaan ikut menentukan jalannya pemerintahan yakni Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam.

Ketiga, di dalam UUD 1945 belum ada pasal yang mengatur dengan jelas dan tegas pemberlakuan asas Desentralisasi Fungsional [otonomi yang mengurus kawasan ekonomi khusus,

seperti Kawasan Berikat di Pulau Batam yang selama ini dikelola Otorita Batam]. Begitu pun undang-undang yang mengatur hubungan Pemerintah Pusat [Otorita Batam] dengan Pemerintah Kota Batam yang sampai saat ini tidak pernah ada (termasuk PP yang diamanahkan dalam UU No.53 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kota Batam).

Keempat, Reformasi Hukum meletakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] yang dibagi atas daerah-daerah provinsi, daerah-daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Namun di Pulau Batam berbeda. Ini disebabkan terdapat kawasan khusus *Kawasan Berikat, yang sekarang disebut dengan ‘kawasan perdagangan bebas’ yang konsepnya juga belum jelas+ yang dikelola oleh lembaga yang bernama Otorita Batam selain Pemerintah Kota Batam.

Berdasarkan dampak Reformasi Hukum tersebut menimbulkan beberapa fenomena ekonomi politik hukum yang dapat dijelaskan secara singkat. Pertama, dasar hukum pendirian Otorita Batam berlawanan dengan undang-undang Pemerintahan Daerah.

Kedua, terjadinya dualisme kekuasaan antara Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [DPRD] Kota Batam. Ketiga, era Desentralisasi asas hukum Otorita Batam yang hanya berupa Keputusan Presiden [sebelum diubah menjadi BP Batam] kedudukannya seolah-olah lebih kuat berbanding Pemerintah Kota Batam yang berlandaskan undang-undang. Ini dikarenakan tetap diterbitkannya Keputusan Presiden

tentang Otorita Batam, walaupun dinilai bertentangan dengan undang-undang.

Keempat, konflik kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menunjukkan jika kekuasaan Pusat lebih kuat dibandingkan Pemerintah Kota [otonomi daerah]. Kelima, keberadaan Otorita Batam pada era Reformasi merefleksikan sistem politik otoritarian. Keenam, keberadaan Otorita Batam pada era Reformasi Hukum mewakili tampil kembalinya Orde Baru yang disebut dengan Neo-Soehartois.

Berpijak kepada pelbagai argumentasi inilah sesungguhnya yang menurut hemat Saya menjadi muasal, mengapa wacana keistimewaan ini mengemuka. Jadi benar yang istimewa sesungguhnya bukan Pulau Batamnya, melainkan lembaga Otorita Batam-nya.

Itulah sebabnya nama yang pas bukan Provinsi Istimewa Pulau Batam, tetapi ‘Lembaga Istimewa’ Batam atau ‘Dewan Kawasan’. ***

ESTA demokrasi melalui pemilihan kepala daerah di

kawasan strategis berjuluk Segantang Lada ini baru saja usai. Tak lama berselang di kawasan strategis ini pula pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo atas nama pemerintah berkeinginan membubarkan Otorita Batam [BP Batam] dikumandangkan. Alasan pembubaran lembaga warisan Orde Baru [dari OB bermetamarfosis menjadi BP Batam] ini dinilai tumpang tindih kewenangan antara BP Batam dengan Pemerintah Kota yang dapat menghambat pembangunan dan investasi.

Walaupun pernyataan yang sekaligus keinginan pemerintah ini mengundang kontroversi baik di antara pemerintah sendiri, para investor dan masyarakat lokal, tulisan ini tidak berupaya membahas latarbelakang [motivasi] kontroversialnya. Tulisan ini berupaya membahas sebagai sumbang saran khusus terkait ‘keleletan dan pembiaran oleh Pemerintah Pusat’. Pertanyaannya: mengapa kesadaran adanya tumpang tindih kewenangan baru sekarang atau tiba-tiba? Kalau persoalan kebijakan [regulasi yang tegas] titik persoalannya yang akan dikaji ulang, bukankah lima belas tahun lalu UU No.53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam jelas ‘mengamanahkan’ penerbitan Peraturan Pemerintah *PP+ tentang hubungan *‘harmonisasi’+ Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam? Atau karena prokontra eksekutif dan legislatif terkait keberadaan Otorita Batam yang harusnya dihapus versi pemerintah [waktu jaman pemerintahan Presiden Megawati]

dengan Legislatif [DPR RI] yang menghendaki eksistensi Otorita Batam tetap dipertahankan?

Bersandar pada realitas amanah regulasi ditambah argumentasi yang dikemukakan (pelbagai pertanyaan di atas) tampak jelas persoalannya bukan pada tumpang tindih dan kerugian 10 tahun terakhir sebesar Rp20 triliun yang banyak diberitakan media tersebut? Oleh karenanya kalaupun motivasi dibalik pernyataan [jika boleh disebut gertakan] pembubaran sangat konflikatif untuk diungkap atas nama kepentingan investasi, paling tidak tulisan ini bersandar pada ‘ketidakmampuan dan atau ketidakpedulian Pemerintah Pusat’ selama ini mengelola [mengurus] sebuah kawasan yang selalu berulang-kali disebut sebagai ‘kawasan strategis’.

Belajar dari ketidakjelasan Pemerintah Pusat merancang-bangun Indonesia termasuk di kawasan strategis ini bermula dari sejarah kepemimpinan Indonesia yang selalu dalam keadaan berduka. Produk sejarah perjuangan menentang kolonial asing di republik ini ‘tidak pernah’ menghasilkan seorang pemimpin sekaligus negarawan. Sejarah perjuangan menentang kolonialisme asing sebatas menghasilkan mereka yang ‘korup kekuasaan’. Boleh jadi kita dilupakan oleh sejarah. Sepanjang sejarah republik ini berdiri korupsi terbesar pertama dimulai sejak seorang ‘pemimpin besar revolusi’ mengangkat dirinya menjadi pemimpin seumur hidup. Begitu pula korupsi terbesar kedua berlangsung ketika penguasa menjadikan pemilihan umum [pemilu] sebagai jastifikasi untuk menduduki tahta kepresidenan ‘seumur hidup’.

Realita sejarah korupsi kekuasaan yang memilukan ini tanpa disadari telah memproduksi kepemimpinan dengan pola otoriter

beserta sistem pemerintahan sentralistik. Pola otoritarian dan sentralistik inilah penyebab kegagalan desain pembangunan di kawasan perbatasan Riau Kepulauan. Desain pembangunan selalu disejalankan dengan kepentingan siapa yang berkuasa. Akibatnya kawasan perbatasan yang sengaja dirancang untuk membangun kekuatan ekonomi, pilot project pembangunan nasional dan menyaingi Singapura mengalami ‘kegagalan’ yang fatal. Kawasan perbatasan sekadar arena ‘perburuan rente’ ekonomi bagi para penguasa beserta kroninya di dalam ketidakpastian hukum dan perundang-undangan bertahun-tahun lamanya. Ketidakpastian inilah yang akhir-akhir ini dikenal dengan tumpang-tindih kewenangan yang dituduh sebagai penghambat investasi.

Dalam dokumen UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 72-81)

Dokumen terkait